Mega (Wati)
MEGA (WATI)
Oleh : Arwildayanto, S.Pd
Alumni Jurusan AIP FIP IKIP Padang
Kata Mega punya makna bias karena objeknya yang berbeda. Mega itu ada di langit dan ada di bumi. Kita tidak akan berbicara tentang mega yang ada di langit, kaena itu tidak menarik untuk di kaji ditengah hiruk-pikuk politik yang terjadi di Indonesia. Namun, Mega yang ada di bumi khususnya di Indonesia merupakan mesin pers untuk menghasilkan berita yang sensasional dan spektakuler. Walaupun kedua objek yang bernama Mega itu selalu diam (barangkali sariawan), tetapi tetap menarik perhatian publik. Dimana satu di antara mega ini merupakan calon pimpinan bangsa Indonesia masa depan.
Sebagai anak bangsa kita perlu mencermati sosok pribadi Mega (panggilan akrab Megawati Soekarno Putri) yang ditonjolkan oleh sekelompok orang untuk menjadi pimpinan masa depan. Kita bukan mendiskreditkan kapabilitas pribadinya menjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Jawabannya tidak, tetapi kita perlu bertanya apa sebabnya kita mencalonkan Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden Indonesia masa depan? Apa yang telah dilakukan untuk ibu pertiwi ini? Bagaimana pemikirannya tentang Indonesia baru? Bagaimana sikap tingkah laku kebiasaan Megawati serta keluarganya? Apakah tidak ada orang lain yang bisa memimpin bangsa ini? Apakah kita mau kembali pada masa lampau yang begitu menyakitkan? Serta banyak pertanyaan lain yang harus dijawab. Bila secara jujur dan punya pemikiran yang jernih terlepas dari berbagai kepentingan kita bisa menghasilkan suatu jawaban yang bermakna. Untuk mendapatkan jawaban yang bermakna itu mari kita jawab pertanyaan di atas melalui perjalanan hostoris yang dilakukan Megawati Soekarno Putri itu sendiri. Hal ini penting dilakukan agar historis Indonesia tidak menjadi katrol elit politik guna mencapai puncak kekuasaan. Tetapi sejarah ini penting untuk menentukan sosok pribadi sesorang sebagai “heroic of nation atau deceiter of nation”.
Berangkat dari pertanyaan di atas, barangkali kita semua tahu dan punya persepsi yang sama berkenaan dengan derasnya dukungan masyarakat terutama simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menjagokan Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden disebabkan tiga factor; 1) kebesaran orang tuanya (Presiden Soekarno), 2) rasa prihatin sebagian masyarakat terhadap perjuangannya akibat perlakuan rezim Orde Baru yang tidak adil, 3) dibesarkan oleh pers yang belum bersifat netral (baca kompas, media Indonesia Demokrat).
Ketiga faktor di atas menurut penulis tidak akan berarti apa-apa bila tidak diakui “ability” dirinya untuk memimpin Negara yang heterogen dengan segala penyakit yang hamper “crusial”. Bahkan Mega akan menjadi objek bagi “Mak Comblang” pengantar kekuasaan. Dimana setiap kebijaksanaan dan keputusan yang diambilnya ditentukan oleh Mak Comblang itu sendiri (seperti Kwik Kian Gie, Dimyati Hartono, dan Mochtar Buchari), Hal ini terbukti dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Mega banyak yang berasal bukan dari pribadinya. Bahkan Deliar Noer (Ketua Umum PUI) melihat megawati sendiri sebagai calon presiden belum berbicara mau diapakan Indonesia ini? Begitu juga menurut Kadir Djaelani bahwa Megawati memiliki kekurangan di dalam kebersamaan dengan rakyat , hal ini terlihat dari jam terbangnya untuk bersama rakyat di daerah masih sedikit. Bahkan Megawati sendiri lebih banyak bergaul dengan pimpinan organisasi politik lainnya (Gus Dur, Uskup Bello dan Benny Moerdani). Lebih ironisnya lagi Djaelani melihat bahwa Megawati sendiri jarang sekali bersuara dalam hal mengatasi krisis yang terjadi di Negara ini. Hal ini menurut penulis sesuai dengan namanya sendiri Mega (“ia” tidak bersuara). Tidak bersuaranya Mega dalam hal mengatasi krisis di Negara ini menurut Djaelani disebabkan Mega sendiri tidak punya konsep yang jelas terhadap masalah-masalah yang terjadi.
Perjalanan waktu yang telah dijalani Megawati telah memperlihatkan sepak terjangnya sebagai politikus yang punya kelebihan dan kekurangan. Sebagai elite politik yang mempunyai kekuatan massa bisa memastikan mulusnya perjalanan menuju kursi kepresidenan. Kredibilitas Megawati sendiri dipertanyakan sebagian besar publik. Hal ini berawal dari posisinya sebagai anggota DPR/MPR-RI yang memperlihatkan seorang pemimpin yang tidak punya ide atau konsep. Dimana sewaktu menjadi anggota DPR/MPR-RI ia lebih banyak mengambil sikap diam. Diam disini bukan berarti emas namun ia sendiri barangkali belum punya pemikiran dalam pengambilan keputusan di DPR waktu itu. Berlanjut pada perjuangan mahasiswa Indonesia meruntuhkan rezim Orde Baru dalam arus reformasi. Megawati sendiri tampak diam dan tidak bersuara. Sesudah tumbangnya rezim Soeharto Orde Baru (Orba) baru ia bersuara dengan lantang.
Sikap diam yang dimiliki Megawati merupakan senjata pamungkasnya, karena is sendiri menurut Qadir Djaelani tidak bisa ngomong. Hal ini terbukti dari jam terbangnya mengikuti seminar, symposium dan debat terbuka lainnya yang masih minim. Begitu juga dibuktikan dari permasalahan dengan A.M. Syaefuddin yang ditanggapi Mega dengan senyum. Padahal Mega sendiri berkewajiban pernyataan A.M. Syaefuddin tersebut sehingga tidak mengaktifkan demonitrasi yang berkepanjangan di Bali dan sekitarnya. Sebagai elite politik Megawati tidak memperlihatkan sifat patriotisme. Sebagai anak pejuang barangkali Megawati sudah salah menempatkan diri karena ia tidak mau tahu dengan situasi dan kondisi yang terjadi sesuai dengan teka-teki yang dibuatnya sendiri.
Terjadinya penghujatan yang berlebihan terhadap lawan politiknya A.M. Syaefuddin sebenarnya tidak perlu terjadi bila Megawati sendiri menjelaskan agamanya yang sebenarnya. Barangkali A.M. Syafuddin dengan bahasanya yang sedikit “nakal” menyangsikan agama Megawati tersebut. Keberanian Megawati beribadah di Pura sangat bertentangan dengan aqidah agama Islam. Sedangkan menurut keluarganya, Megawati agamanya Islam. Sikap dan perbuatan yang ditunjukkan oleh Megawati yang berdiam diri sangat bermakna plural di satu sisi memanfaatkan kesalahan A.M. Syaefuddin untuk kepentingan politiknya disisi lain masih terjadi tanda tanya apa yang sebenarnya agama Megawati tersebut. Menurut penulis sikap diamnya itu akan menurunkan loyalitas umat Islam pada dirinya dan juga akan memperlihatkan ketidakpatriotikan pribadi Megawati Soekarno Putri dalam meredam ketegangan di masyarakat.
Penulis memprediksi Megawati sendiri yang selalu diam akan berhadapan dengan organisasi-organisasi Islam yang sudah memberikan toleransi hidup beragama dengan kelompok non muslim lainnya. Karena penghujatan yang berlebihan pada seorang umat yang sudah minta maaf atas kekhilafan menunjukkan sikap yang tidak toleran. Begitu juga penghujatan sekelompok orang terhadap A.M. Syaefuddin sudah berhadapan dengan batas-batas toleransi yang sudah diberikan umat Islam. Jadi tidak bersuaranya Megawati menjadi tanda Tanya besar bagi sebagian cendikiawan muslim. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa Megawati sendiri memanfaatkan situasi politik ini. Untuk itu penulis berharap terutama untuk Megawati untuk memberikan pernyataan yang sejujurnya terhadap agama yang dianut serta alas an keberaniannya melakukan ibadah di Pura. Begitu juga dengan Megawati sendiri sebagai public figure masyarakat Bali dapat memberikan nasehat untuk bersikap toleransi terhadap kesalahan seseorang. Hal ini merupakan langkah terbaik untuk menunjukkan kepada publik bahwa Megawati punya konsep dan punya niat bagus untuk bangsa ini. Tetapi yang terjadi insya allah Mega itu tidak bersuara. (Dipublikasikan Tabloid Mahasiswa IKIP Padang Ganto, 1998).