ARSIP BULANAN : January 2021

Hendra  Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo, Email: hendra@ung.ac.id 

Abstrak

The purpose of the research is to describe the existence of maudu lompoa sociocultural solidarity in a review of cultural geography. The life of the community has undergone many shifts in lifestyle, especially individual and meterialistic attitudes, of course if this continues to occur it will cause social conflicts. Therefore, it is necessary to implement the values of solidarity in people's lives. Values derived from national identity so that people's lives run with peace and prosperity. These values reside in many local cultures run by the community. In the Cikoang community, the values of social solidarity are still well preserved in the procession of the Culture of the lompoa. This research is a descriptive study with an ethnographic approach. The results of the study show that the cultural change of maudu lompoa which is influenced by the environmental, social and economic conditions of the Cikoang community turned out to further strengthen the social and cultural solidarity of the people from time to time. The existence of Cikoang community social solidarity in maudu lompoa culture is able to be implemented in daily life.

KEYWORDS

social solidarity; maudu lompoa; learners; kesetiakawanan sosial; maudu lompoa; peserta didik

Fulltext

PDF

References

Brauchler, B. (2010) ‘The Revival Dilemma: Reflections on Human Rights, Self-Determination and Legal Pluralism in Eastern Indonesia’, The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 42(62), pp. 1–42. Available at: https://doi.org/10.1080/07329113.2010.10756648.

Dinas Sosial Sulsel (2016) ‘Pemetaan Konflik Sosial: Suatu strategi Perwujudan Sulsel sebagai daerah Tangguh Konflik’, Sulselkita, p. 2. (online), (http://sulselkita.com/2016/02/pemetaan-konflik-sosial-suatu-strategi.html). MEO-Google SchPI

Durkheim, E. (1961) Moral Education: A Study in the Theory and Application of the Sociology of Education. Edited by H. S. Everett K. Wilson. New York: Free Press.

Fatchan, Ach. 2015. Metode Penilitian Kualitatif Pendekatan Etnografi dan Etnometodologi untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: Ombak.

Hendra, Budijanto, Ruja, I. N. (2018) ‘Penguatan Kesetiakawanan Sosial Peserta Didik melalui Nilai Budaya Perayaan Maudu Lompoa’, Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, pp. 1339–1342. Available at: http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/.

Hisyam, muhammad (2014) ‘Sayyid: The Stranger King Religion and Tradition the Case of Cikoang’, International Journal Of Religious Literature and Heritage, 3(4), pp. 195–210.

Ingersoll, Richard M. (2001). Teacher Turnover and Teacher Shortages: An Organizational Analysis’,American Educational Research Journa,l 38 (3), pp. 499–534. https://doi.org/10.3102/00028312038003499.

Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Lasch, Christopher. (2018). The Culture of Narcissism: American Life in an Age of Diminishing Expectations. New York: W. W. Norton & Company.

Lewis, Oscar. (2017). The Culture of Poverty’. In Poor Jews: An American Awakening, New York: Routledge. https://doi.org/10.4324/9781351319447.

Rochmadi, (2012). ‘Menjadikan Nilai Budaya Gotong Royong sebagai Common Identity dalam Kehidupan Bertetangga Negara-negara ASEAN’. Rubrik Perpustakaan Universitas Negeri Malang. At: Available (http://library.um.ac.id/index.php/Rubrik/menjadikan-nilai-budaya-gotong-royong-sebagai-common-identity-dalam-kehidupan-bertetangga-negara-negara-asean.html.)

Sudarsono, Agus. (2014). ‘Geografi Budaya’ Materi geografi budaya perkuliahan masiswa pertemuan ke tiga. At available http://staffnew.uny.ac.id.

Sugiyono. (2007). ‘Statistika Untuk Penelitian’. Bandung : Alfabeta.

Tenriwaru, Yamin Y. (2016). ‘Alms and Award: Reflection Meaning Of Liability Celebration : A phenomenological Study’. Journal Qualitative and Quantitative Research Review. 1(1), pp 54-71.

Wahid, Sugira. (2016). Kearifan Adat Istiadat Makassar. Makassar: Arus Timur.

Papua, Ibu Kota Baru dan Terusiknya Kebahagiaan Geografik

25 January 2021 07:49:12 Dibaca : 250

Akhir-akhir ini, hampir semua media massa memberikan tagline tentang Papua. Akar rumputnya adalah adanya ucapan rasis yang telah dilontarkan oleh seorang warga di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Tentu saja hal tersebut menyulut kemarahan masyarakat Papua di tanah air.Amarah ini kemudian menjadi pemicu di ungkitnya semua perlakuan pemerintah selama ini kepada masyarakat Papua, yang dianggap hanya anak tiri oleh pemerintah. Sumber daya alamnya dikeruk dan tidak memberikan dampak krusial dalam kehidupan masyarakatnya.Tetapi tuduhan-tuduhan tersebut telah dibantah oleh pihak pemerintah Indonesia, yang menganggap bahwa beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia telah fokus dalam pembangunan di Papua dan Papua adalah bagian dari NKRI.Namun tetap saja amarah itu telah terlanjur bergemuruh. Masyarakat Papua (sebagian) tidak lagi menganggap wilayah Papua sebagai bagian dari Indonesia.Pemerintahan Jokowi, untuk masyarakat Papua telah menjadi salah satu prioritas pembangunan infrastruktur. Bahan Bakar Minyak satu harga, program kesehatan, pendidikan dan beberapa fasilitas-fasilitas pembangunan lainnya seperti pasar, listrik, jalan, jembatan, stadium dan bandara.Tentunya, pemerintah mencoba membuat masyarakat Papua hidup sejahtera atau tujuan akhirnya adalah kebahagiaan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat Papua bahagia dengan semua itu?Karena kelemahan manusia adalah lambatnya merespon perubahan. Jangan sampai malah terusik oleh hadirnya perubahan-perubahan baru yang berada di lingkungan sekitar mereka.

Dan akhirnya bukan membuat masyarakat bahagia tetapi justru merenggut kebahagiannya. Lukas Enembe, Gubernur Papua menambah polemik tersebut yang mengatakan bahwa orang-orang Papua tidak membutuhkan pembangunan, yang dibutuhkan hanyalah kehidupan (Suara.com 23/8/19).Pastinya pemerintah telah melakukan analisa yang mendalam tentang prospek yang mendesak, hal apa yang paling dibutuhkan masyarakat Papua saat ini. Sehingga dapat berjalan sinergi antara pemerintah dan masyarakat.Bukan hal yang tabu, jika ada seseorang yang menolak, bertahan dan mempertahankan tanahnya jika ada yang mengusik. Walaupun kita tahu bahwa beberapa fenomena yang terjadi, wilayah tempat mereka tinggal jauh dari kata layak.Seperti kondisi wilayah Papua yang bergunung-gunung sehinggga akses terbatas, terpencil, penyakit langka dan sering gempa. Tetapi kenapa mereka tetap bertahan bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk tetap tinggal ditempat itu.

Dalam kondisi inilah Momon Sudarma (MS) dalam jurnalnya tentang “membangun kebahagiaan geografik” mengungkapkan bahwa orang-orang seperti inilah yang dinamakan kebahagiaan geografik.Mereka merasakan kedamaian dari tempat tinggalnya, bahagia dengan ruang dimana mereka berada saat ini walaupun diluar dari kata layak.Itulah kebahagiaan geografik, lanjut MS menjelaskan bahwa banyak kalangan menganggap kebahagiaan hanya persoalan psikologi, biologis dan lainnya, tetapi jauh dari hal tersebut mereka menafikkan faktor-faktor ruang karena manusia hidup dalam ruang di muka bumi ini bukan di ruang hampa. Kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh semua orang.Kebahagiaan geografik hadir karena kemampuan manusia merekayasa tempat dimana dia hidup. Bukan melakukan perpindahan terus menerus atau hidup nomaden seperti sebelum revolusi industri terjadi.Terkait dengan hal tersebut ibu kota Indonesia baru-baru ini telah di diputuskan bahwa ibu kota negara akan dipindahkan ke Kalimantan Timur.

Terjadilah pro kontra terhadap keputusan pemerintah tersebut. Tentunya dalam hal ini, pendekatan geografi bisa menjadi pisau analisa yang akan memberikan gambaran tentang sejauh mana kebahagiaan geografik itu akan tercapai.Persoalan Jakarta telah dianggap sangat rumit dan kompleks yang tidak lagi mampu menahan beban. Akhirnya dalam bahasa MS adalah program nomaden modern. MS menjelaskan bahwa, manusia menggunakan pendekatan yang strategis dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan pemanfaatan sumberdaya yang disediakan oleh alam dan daya dukung lingkungannya.Ketika hal tersebut menjadi terbatas maka manusia melakukan perpindahan. Dalam konteks modern, manusia telah berpindah dari apartemen yang satu ke apartemen yang lain, melakukan migrasi dan mobilisasi. Selain daya dukung lingkungan, tentunya populasi yang bertambah menjadikan manusia semakin terdesak oleh ruang.Ketika Ibu kota berpindah ke Kalimantan timur, apakah kebahagiaan itu juga bisa berpindah?. Tentu analisa yang bisa kita gunakan tidak terlepas dari tiga pendekatan geografi (Ruang, Lingkungan, Kewilayahan).

Kemampuan merekayasa lingkungan menjadi tempat yang nyaman dan mampu memberikan ketenangan dalam jangka waktu panjang adalah tantangan paling besar pemerintah dan masyarakat itu sendiri.Baik untuk ibu kota baru maupun Jakarta sebagai ibukota yang ditinggalkan. Dalam uraian MS mengkreasikan defenisi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat bahwa ketentraman dan kenyamanan yang sesaat bukanlah kebahagiaan.Kebahagiaan yang sebenarnya jika dirasakan untuk waktu yang lama dan berkelanjutan kemudian MS disini menambahkan kriteria kebahagiaan itu dengan “kelestarian atau menetapkan perasaan itu dalam diri kita”.Pertanyaan fundamentalnya adalah jika perpindahan itu untuk mencari kebahagiaan geografik maka sampai dimana kita akan terus melakukan perpindahan. Inilah yang mengusik pemikiran MS.Bahwa jika hanya mengandalkan perpindahan maka kebahagiaan itu hanyalah sementara, migrasi dan mobilitas terus dilakukan walaupun kita tahu bahwa manusia juga dapat membuat rekayasa dengan lingkungannya dan menjadi manusia sosial.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menguatkan pengetahuan geografi dengan membekali manusia keterampilan geografik tentang bagaimana merespon perubahan lingkungan, merehabilitasi daya tahan lingkungan beserta kemampuan adaptasinya sehingga mampu menentukan bagaimana masyarakat akan mendapatkan kebahagiannya.Kesadaran kolektif oleh MS dijadikan sandaran dalam memperbaiki dan menyelamatkan bumi sehingga kehidupan manusia bisa lebih baik dan tentunya menjadi manusia bahagia, dengan kebahagiaan geografik, manusia akan lebih mencintai tanah airnya dan siap berkorban untuk negaranya.Kebahagiaan geografik adalah kedamaian dan kenyamanan yang dirasakan dari tempat dimana dia berada untuk waktu yang lama. Jadi, sudah bahagiakah kita secara geografik??.

Reference

Hendra, H., Budijanto, B., & Ruja, I. N. (2018). Penguatan Kesetiakawanan Sosial Peserta Didik melalui Nilai Budaya Perayaan Maudu Lompoa. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 3(10), 1339-1342. DOI: http://dx.doi.org/10.17977/jptpp.v3i10.11667 

Kobi, W., & Hendra, H. (2020). KAJIAN GEOGRAFI EKONOMI: STUDI KASUS KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SUKU BAJO DI POPAYATO, GORONTALO. JAMBURA GEO EDUCATION JOURNAL, 1(1), 16-25. DOI: https://doi.org/10.34312/jgej.v1i1.4637 

Ruja, I. N., & Pratama, M. I. L. (2019). Eksistensi Solidaritas Sosial Budaya Maudu Lompoa Dalam Tinjauan Geografi Budaya. Jurnal Azimut, 2(1), 81-94.

sumber gambar: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2015/02/06/496095/670×335/kebanyakan-rakyat-miskin-di-papua-hidup-dekat-tambang-freeport.jpg

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong