UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

16 September 2014 19:39:54 Dibaca : 1124 Kategori : Arwildayanto Melayu

UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

Dr. Arwildayanto, M.Pd

(Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo)

 

Perubahan variasi soal bukti ketidakjujuran panitia lokal yang massif

    Setiap kali hajatan ujian nasional (UN) berlangsung, saat itu pula sikap pro dan kontra masyarakat menguak kepermukaan, termasuk ujian nasional tahun 2013 ini. Ketika Panitia Nasional UN menerapkan model soal yang terdapat 20 variasi untuk setiap kelas, memberikan signal memang selama ini pelaksanaan UN belum dilandasi sikap yang jujur, baik dilakukan oleh guru maupun pengawas, sehingga memerlukan perubahan bentuk soal yang radikal seperti ini. Mestinya perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara UN merasa malu bahwa selama ini memang terdapat kebobrokan perilaku kolektif dalam lingkaran ketidakjujuran. Ironinya, perguruan tinggi dan sekolah tidak pernah koreksi dan intropeksi diri, apakah event nasional yang diselenggarakannya sudah jujur—sehingga perubahan model soal seperti ini diberlakukan yang berarti memukul dan menyiram muka aktor pendidikan di tingkat sekolah dan perguruan tinggi yang sering terlibat dalam pengawasan.
    Justru yang sering muncul di benak penyelenggara dan pengawas UN adalah kegiatan UN merupakan agenda rutin yang menjadi rezeki tambahan bagi mereka yang terlibat dalam kepanitian dan kepengawasannya. Sehingga sikap kritis perguruan tinggi semakin mandul melihat manajemen UN tersebut. Mestinya dari tahun ke tahun penyelenggaraan UNG semakin baik, bukan seperti yang terjadi tahun 2013 ini, dimana ada 11 provinsi (termasuk provinsi Gorontalo) terpaksa ditunda pelaksanaan UN, karena distribusi soal UN belum tuntas. Hal-hal substantive seperti ini mestinya tidak perlu terjadi jika panitia UN terus belajar dari proses UN sebelumnya.

UN project minded versus pemetaan mutu pendidikan.
   Terdapatnya berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan UN secara berulang dalam motif yang berbeda tiap tahunnya memberikan indikasi bahwa UN itu porsi “project minded” lebih besar ketimbang untuk pemetaan mutu pendidikan. Sehingga perlu evaluasi menyeluruh dari berbagai aspek, diantaranya tujuan maupun penyelenggaraannya diikuti rencana tindak lanjut (RTL) dalam bentuk program di setiap sekolah. Selama ini belum kelihatan hasil ujian nasional dijadikan referensi dalam membuat program pembelajaran remedial maupun akselarasi. Sekolah yang mendapat skor ujian nasional rendah tidak mendapatkan intervensi program, sekaligus sekolah yang nilainya bagus juga tidak mendapatkan program akselarasi sehingga skor-skor ujian nasional hanya menjadi prestise sekolah termasuk pejabat di daerah.
  Indikasi “project minded”, kelihatan dari besarnya dana yang dikucurkan untuk penyelenggaraannya dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 yang lalu kemendikbud alokasi anggaran 600 milyar, boleh jadi tahun 2013 ini mendekati angka 650 milyar. Peningkatan anggaran UN terutama untuk membayar honor panitia. Mulai dari pengawasan pendistribusian naskah ujian, hingga honor untuk pengawas UN tingkat sekolah. Ini menunjukkan project Ujian Nasional bisa dinikmati banyak pihak (tidak masalah, asalkan nilai manfaatnya sebanding dengan uang Negara yang dikeluarkan).

UN bukti “residu power” tidak efektif
   Yang lebih menarik untuk dikritisi dari pelaksanaan UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kalau di lihat dari pasal 57-59 Undang-undang tersebut, hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya belum tentu dengan model UN (Mohd Haramen,12/4/13).
  Terus dimana pemerintah memiliki landasan yuridis melaksanakan UN, tidak lain dihadirkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan UN dari SD hingga SMA. PP inilah yang menjadi dasar digelarnya UN. Terus jika kita hubungkan dengan semangat otonomi daerah dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, apakah UN ini sinergi dengan implementasi desentralisasi pendidikan?.
    Semangat otonomi daerah merupakan salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
   Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
   Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, kelihatan sekali ketika urusan pendidikan di serahkan ke daerah, melalui kebijakan desentralisasi pendidikan namun disisi lain persoalan evaluasinya masih belum dilepas. Sehingga pemerintah pusat pun masih tergoda untuk mengelolanya. Ini menunjukkan proses UN menjadi persoalan yang seksi untuk dilirik. Sekaligus persoalan UN menujukkan implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah masih belum menemukan ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25). Kita berharap desentralisasi pendidikan tidak berhenti dalam penyelenggaraanya semata, sekaligus dalam urusan evaluasi mesti diserahkan ke daerah. Sehingga ketidakpercayaan pemerintah pusat bisa dieliminir dengan memberikan kewenangan dalam melaksanakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh provinsi masing-masing (provinsi bukahkah wakil pemerintah pusat di daerah). (Dipublikasikan pada harian umum Gorontalo Post, Rabu 17 April 2013).