ARSIP BULANAN : September 2014

UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

16 September 2014 19:39:54 Dibaca : 1104

UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

Dr. Arwildayanto, M.Pd

(Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo)

 

Perubahan variasi soal bukti ketidakjujuran panitia lokal yang massif

    Setiap kali hajatan ujian nasional (UN) berlangsung, saat itu pula sikap pro dan kontra masyarakat menguak kepermukaan, termasuk ujian nasional tahun 2013 ini. Ketika Panitia Nasional UN menerapkan model soal yang terdapat 20 variasi untuk setiap kelas, memberikan signal memang selama ini pelaksanaan UN belum dilandasi sikap yang jujur, baik dilakukan oleh guru maupun pengawas, sehingga memerlukan perubahan bentuk soal yang radikal seperti ini. Mestinya perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara UN merasa malu bahwa selama ini memang terdapat kebobrokan perilaku kolektif dalam lingkaran ketidakjujuran. Ironinya, perguruan tinggi dan sekolah tidak pernah koreksi dan intropeksi diri, apakah event nasional yang diselenggarakannya sudah jujur—sehingga perubahan model soal seperti ini diberlakukan yang berarti memukul dan menyiram muka aktor pendidikan di tingkat sekolah dan perguruan tinggi yang sering terlibat dalam pengawasan.
    Justru yang sering muncul di benak penyelenggara dan pengawas UN adalah kegiatan UN merupakan agenda rutin yang menjadi rezeki tambahan bagi mereka yang terlibat dalam kepanitian dan kepengawasannya. Sehingga sikap kritis perguruan tinggi semakin mandul melihat manajemen UN tersebut. Mestinya dari tahun ke tahun penyelenggaraan UNG semakin baik, bukan seperti yang terjadi tahun 2013 ini, dimana ada 11 provinsi (termasuk provinsi Gorontalo) terpaksa ditunda pelaksanaan UN, karena distribusi soal UN belum tuntas. Hal-hal substantive seperti ini mestinya tidak perlu terjadi jika panitia UN terus belajar dari proses UN sebelumnya.

UN project minded versus pemetaan mutu pendidikan.
   Terdapatnya berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan UN secara berulang dalam motif yang berbeda tiap tahunnya memberikan indikasi bahwa UN itu porsi “project minded” lebih besar ketimbang untuk pemetaan mutu pendidikan. Sehingga perlu evaluasi menyeluruh dari berbagai aspek, diantaranya tujuan maupun penyelenggaraannya diikuti rencana tindak lanjut (RTL) dalam bentuk program di setiap sekolah. Selama ini belum kelihatan hasil ujian nasional dijadikan referensi dalam membuat program pembelajaran remedial maupun akselarasi. Sekolah yang mendapat skor ujian nasional rendah tidak mendapatkan intervensi program, sekaligus sekolah yang nilainya bagus juga tidak mendapatkan program akselarasi sehingga skor-skor ujian nasional hanya menjadi prestise sekolah termasuk pejabat di daerah.
  Indikasi “project minded”, kelihatan dari besarnya dana yang dikucurkan untuk penyelenggaraannya dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 yang lalu kemendikbud alokasi anggaran 600 milyar, boleh jadi tahun 2013 ini mendekati angka 650 milyar. Peningkatan anggaran UN terutama untuk membayar honor panitia. Mulai dari pengawasan pendistribusian naskah ujian, hingga honor untuk pengawas UN tingkat sekolah. Ini menunjukkan project Ujian Nasional bisa dinikmati banyak pihak (tidak masalah, asalkan nilai manfaatnya sebanding dengan uang Negara yang dikeluarkan).

UN bukti “residu power” tidak efektif
   Yang lebih menarik untuk dikritisi dari pelaksanaan UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kalau di lihat dari pasal 57-59 Undang-undang tersebut, hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya belum tentu dengan model UN (Mohd Haramen,12/4/13).
  Terus dimana pemerintah memiliki landasan yuridis melaksanakan UN, tidak lain dihadirkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan UN dari SD hingga SMA. PP inilah yang menjadi dasar digelarnya UN. Terus jika kita hubungkan dengan semangat otonomi daerah dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, apakah UN ini sinergi dengan implementasi desentralisasi pendidikan?.
    Semangat otonomi daerah merupakan salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
   Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
   Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, kelihatan sekali ketika urusan pendidikan di serahkan ke daerah, melalui kebijakan desentralisasi pendidikan namun disisi lain persoalan evaluasinya masih belum dilepas. Sehingga pemerintah pusat pun masih tergoda untuk mengelolanya. Ini menunjukkan proses UN menjadi persoalan yang seksi untuk dilirik. Sekaligus persoalan UN menujukkan implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah masih belum menemukan ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25). Kita berharap desentralisasi pendidikan tidak berhenti dalam penyelenggaraanya semata, sekaligus dalam urusan evaluasi mesti diserahkan ke daerah. Sehingga ketidakpercayaan pemerintah pusat bisa dieliminir dengan memberikan kewenangan dalam melaksanakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh provinsi masing-masing (provinsi bukahkah wakil pemerintah pusat di daerah). (Dipublikasikan pada harian umum Gorontalo Post, Rabu 17 April 2013).

MANAJEMEN ADAT BERSENDIKAN SYARA’-SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH MENJADI PERILAKU PENDIDIK DALAM KONTELASI PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL

Oleh Dr. Arwildayanto, M.Pd
(Dosen Manajemen Pendidikan FIP UNG)

Pendahuluan
Memasuki usia ke-50 Tahun Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menghadirkan pemikiran-pemikiran segenap aktor pendidik dan tenaga kependidikan sebagai kontribusi dan baktinya untuk Indonesia. Sebagai warga UNG saya merespon permintaan tulisan oleh panitia penyusunan buku 50 Tahun UNG dengan tema “Memuliakan Ilmu untuk Mencerdaskan Bangsa”. Tema ini memberikan inspirasi dan daya dorong agar pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di UNG maupun yang dihasilkan memiliki karakter dan berkontribusi dalam menyebarkan virus-virus kebaikan, serta turut serta dalam pewarisan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Gorontalo yang kental dengan nilai-nilai dan tradisi keislaman yang bersumber Al-Qur’an dan Hadits. Nilai-nilai dan tradisi hulandhalo community itu kita kenal dengan Adati hulo-hulo’a to sara’a, Sara’a hulo-hulo’a to kitabi” atau adat bersendikan syara’-syara bersendikan kitabullah (ABS-SBK) sebagai kekayaan dan keanekaragaman yang perlu terus di jaga.dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

University Culture Responsibility dalam Pewarisan ABS-SBK
Usaha pewarisan nilai-nilai ABS-SBK oleh UNG menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi tridharma perguruan tinggi, sekaligus bentuk nyata dari “university cultur responsibility (UCR)”. Mestinya, pendidik dan tenaga kependidikan turut menjadi penggiat dan melakoni pewarisan nilai-nilai ABS-SBK dalam aktivitasnya di kampus maupun di lingkungan masyarakat.
Mengelaborasi nilai-nilai “ABS-SBK” menjadi seksi untuk dipublikasikan karena pertama, menjadi filosofi hidup dua komunitas besar di Indonesia yakni Gorontalo dan Minangkabau, kedua komunitas Hulondhalo dan Minangkabau terkenal di seanteroa Nusantara sebagai entitas yang “distingtif”. yakni memiliki karakternya yang khas yakni pelestarian dan pengamalan kaidah Islam yang di pandang sangat kuat baik di masa lampau maupun kontemporer, ketiga pada saat yang sama masyarakat Gorontalo dan Minangkabau juga cenderung cair, karena komunitasnya yang relative terbuka, eksvolutif, berbeda dengan kebudayaan suku Jawa yang cenderung “involutif” (Azyumardi Azra, 2012;5). Karena itu, kedua komunitas ini (Minangkabau dan Gorontalo) cenderug sangat terbuka bagi budaya luar, dengan mengorbankan budayanya sendiri, yang lebih lama menjadi distingsinya. Misalnya generasi muda Minangkabau dan Gorontalo sama-sama semakin tidak memahami nilai-nilai yang ada dalam ABS-SBK, sekaligus generasi tua pun tidak ada upaya untuk melakukan pewarisan (terjadi kealfaan) dalam melestarikan nilai-nilai ABS-SBK. Untuk itu warga UNG, termasuk pemangku kepentingan lainnya diharapkan turut serta melakoni pewarisan nilai-nilai ABS-SBK di Gorontalo.
Penulis menyakini bahwa kehadiran pemikiran dan riset tentang ABS-SBK oleh civitas UNG turut mewarnai nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan kerja para pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di kampus UNG. Untuk itu, tulisan ini mencoba menginisiasi para cendikiawan, peneliti, pendidik yang ada di UNG untuk menjadikan konsep ABS-SBK menjadi tema diskursus, opini dan kajian yang bisa disuplay untuk masyarakat lokal dalam pewarisan nilai-nilai budaya lokal. Karena ada kekuatiran isu, dan kajian ABS-SBK akan hilang oleh arus globalisasi budaya asing masuk ke Gorontalo.

Hadirnya ABS-SBK di Jazeerah Hulondhalo
Diskursus tentang ABS-SBK di Jazeraah Hulondhalo masih menjadi barang langkah, sulit mencari literature maupun forum ilmiah yang bisa dijadikan referensi. Sehingga eksistensi UNG dalam melaksanakan konsepsi UCR bisa dipercepat dengan melakukan kajian tentang ABS-SBK dalam kontelasi pewarisan budaya lokal.
Di atas penulis menjelaskan bahwa komunitas Hulandhalo tidak jauh berbeda dengan komunitas Minangkabau, dimana di lihat dari gejala kebudayaan Hulandhalo termasuk yang eksvolutif, hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah budaya, sosial dan keagamaan suku bangsa. Sejak ekspansi peradaban Islam yang menemukan momentumnya, mulai abad ke-16, Islam adalah sesuatu yang datang dari luar, penerimaannya masuk secara bertahap, sebaliknya adat berasal dari tradisi lokal yang sudah dahulu masuk ke pusaran kerajaan-kerajaan yang ada jazeerah Hulandhalo Yang lebih dikenal dengan sebutan “Pohala’a”. Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala’a, yakni Gorontalo , Limboto, Suwawa, Boalemo dan Atinggola. Kelima kerajaan ini memberikan kontribusi terterimanya filosofi ABS-SBK dalam masyarakat.
Bagaimanapun Islam bertransformasi dengan budaya Gorontalo sekaligus keniscayaan bagi kaum adat untuk menerima Islam, yang kemudian ditempatkan sejajar, Adat Bersendikan Syara’-Syara’ Bersendikan Adat sebuah proses transformasi kaum agama di dalam komunitas Hulandhalo tidak lagi terbendung dalam kesetaraan. Dinamika pembaharuan internal dalam komunitas Gorontalo yang lebih berorientasi Islam—persisnya antara nilai tasawuf yang masuk melalui kelompok Nahdiyin Muhammdiyah Ulama dari Jawa Tondano, serta kehadiran Tuanku Imam Bonjol yang diasingkan Belanda di kawasan Sulawesi Utara tidak jauh dari komunitas Hulondhalo turut memberikan akselarasi penempatan Islam di atas adat, seperti tercermin dari filosofi masyarakat Gorontalo “Adat Bersendikan Syara’-Syara’ Bersendikan Kitabullah (ABS-SBK), menurut Azra (2012;6) penempatan agama ini bisa menjadi simbolisme, ketundukkan adat di bawah hegemoni agama. Analisis ini mudahan memancing banyak tulisan yang sejenis muncul dari penggiat budaya di Gorontalo.
Akulturasi ABS-SBK ke seluruh nilai-nilai dan konsep adat Hulondhalo tidak diterima secara logika, namun di dalamnya terkandung dan terselubung filosofi yang mendalam dan bermakna, salah satunya adalah filosofi adat bersendikan syara’—syara’ bersendikan kitabullah (ABS-SBK) yang merupakan suatu filosofi hidup komunitas Hulondhalo. Memahami ABS-SBK merupakan pedoman untuk melakukan segala pekerjaan yang dibuat sekaligus sebagai pedoman hidup masyarakat Gorontalo menurut adat dan syara’ yang bersendikan pada ajaran Agama Islam, dan ajaran Islam itu lagi bersendikan pada Kitab Allah Swt, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. ABS-SBK dalam masyarakat Gorontalo memiliki dasar yang sangat kuat untuk mengikat dalam rangka mewujudkan aktivitas seseorang dan masyarakat apabila dia berhubungan dengan kelompok lain melalui kehidupan sehari-harinya. (Jamna, 2004;36)
Navis (1989;88) menjelaskan ABS-SBK meletakkan Islam sebagai sumber utama dalam pandangan hidup orang. Hakimy (1994;23) memahami bahwa Agama Islam menyempurnakan adatnya, karena ada titik persamaan dari pokok-pokok ajarannya yang sifatnya “menyandi” ajaran adat dengan ajaran iman dan syari’at. Artinya adat Hulondhalo dengan agama Islam mempunyai maksud dan ide yang sama dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat.
Amir MS (2003;120) menyatakan dalam kehidupan masyarakat dengan corak, hukum Islam seringkali bertemu dengan sistem hukum yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat Gorontalo. Selama ini tidak ada pertentangan antara kebiasan masyarakat dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan tegas dalam hukum Islam.
Berkaitan dengan adat kebiasaan ini, dalam Islam terdapat kaidah yang berbunyi “Al-Adat Mukammah”, artinya “adat kebiasaan itu dapat diterapkan sebagai landasan hukum (Sumber Al-Qur’an). Kaidah ini jelas hukum Islam tidak menganut sistem yang tertutup, menyebabkan kekakuan, statis, serta tidak memiliki dinamika. Disamping itu, juga tidak menganut sistem terbuka secara mutlak yang mengakibatkan hilangnya identitas sebagai hukum Islam. Dengan demikian dimungkinkan aturan dan hukum diterima oleh ajaran Islam, dengan sendirinya Islam segera dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam pertemuan kedua jenis hukum ini dalam masyarakat sepanjang sesuai dan serasi, maka tidak menimbulkan masalah. Namun dalam hal yang kurang seiring dan sejalan, dengan sendirinya memerlukan proses penyesuaian yang kadangkala bisa menimbulkan konflik dalam masyarakat adat itu sendiri. Sejarah sudah membuktikan bahwa pergumulan kedua hukum ini, hukum adat dan hukum Islam di Gorontalo tampaknya akan selalu berlangsung sepanjang zaman. Hal ini dibuktikan bahwa sampai hari ini filosofi ABS-SBK tetap eksis dan kokoh.

Dokrinasi nilai-nilai ABS-SBK sebagai perilaku kolektif
Akulturasi budaya hulondhalo dan nilai-nilai keislaman bisa dilihat dari proses budaya, diantaranya “walima” untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw diikuti juga pembacaan Al-Qur’an sampai pagi (dikili), pemasangan lampu memasuki hari ke-27 tiap bulan ramadhan. Bagi warga Nahdliyin yang ditimpa musibah kematian tradisi yang masih kuat itu, antara lain melaksanakan pengajian hari ke-7 dengan menyiapkan makanan dan membagikan rezeki bagi yang hadir.
Begitu juga sebagian besar prosesi adat di Gorontalo bernuansakan keislaman ini sebagian sudah mulai ditinggalkan generasi muda Gorontalo, sekaligus perlu peningkatan dan penajaman konsep ABS-SBK sebagai perilaku komunitas Hulondhalo yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Eksekusi filosofi ABS-SBK di perguruan tinggi perlu dikelola (dimenej) dalam pewarisannya sehingga menjadi collective behavior.
Hal ini tentunya diawali dari proses penanaman nilai dilakukan oleh Rektor (top leader) dengan pola kepemimpinan yang tidak pernah bosan-bosannya menyampaikan nilai kerja pada level makrifatullah (Arwildayanto, 2012;3). Adapun nilai-nilai yang relevan untuk digali dalam dunia pendidikan, diantaranya tentang keimanan, persatuan, menuntut ilmu, akhlah, penghormatan kepada kedua orang tua, kerja sebagai ibadah, dan berkenaan dengan hutang. Semua perilaku ABS-SBK itu sudah diatur dalam Al-qur’an dan Hadits baik secara implicit maupun eksplisit. Misalnya tentang keimanan, bisa dipahami Al-qur;an (3:19) artinya sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Mestinya penanamannya nilai keislaman itu, tidak cukup dalam prosesi Bai’at, diikuti siraman rohani keislaman secara terus menurus, diikuti dengan fatwa adat bahwa jika ada yang murtad, implikasi budayanya yang bersangkutan mesti keluar dari komunitas Hulondhalo, sekaligus tidak berhak menggunakan nama keluarga. Di daerah Minangkabau dijalankan secara tegas bahwa orang Minang adalah orang Islam, jika tidak Islam, maka tidak berhak menggunakan property budaya Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari. Penanaman keyakinan dalam ABS-SBK ini diikuti juga menyemarakan semangat kembali ke mesjib, sebagai medium edukasi, membangun silaturahmi, dan dakwah. Kehadiran mesjid kampus (saat ini masuk kategori renovasi), mushalla di masing-masing fakultas sebagai embrio semangat keislaman itu menjadi perilaku. Kalau perlu kegiatan perkuliahan yang ditengah-tengahnya ada suara panggilan adzan, maka dibiasakan untuk dihentikan sampai prosesi adzannya selesai. Perilaku ini mencerminkan kearifan dan penghormatan akan suara panggilan shalat, sekaligus berusaha melaksanakan shalatnya secara berjama’ah.

Relevansi Nilai-nilai ABS-SBK, Memuliakan Ilmu untuk Mencerdaskan Bangsa
Menggali Nilai-nilai ABS-SBK yang relevan dengan tugas pendidik dan tenaga kependidikan, salah satunya adalah komitmen dan usaha memuliakan ilmu untuk mencerdaskan bangsa menjadi tema sentral peringatan 50 Tahun UNG. Memuliakan ilmu untuk mencerdaskan bangsa menjadi relevan dalam meninggikan derajat bagi seseorang, suatu kaum ataupun bangsa yang memiliki peradaban keilmuan. Hal ini dipertegas dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah artinya “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka ilmunya itu Allah mempermudah jalan ke Surga”.
Untuk mengaktualisasikan cita-cita menuju surga Allah Swt, dalam aktivitasnya seorang pendidik dan tenaga kependidikan mestinya bekerja penuh keikhlasan, dan menjadikan nilai-nilai kerjanya itu sebagai ibadah dalam kapasitasnya mencerdaskan bangsa. Hal ini relevan dengan isi Al-qur’an surat Al-Jumuah (62:10), sebagai berikut :


??????? ???????? ?????????? ???????????? ??? ????????? ??????????? ??? ?????? ??????? ??????????? ??????? ???????? ???????????? ???????????

Artinya : Apabila telah ditunaikan Shalat, maka betebaranlah kamu dimuka bumi mencari karunia Allah, dan ingatkanlah Allah sebanyak banyaknya agar kamu beruntung

Pesan religious ini memberikan isyarat bahwa setiap pendidik dan tenaga kependidikan di UNG ini memahami kerja merupakan ibadah kepada Allah sebagai manifestasi kehidupan manusia untuk menunjukkan ketaatan pada Allah SWT yang menciptakan alam dan segenap isinya. Sehingga usaha memuliakan ilmu mencerdaskan bangsa pada hakekatnya seorang pendidik dan tenaga kependidikan sembari beribah sesuai dengan kapasitasnya.
Dalam manajemen ABS-SBK sebagai enkulturasi nilai-nilai lokal mesti diikuti manajemen konflik bagi semua pemangku kepentingan. Membaca kritikan Mahyudn Damis (18/05/2010) tentang falsafah ABS-SBK apakah menjadi local genius, kapan menjadi kesepakatan tokoh adat, dimulai dari kerajaan eato atau mana? Kritikan Damis boleh di pandang sebagai proses edukasi bertujuan mendapatkan informasi holistik. Semua prasangka dan pesimisme tadi mesti tidak berakhir dengan menurunnya komitmen implementasi ABS-SBK menjadi filosofi masyarakat Gorontalo yang sudah tumbuh dari collective awardness. UNG mesti ambil bagian dalam menumbuhkan “spirit de corps”, sosialisasi ABS-SBK semakin kencang, membumi seiring derasnya arus globalisasi yang merusak peradaban lokal.

Penutup
Manajemen ABS-SBK dalam enkulturasi nilai-nilai budaya lokal di mulai dari inventarisasi budaya, memaksimal peran kampus, civitas dalam mewarnai sosialisasi dan implementasi ABS-SBK sebagai kekayaan budaya lokal yang mesti diwarisi ke generasi berikutnya. Peran dan kontribusi UNG merupakan perwujudan university culture responsibility (UCR) yang eksis di tengah komunitas Hulondhalo.

Referensi

Al-Qur’an dan Hadits.
Amir, MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Arwildayanto (2011), Budaya Kerja Dosen (studi Kualitatif di Universitas Negeri Padang), Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Azyumardi Azra, (2013), Konsolidasi Kultural Suku Bangsa Minangkabau; Aktualisasi ABS-SBK di Tengah Tantangan Lokal, Nasional dan Global; Gebu Minang: Jakarta.