ARSIP BULANAN : January 2013

Etika Bisnis Transportasi Publik

31 January 2013 14:22:10 Dibaca : 3097

ETIKA BISNIS TRANSPORTASI PUBLIK

Oleh Arwildayanto
(Wakil Sekjen DPP IKPS)

Padang, Singgalang.
Hampir disemua kota besar di Indonesia termasuk Kota Padang masalah transportasi menjadi sebuah dilema yang perlu dicermati secara bijak oleh pemerintah kota. Masalah transportasi di Kota Padang memang menjadi suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Namun perbedaan masalah tetap saja menjadi sebuah masalah dalam urusan transportasi publik (public transportation).

Orang bijak selalu berpikir bahwa pembeli (buyer) pelanggan (customer/user) itu adalah raja (king). Posisi pembeli, pengguna, maupun pelanggan sangat menentukan survice atau tidak, laku atau tidak barang atau jasa yang ditawarkannya. Sehingga dunia usaha dari berbagai bidang produksi barang atau jasa selalu mengembangkan diri dan berusaha memanjakan pelanggannya sebaik mungkin untuk mencapai kepuasaan ( customer satisfaction). Kita bisa menyaksikan dan merasakan berbagai kompetisi dari berbagai Bank milik swasta atau milik pemerintah yang berusaha memanjakan nasabahnya dengan berbagai fasilitas, kemudahan dan pelayan prima. Begitu juga perusahaan di bidang telekomunikasi, seperti PT Telkom, Indosat, XL berpacu memberikan berbagai fasilitas yang menggiurkan pelanggannya. Kompetisi (competition) antar perusahaan itu justru menguntungkan pelanggannya dengan memberikan pelayanan terbaik (exellent service). Pertanyaan kita sangat sederhana, apakah competition seperti perusahaan perbankan, telekomunikasi di atas dapat kita nikmati dalam urusan transportation public khususnya di Kota Padang ini? Jawaban sederhana adalah pelayanan transportasi publik di kota Padang masih jauh dari harapan publik. Kita masih sulit mendapatkan pelayanan terbaik dari pelaku bisnis yang bergerak di bidang transportasi publik.

Untuk membuktikan kebenaran asumsi dan jawaban sederhana di atas, maka dilakukan berbagai penelusuran dan survey (pengamatan) terhadap urusan transportasi publik dari berbagai sisi. Dari penulusuran dan survey yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama, kita menemukan beberapa fenomena antara lain : 1) Pemakaian sound system untuk musik dengan suara yang sangat keras diluar ambang batas pendengaran (full music), hal ini terjadi hampir di seluruh trayek di Kota Padang seperti Pasar Raya-Pegambiran, Lubuk Buaya dan Indarung. 2). Keamanan penumpang yang sangat rawan dari pencopetan ini terjadi hampir pada semua Bis kota baik melalui jalur Khatib Sulaiman, Kampus Unand Limau Manis, maupun Indarung, 3) Tidak diberlakukannya Argo Taksi, 4) Banyaknya calo penumpang pesawat udara di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). 5) Kenaikan ongkos transportasi yang tidak mengikuti petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dari keputusan Menteri Perhubungan, Gubernur Sumatera Barat maupun Walikota Padang.

Full music
Penggunaan sound system untuk musik sebuah armada transportasi publik di kota Padang sepertinya sudah menjadi kebutuhan. Values (nilai-nilai) yang sudah sudah melekat dalam pikiran setiap sopir baik mikrolet maupun biskota bahwa tidak ada musik, tidak ada sound system yang memadai—diyakini penumpang yang mau naik di kendaraannya akan berkurang. Hasil survey menunjukkan suatu kontradiktif pemikiran seorang sopir dengan berbagai keluhan penumpang. Tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah penumpang dengan musik yang digunakan apalagi dengan suara yang amat keras di luar ambang batas pendengaran manusia biasa. Keluhan dari penumpang akibat penggunaan musik yang terlalu keras tersebut, sebenarnya sudah sering disampaikan oleh penumpang kepada para sopir, namun mereka tidak menghiraukan keluhan penumpang. Bahkan ada sopir yang berani memaki-maki penumpang karena tidak mau memperkecil suara sound system yang digunakannya. Dengan entengnya sopir tersebut mengatakan “kalau tidak mau mendengar musiknya, silahkan saja turun, masih banyak penumpang lain yang mau ikut dengan mikrolet atau biskota ini”. Bagi penumpang keluhan seperti ini tidak bisa dielakkan. Karena hampir semua kendaraan umum di Kota Padang ini yang memiliki sound system dengan suara musiknya sangat keras sekali. Bahkan getaran speakernya bisa membuat jantung tidak normal. Penumpang hanya bisa bertahan dengan kekesalan yang harus ditahan sendiri karena tidak ada pilihan armada transportasi yang menyuguhkan pelayanan transportasi dengan musik yang menyejukkan.

Fenomena sosial transportasi publik dengan konsep full music memang satu-satunya terjadi di Kota Padang. Uniknya musik-musik dengan dentungan speaker yang maha dahsyat lebih banyak menyuguhkan aliran musik kebarat-baratan (westernisasi). Fenomena ini dalam kajian psikologis sosial sebagai penyimpangan mentalitas. Artinya musik sebagai sarana hiburan tidak lagi memberikan kenyamanan justru merusak alat dengar manusia. Musik yang mencerdaskan bukan terletak pada suara yang keras. Melainkan terletak pada makna, pesan yang disampaikan dengan perpaduan irama dan vokal yang seimbang.

Musik yang dibunyikan terlalu keras di dalam ruang publik seperti di dalam Mikrolet dan Biskota tentu tidaklah menjadi pilihan populer. Penggunaan musik yang terlalu keras jelas-jelas telah melanggar hak-hak publik mendapatkan ketenangan dan kenyamanan. Sopir sebagai penyedia layanan transportasi publik harus memperhatikan dengan bijak hak-hak penumpang mendapatkan kenyaman, ketenangannya dan kesehatan para penumpang. Sopir tidak bisa seenaknya menggunakan musik dengan suara yang keras padahal penumpangnya tidak sanggup mendengarkan musik seperti. Kalau sopir tidak memperhatikan hak-hak penumpang, maka sopir bisa jadi sudah melanggar hak-hak asasi manusia memenuhi rasa keadilan. Untuk mengatur ketentuan hak-hak publik di atas armada transportasi publik perlu dibuatkan suatu aturan hukum yang mengikat, kalau tidak fenomena sosial ini akan tetap berkelanjutan. Kita tentunya tidak berkeinginan generasi kita hidup dengan budaya kebarat-baratan, musiknya keras, pendengarannya terganggu (rusak). Solusi keluar dari fenomena ini tentunya mensosialisasikan penggunaan musik secara proporsional sesuai dengan besarnya mikrolet dan biskota. Untuk menjamin pelaksanaanya tentunya harus ada perangkat hukum yang mengikat agar paradigma memberikan pelayanan terbaik tercapai. Kita berharap para anggota legislatif baik yang ada di Propinsi Sumatera Barat maupun Kota Padang mengambil hak inisiatif memprakarsai lahirnya peraturan penggunaan musik dalam armada transportasi publik secara proporsional.

Keamanan transportasi publik.
Keamanan dalam kendaraan umum sampai saat ini masih sulit didapatkan secara utuh. Fenomena ini tentu memberikan peringatan bagi pengguna kendaraan umum untuk lebih hati-hati. Biasanya kerawanan dalam kendaraan umum itu terjadi pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari. Karena pada jam itu para pegawai pemerintah dan swasta serta para siswa membutuhkan kendaraan umum untuk berangkat ke tempat kerja dan sekolahnya. Dalam kondisi kendaraan penuh para anak bola (pelaku kejahatan di dalam kendaraan umum) mencari kesempatan melakukan aksinya. Untuk melakukan kejahatan mereka bisa saja melakukan sendiri sampai dalam kelompok besar.

Untuk mengantisipasi kejahatan di atas kendaraan umum tentu ada beberap tip yang perlu disiasati antara lain: 1) tidak menggunakan perhiasan yang berlebihan, 2) membawa tas letakkan di depan (sejajar dengan dada), 3) perhatikan disekitar tempat duduk dengan hati-hati, 4) jika dianggap mencurigakan lebih baik turun dihalte atau tempat yang ramai, 5) jangan menggunakan handphone di dalam kendaraan umum (aktifkan program silent), 6) pihak keamanan (polisi) sebaiknya menyediakan program laporan online terhadap kejahatan di dalam kendaraan umum, 7) sopir dan kernek diharapkan menjaga keamanan di dalam kendaraannya.

Argo Taksi
Pelayanan taksi sebagai kendaraan umum di Kota Padang masih jauh dari standar pelayanan minimal (SPM). Taksi di kota Padang sangat jarang menggunkan argo. Penumpang yang tidak melakukan tawar-menawar sebelum berangkat, bisa jadi sesampai di tujuan akan mengalami keributan dengan sopir taksi karena merasa ditipu atau merasa dimahalkan. Karena sopir taksi tidak memakai argonya. Perselisihan antara penumpang dan sopir taksi sering kali kita saksikan. Kejadian-kejadian seperti ini jelas-jelas merusak citra perusahaan taksi sebagai penyedia jasa transportasi.

Untuk menghindari terpuruknya citra perusahaan taksi di Kota Padang, sudah saatnya pemberlakuan argo diperketat. Minimnya penumpang taksi saat ini sebuah indikasi, masyarakat alergi naik taksi. Kalau tidak terdesak, masih ada pilihan transportasi lain, maka masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan umum lainnya. Antisipasinya tentu dimulai dari pelayanan taksi yang sesuai dengan standar operasional prosedural (SOP) gunakan argo, pakai baju yang menunjukkan atribut unit usaha, perbaiki pelayanan dalam berbahasa yang menyejukkan, dan bangun komunikasi dengan penumpang secara intensif.

Calo Tiket Pesawat.
Percaloaan tiket pesawat yang marak terjadi di Bandara Tabing dulunya, ternyata belum berakhir sejak diaktifkan Bandara International Minangkabau (BIM). Percaloaan tiket pesawat itu bisa dirasakan saat membeli tiket di travel yang begitu sulit, padahal ketika pesawat itu berangkat masih banyak bangku yang kosong. Percaloan tiket pesawat nampaknya masih sulit diakhiri, karena manajemen maskapai penerbangan masih memberikan keleluasaan bagi orang-orang tertentu untuk memegang tiket secara berlebihan. Percaloan tiket pesawat jelas merusak sistem penerbangan dan kenyamanan pelanggan. Untuk mengakhiri percaloan tiket pesawat itu petugas maskapai dan petugas bandara harus pro aktif memberikan penekanan pada penumpang untuk selalu membeli tiket di travel atau di maskapai penerbangan yang bersangkutan. Travel-travel (biro perjalan) tidak diperkenankan menjual tiket di sekitar bandara, karena sistem ini memungkinkan menjamurnya percaloan tiket. Pemeriksaan tiket oleh petugas harus dilakukan secara ketat dengan mencek kesesuaian nama. Bahkan kalau seorang penumpang tidak jadi berangkat, maka harus dikenakan sanksi pembayaran 50% dari harga tiket. Cara ini jelas akan memperkecil kebiasaan calo memegang tiket yang berlebihan atau penumpang membooking tiket lebih dari keperluannya.

Ongkos Transportasi Publik di atas Juklak>br /> Ongkos kendaraan umum setiap trayek baik antar kota, antar propinsi di Sumatera Barat sering tidak konsisten. Ongkos kendaraan itu tidak memperhatikan petunjuk pelaksanaan oleh pejabat yang berwenang. Seharusnya sebagai penyedia jasa pelaku bisnis yang bergerak di bidang transportasi senantiasa menyesuaikan tarif berdasarkan petunjuk pelaksana yang sudah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan tarif. Contoh kenaikan harga premium 95% akan berakibat naiknya biaya operasional angkutan umum sebesar 25% dari total keseluruhan. Sedangkan kenaikan tarif bisa mencapai 75%. Ketentuan sepihak menaikkan tarif oleh pengusaha di bidang transportasi publik jelas melanggarkan keputusan pemerintah.

Untuk menjamin pelaksanaan keputusan pemerintah tentang kenaikan tarif baru kendaraan umum--seharusnya pihak kepolisian dan dinas perhubungan selalu melakukan pemantauan dilapangan. Bahkan di hari-hari tertentu bisa jadi tarif itu naik melebihi 100%. Sanksi-sanksi yang digembar-gemborkan pemerintah belum banyak memberikan jerah bagi pelanggarnya. Pemerintah harus memiliki komitmen dan keseriusan melakukan tindakan atas pelanggaran kenaikan tarif tersebut. Karena kita sangat miris melihat kehidupan masyarakat yang semakin sulit menghadapi kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakan minyak (BBM). Harapan kita pemerintah dapat memberikan perhatian naiknya tarif transportasi publik juga memberikan peningkatan dalam hal pelayanannya.

http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=52

 

DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA

31 January 2013 14:20:47 Dibaca : 1766

DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA

 

Oleh Arwildayanto

Laporan akhir tahun Transparancy Indonesia (TI) yang disampaikan Tudung Mulya Lubis di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kemaren (23 desember 2005) menyimpulkan bahwa institusi paling korup di dunia termasuk di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pengurus partai politki. Laporan TI Tersebut sejalan dengan kesimpulan survey yang dilakukan Akbar Tanjung Institute(ATI) yang menemukan jawaban bahwa suburnya budaya korupsi di DPR dan partai politik disebabkan oleh dominanya para pengusaha yang berkiprah di arena politik praktis di Indonesia (18 Desember 2005). .

Dominasi kalangan pengusaha dalam dunia politik memunculkan wacana baru yakni dwifungsi politisi-pengusaha. Derasnya wacana ini didengungkan oleh berbagai pihak karena menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara kebijakan pemerintah memberantas KKN, dengan hambatan yang sangat kuat dikalangan pelaku politik praktis. Refleksi akhir tahun yang disampaikan LSM Transparancy Indonesia, Abkar Tanjung Institut menunjukkan suatu gambaran pelaku politik yang dihasilkan melalui pemilihan umum tahun 2004 yang lalu yang benar-benar didominasi oleh politisi-pengusaha. Sejalan dengan hasil survey kedua lembaga swadaya masyarakat di atas, jauh sebelum itu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan para wartawan di Lapangan Udara Polonia Medan tanggal 2 Desember 2005 yang lalu juga menyampaikan keprihatinan yang sama terhadap lambannya gerak reformasi yang terjadi di Pemerintahannya.Salah satu fenomena politik yang menjadi penyebab utama menurut SBY adalah adanya “dwifungsi politisi-pengusaha”.

Presiden SBY menilai bahwa dwi fungsi politisi-pengusaha ternyata menjadi penyebab lambatnya penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di pemerintahannya saat ini. Padahal keinginan politik (political will) pemerintah saat ini sudah secara tegas mendukung upaya penghapusan KKN yang tidak pandang siapa pelakunya.

Dalam perspektif keadilan, kearifan wajar kiranya keprihatinan Presiden SBY itu muncul disaat pelaku politik yang ada di parlemen tidak menunjukkan keinginan yang sama dengan kebijakan pemerintah saat ini. Karena semenjak era reformasi bergulir di Indonesia, justru pelaku politik yang lebih dominant melakukan desakan penghapusan KKN, seperti tertuang dari beberapa kebijakan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) yang merespon dengan baik kebijakan penghapusan dwi fungsi ABRI. Karena selama ini ABRI dianggap sebagai penyebab utama suburnya KKN di lingkungan pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah seorang Panglima Tinggi (PATI) di jajaran TNI saat itu juga ikut mendorong kebijakan tersebut. Sehingga secara politis dapat dilahirkan suatu ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Dimana pengangkatan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan pengurangan secara bertahap. Untuk memperkuat Ketetapan itu diberlakukan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik melarang PNS dan TNI/Polri menjadi anggota maupun pengurus partai politik, sehingga pada hasil Pemilahan Umum 2004 sudah kelihatan hasilnya dimana tidak ada lagi utusan dari ABRI yang terdiri dari TNI/Polri di DPR dan DPRD.

Kebijakan ini dilakukan dalam rangka menempatkan ABRI secara proporsional sebagai alat kelengkapan Negara yang berperan mengamankan stabilitas nasional termasuk menjaga martabat Bangsa baik secara nasional maupun Internasional. Prinsip ini memberikan konsekuensi dihilangkannya peran dwifungsi ABRI dalam aktivitas politik praktis. Serta menempatkan PNS sebagai abdi negara yang memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal serta menjaga netralitas politiknya.

Di saat PNS dan ABRI tidak memainkan peran dalam politik praktis secara institusional. Maka teater politik nasional didominasi oleh politisi sipil khususnya yang berlatar belakang pengusaha yang dikenal dengan politisi-pengusaha. Pertanyaan sederhana yang patut kita munculkan „apakah upayah penghapusan KKN sudah berhasil?. Ternyata upaya penghapusan KKN di pemerintah masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi benih-benih KKN semakin subur akibat pelaku politisi-pengusaha. Hasil pemilu 2004 kemaren memang sudah memberikan jawaban terhadap dominasi politisi-pengusaha.

Melihat fenomena di atas Presiden SBY tidak mau gagal menjalankan roda penerintahan yang diamanatkan oleh rakyat melalui pemilihan Presiden secara langsung. Presiden SBY merasa perlu melakukan kebijakan menata dwifungsi pengusaha-politisi. Hal ini didukung hasil refleksi akhir tahun Transparancy Indonesia dan Akbar Tanjung Institute. Sebagai publik yang mencintai kelangsungan pemerintahan RI ini perlu mendukung kebijakan pemerintah menata dwifungsi politisi-pengusaha ini dengan bijak serta dilakukan secara proporsional penuh etika.

Rasionalisasi pentingnya publik mendukung kebijakan Presiden SBY di atas supaya pelaku politik yanga ada di parlemen saat ini berpihak pada kepentingan rakyat dan memperjuangkan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Rasionalisasi pentingnya dwifungsi politisi-pengusaha ini didukung karena belajar dari kejadian masa lalu maupun kejadian yang ditunjukkan anggota DPR 1 tahun belakangan ini. Banyak hal yang tidak etis akibat adanya dwifungsi politisi-pengusaha, diantaranya: Pertama berorientasi keuntungan (profit oriented) sesuai invesntasi politik sehingga menghalalkan money politic. Kedua nbsp;tidak konsisten dengan keputusan politik maupun kebijakan nasional, sehingga seringkali mengabaikan kepentingan konstituen. Ketiga seringkali bersikap aji mumpung (opportunis) bahkan tidak malu-malu menjadi bajing lonjat politik atau pindah partai lain serta membuat konflik di internal partai. Kelima seringkali menjadi calo proyek dan memperbesarkan nilai guna mendapatkan komisi .

Memang sangat kontras perbedaan pelaku politik yang berasal dari politisi sipil yang berurat dari pengalaman politik dari bawah, membangun jaringan dengan berbagai organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan, profesi, dan organisasi politik, biasanya politisi itu tumbuh dengan jiwa sosial, solidaritas, serta bangunan etika berpolitiknya lebih eleghant, demokratis, siap menang dan kalah. Sedangkan seorang politisi yang jadi pengusaha sulit mencari figur yang seperti itu. Kalaupun ada tentu keberadaan mereka dalam jumlah yang sangat sedikit.

Harapan kita sebagai publik dengan adanya pengaturan dwifungsi politisi –pengusaha diharapkan mereka bisa bekerja maksimal sebagai wakil rakyat yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan yang lainnya. Sekaligus pengaturan politisi-pengusaha ini dalam rangka berbagi pekerjaan dengan masyarakatyang sangat banyak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan demikian politisi-pengusaha bisa mengurangi disparitas komunitasnya yang berada di masyarakat atas dengan masyarakat miskin lainnya.

Pernah dipublikasikan di http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=49