Intervensi Budaya Kerja (Solusi Hadapi Lima Hari Kerja)

31 January 2013 14:36:06 Dibaca : 2754

INTERVENSI BUDAYA KERJA (Solusi Hadapi Lima Hari Kerja)

Oleh : Arwildayanto

 

Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov), Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) se-Sumatera Barat menerapkan lima hari kerja menjadi momentum yang tepat dalam melaksanakan “budaya kerja”. Karena menerapkan kebijakan lima hari kerja itu tidak akan bakal sukses kalau tidak menyentuh “cultural values”. Oleh sebab itu perlu dilakukan intervensi kebudayaan dengan harapan berubah perilaku kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) mencapai suatu prestasi yang gemilang dan moralitas yang tinggi.

Dilingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat pada masa lampau dibawah kepemimpinan Gubernur Drs. H. Hasan Basri Durin kebijakan lima hari kerja sudah pernah disosialisasikan. Setelah dilakukan evaluasi ternyata sistem lima hari kerja waktu itu, tidak efektif. Hasil evaluasi ini memberikan penguatan diberlakukan kembali kebijakan dengan enam kerja dalam seminggu. Analisis kita menyimpulkan bahwa kegagalan lima hari kerja masa lalu lebih dominan disebabkan oleh kebijakan tersebut tidak menyentuh nila-nilai kultural (cultural values).

Kegagalan kebijakan lima hari kerja masa lampau ternyata menggunakan pendekatan birokratif (buerocratif approach) yang lebih berisfat top-down dan pendekatan perilaku (behavior approach) seperti pemberian ganjaran—memberi tanda jasa, promosi jabatan, berbagai insentif finansial/materi seperti rumah dinas, mobil dinas maupun hukuman (mutasi, penundaan kenaikan pangkat, DP3 yang jelek—tidak memberikan hasil). Pada masa lampau pendekatan birokratif ini tidak memberikan pencerahan (aufklarung) melainkan suatu intruktif yang mesti dilaksanakan. Sedangkan intruksi yang disampaikan pimpinan itu kadang tidak menjelaskan teknis pelaksanaan lima hari kerja secara detail. Pada akhirnya sistem lima hari kerja mengalami berbagai kendala seperti pulang tidak sesuai dengan jadwal kerja sampai jam 16.00 Wib, tidur dikantor, mushalla atau kantin, bahkan masih tingginya tingkat ketidakhadiran pegawai dalam menambah penghasilan, dan moralitas yang rendah serta akuntabilitas kerja yang rendah.

Sudah beberapa minggu pelaksanaan kebijakan lima hari kerja sudah berjalan. Kita masih melihat belum ada perubahan perilaku yang signifikan kearah perbaikan kerja apalagi mencapai prestasi kerja yang gemilang. Indikasi belum berubahnya perilaku kerja PNS terlihat dari unjuk kerja pegawai Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan banyak PNS yang pulang sebelum jam 16 WIB padahal masyarakat mau membayar pajak kendaraan bermotor. Di Kabupaten 50 Kota seperti dikatakan Sekreatris Daerah Kab 50 Kota Drs Bachtiar Bahar bahwa masih banyak PNS di sana yang tidak masuk kerja dan pulang terlalu cepat. Di Padang terlihatnya dari banyaknya PNS yang berpakaian dinas berbelanja di jam-jam kerja serta di berbagai Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat saat ini “unjuk kerja” PNS belum sesuai dengan harapan kebijakan lima hari kerja tersebut. Padahal dengan lima hari kerja itu akan ada 2 hari bagi PNS untuk menambah penghasilannya atau melakukan urusan keluarga atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Kita kuatir kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Provinsi Sumatera Barat H. Gamawan Fauzi, SH, MM dan diikuti oleh Bupati/Walikota se-Sumatera Barat tidak efektif serta tidak tersosialisasi dengan baik oleh segenap PNS yang ada di Sumatera Barat.

Untuk mencari jalan keluarnya agar kebijakan lima hari kerja yang dilaksanakan Pemprov dan Pemkot/Pemkab sukses, maka tidak salahnya dilakukan intervensi kebudayaan. Karena selama pendekatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah lebih sering menggunakan pendekatan birokrasi dan perilaku. Jarang sekali ranah kebudayaan menjadi perhatian. Kita banyak terjebak mendefenisikan kebudayaan sebagai seni (art), ritual, dan kebiasaan. Padahal ranah kebudayaan merupakan ruang privacy yang bersentuhan dengan values (nilai-nilai) yang diyakininya. Keberhasilan beberapa daerah melaksanakan perbaikan kerja dan meningkatkan prestasi kerja PNS dilingkungan kerjanya tidak luput dari upaya melaksanakan program budaya kerja, seperti keberhasilan Pemprov Jawa Timur, Pemprov Jawa Tengah dan Pemprov D.I. Yoygyakarta serta berbagai Pemerintah Kota Malang, Pemerintah Kota Madium, Pemerintah Kabupaten Bantul dan lainnya. Bahkan keberhasilan negara Malaysiapun keluar dari berbagai krisis karena pemerintahannya menerapkan budaya kerja cemerlang (BKM) sebagai bagian dari intervensi kebudayaan.

Urgensi Budaya Kerja

Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten se-Sumatera Barat hendaknya bisa mengambil pelajaran dari keberhasilan Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten yang ada di Indonesia dalam mengaplikasikan budaya kerja dalam membina PNS yang ada dilingkungan kerjanya. Hal ini sejalan dengan filosofi leluhur masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan “alam terkembang Jadikan Guru”.

Belajar dari keberhasilan Pemerintah Kota Madium yang dipimpin oleh Ahmad Ali (2003) dalam mensosialisasikan budaya kerja dilingkungan kerjanya menyatakan bahwa urgensi penerapan budaya kerja adalah untuk meningkatkatan kinerja aparatur pemerintah melalui pembinaan kerja yang etis, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jawab untuk mewujudkan pemerintah yang baik, clean government dan good government.

Hal senada juga dijelaskan Suprawoto Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Propinsi Jawa Timur (2004) mewakili Gubernur Jawa Timur dalam sambutan membuka acara Bimbingan Teknis (Bintek) Budaya Kerja dilingkungan Pemrov Jawa Timur menyatakan pentingnya budaya kerja bagi PNS untuk meningkatkan motivasi kerja yang tinggi, terampil dan berkepribadian, sehingga mampu mengembangkan prestasi dan menumbuhkembangkan rasa kesetiakawanan dan kerja keras serta berorientasi ke masa depan. Untuk mensosialisasikan budaya kerja bagi kalangan PNS sudah dikeluarkan SK No. 4 Tahun 20004 tentang Budaya Kerja PNS di Pemprov Jawa Timur. Kebijakan Gubernur Jawa Timur itu mengacu pada edaran Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Tanggal 25 April 2002 Nomor 25/Kep/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Dalam surat tersebut dijelaskan pentingnya budaya kerja untuk menumbuh-kembangkan etos kerja, tanggung jawab moral dan guna meningkatkan produktivitas serta kinerja dalam memberikan pelayanan kepada stakeholder institusi tempatnya bekerja. Pertanyaan kita sederhana model pembinaan kerja bagi PNS seperti apa diterapkan Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumatera Barat ? Kenapa SK Menpan tentang Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara tidak disosialisasikan dengan gencar kepada segenap PNS yang ada di Sumatera Barat? Strategi apa yang digalakkan mensukseskan kebijakan lima hari kerja?. Sebagai peneliti saya belum mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dari Pemprov, Pemkot dan Pemkab tentang strategi pembinaan kerja PNS dilingkungan kerjanya tentang pengembangan budaya kerja bagi PNS!

Relevansi Budaya Kerja dan Lima Hari Kerja.

Harapan tersosialisasinya budaya kerja dilingkungan Pemprov Sumbar, Pemkot dan Pemkab ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat esensial, ketika diterapkannya kebijakan lima hari kerja. Harapan ini selaras dengan jam kerja PNS yang semakin singkat dan padat--supaya segenap PNS dapat bekerja maksimal dengan mengedepankan produktivitas kerja yang tinggi sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan lima hari kerja.

Budaya kerja jelas memiliki kaitan yang erat dengan akulturasi budaya yang dimiliki oleh segenap PNS. Pemprov, Pemkot dan Pembkab se-Sumbar perlu merangkul berbagai budaya yang dimiliki oleh masing-masing pribadi PNS dan berharap ia bekerja semaksimal mungkin sesuai dengan fungsi, kewenangan dan tanggungjawabnya. Keberhasilan menerapkan budaya kerja oleh Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumbar memang memerlukan waktu yang tidak sedikit, namun kebijakan mensosialisasikan budaya kerja jangan sampai sirna oleh lamanya sosialisasinya. Pemprov, Pemkot dan Pemkab harus berpikir keberlanjutan pemerintahan ke depan, jangan berpikir masa pendek serta instans. Pertanyaan yang perlu dijawab dengan bijak adalah kenapa orang Jepang begitu tekun bekerjanya? Kenapa orang Jawa begitu rajin dalam bekerja? Ternyata jawabannya adalah pembinaan kerja dilakukan dengan pendekatan budaya (kultural approach). Pendekatan budaya menjadi senjata yang sangat ampuh dalam meningkatkan nilai-nilai disiplin, rajin, ulet, rapi, dan bertanggungjawab.

Pembinaan PNS melalui pendekatan budaya memberikan pemahaman tentang budaya sebagai kajian antroplolog dimana budaya itu sebagai bentuk (body) dari pengetahuan dan piranti (tools) dimana orang beradaptasi terhadap lingkungan fisik. Budaya disini berarti sarana berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan cara-cara yang benar dan etis. Sedangkan dari sudut pandang sosiolog budaya dikatakan sebagai ekspektasi yang bersifat instruktif. Budaya tidak hanya mengatakan bagaimana orang seharusnya bertindak, tetapi juga menyatakan apa yang dapat harapkan dari orang lain.

Steers dan Porter (1991) menjelaskan pendekatan budaya terhadap PNS menjadikan budaya sebagai sistem pengendalian sosial yang mampu membentuk pola keyakinan dan harapan yang dianut bersama oleh PNS. Keyakinan dan harapan ini menghasilkan norma-norma yang mampu membentuk perilaku seseorang dan perilaku kelompok PNS dalam bekerja. Berkaitan dengan perbaikan kinerja PNS, budaya mengandung norma dan nilai yang dapat membantu institusi (organisasi) pemerintah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah yang disebut “budaya adaptif”.

Pendekatan budaya kerja berorientasi pada pembentukan sikap, ketaatan, kepatuhan, terhadap norma-norma, etika, yang menjadi aturan dan berlaku dalam melaksanakan aktivitas tugas baik fisik maupun mental untuk menghasilkan barang atau jasa dalam suatu institusi (organisasi). Dalam konteks bekerja atau bertugas sebagai PNS, budaya kerja menjadi faktor utama dalam menentukan maju atau mundurnya sebuah organisasi pemerintah.

Relevansi budaya kerja dengan kebijakan lima hari kerja merupakan suatu sinkronisasi pola kebiasaan yang didasarkan cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap kerja yang mewarnai suasana hati dan keyakinan yang kuat atas nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya dalam bentuk prestasi kerja. Relevansi budaya kerja dan kebijakan lima hari kerja memberikan pemahaman bahwa budaya kerja sebagai prinsip-prinsip yang diyakini baik dan benar dalam mencapai tujuan institusi. Budaya kerja menjadi landasan setiap kebijakan dan aturan, serta mengarahkan perilaku PNS di dalam bekerja terutama mengatur jam kerja secara efektif dan efisien. Sasaran penerapan budaya kerja dalam kerangka mensukseskan kebijakan lima hari kerja mempertahankan nilai-nilai dan tingkah laku positif dan menerima serta menyesuaikan nilai-nilai positif dari berbagai organisasi yang baik performance-nya (world class operator/activity).

Dengan demikian aplikasi budaya kerja oleh PNS dalam mensukseskan kebijakan lima hari kerja diyakini akan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kekuatan pendorong kerja dan perilaku yang menghasilkan wujud kerja PNS untuk selalu bekerja secara baik sesuai dengan tuntutan zaman. Sosialiasasi budaya kerja bagi PNS itu tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, papan (perumahan), keamanan (keselamatan), melainkan juga suatu pemenuhan kebutuhan untuk diakui, dihargai dan mencapai aktualisasi diri yang sempurna dan prestasi maksimal sebagai abdi negara.

Untuk menentukan keberhasilan program budaya kerja dikalangan PNS yang ada di lingkungan Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumatera Barat, dapat dilihat dari karekteristik nilai-nilai pribadi PNS yang memiliki budaya kerja sebagai berikut : 1). Menyukai kebebasan, diskusi, inovatif dan faktual dalam usaha mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada pada dirinya dengan kerendahan hati, keinsyafan serta daya imajinasi seteliti dan seobjektif mungkin, 2) Memecahkan masalah secara mandiri dengan skill dan scientific knowlegde, dibangkitkan oleh ide, pemikiran yang kreatif, proaktif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan. 3). Adjusted of environment baik dari segi spirrituil value maupun ethic standard yang fundamental untuk menyerasikan personality dan morale charachter, 4) Meningkatkan diri dengan pengetahuan umum dan keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam bidangnya, 5). Menghargai lingkungan alam, ekonomi, status sosial, politik, budaya, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai kondisi yang harus ada, 6). Berpartisipasi dengan loyality pada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat, dan bangsanya penuh tanggungjawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya, serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang beraksi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin.

Intervensi nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada setiap pribadi PNS dalam mencapai PNS yang memiliki budaya kerja adalah nilai etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, dibangun atas nilai-nilai institusi, sistem kerja, sikap dan perilaku kerja serta menghargai lingkungan budaya lokal yang ada disekitar tempat bekerja. (Arwildayanto adalah Kandidat Doktor Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta).

Pernah dipublikaskan di Harian Umum Singgalang.

http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=54