ARSIP BULANAN : December 2025

Reformasi kepolisian telah menjadi agenda global yang berulang, namun sering kali berakhir pada perubahan struktural dan prosedural tanpa transformasi perilaku yang substansial. Dalam banyak konteks, termasuk Indonesia, reformasi kepolisian cenderung direduksi menjadi penataan organisasi, modernisasi teknologi, dan revisi regulasi, sementara persoalan mendasar seperti penggunaan kekerasan berlebihan, lemahnya akuntabilitas, dan menurunnya kepercayaan masyarakat tetap bertahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa reformasi kepolisian bukan semata-mata persoalan teknis-administratif, melainkan persoalan tata kelola yang bersifat moral, epistemik, dan institusional.

Literatur penukaran menyatakan bahwa kegagalan reformasi sektor keamanan sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan institusi untuk merefleksikan asumsi dasar yang membimbing praktik sehari-hari aparat (Den Heyer, 2014; Jones & Newburn, 2008). Reformasi dilakukan sebagai respons terhadap tekanan politik atau legitimasi krisis, tetapi tidak disertai proses pembelajaran institusional yang memungkinkan organisasi menilai kembali nilai, tujuan, dan logika tindakannya. Akibatnya, reformasi cenderung bersifat simbolik dan menghasilkan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai reformasi tanpa transformasi .

Pendekatan reflektif menawarkan lensa alternatif untuk memahami dan mengintervensi kegagalan tersebut. Dalam perspektif tata kelola reflektif, kegagalan reformasi tidak dipahami semata-mata sebagai kurangnya sumber daya atau lemahnya implementasi kebijakan, tetapi sebagai disfungsi refleksivitas institusional—yakni janji organisasi untuk mengambil keputusan, menilai dampak moral, dan belajar dari kesalahan (Feindt & Weiland, 2018; Dekker, 2018). Reformasi kepolisian, dengan demikian, menuntut mekanisme refleksi yang terinstitusionalisasi, bukan hanya sekedar memenuhi prosedural.

Kajian-kajian tentang birokrasi perilaku menunjukkan bahwa keputusan aparatur sangat dipengaruhi oleh norma internal, tekanan organisasi, dan rasionalitas situasional yang sering kali tidak tercermin dalam aturan formal (Nani et al., 2022). Dalam konteks kepolisian, logika “keamanan”, “perintah”, dan “disiplin” dapat dengan mudah mengalahkan pertimbangan etika dan hak warga negara. Tanpa instrumen reformasi reflektif, peralatan cenderung mereproduksi praktik lama meskipun formal telah diberlakukan.

Pendekatan New Public Service menekankan bahwa institusi publik, termasuk kepolisian, harus berorientasi pada nilai publik, musyawarah, dan kepentingan bersama, bukan sekadar efektivitas operasional (Denhardt & Denhardt, 2015). Namun, kritik terhadap NPS menunjukkan bahwa orientasi nilai sering berhenti pada tataran normatif. Pendekatan reflektif—melalui kerangka seperti Reflective Governance Framework (RGF)—menjadi penting untuk mencerminkan nilai-nilai ke dalam proses pengambilan keputusan etika yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan (Nani et al., 2023).

Pendekatan reflektif juga relevan dalam penanganan kerumitan dan kecerahan yang melekat pada tugas kepolisian. Heifetz dkk. (2022) menekankan pentingnya kepemimpinan adaptif dalam situasi masalah adaptif, di mana solusi teknis tidak mampu. Reformasi kepolisian termasuk dalam kategori ini, karena mencakup perubahan budaya organisasi, hubungan kekuasaan, dan identitas profesional aparat. Tanpa refleksi adaptif, reformasi justru berisiko memperkuat resistensi internal.

Penelitian terbaru tentang kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia menunjukkan bahwa tidak adanya mekanisme refleksi moral, keputusan audit, dan evaluasi berkelanjutan menyebabkan reformasi direproduksi secara seremonial (Nani et al., 2025). Kebijakan baru diperkenalkan, tetapi praktik lama tetap berjalan karena tidak ada ruang institusional untuk mengukur keputusan, mengoreksi bias, dan mendiskusikan dilema etis yang dihadapi aparat di lapangan.

Dalam konteks ini, Reflective Governance Architecture (RGA) menjadi relevan sebagai kerangka yang mengintegrasikan refleksi moral, analisis berbasis bukti, pengambilan keputusan deliberatif, dan evaluasi siklik. RGA memungkinkan kepolisian tidak hanya mematuhi aturan, tetapi juga memahami mengapa keputusan tertentu diambil, siapa yang terdampak, dan bagaimana keputusan tersebut dapat diperbaiki. Pendekatan ini sejalan dengan literatur tentang pembelajaran organisasi dan organisasi dengan keandalan tinggi yang menekankan pentingnya pembelajaran dari kegagalan kecil sebelum menjadi krisis besar (Dekker, 2018).

Lebih jauh, pendekatan reflektif berpotensi memperbaiki hubungan antara kepolisian dan masyarakat. Dengan menjadikan refleksi sebagai bagian dari tata kelola, kepolisian dapat membangun transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik secara bertahap. Hal ini penting mengingat kepercayaan masyarakat tidak dapat menyampaikan hanya melalui kampanye citra atau teknologi digital, tetapi melalui perubahan nyata dalam cara keputusan diambil dan dipertanggungjawabkan (Olsen, 2019).

Pada akhirnya, reformasi kepolisian melalui pendekatan reflektif menuntut perubahan paradigma dari reformasi sebagai proyek administratif menuju sebagai proses pembelajaran institusional jangka panjang. Pendekatan ini tidak menjanjikan solusi instan, namun menawarkan fondasi yang lebih berkelanjutan untuk membangun kepolisian yang etis, adaptif, dan sah. Dalam konteks demokrasi yang semakin kompleks, tata kelola reflektif bukan lagi pilihan normatif, melainkan prasyarat bagi keberhasilan reformasi kepolisian.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong