Pendidikan dan Pembentukan Moralitas Bangsa (Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)
Pendidikan dan Pembentukan Moralitas Bangsa
(Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)
Oleh: Maryam Rahim
Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia telah merdeka. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah melalui berbagai dinamika, mulai dari perubahan kurikulum, perubahan metode pembelajaran, perubahan sistem evaluasi, termasuk perubahan pengelolaan sistem pendidikan, yang selama ini menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa pergantian menteri pendidikan akan berakibat pada perubahan kurikulum. Namun seirama dengan perubahan itu, impelemnetasi pendidikan belum sepenuhnya menampakkan hasil yang diharapkan sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pasal 3, yaitu: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Timbul pertanyaan, bagaimana keberlanjutan bangsa kita di masa depan apabila kondisi sebagian anggota masyarakat memperlihatkan perilaku yang cenderung kurang/tidak bermoral? Di mana-mana korupsi merajalela yang dilakukan oleh para pejabat, terjadinya kaus suap bahkan di kalangan pejabat penegak hukum, dan mereka yang memegang kekuasaan, perilaku jujur diabaikan, melakukan kecurangan untuk diterima sebagai mahasiswa dan tenaga kerja, lebih mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan rakyat, memperkaya diri dan keluarga, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah, tanggungjawab pribadi sebagai sosok pemimpin terlihat sebagai pencitraan, segelintir orang hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang terhimpit dengan kehidupan ekonomi, perbuatan asusila terjadi di berbagai kalangan bahkan lebih memprihatinkan perbuatan itu terjadi di kalangan siswa di tingkat dasar sekalipun, predator sex di mana-mana, dan juga perbuatan krimininalitas lainnya.
Lantas, apakah kita biarkan kondisi ini berlarut-larut? Tentu saja tidak. Pendidikan haruslah terus melakukan berbagai upaya untuk menghasilkan generasi yang bermoral baik. Kita semua, terutama pendidik dalam hal ini guru, dan orang tua bersama-sama masyarakat dan pemerintah, memiliki tanggungjawab bersama untuk keberlanjutan bangsa Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi moralitas, sebagai bangsa besar yang memiliki ideologi Pancasila di mana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berakar dari kepribadian bangsa Indonesia yang menjujung tinggi moralitas.
Sudah saatnya pendidikan memberikan perhatian utama dan penuh pada persoalan pembentukan moralitas masyarakat Indonesia, melalui:
1. Pendidikan di sekolah lebih difokuskan pada aspek afektif atau aspek nilai, yang menjadi akar dari perilaku bermoral.
2. Penilaian aspek afektif diberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan aspek kognitif dan psikomotor. Perbandingan bobot penilaian adalah: 40% untuk aspek afektif, 30% untuk aspek kognitif, dan 30% untuk aspek psikomotor. Bahkan perlu diberikan penekanan bahwa siswa bisa naik kelas jika perilakunya menunjukkan perilaku bermoral (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, lebih mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi, memiliki pemahaman diri yang baik, tolong menolong). Oleh sebab itu diperlukan instrumen penilaian perilaku bermoral yang benar-benar dapat mengungkap perilaku bermoral baik pada siswa.
3. Kegiatan pada lembaga pendidikan anak usia dini lebih ditekankan pada pembiasaaan perilaku bermoral pada anak-anak (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, tolong menolong, saling menghormati, perilaku antri dan perilaku lainnya) melalui berbagai kegiatan kontekstual.
4. Kelas-kelas di tingkat dasar, khususnya sekolah dasar hendaknya dibina oleh 2 orang guru, di mana 1 orang guru fokus pada materi pemebelajaran (aspek kognitif dan psikomotor) dan 1 orang guru lainnya fokus pada aspek afektif atau moralitas.
5. Penerapan pendidikan berbasis budaya. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah bangsa ini hidup di tengah-tengah budaya daerah masing-masing, dan menjadikan budaya sebagai pedoman dalam berperilaku. Di setiap budaya memiliki istilah-istilah dan pepatah yang terkait dengan perilaku bermoral, dan ini dapat digunakan sebagai media untuk menumbuhkan dan mengembangkan perilaku bermoral pada peserta didik. Contoh di daerah Gorontalo ada pepatah seperti berikut: "bo to hale-hale lo odutuwa lo tanggulo" yang berarti "keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya. Seseorang akan dihargai dan dipercaya jika perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku".
Tentu saja budaya di daerah lain juga memiliki pepatah yang mengandung pendidikan perilaku bermoral
6. Pendidikan moral harus terintegrasi dalam semua mata pelajaran, dalam arti pendidikan moral menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran.
7. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah lebih dioptimalkan untuk pengembangan moral peserta didik
8. Pendidikan harus dapat membentuk pribadi peserta didiknya menjadi pribadi yang memiliki ketahanan diri/ketahanan mental agar mampu menghadapi berbagai pengaruh negatif dari perkembangan teknologi dan kehidupan sosial di masyarakat.
9. Pendidikan didukung oleh adanya model perilaku bermoral dari para guru, orang tua, para pemimpin, dan anggota masyarakat termasuk para pegiat media sosial.
Jika pendidikan di sekolah benar-benar memberikan perhatian utama pada pendidikan moral, yang didukung oleh orang tua, para pemimpin, anggota masyarakat, dan para pegiat media sosial, maka akan terwujud generasi Indonesia yang memiliki moralitas yang tinggi.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong