Ketika Bantuan Sosial Belum Menjadi Jalan Sejahtera: Refleksi atas Program Keluarga Harapan
Program Keluarga Harapan (PKH) sejak awal dirancang sebagai instrumen negara untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Dengan pendekatan conditional cash transfer, bantuan diberikan tidak semata sebagai santunan, tetapi sebagai insentif agar keluarga miskin mengakses layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Namun, setelah lebih dari satu dekade berjalan, satu pertanyaan kritis patut diajukan: mengapa PKH belum sepenuhnya berkontribusi pada perubahan kesejahteraan masyarakat secara signifikan?
Secara normatif, desain PKH sangat progresif. Anak harus bersekolah, ibu hamil wajib memeriksakan kandungannya, balita harus mendapatkan layanan kesehatan, dan lansia memperoleh perlindungan sosial. Tetapi di lapangan, PKH sering kali berhenti pada fungsi konsumtif jangka pendek. Bantuan habis untuk memenuhi kebutuhan harian, tanpa mampu mendorong transformasi ekonomi keluarga penerima. Akibatnya, banyak keluarga yang bertahun-tahun tetap berada dalam status penerima bantuan tanpa mobilitas sosial yang berarti.
Salah satu masalah utama terletak pada akurasi data penerima. Ketidaktepatan sasaran masih menjadi persoalan klasik. Ada keluarga yang sesungguhnya sudah relatif sejahtera tetapi tetap menerima bantuan, sementara yang benar-benar miskin justru tercecer dari sistem. Ketidaktepatan ini bukan sekadar soal administratif, tetapi menyangkut keadilan sosial dan efektivitas kebijakan. Bantuan yang salah sasaran bukan hanya memboroskan anggaran, tetapi juga melemahkan daya ungkit program terhadap kesejahteraan.
Selain itu, PKH juga menghadapi persoalan ketergantungan sosial (social dependency). Dalam banyak kasus, bantuan justru melanggengkan mentalitas penerima sebagai “objek” kebijakan, bukan “subjek” pembangunan. Tanpa strategi pemberdayaan yang kuat, bantuan tunai berisiko menciptakan siklus ketergantungan baru. Keluarga menjadi terbiasa menunggu bantuan, bukan didorong untuk membangun kemandirian ekonomi berbasis usaha, keterampilan, dan produktivitas.
Keterbatasan integrasi dengan program pemberdayaan juga memperlemah dampak PKH. Idealnya, PKH harus terhubung secara erat dengan pelatihan kerja, akses modal usaha, pendampingan UMKM, dan penciptaan lapangan kerja lokal. Namun yang terjadi, PKH sering berjalan sendiri, terpisah dari kebijakan ekonomi produktif. Akibatnya, bantuan tidak tumbuh menjadi modal sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Di sisi lain, peran pendamping PKH masih belum optimal. Beban kerja yang tinggi, wilayah dampingan yang luas, serta keterbatasan kapasitas pendamping menyebabkan fungsi edukatif dan pemberdayaan menjadi kurang maksimal. Pendamping lebih sering menjalankan peran administratif ketimbang peran transformasional. Padahal, pendamping adalah aktor kunci yang seharusnya membangun kesadaran, kedisiplinan, serta etos kemandirian keluarga penerima manfaat.
Lebih jauh lagi, ukuran keberhasilan PKH masih terlalu administratif. Keberhasilan sering diukur dari jumlah penyaluran, tingkat kepatuhan administrasi, atau serapan anggaran. Padahal yang lebih penting adalah perubahan nyata dalam kualitas hidup: apakah penerima mampu keluar dari kemiskinan, memiliki penghasilan stabil, dan tidak lagi bergantung pada bantuan negara. Tanpa indikator kesejahteraan yang berbasis dampak jangka panjang, PKH berisiko hanya menjadi program rutin tanpa daya transformasi.
Kenyataan bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan struktural menunjukkan bahwa bantuan sosial saja tidak cukup. PKH akan selalu berada di hilir persoalan jika tidak disertai perbaikan hulu, seperti kualitas pendidikan, akses pekerjaan layak, pemerataan pembangunan wilayah, dan penguatan ekonomi lokal. Bantuan sosial tanpa keadilan ekonomi hanya akan menjadi “penyangga sementara” di tengah ketimpangan yang terus berlangsung.
Oleh karena itu, PKH membutuhkan reorientasi kebijakan. Pertama, pembenahan data penerima harus menjadi prioritas mutlak melalui integrasi data lintas sektor yang akurat dan berkelanjutan. Kedua, pendekatan bantuan harus digeser dari sekadar perlindungan sosial menuju pemberdayaan ekonomi yang nyata. Ketiga, kapasitas pendamping harus diperkuat, tidak hanya sebagai pengawas administrasi, tetapi sebagai agen perubahan sosial. Keempat, keberhasilan PKH harus diukur dari angka graduasi mandiri—seberapa banyak keluarga yang benar-benar keluar dari kemiskinan secara permanen.
PKH bukanlah kebijakan yang gagal, tetapi juga belum menjadi kebijakan yang sepenuhnya berhasil. Ia telah membantu jutaan keluarga bertahan hidup, namun belum cukup kuat mengantarkan mereka menuju kehidupan yang benar-benar sejahtera. Di sinilah tantangan terbesar kebijakan sosial kita: mengubah bantuan dari sekadar alat bertahan hidup menjadi jembatan menuju kemandirian. Tanpa perubahan pendekatan, PKH berisiko terus berjalan sebagai program besar dengan dampak kesejahteraan yang tetap kecil.
Pada akhirnya, bantuan sosial seharusnya bukan tujuan, melainkan alat. Tujuannya tetap satu: masyarakat yang mandiri, produktif, dan bermartabat. Jika arah ini tidak diperkuat, maka PKH akan terus menjadi simbol kepedulian negara yang baik di atas kertas, tetapi belum sepenuhnya terasa dalam realitas kesejahteraan masyarakat.