KATEGORI : Opini

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI GORONTALO, PERLUKAH?

09 January 2023 14:10:05 Dibaca : 139

Indonesia merupakan negara tropis yang berada di antara benua Australia dan Asia. Penduduknya 270 juta jiwa yang tersebar di 34 provinsi dan 3.500 pulau kecil berpenghuni (Badan Pusat Statistik, 2019). Pernyataan ini menunjukkan keragaman masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki keragaman budaya, tradisi, dan seni yang sangat beragam yang tercermin dari keberadaan lebih dari 700 bahasa daerah yang masih aktif digunakan terutama dalam komunikasi lisan di seluruh nusantara. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah negara multibahasa yang merepresentasikan multikulturalisme. Secara filosofis, Indonesia didirikan dengan berbagai sumber nilai filosofis, antara lain agama, budaya, suku, ras, identitas, pulau yang beragam, dan letak geografis yang berbeda. Keberagaman ini menyatu dalam bingkai kepulauan Indonesia.

            Indonesia memiliki kemajemukan suku yang merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang bisa dibanggakan. Akan tetapi, tanpa kita sadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk meminimalisir hal di atas, di sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleran, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai perbedaan. Proses pendidikan ke arah ini dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial (Arifudin, 2007).

            Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan, yang tujuan utamanya adalah merubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria dan wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya (kultur) yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi (Najmina, 2018). Pendidikan multikultural merupakan sarana pendidikan untuk memberikan kesetaraan bagi semua peserta didik menumbuhkan gagasan kesetaraan, yang memberikan keadilan dan mengakomodasi keragaman dalam lingkungan pendidikan. Selain itu, pendidikan multikultural memupuk prinsip keadilan sosial bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang identitas mereka (Jayadi K., Abduh A. Basri M., 2020).

            Rohidi (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian yang mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.

            Sesuai prinsip pendidikan multikultural, maka aktivitas pembelajaran di sekolah  disarankan untuk memberi perhatian pada kompleksitas dinamis dari berbagai faktor yang  mempengaruhi interaksi manusia, seperti fisik, mental, kemampuan, kelas, jender, usia,  politik, agama, dan etnisitas. Untuk itu, langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan model pembelajaran multikultural sebagai berikut: (1) Guru mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin mereka miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan, dan etnis; (2) Seorang pendidik dan anak didik melakukan analisa terhadap situasi agar akrab dengan masyarakat; (3) Seorang pendidik dan anak didik memilih materi yang relevan dan sekaligus menarik; (4) Seorang pendidik dan anak didik, bersama-sama, menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang dipilih.

            Pendidikan multikultural dapat dilaksanakan dengan membangun masyarakat mutikultural yang rukun dan bersatu. Tantangan dan implikasi pendidikan multikultural adalah menghindari menghindari nilai-nilai yang dapat memecah belah persatuan dan kerukunan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa nilai yang harus dihindari, yaitu: (1) Primordialisme yakni perasaan kesukuan yang berlebihan. Sikap ini tercermin dari anggapan suku bangsanya adalah yang terbaik; (2) Etnosentrisme yakni sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain; (3) Diskriminatif yakni sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain; (4) Stereotip yakni konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.

           

Urgensi Pendidikan Multikutural di Gorontalo

            Bagaimana dengan Gorontalo? Dimana penduduknya terdiri 1.180.948 jiwa yang tersebar di 5 (lima) kabupaten dan 1 (satu) kota, yaitu Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kota Gorontalo (Badan Pusat Statistik, 2021). Dihuni oleh ragam Etnis yang berbentuk Pohala'a (Keluarga), di antaranya Pohala'a Gorontalo (Etnis Hulontalo), Pohala'a Suwawa (Etnis Suwawa/Tuwawa), Pohala'a Limboto (Etnis Limutu), Pohala'a Bolango (Etnis Bulango/Bolango) dan Pohala'a Atinggola (Etnis Atinggola) yang seluruhnya dikategorikan kedalam suku Gorontalo atau Suku Hulontalo. Serta memiliki beragam bahasa yang terdiri dari empat dialek, yaitu (1) dialek Suwawa di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango; (2) dialek Atinggola di Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara; (3) dialek Kota di Kabupaten Kota Gorontalo; (4) dialek Bolango di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Persentase perbedaan antardialek tersebut berkisar antara 51%-78% (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019).  

            Data diatas menunjukkan bahwa Gorontalo memiliki kemajemukan suku, etnis, bahasa, dan masyarakat dikarenakan Gorontalo juga memiliki lokasi strategis. Gorontalo yang berada di jalur pelayaran dan perdagangan antara wilayah Utara dan Selatan, serta dengan diapit oleh dua perairan (Laut Sulawesi dan Teluk Tomini) yang menghubungkan Ternate dan Makassar. Gorontalo memiliki pintu berbagai pintu masuk antar provinsi yang berpotensi menjadikan penduduk Gorontalo lebih beragam dari asal daerah. Dengan kemajemukan tersebut tidak menutup kemungkinan akan ada nilai-nilai perasaan kesukuan yang berlebih, adanya sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain, prasangka yang subjektif dan tidak tepat terhadap suku tertentu, sikap yang membeda-bedakan suku, golongan, ekonomi, agama, dan lain-lain.

            Pendidikan multikultural dapat menangani kemungkinan tersebut, maka Gorontalo harus memulai menerapkan pendidikan multikultural di sejak sekarang dalam semua lini kehidupan. Penerapan pendidikan multikultural di lingkungan keluarga misalnya dengan mendidik anak dengan sikap simpati, menghormati, menghargai serta menjadikan anak-anak yang mencintai keberagaman setiap budaya sejak dini. Orang tua juga diharapkan menjadi contoh untuk anak-anaknya agar tidak memiliki sikap diskrimitatif dan membeda-bedakan orang lain. Penerapan pendidikan multikultural di lingkungan sekolah adalah dengan menumbuhkan sikap saling toleransi dan menghormati satu sama lain baik di lingkungan siswa maupun di lingkungan guru. Kemudian dalam pembelajaran perlu ditanamkan sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Sehingga siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Sedangkan penerapan pendidikan multikultural di lingkungan masyarakat adalah dengan menanamkan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam kegiatan bermasyarakat maupun perilaku harian yang mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Penerapan pendidikan multikulturalpun harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.

 

Penulis: 

Meiske Puluhulawa, Ansar, Hariadi Said, Arwildayanto

(opini diterbitkan dalam kolom Persepsi, Harian Gorontalo Post, Selasa, 3 Januari 2022)