Routines in the Age of Technology

11 March 2023 19:37:49 Dibaca : 147

In the era of 5.0, all activities in Indonesia are associated with digital. Reading books is associated with electronic books and applications such as Kindle. Watching movies is associated with the presence of Netflix and We TV. It is rare to watch together in front of the television and scramble for the remote to change television shows when commercials begin. Also, sending messages no longer uses word of mouth but already relies on WhatsApp and other social media. To warn someone, people in the digital age no longer use the power of word of mouth but rather satirize through social media status. The daily routine often begins with checking the phone first. It could be to see incoming WhatsApp messages or WhatsApp stories published by someone.

Furthermore, individuals often open Twitter, Facebook, or Instagram for various purposes. Netizens' comments become a daily spectacle, and like and thumbs up on social media also become a validation symbol for a post on social media. It is no longer something new in the era of the presence of technology in everyday life. Without realizing it, these seemingly natural things can foster new problems.First, a person's secret that is kept tightly may become a consumption by the public. When individuals open Twitter, Instagram, or Facebook, they are not once or twice presented with information in the form of someone's secrets or known by young people as spilling the tea. Because of the influence of social media, a person who does not have a name as a celebrity became famous because netizens flocked to the name. Netizens uploaded posts about the name until the name became a trending topic on social media. On the other hand, thanks to the power of social media, names like Dilan Cepmak and Fajar Sadboy can be recognized nationally. It shows that social media has two sides. Returning to the owners of social media, what side do they want to use social media?

The second problem is the emergence of buzzer accounts. Not a few buzzer accounts have caused debate in social media. The debate provokes certain religions, ethnicities, and races, thus potentially causing division. On the other hand, not once or twice have netizens said that they like the "commotion" that occurs on social media. Debate after debate, even insults, are no longer something new on social media. In the news titled "I felt disgusted: Inside Indonesia's Fake Twitter account factories," it can be seen that 20 buzzers are moving to support the victory of one of the political figures. Of course, The presence of these buzzers has a bad impact on conversations that occur in cyberspace. The buzzers only type one tweet or one post related to religion, ethnicity, or race, and it will provoke netizens to comment on the tweet or post it. Here is the beginning of the formation of public opinion.

The next problem is the emergence of anonymous accounts. With anonymous accounts, individuals can vent their anger without a filter for the words issued. Anonymous accounts are the ones that humans feel most comfortable commenting on at will. Inevitably, blocks and deletes also occur between two anonymous individuals. The anonymous account will make individuals who are feuding with each other unable to face each other directly and solve it properly through delete and block methods. When the problem has become widespread, again, technology acts as a means to facilitate the "commotion" that occurs among individuals. Individuals can screenshot chats on WhatsApp for clarification, then publish or share those screenshots with others. The individual also seeks to explain from the point of view of the individual through his social media. As a result, an incident like this will impact two things: good or bad. Adverse effects can arise, even having the greatest possibility, because such actions are considered to have destroyed the credibility of the individual interlocutor. Chat is private and is also something easy to screenshot and publish on social media, where people from all over the world can watch the content of the chat.

Routines in the technological era are not only problem-solving for everyday problems. Everything can be done if humans use technology, such as paying using QRIS, doing digital signatures, and doing anything using the help of digital technology. Nevertheless, on the other hand, technology negatively impacts people's social lives. Secrets are no longer something that can be fully protected, even with the presence of a buzzer that has the potential to divide the Indonesian nation and the presence of anonymous accounts that cause interpersonal problems. On the other hand, if technology is used well, it will positively impact humans. Once in a while, we must be reminded that technology was created to facilitate human performance, no longer to complicate and damage relationships between people.

 

*Tulisan ini telah dimuat di salah satu surat kabar di Indonesia

1 Maret #HariAntiDiskriminasi

02 March 2023 06:05:45 Dibaca : 408

Selamat memperingati Hari Anti Diskriminasi yang jatuh pada tanggal 1 Maret. Mengapa ada Hari Anti Diskriminasi atau Zero Discrimination Day? Hari diskriminasi mengajak masyarakat di seluruh dunia -- bukan cuma di Indonesia saja -- untuk meningkatkan solidaritas dan mencintai orang-orang di sekeliling mereka tanpa memandang ras, suku, dan agama. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah benar bahwa lingkungan di dalam kehidupan sehari-hari benar-benar sudah bersih dari diskriminasi? Memangnya, apa makna dari diskriminasi, sehingga terdapat hari yang menentang adanya diskriminasi?

Diskriminasi memiliki sinonim dengan pemisahan dan segregasi. Diskriminasi sering menjadi topik yang dibicarakan oleh orang-orang di Indonesia, maupun di tempat lain di seluruh dunia. Bagaimana tidak, diskriminasi berkaitan dengan warna kulit, ras, etnis, agama, dan orientasi seksual, sehingga tidak ada habisnya untuk dibahas. Di jurnal dan berita internasional, diskriminasi ras bukan lagi barang langka. Rasisme masih ada hingga saat ini, mulai dari rasisme di tempat kerja hingga di ranah sepakbola. Salah satu bentuk diskriminasi pemain sepakbola adalah terdengar peniruan suara monyet di bangku penonton dan tindakan melempar pisang ke lapangan untuk mengejek para pemain sepakbola berkulit hitam. Tak selesai sampai di situ, pada September 2019 silam, pihak penyelenggara Serie A melakukan rilis anti rasis dengan menggambar tiga wajah monyet yang dibuat sejajar. Simone Fugazzotto selaku seniman dari gambar tiga wajah monyet tersebut, sebenarnya melakukan kampanye anti rasisme di dunia sepakbola. Sayangnya, langkah dari Fugazzotto justru mendapatkan kecaman dari berbagai pihak, karena gambar monyet berwarna hitam yang disejajarkan tersebut. Rasisme hanya satu di antara diskriminasi-diskriminasi lainnya yang muncul di dunia ini. 

Pada jurnal karya Avgi Saketopoulou yang berjudul Trauma, Traumatism, Traumatophilia, pembahasan dari jurnal itu menunjukkan bahwa melakukan rasisme ternyata membawa dampak buruk, yaitu trauma pada objek diskriminasi tersebut. Dari jurnal milik Nikolaus Ageng Prathama yang menyinggung tentang negosiasi identitas antara suku Dayak dan Madura yang terlibat konflik pada tahun 2001 silam, dampak dari diskriminasi etnis tertentu ternyata masih membekas, meskipun peristiwa tersebut telah berlalu lebih dari 15 tahun silam. Dampak dari diskriminasi bukan lagi 'sakit hati' yang dapat disembuhkan dengan kata-kata 'sabar ya', 'kuat ya', dan lain sebagainya. Trauma dan stigma buruk terus membekas selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, betapa pentingnya menyadari bahwa hari antri diskriminasi bukan hanya dilakukan pada 1 Maret saja, tetapi dilakukan sepanjang hayat hidup manusia. 

Diskriminasi agama pun menjadi sesuatu yang sering terjadi di Indonesia. Segregasi terhadap agama minoritas terlihat dari fenomena pelarangan ibadah dan pembangunan rumah ibadah. Dilansir dari BBC, diberitakan bahwa pembangunan gereja di Tanjung Balai Karimun ditolak oleh warga meskipun mereka telah mengantongi IMB. Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap orang-orang yang beribadah di gereja masih terus terjadi. Aksi intoleransi pun masih terus berjalan. Belum lagi video-video yang viral di media sosial, dimana video tersebut menggambarkan tentang pembubaran orang-orang yang beribadah di rumah atau merayakan hari raya tertentu di rumah. BPIP sendiri pun menyatakan bahwa intoleransi masih terus meningkat setiap tahunnya. Jika intoleransi meningkat, diskriminasi pun masih tertanam di pikiran beberapa, atau bahkan sebagian besar masyarakat di Indonesia. 

Diskriminasi tidak hanya terjadi pada ras, etnis, dan agama, dimana hal-hal tersebut menyebabkan konflik. Diskriminasi sebenarnya juga terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, seperti diskriminasi usia. Sebagai contoh, hal paling sederhana adalah ketika melamar pekerjaan. Pada lowongan pekerjaan, seringkali ditampilkan kalimat “maksimal 25 tahun”. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua mendapat diskriminasi usia, dimana orang tua tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan para fresh graduate ketika mencari lapangan kerja. Sementara itu, di luar negeri, para pria maupun wanita yang berusia 50 tahun masih diterima untuk bekerja di suatu perusahaan. Artinya, tidak ada diskriminasi usia, karena semuanya dilihat dari kemampuan individu, bukan lagi berdasarkan usia.

Diskriminasi usia pun kerap terjadi pada anak-anak muda. Di lingkungan kerja, anak-anak muda memperoleh stigma tertentu oleh para karyawan dan pekerja yang berusia di atas 40 tahun. Hal ini terlihat dari jurnal Cheung yang berjudul Age discrimination in the labour market from the perspectives of employers and older workers, dimana anak-anak muda diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada tupoksi mereka. Ya, hal itu kerap terjadi di lapangan kerja Indonesia, dengan dalih kata-kata 'kamu kan masih muda'. 

Diskiriminasi lain yang terlihat di Indonesia adalah diskriminasi gender. Bukan kejadian baru lagi jika perusahaan atau instansi lebih mengutamakan untuk menerima laki-laki daripada perempuan di sebuah perusahaan maupun instansi tersebut. Perempuan dinilai sebagai individu yang memiliki emosi labil, tenaga lemah, dan banyak bicara. Dengan demikian, perempuan dinilai sebagai sosok yang tidak cocok menjadi bagian dari perusahaan karena tidak banyak yang bisa dikerjakan, selain administrasi, marketing, dan lain sebagainya. Padahal, tidak ada yang salah dengan perempuan yang memilih untuk bekerja dengan cara turun ke lapangan.

Stigma tentang pekerja perempuan pun bermacam-macam. Stigma tersebut tidak selalu muncul karena berbagai alasan, tetapi stigma tersebut tercipta karena perempuan secara biologi mengalami haid, hamil, dan melahirkan. Perempuan seringkali mengalami diskriminasi karena perempuan memiliki fase biologis yang dialami oleh mereka. Ketika haid, hamil, dan melahirkan, perempuan pun memiliki waktu untuk cuti dalam jangka waktu yang cukup lama. Tentunya, ketika perempuan memilih cuti, tenaga kerja di perusahaan maupun instansi berkurang, sehingg aberdampak pada produktivitas dan penghasilan dari perusahaan tersebut.

Pekerjaan pun secara tak sadar dibagi berdasarkan gender dan usia. Untuk pekerjaan yang berhubungan dengan turun ke lapangan, adalah pekerjaan yang ditujukan untuk laki-laki yang berusia muda. Padahal, individu yang memiliki kekuatan untuk turun ke lapangan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Pun dengan usia, dimana yang memiliki tenaga bukan hanya mereka yang berusia muda, tetapi orang-orang yang telah menyentuh angka 40 ke atas. Untuk penerimaan karyawan baru pun, bukan tidak mungkin lagi bahwa kemungkinan diskriminasi bisa terjadi. Artinya, hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi di seluruh Indonesia untuk memilih tenaga kerja berdasarkan kemampuan masing-masing, bukan lagi berdasarkan usia dan jenis kelamin.  

Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi memang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, apa sebenarnya makna diskriminasi? Diskriminasi merupakan tindakan, sikap, atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau satu golongan untuk menyudutkan golongan lain. Coba ingat kembali quotes yang disampaikan oleh Barack Obama 2010 silam, No Discrimination, That's what we're about as a country. Tidak ada yang salah dengan hidup berdampingan dengan orang-orang yang memiliki perbedaan dengan hidup kita. Hidup berdampingan tidak harus selalu dengan orang-orang yang senantiasa memiliki kesamaan dengan diri kita. Terlebih lagi, manusia adalah makhluk sosial, bukan lagi makhuk berdarah dingin atau makhluk patipus atau koala yang kerap memilih untuk hidup sendiri dari kecil hingga akhir hayat. Apalagi, setiap manusia tidak ada yang bisa memilih untuk lahir dari rahimnya siapa atau menjadi anaknya siapa.

Oleh sebab itu, mari menerapkan Hari Anti Diskriminasi, dari 1 Maret hingga seterusnya! Benar-benar bersih dari diskriminasi dan tidak lagi menimbulkan rasa trauma dan rendah diri untuk para korban yang didiskriminasi.

 

*Tulisan ini dimuat di Harian Disway, 2 Maret 2023

 

Gastronomy Tourism : From Local to Global

15 February 2023 06:07:02 Dibaca : 264

The city of Makassar is known for its appetizing cuisine, ranging from Coto Makassar, Pallubasa, to Pisang Epe. Even with Palu City, which is known for its fried onions. Some cities are indeed famous for the food brands that are the city's hallmark. When we talk about traditional cuisine as a brand of localized food, we can start with Yogyakarta with its signature, Gudeg food. So does Semarang, known for its Wingko and spring rolls as a traditional food in this city. Malang is synonymous with meatballs, following the cold weather in apple city. Why is culinary one of the crucial things in the city's branding?

The power of gastronomy as an attraction that reflects a city makes culinary one of the magnets for tourists who want to visit the city. Gastronomic tourism has also been known and popular among young people. Gastronomic tourism serves food tourism, such as street food, and the tour collaborates with socio-cultural elements, where the food becomes the area's identity. Identity suggests that gastronomic tourism can be one of the area's revenues to advance the area. The element of globalization now erodes the locality of local food. This element of globalization makes local foods inferior to foods from outside the area. In fact, culinary is one of the cultural heritages that presents stories of philosophy, history, and ancestral beliefs in food that is characteristic of the region. 

The clash between culinary localization and globalization has made people begin to shift the position of traditional food. Food from another country, not local or traditional food from Indonesia, and junk food are now rampant in cities in Indonesia. It can be seen from the big city in Indonesia, such as Surabaya and Jakarta, which reflects the metropolitan side. Jakarta is no longer a city known for its signature Roti Buaya, but Jakarta is starting to be known for its food produced by artists food and served with a typical foreign touch. Not to mention, the emergence of social media has made people, moreover youth, prefer to take pictures of food before eating it. The photograph was published on social media, so taking pictures of the food and post it on Instagram before consumption it, was considered reasonable. Taking picture of their food more important than enjoy food' delicacy. 

Gastronomic tourism has two sides. On the one hand, gastronomic tourism can introduce global and modern foods. On the other hand, the local food asidentity of an area will be questioned. Today, in 2023, people in Makassar City still know Coto Makassar and Es Pisang Ijo. What about going forward? Are these appetizing foods still easy to find in metropolitan cities in Eastern Indonesia?***

-Gita Juniarti-

Communication Science, Faculty of Social Science, UNG

 

Tulisan ini dimuat dalam harian Radar Makassar, 14 Februari 2023

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong