DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA

31 January 2013 14:20:47 Dibaca : 1764

DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA

 

Oleh Arwildayanto

Laporan akhir tahun Transparancy Indonesia (TI) yang disampaikan Tudung Mulya Lubis di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kemaren (23 desember 2005) menyimpulkan bahwa institusi paling korup di dunia termasuk di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pengurus partai politki. Laporan TI Tersebut sejalan dengan kesimpulan survey yang dilakukan Akbar Tanjung Institute(ATI) yang menemukan jawaban bahwa suburnya budaya korupsi di DPR dan partai politik disebabkan oleh dominanya para pengusaha yang berkiprah di arena politik praktis di Indonesia (18 Desember 2005). .

Dominasi kalangan pengusaha dalam dunia politik memunculkan wacana baru yakni dwifungsi politisi-pengusaha. Derasnya wacana ini didengungkan oleh berbagai pihak karena menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara kebijakan pemerintah memberantas KKN, dengan hambatan yang sangat kuat dikalangan pelaku politik praktis. Refleksi akhir tahun yang disampaikan LSM Transparancy Indonesia, Abkar Tanjung Institut menunjukkan suatu gambaran pelaku politik yang dihasilkan melalui pemilihan umum tahun 2004 yang lalu yang benar-benar didominasi oleh politisi-pengusaha. Sejalan dengan hasil survey kedua lembaga swadaya masyarakat di atas, jauh sebelum itu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan para wartawan di Lapangan Udara Polonia Medan tanggal 2 Desember 2005 yang lalu juga menyampaikan keprihatinan yang sama terhadap lambannya gerak reformasi yang terjadi di Pemerintahannya.Salah satu fenomena politik yang menjadi penyebab utama menurut SBY adalah adanya “dwifungsi politisi-pengusaha”.

Presiden SBY menilai bahwa dwi fungsi politisi-pengusaha ternyata menjadi penyebab lambatnya penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di pemerintahannya saat ini. Padahal keinginan politik (political will) pemerintah saat ini sudah secara tegas mendukung upaya penghapusan KKN yang tidak pandang siapa pelakunya.

Dalam perspektif keadilan, kearifan wajar kiranya keprihatinan Presiden SBY itu muncul disaat pelaku politik yang ada di parlemen tidak menunjukkan keinginan yang sama dengan kebijakan pemerintah saat ini. Karena semenjak era reformasi bergulir di Indonesia, justru pelaku politik yang lebih dominant melakukan desakan penghapusan KKN, seperti tertuang dari beberapa kebijakan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) yang merespon dengan baik kebijakan penghapusan dwi fungsi ABRI. Karena selama ini ABRI dianggap sebagai penyebab utama suburnya KKN di lingkungan pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah seorang Panglima Tinggi (PATI) di jajaran TNI saat itu juga ikut mendorong kebijakan tersebut. Sehingga secara politis dapat dilahirkan suatu ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Dimana pengangkatan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan pengurangan secara bertahap. Untuk memperkuat Ketetapan itu diberlakukan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik melarang PNS dan TNI/Polri menjadi anggota maupun pengurus partai politik, sehingga pada hasil Pemilahan Umum 2004 sudah kelihatan hasilnya dimana tidak ada lagi utusan dari ABRI yang terdiri dari TNI/Polri di DPR dan DPRD.

Kebijakan ini dilakukan dalam rangka menempatkan ABRI secara proporsional sebagai alat kelengkapan Negara yang berperan mengamankan stabilitas nasional termasuk menjaga martabat Bangsa baik secara nasional maupun Internasional. Prinsip ini memberikan konsekuensi dihilangkannya peran dwifungsi ABRI dalam aktivitas politik praktis. Serta menempatkan PNS sebagai abdi negara yang memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal serta menjaga netralitas politiknya.

Di saat PNS dan ABRI tidak memainkan peran dalam politik praktis secara institusional. Maka teater politik nasional didominasi oleh politisi sipil khususnya yang berlatar belakang pengusaha yang dikenal dengan politisi-pengusaha. Pertanyaan sederhana yang patut kita munculkan „apakah upayah penghapusan KKN sudah berhasil?. Ternyata upaya penghapusan KKN di pemerintah masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi benih-benih KKN semakin subur akibat pelaku politisi-pengusaha. Hasil pemilu 2004 kemaren memang sudah memberikan jawaban terhadap dominasi politisi-pengusaha.

Melihat fenomena di atas Presiden SBY tidak mau gagal menjalankan roda penerintahan yang diamanatkan oleh rakyat melalui pemilihan Presiden secara langsung. Presiden SBY merasa perlu melakukan kebijakan menata dwifungsi pengusaha-politisi. Hal ini didukung hasil refleksi akhir tahun Transparancy Indonesia dan Akbar Tanjung Institute. Sebagai publik yang mencintai kelangsungan pemerintahan RI ini perlu mendukung kebijakan pemerintah menata dwifungsi politisi-pengusaha ini dengan bijak serta dilakukan secara proporsional penuh etika.

Rasionalisasi pentingnya publik mendukung kebijakan Presiden SBY di atas supaya pelaku politik yanga ada di parlemen saat ini berpihak pada kepentingan rakyat dan memperjuangkan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Rasionalisasi pentingnya dwifungsi politisi-pengusaha ini didukung karena belajar dari kejadian masa lalu maupun kejadian yang ditunjukkan anggota DPR 1 tahun belakangan ini. Banyak hal yang tidak etis akibat adanya dwifungsi politisi-pengusaha, diantaranya: Pertama berorientasi keuntungan (profit oriented) sesuai invesntasi politik sehingga menghalalkan money politic. Kedua nbsp;tidak konsisten dengan keputusan politik maupun kebijakan nasional, sehingga seringkali mengabaikan kepentingan konstituen. Ketiga seringkali bersikap aji mumpung (opportunis) bahkan tidak malu-malu menjadi bajing lonjat politik atau pindah partai lain serta membuat konflik di internal partai. Kelima seringkali menjadi calo proyek dan memperbesarkan nilai guna mendapatkan komisi .

Memang sangat kontras perbedaan pelaku politik yang berasal dari politisi sipil yang berurat dari pengalaman politik dari bawah, membangun jaringan dengan berbagai organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan, profesi, dan organisasi politik, biasanya politisi itu tumbuh dengan jiwa sosial, solidaritas, serta bangunan etika berpolitiknya lebih eleghant, demokratis, siap menang dan kalah. Sedangkan seorang politisi yang jadi pengusaha sulit mencari figur yang seperti itu. Kalaupun ada tentu keberadaan mereka dalam jumlah yang sangat sedikit.

Harapan kita sebagai publik dengan adanya pengaturan dwifungsi politisi –pengusaha diharapkan mereka bisa bekerja maksimal sebagai wakil rakyat yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan yang lainnya. Sekaligus pengaturan politisi-pengusaha ini dalam rangka berbagi pekerjaan dengan masyarakatyang sangat banyak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan demikian politisi-pengusaha bisa mengurangi disparitas komunitasnya yang berada di masyarakat atas dengan masyarakat miskin lainnya.

Pernah dipublikasikan di http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=49