JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA | ISSN 2088-6020 | VOL. 1, NO. 1-MEI 2011

MODERNISASI DALAM NOVEL BELENGGU
KARYA ARMIJN PANE
“Sebuah Kajian Sosiologi Sastra”
Oleh: Muslimin

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) menejelaskan mengenai tokoh-tokoh dalam cerita novel Belenggu yang ingin mengikuti tradisi modern, (2) menganalisis mengenai peran tokoh dalam novel Belenggu yang tertarik pada tardisi yang bertentangan dengan budaya bangsa yang dipelihara sejak dahulu, dan (3) menemukan tema yang terdapat dalam novel Belenggu.
Untuk menganalisis data penelitian ini digunakan pendekatan sosiologi sastra. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Berdasarkan analisis data penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) Novel Belenggu yang lahir sejak masa perang dunia II yang melukiskan mengenai nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca tentang gejolak yang terjadi pada saat itu, (2) Dalam Novel ini, akhir dari suatu cerita tidak tetap, selalu berubah-ubah sehingga pembaca sulit untuk menebak, (3) Karena ingin mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Maka saat ini berbagai belenggu seperti yang tergambar dalam novel ini terus hadir dengan berbagai rupa, tidak hanya subjektivitas obsesif, masa lalu, atau euforia—seiring dengan transformasi dan transisi budaya yang terus berlangsung, (4) Novel ini diharapkan dapat menginspirasikan refleksi dan banyak hal lain berkaitan dengan cara kita bersiasat menghadapi berbagai bentuk belenggu tersebut.
Adapun tema dalam cerita ini adalah mengenai kehidupan yang tidak bebas atau terbelenggu.

Kata Kunci: Modernisasi, Novel, Belenggu, Sosiologi Sastra

PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, Belenggu merupakan novel karya anak bangsa pada masa perang ke-II dengan penuh penghayatan dapat mengkomposisikan penceritaan dan nilai-nilai kebaruan yang dimunculkan, sehingga membuat novel ini bebas dari konvensi prosa lama (Junus, 1986). Lebih lanjut Jurus mengatakan bahwa Armijn Pane sengaja meninggalkan tradisi hikayat. Hal ini antara lain dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek untuk memberikan kesan gerak (sense of movement).
Kesadaran akan penceritaan inilah kemudian Armijn Pane sengaja mempertentangkan antara pemakaian bahasa dan suasana modern dengan nada tradisi dalam cerita belenggu, sehingga sejalan dengan pertentangan antara tradisi dan modern yang merupakan persoalan. Persoalan pertentangan antara modernitas dengan tradisi inilah (di luar pemakaian bahasa), yang kemudian dialami atau diperankan oleh tokoh Tono, atau Sukartono, yang ingin mengikis sedikit tradisi feodal bangsanya dengan bergaya ala kaum liberal.
Berawal ketika dokter Sukartono, dokter yang hidup berkecukupan bersama istrinya yang bernama Tini. Pada zaman Kolonial saat itu, memang sedikit orang yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat karena dianggap mempunyai kemampuan lebih. Di sini, Sukartono yang kerap kali dipanggil Tono, menjadi dokter yang mempuanyai jam terbang tinggi, bahkan ia memiliki popularitas di kalangan bangsawan saat itu.
Tono mempunyai sifat suka sekali berganti-ganti perempuan, sebelum ia benar-benar menikah dengan istrinya Tini. Setelah menikah dengan Tini, kehidupan Tono seakan terpenjara dalam “belenggu” yang dibuat Tini, ia ingin seperti dulu, bergaul dengan banyak perempuan, kembali hidup sebagai manusia yang liberal. Kesempatan itu datang juga, ketika Tono berkenalan dengan Eni, pasiennya, dari pasiennya inilah kemudian Tono mendekonstruksi “hikayat” tradisi yang ada dalam keluarganya, dan dirinya.
Ada beberapa gaya-gaya modern yang ditampilkan dalam novel ini. Misalnya (1) kemodernitas dari segi bahasa, yaitu dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia, (2) kemodernitas gaya hidup penokohan, yang mencoba mengkritik feodalisme yang penuh dengan “belenggu”, tidak terus melenakan Armijn Pane dalam membuat unsur-unsur intrinsik lainnya bersenyawa. Penceritaannya telah mempunyai kesan kemodernitas.
Dengan gaya penceritaan seperti ini, seolah-olah Armijn Pane ingin membebaskan diri dari belenggu yang menganggu berbagai aktivitasnya.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka beberapa masalah yang terkait dengan modernisasi dalam Novel Belenggu sebagai berikut.
1. Apakah tokoh-tokoh dalam cerita novel Belenggu sanggup keluar dari tradisi bangsanya yang feodal menuju tradisi modern?
2. Mengapa para tokoh dalam novel ini justru tertarik pada tardisi yang bertentangan dengan budaya bangsa yang dipelihara sejak dahulu?
3. Apakah tema yang terkandung dalam novel Belenggu?

KAJIAN TEORETIS

Pada dasarnya setiap gugus kebudayaan selalu berada dalam situasi dinamis yang setiap saat mengalami perubahan. Di satu sisi, ia berjumpa dan bergaul dengan gugus kebudayaan yang lain. Di sisi yang lain, ia mengalami pergesekan internal di antara berbagai elemen di dalam untuk menafsirkan kembali nilai-nilai dan fondasi kebudayaannya. Sudut pandang semacam ini menegaskan bahwa kebudayaan bukan semata produk atau sesuatu yang diciptakan, tetapi lebih merupakan proses atau kata kerja sehingga ia sangat berkaitan dengan agenda dayacipta masyarakat. Merujuk pada tipologi Sutan Takdir Alisjahbana, kebudayaan ditandai dengan tiga aspek pokok, yaitu (1) aspek ekspresif dalam seni dan agama, (2) aspek progresif dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi, dan (3) aspek organisasional dalam politik, yaitu dalam kekuasaan dan solidaritas (Kleden, 1988:166-181).
Melalui ketiga aspek inilah dayacipta kebudayaan selalu tampak bergerak dalam proses perubahan. Perubahan dalam kebudayaan melibatkan proses tawar-menawar yang mengharuskan setiap individu dalam masyarakat bergulat dengan warisan kebudayaan yang dimilikinya untuk menatap tantangan masa depan dengan penuh keberanian. Karena kebudayaan adalah juga paradigma kultural (cultural paradigm) bagi seseorang yang akan sangat menentukan bentuk dan sudut pandangnya melihat persoalan di sekitar, tak jarang transformasi dan transisi kebudayaan memperlihatkan sebuah pergolakan dan kontroversi yang intens. Intensitas itu terjadi karena manusia sebagai subjek kebudayaan pada titik yang sama berada di dalam paradigma-kultural lama yang melingkupinya, sementara ia juga dituntut untuk dapat mengambil jarak agar dapat melihat paradigma baru yang dinegosiasikan itu secara lebih jernih. Oleh karena itu, transformasi dan transisi kebudayaan itu pada tingkat tertentu dapat mengantarkan subjek kebudayaan pada situasi krisis yang mengguncang paradigma-kulturalnya yang lama (Kleden, 1988: 185-189).
Guncangan budaya dan krisis paradigmatis tersebut menjadi salah satu tema yang muncul dalam karya sastra modern. Karya sastra modern menjadi saksi yang mendokumentasikan pergulatan para subjek kebudayaan menghadapi perubahan. Karya sastra jenis ini di Indonesia sudah muncul sejak awal perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Tineke Hellwig, dalam karyanya yang meneliti citra perempuan dalam sastra Indonesia, memulai ulasannya dengan mengupas tiga karya sastra yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia, yakni Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Merantau ke Deli (Hamka, 1939), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940).
Ketiga penulis terkemuka ini menurut Hellwig termasuk generasi awal yang mengenyam pendidikan Barat, yang juga terlibat dalam perdebatan tentang modernitas dan modernisasi di Indonesia. Karena itulah, dalam karya-karya mereka terdapat refleksi dan diskusi tentang pengaruh modernitas yang mulai masuk ke Indonesia atau tabrakan-tabrakan yang keras antara apa yang disebut sebagai “modern dan tradisional”, “Barat dan Timur”, “kodrat dan hak asasi”, dan terutama “individualitas atau independensi dan ketergantungan” (Swastika, 2004).
Dalam konteks kesenian dan kebudayaan, Denys Lombard (2005:199-201) menggambarkan periode Indonesia sebelum kemerdekaan ini dalam Nusa Jawa: Silang Budaya dalam satu bab yang diberi judul “Kebimbangan dalam Estetika”. Dalam bab tersebut, Lombard memberikan sebuah pemaparan yang cukup utuh tentang berbagai ranah kebudayaan Indonesia yang mengalami “kebimbangan” menghadapi pengaruh pandangan-dunia Barat, mulai dari seni rupa, seni musik, seni pertunjukan, hingga kesusastraan.
Menurut Lombard, berbagai paham Barat yang mulai berkenalan dengan berbagai generasi terutama kaum intelektual Indonesia yang sebenarnya menunjukkan gejala runtuhnya “asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia dan lingkungannya” seperti tergambar dalam pandangan-dunia Timur pada umumnya. Berbagai isme, mulai dari naturalisme, realisme, hingga eksistensialisme, menempatkan tugas pujangga tidak lagi untuk memberikan suatu bagan yang koheren dan citra global pada berbagai hal yang dapat menggambarkan atau bahkan memperkuat keselarasan dan keterkaitan hakiki antara makrokosmos dan mikrokosmos. Isme-isme itu memosisikan pujangga untuk “melihat” dan membeberkan hal-hal “sebagaimana adanya”, untuk menjadi “saksi”, menyelidiki secara cermat, menganalisis dan memerikan realitas. Penemuan realisme ini tergambar dari ciri roman Balai Pustaka yang pertama—dan roman Poedjangga Baroe—yang tampil sebagai roman bertesis, yang dibangun berdasarkan suatu bagan, dan “tokoh-tokohnya masih merupakan stereotip yang dengan susah payah ditempeli tanda-tanda lahir suatu individualitas”.

PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN INI

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren (1956) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Umar Junus (1986) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. Michel Zerraffa mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
Ditinjau dari pendekatan sosiologi sastra, karya sastra itu mengeksploitasi manusia dan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra penting dan dengan sendirinya perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus teori-teori yang berkaitan dengannya. Meskipun masalah sastra dan manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh sebelumnya, sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dengan menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra seperti yang terdapat dalam novel “Belenggu” tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk melihat secara mendalam mengenai isi atau pesan yang sampaikan pengarang pada novel Belenggu, akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Tokoh dalam kisah
1. Dokter Sukartono, disapa Tono
2. Sumartini, disapa Tini, istri dokter Sukartono
3. Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, disapa Yah, teman kecil dokter Sukartono
4. Hartono alias Abdul Syukur, disapa Har, teman sekolah dokter Sukartono sewaktu di Malang
5. Karno, bujang pasangan Tono dan Tini
6. Abdul, supir Tono
7. Pasangan Mangunsucipto dan Tati, paman dan bibi Tini
8. Ibu Rusdio, Nyonya Sutatmo, Nyonya Sumarjo, Aminah

PEMBAHASAN
Sinopsis
Novel Belenggu
Karya Armijn Pane
Dokter sukartono menikah dengan seorang perempuan berparas ayu, pintar serta lincah. Perempuan itu bernama Sumartini dengan panggilan Tini. Sebenarnya Dokter Sukartono tidak mencintai Sumartini. Begitu juga sebaliknya dengan Tini, ia tidak mencintai Dokter Sukartono. Mereka menikah berdua dengan membawa alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantikan, kecerdasan serta kelincahan yang dimilikinya.
Menurut pikiran Dokter Sukartono perempuan yang cocok untuk mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sumartini sendiri menikahi Dokter Sukartono, karena dia hendak melenyapkan sejarah masa silamnya. Dia berpendapat menikah dengan seorang dokter, maka besar kemungkinan dia berhasil melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi keduanya tidak saling mencintai. Keduanya mempunyai alasan masing-masing mengapa mereka sampai jadi menikah. karena mereka tidak saling mencintai, mereka berdua juga tidak pernah akrab
Dokter Sukartono dengan Sumartini jarang sekali bertukar pikiran atau berbicara. Masalah yang mereka hadapi masing-masing tidak pernah mereka usahakan dipecahkan secara bersama-sama layaknya suami-istri. Masing-masing memecahkan masalahnya dengan sendiri-sendiri. Karena hal itu, keluarga ini tidak harmonis dan terasa hambar, mereka sering salah paham dan suka bertengkar.
Ketidak harmonisan keluarga ini semankin menjadi-jadi sebab Dokter Sukartono sangat bertangung jawab dan mencintai pekerjaannya sebagai seorang dokter. Dia bekerja menolong orang tanpa mengenal waktu. Jam berapapun pasien yang membutuhkan pertolongannya, Dokter Sukartono dengan sigap berusaha membantunya. Akibatnya, Dokter Sukartono melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dia sering meninggalkan istrinya sendiri di rumah. Dia betul-betul tidak punya waktu lagi untuk mengurus istrinya Tini.
Dokter Sukartono begitu dipuja dan dicintai oleh pasien-pasienya. Dia tidak hanya suka menolong kapanpun waktunya orang butuh pertolongan, tapi dia juga tidak meminta bayaran kepada pasiennya yang kebetulan tidak punya uang. Itulah sebabnya Dokter Sukartono sangat terkenal sebagai seorang dokter yang sangat dermawan. Akan tetapi kesibukan Dokter Sukartono yang demikian tak kenal siang maupun malam itu, semankin memicu percekcokan dalam rumah tangganya sendiri.
Dokter sukartono menurut Sumartini sangat egois. Sumartini merasa disepelekan. Dia bosan terus sendirian, karena ditinggalkan Dokter Sukartono yang selalu sibuk menolong pasien-pasienya. Sumartini merasaka dirinya telah dilupakan dan merasa bahwa derajat serta martabatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak Dokter Sukartono. Haknya dan derajatnya sebagai seorang perempuan telah dilalaikan oleh Dokter Sukartono.
Sumartini menuntut haknya sebagai seorang perempuan. Karena merasa haknya sebagai seorang perempuan itu tidak mampu dipenuhi oleh suaminya Dokter Sukartono. Hampir tiap hari mereka berdua bertengkar. Masing-msing tidak ada yang mau mengalah. Keduanya saling ngotot dan merasa paling benar.
Suatu hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seseorang yang mengaku dirinya sedang sakit keras. Wanita itu memintak Dokter Sukartono datang ke hotel tempat wanita itu menginap. Setelah mendapat panggilan itu, Dokter Sukartono pergi ke hotel itu, dan terkejut bahwa pasien yang memanggilnya itu tidak lain adalah Yah atau Rohayah.
Dokter Sukartono sudah lama kenal dengan Rohayah. Dia sudah kenal sejak kecil, sewaktu masih bersekolah di sekolah rakyat. Rohayah adalah teman sekelasnya.Yah waktu itu sudah menjadi seorang janda. Dia korban kawin paksa karena tidak sangup hidup dengan suami pemberian orang tuanya, Rohayah kemudian melarikan diri ke Jakarta. Dia di Jakarta terjun ke dunia nista yaitu menjadi wanita panggilan.
Rohayah sendiri sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayal Dokter Sukartono itu adalah suaminya. Itulah sebabnya secara diam-diam pula dia mencari alamat Dokter Sukartono. Setelah ketemu, Rohayah langsung menghubungi Dokter Sukartono. Ia pura-pura sakit, agar Dokter Sukartono mau datang. Karena Rohayah sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga Ia langsung mengoda Dokter Sukartono. Rohayah sangat ahli dalam mengoda dan merayu laki-laki.
Pada waktu pertama kali datang ke hotel tempat dia menginap, Dokter Sukartono tidak begitu tergoda oleh rayuan Rohayah, tetapi karena Rohayah sering meminta Dokter Sukartono datang ke hotel untuk menyembuhkan penyakitnya, Dokter Sukartono lama kelamaan tergoda juga. Rohayah sangat pintar memberi kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono. Selama ini ia tidak pernah mendapatkan ini dengan Sumartini istrinya di rumah. Akibatnya , karena dirumah tidak pernah merasa tenteram karena terus bertengkar dengan istrinya, maka Dokter Sukartono sering menggunjungi Rohayah.
Hotel tempat Rohayah menginap itu, dirasakan oleh Dokter Sukartono sudah tak ubah rumah kedua. Lama-kelamaan hubungan Rohayah dan Sukartno ini, akhirnya di ketahui juga oleh Sumartini. Betapa panas hati Sumartini mendengar hubungan gelap suaminya dengan seorang wanita yang bernama Rohayah itu. Betapa ingin dirinya melabrak wanita yang bernama Rohayah itu. Secara diam-diam Sumartini pergi ke hotel tempat Rohayah menginap dengan membawa segudang kekesalan dan dendam pada Rohayah. Dia hendak mengatai Rohayah habis-habisan karena telah mengambil dan menggangu suami orang,. Akan tetapi setelah ia bertatap dengan Rohayah, Sumartini menjadi luluh.
Sedalam kebencian dan nafsu marahnya pada Rohayah tiba-tiba lenyap. Rohayah yang dianggapnya sebelumnya adalah seorang wanita jalang, teryata adalah seorang wanita yang lembut dan penuh keramahan. Sumartini menjadi malu pada Rohayah. Dia merasa selama ini, telah bersalah pada Dokter Sukartono. Dia tidak bisa menjadi seorang istri yang didambakan oleh Dokter Sukartono suaminya selama ini.
Sepulang pertemuanya dengan Rohayah, Sumartini mulai berpikir kembali tentang dirinya. Dia merasa malu dan bersalah pada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah menberi kasih sayang yang lembut pada suaminya. Selama ini ia selalu kasar pada suaminya dan dan merasa bahwa ia telah gagal menjadi seorang istri. Akhirnya Tini memutuskan akan memilih pisah dengan Dokter Sukartono.
Permintaan Sumartini istrinya untuk berpisah diterima dengan berat oleh Sukartono. Bagaimanapun Sukartono tidak mengharapakan terjadinya perceraian antara mereka. Dokter Sukartono pun telah mintak maaf pada Sumartini. Dia telah merubah tingkah lakunya, namun keputusan Sumartini sudah bulat. Dokter Sukartono tidak mampu menahanya dan akhirnya mereka bercerai. Sangat sedih hati Sukartono bercerai dengan Sumartini. Tambah sedih lagi hati Dokter Sukartono, sebab ternyata Rohayah juga pergi. Rohayah hanya meninggalkan sepucuk surat, yang mengabarkan bahwa dia mencintai Dokter Sukartono dan Rohayah juga mengabarkan bahwa ia meninggalkan tanah air untuk selama-lamanya dan pergi ke negeri Calidonia. Dokter Sukartono sedih dengan kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya dan mengabdi disebuah panti asuhan yatim piatu.

Misi Modernisasi yang Ditampilkan para Tokoh
Dalam konteks kesusastraan dan kondisi sosial Indonesia menjelang kemerdekaan, novel Belenggu karya Armijn Pane (1908-1970) memiliki keistimewaan tersendiri. Jakob Sumardjo (2000: 530-534) menjelaskan bahwa latar belakang sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 itu menulis novel Belenggu ini disebabkan oleh politik penerbitan Balai Pustaka yang enggan memberikan pengalaman intelektual kepada para pembacanya. Armijn Pane tidak puas karena novel-novel yang terbit sebelumnya “tidak bersifat intelektual”. Menurut Armijn Pane tugas pengarang adalah melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan struktur kepribadian mereka masing-masing, sehingga novel kemudian menurut pendapatnya selayaknya berupa realisme kejiwaan. Menulis adalah tindakan objektif sehingga pengarang harus menjaga agar subjektivitasnya tak menyelusup ke dalam karyanya.
Gagasan Armijn Pane, yang pernah mendapat penghargaan Anugerah Seni pada tahun 1967 dari pemerintah karena karya-karyanya dan jasa-jasanya dalam bidang sastra terutama dalam bidang Sastra Indonesia Modern, terbilang sangat maju dan cukup berbeda dengan arus utama zamannya, sehingga tak heran jika Belenggu ditolak oleh Balai Pustaka dan akhirnya diterbitkan oleh penerbit swasta dengan minat intelektual, Dian Rakyat. Selain filosofi kepenulisannya yang berbeda, novel Belenggu juga mengangkat tema yang pada saat itu terbilang tabu, yakni masalah perselingkuhan dalam keluarga. Perselingkuhan waktu itu dipandang sebagai masalah pribadi dalam kehidupan rumah tangga yang tak pantas dibicarakan secara terbuka—berbeda dengan sekarang, ketika gosip masalah rumah tangga oleh media massa dapat disulap dan ditampilkan dengan label “hiburan”.
Ada tiga tokoh utama yang menjadi pusat cerita novel ini. Yang pertama adalah dokter Sukartono (Tono), seorang dokter yang sangat mencintai pekerjaannya dan memiliki kepedulian kemanusiaan yang cukup tinggi sehingga dia dikenal sebagai dokter dermawan dan penolong. Tokoh kedua adalah Sumartini (Tini), istri Tono. Ia seorang perempuan modern yang tak ingin terkungkung dalam belenggu kehidupan domestik keluarga dan memiliki banyak aktivitas sosial di luar rumah. Di sisi yang lain, ia merasa diabaikan oleh suaminya yang waktunya banyak tersita mengurusi pasien. Tokoh ketiga adalah Nyonya Eni, alias Siti Rohayah (Yah), alias Siti Hayati. Yah adalah perempuan korban kawin paksa yang karena frustrasi kemudian hidup sebagai bungaraya—tapi ia juga gemar membaca. Ia teman lama Tono yang secara diam-diam mencintainya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ketiga tokoh utama novel ini berasal dari kelompok sosial yang dapat disebut kaum intelektual.
Ketiga tokoh utama ini berinteraksi dalam ketegangan atmosfer perselingkuhan yang digambarkan sejak bagian pembuka novel ini. Kisah dalam novel ini diawali dengan penggambaran keretakan hubungan Tono dan Tini, yang dilukiskan dengan cara menyajikan Tono yang baru pulang menangani pasien dan tengah kebingungan mencari-cari bloknot yang berisi pesan telepon dari para pasien. Mestinya Tini yang bertugas mencatat dan menyimpan bloknot itu di dekat pesawat telepon. Tapi Tono tak menemukannya. Pada bagian ini digambarkan Tono yang kesal, dan di bagian yang lain kemudian ditegaskan perasaan Tini yang tak sudi menjadi “budak suruhan penjaga telepon” (hlm. 17, 62).
Selanjutnya, cerita berlanjut pada benih perselingkuhan yang kemudian terjadi antara Tono dan Rohayah. Dengan menyamar sebagai pasien yang pura-pura sakit dan perlu ditolong, Rohayah memanggil Tono untuk mengobatinya. Saat pertama kali bertemu, Tono tak ingat bahwa perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Eni dan tinggal di sebuah hotel itu adalah teman lama yang memang mendambakan cintanya Tono sejak dahulu.
Pada pertemuan pertama, Tono memang berhasil selamat dari jebakan Nyonya Eni. Tono tak tergoda. Akan tetapi, situasi kritis yang tengah dihadapi ikatan pernikahan Tono dan Tini memungkinkan perselingkuhan berlanjut dengan nyaris mulus. Tono, yang mengharapkan sosok seorang istri yang dapat melayani dan mendukung profesinya sebagai seorang dokter, tak menemukan itu pada Tini. Sebaliknya, pada sosok Rohayah, Tono menemukan pemenuhan atas harapan-harapannya akan seorang istri yang “berlutut, membukakan tali sepatu” atau “menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah” (hlm. 17, 33).
Jika Tono mewakili gagasan tentang pernikahan dalam paradigma “konvensional”, dalam novel ini Tini ditampilkan memiliki pandangan yang berseberangan. Menurut Tini, sebagai istri, perempuan juga berhak untuk “menyenangkan pikiran, menggembirakan hati” karena dia “manusia juga yang berkemauan sendiri”. Tini mengibaratkan istri yang hanya tinggal di rumah sebagai “barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih, sekali setahun dijemur di luar”. Tini menolak situasi yang demikian. Dia menegaskan, “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki” (hlm. 53).
Di bagian yang lain, dalam dialog melalui surat dengan sahabatnya bernama Tati, Tini menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis serupa.
“Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu” (hlm. 71).

Pikiran-pikiran Tini dan berbagai gagasan yang ditampilkan dalam novel ini dapat dikatakan cukup maju untuk sebuah pandangan beraroma feminisme di zamannya. Salah satu diskusi cukup hangat yang bersifat filosofis tentang eksistensi perempuan dalam pernikahan adalah negosiasi yang mesti dihadapi perempuan antara tuntutan aspek personal-eksistensial seperti gagasan Tini atau Tati di atas dan aspek sosial pernikahan untuk dapat memenuhi harapan “masyarakat” (baca: laki-laki). Eko Bambang Subiantoro (2002:7-18) memaparkan bagaimana dalam pernikahan dan atau keluarga dalam masyarakat patriarki terjadi sublimasi identitas dan eksistensi diri perempuan pada laki-laki.
Karlina Supelli (2003: 12-21) menunjukkan bagaimana makna hidup bagi perempuan setelah masuk ke dalam keluarga lebih sebagai hidup untuk memenuhi harapan masyarakat, masuk ke kawasan the generalized other, mengubur “diri” dalam sosialitas “fungsi”. Gugatan Tini dan Tati di atas kurang lebih mirip dengan penggambaran Simone de Beauvoir (1908-1986), filsuf Prancis terkemuka dan tokoh feminis, saat menggambarkan takdir perempuan dalam keluarga yang terjebak dalam rutinitas domestik yang nyaris tak bermakna. Beauvoir bahkan mengibaratkannya dengan kutukan Sisifus—sosok yang dipopulerkan oleh Albert Camus (1913-1960) untuk menggambarkan absurditas hidup.
Her home is thus her earthly lot, the expression of her social value and of her truest self. Because she does nothing, she eagerly seeks self-realization in what she has… Few task are more like the torture of Sisyphus than housework, with its endless repetition: the clean becomes soiled, the soiled is made clean, over and over, day after day (Beauvoir, 1989: 451).
(Rumahnya menjadi takdir perempuan di dunia, ekspresi nilai sosialnya dan dirinya yang sejati. Karena tidak melakukan apa-apa, dengan bersemangat perempuan mencari pewujudan dirinya pada apa yang dia miliki… Beberapa tugas lebih seperti penderitaan Sisifus daripada pekerjaan rumah, dengan pengulangan tanpa akhir: barang yang bersih menjadi kotor, yang kotor dibersihkan, begitu terus-menerus, hari demi hari).

Unsur-Unsur Intrinsik
Istilah unsur-unsur intrinsik dalam kajian ini adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah suatu upaya untuk mencoba memahami karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari (a) tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh, (b) tema dan amanat, (c) latar, (d) alur, dan (e) sudut pandang/gaya penceritaaan
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas beberapa unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam Novel Belenggu.
a. Tema
Tema yang diangkat novel ini tergolong tabu. Tokoh-tokoh dalam novel ini tak bisa secara vulgar membicarakan masalah keretakan kehidupan keluarga mereka dengan orang lain, karena hal itu masih dipandang sebagai aib pribadi dan keluarga. Dalam konteks tokoh perempuan, jawaban lain yang mungkin diajukan adalah karena perempuan tak dapat bersuara dengan cukup leluasa untuk mengutarakan kegalauan dan gugatan mereka. Menghadapi tekanan budaya patriarki yang menempatkan perempuan tak sejajar dengan kaum laki-laki, dialog yang adil seperti menjadi sesuatu yang terlalu sulit diperoleh. Karena jalur komunikasi interpersonal sudah tak menjanjikan situasi yang nyaman dan setara, maka perempuan kemudian lebih banyak bergulat dengan monolog pribadi. Kemungkinan kedua ini menjadi lebih kuat dan mengemuka karena tema yang dibicarakan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini terbilang sensitif dan berkaitan dengan paradigma-kultural yang baru. Terlepas dari sikap setuju atau tidak, gugatan Tini berkaitan dengan tatanan keluarga pada zamannya tampak sebagai sesuatu yang luar biasa.
Dari pemaparan singkat ini, tampaklah keistimewaan novel Belenggu yang memiliki semangat berbeda dengan novel-novel yang lahir pada era sebelum kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane tak hendak membela salah satu tokoh yang ditampilkan dalam novel ini. Akan tetapi, dengan pilihan gaya penyajiannya yang ingin tampil “objektif”, novel ini justru dapat menyajikan belitan-belitan konflik yang dihadapi para tokohnya dengan cukup menawan sehingga dapat menghadirkan berbagai sudut pandang baru yang unik, reflektif, dan mencerahkan. Membaca novel dengan gaya penyajian seperti ini mensyaratkan “keterlibatan dan kesediaan mengalami” dari pembaca untuk masuk ke relung batin tokoh-tokohnya (Sahal, 1999: 4). Dengan cara ini, monolog para tokoh utama novel ini pada gilirannya dapat mendorong dan menjelmakan monolog reflektif si pembaca dalam konteks yang lebih pribadi dan eksistensial.
Jika dilihat dari segi “pesan” dan tema yang diangkat, nilai kontekstual novel ini akan tetap terasa dan relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini. Proses transisi budaya dengan berbagai guncangan dan efek-efeknya masih terus terjadi hingga kini, termasuk juga menyentuh pada ranah kehidupan keluarga. Bahkan, guncangan terhadap keluarga saat ini terasa lebih keras dibandingkan dengan situasi awal abad ke-20 yang menjadi setting novel ini. Arus deras globalisasi dan perubahan gaya hidup yang semakin mendunia cenderung memosisikan keluarga dalam situasi yang rentan dan mudah karam. Tantangan yang dihadapi bahtera keluarga saat ini sungguh berat. Tugas dan fungsi keluarga saat ini banyak yang tumpang-tindih dan diambil alih oleh berbagai pranata sosial yang lain (Kieser, 2003: 4-7). Televisi, misalnya, saat ini nyaris menjadi salah satu “pemeran pengganti” orang tua dalam melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai.
Sementara itu, di sisi yang lain, gagasan-gagasan emansipasi seperti yang diusung oleh Tini saat ini telah tiba pada tingkat pencapaian yang cukup jauh. Jika Tini dahulu menuntut agar perempuan memperoleh haknya untuk menyalurkan kehendak dan cita-citanya di sektor publik, maka saat ini gagasan seperti itu sudah tak cukup asing lagi dan relatif lebih diterima. Otonomi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam ruang keluarga sudah lebih baik—meski memang belum purna. Akan tetapi, dalam konteks feminisme, saat ini terjadi “serangan balik” terhadap perempuan saat mereka dibayang-bayangi oleh belenggu mitos kecantikan dan konsumerisme yang berkongkalikong dengan penguasa modal (Wolf, 2004: 25-26, 129).
b. Alur
Alur novel ini cukup dapat ditebak. Pada akhirnya Tono dan Tini tak kuasa mempertahankan bahtera keluarga mereka. Keduanya bercerai. Tini berangkat ke Surabaya dan mengabdikan diri pada sebuah panti asuhan yatim piatu. Namun demikian, Tono akhirnya juga tak mendapatkan Rohayah dan harus rela menerima kesendiriannya, karena Rohayah sendiri memutuskan untuk pergi ke Kaledonia Baru tanpa pamit.
Dengan bertolak dari semangat realisme kejiwaan, Armijn Pane dalam novel ini mencoba bersikap “objektif”. Tak ada penilaian moral atas perselingkuhan yang dilakukan antara Tono dan Rohayah. Tak ada isyarat atau penjelasan tentang pihak mana yang dipandang benar atau pihak mana yang patut dipersalahkan (Kleden, 1988: 205). Padahal, dalam bingkai kultur masyarakat patriarki, dalam kasus perselingkuhan perempuan sering kali dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam yang harus menanggung kesalahan—apalagi perempuan yang memang hidup sebagai “perempuan panggilan” seperti Rohayah. Pilihan Armijn Pane untuk tak memberi penilaian moral atas kasus perselingkuhan ini jelas berseberangan dengan arus utama semangat kepenulisan di zamannya. Seperti dicatat oleh Lombard (2005: 201), pada waktu itu para penulis “pada dasarnya masih sangat dihantui oleh pikiran bahwa karya mereka harus menyampaikan suatu amanat, harus memberikan pelajaran moral, harus mendidik”.
Tak terjebak pada sikap menghakimi yang kadang bersifat apriori seperti itu, fokus uraian Armijn Pane dalam novel ini justru terletak pada situasi batin ketiga tokoh utamanya itu. Pada titik inilah kita dapat menemukan keistimewaan lain novel ini. Monolog atau komunikasi intrapersonal yang bersifat reflektif di antara ketiga tokohnya digali dan tersaji begitu intens, sehingga situasi transisi dan guncangan budaya yang dialami masyarakat Indonesia ketika itu menjadi tergambar lebih jelas—terutama dari perspektif perempuan. Pergulatan batin para tokoh yang dipaparkan dalam novel ini cukup menarik untuk dicermati lebih mendalam.
Paling tidak ada dua titik fokus yang bisa diambil untuk melihat lebih dekat pergulatan batin tokoh-tokoh utama novel ini. Yang pertama berkaitan dengan substansi pergulatan itu digambarkan, sehingga dari situ pada tingkat tertentu dapat terlihat “pesan terselubung” yang ingin disampaikan penulis. Gugatan-gugatan Tini, kegelisahan Rohayah dan juga Tono pada taraf tertentu memperlihatkan kadar perenungan yang mendalam dan berani. Dalam bingkai transisi kebudayaan, refleksi yang dilakukan para tokoh utama dalam novel ini tak lain adalah negosiasi untuk menghadapi senja kala keluarga yang tak mampu memenuhi harapan para tokohnya masing-masing.
c. Penokohan
Tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama dua tokoh perempuan, yakni Tini dan Rohayah, memperlihatkan sikap berani yang cukup menarik diamati. Keputusan mereka untuk lepas dari ikatan keluarga dan cinta. Tini yang bersikeras untuk bercerai dan Rohayah yang memutuskan untuk melanjutkan petualangannya di saat kemungkinan untuk menjalin kehidupan berkeluarga dengan Tono mulai terbuka, seperti menegaskan bahwa keduanya adalah sosok yang kuat, mandiri, dan berani menanggung risiko. Dalam perspektif pemikiran Beauvoir, keputusan tindakan kedua perempuan dalam novel ini seperti ingin menunjukkan bahwa mereka bukanlah jenis kelamin kedua (the second sex) yang tak berdaya dan takut dengan pilihan kebebasannya (Swastika, 2004). Sedang mengenai Tono, Armijn Pane menggambarkan di akhir kisah bagaimana dia menatap masa depannya dan kesadarannya untuk lepas dari belenggu subjektivitasnya.
Diapun insaf, sekali-sekali manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya, tetapi hal itu hanya untuk sementara waktu saja, sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke masa yang baru, ketika belenggu zaman dahulu terlepas sama sekali, matapun dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang (hlm. 148)

Dalam kisah pergulatan batin para tokoh novel ini menghadapi belenggunya masing-masing, kita dapat merasakan perasaan bimbang, “rusuh”, pedih, dan dilema yang mengombang-ambingkan mereka. Hal ini turut menegaskan kadar akut problem yang mereka hadapi. Dalam situasi disharmoni, Tono dan Tini kadang merindukan keintiman keluarga seperti yang mereka lihat pada sahabat-sahabat di sekitar mereka. Dalam beberapa bagian novel ini digambarkan tentang bagaimana harapan-harapan, kerinduan, dan kebimbangan itu muncul (hlm. 57, 72, 77-78, 89-90). Akan tetapi, nyatanya Tono dan Tini tetap saja terbelenggu dengan subjektivitas dan egoisme mereka—tak ada yang mau mengalah.
Khusus mengenai Tini, diceritakan bahwa puncak kegelisahan Tini terjadi saat ia berjumpa dengan Hartono yang mengunjungi suaminya, Sukartono, yang kebetulan sahabat lamanya. Sementara itu, Hartono adalah mantan kekasih Tini. Dalam pertemuan itu, terjadi perbincangan mendalam tentang bagaimana keduanya menghadapi belenggu masa lalu dan obsesi mereka masing-masing. Di akhir perjumpaan, Armijn Pane menggambarkan:
Tini menganjurkan tangannya, hendak berjabat tangan. Dijabat oleh Hartono, terasa padanya tangan Tini dingin dan lenyap. Didalam hati Hartono, seolah-olah hidup, berkembang. Katanya dengan gembira: “Selamat tinggal Pop, sama-sama berani hidup, kehidupan baru. Mari kita pikul beban kita, mari kita buang belenggu semangat kita.”
…Tini tersenyum: “Benarlah, masing-masing manusia mempunyai beban, marilah kita pakai beban itu untuk alas gedung baru.” (hlm. 116).

Titik balik Tini untuk mengambil keputusan yang menentukan, yakni bercerai dengan suaminya, semakin menguat saat ia mengunjungi Rohayah tak lama setelah ia bertemu dengan Hartono. Di sana, Tini terlibat dalam dialog yang cukup mendalam dengan Rohayah. Tini, yang semula berniat melabrak perempuan yang merebut hati suaminya itu, luluh saat berhadapan langsung dengan Rohayah. Bahkan akhirnya Tini seperti berintrospeksi dan memberi pengakuan atas kekurangan yang dimilikinya dalam hidup berumah tangga (hlm. 135).
Demikianlah. Dalam kaitannya dengan belenggu yang mengikat ketiga tokoh utama novel ini, akhir novel ini memperlihatkan cara mereka mengatasi problem transisi budaya dan belenggu subjektivitas yang menderanya. Pilihan eksistensial ini sungguh terasa amat sulit, karena memang membutuhkan keberanian yang tak sedikit. Keberanian ketiga tokoh utama ini untuk melepaskan belenggunya sepertinya tak jauh berbeda dengan keberanian Armijn Pane untuk mengangkat tema yang kontroversial di zamannya ini dan untuk memilih alur dan gaya penyajian novel ini, seperti yang dia tulis di bagian pengantar novel ini:
Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru (hlm. 5).

Titik fokus kedua yang dapat digunakan untuk melihat pergulatan batin para tokoh dalam novel ini adalah berkaitan dengan alasan mengapa pergolakan eksistensial dan transisi budaya yang dialami para tokoh utama dalam novel ini digambarkan dengan cara yang mirip dengan monolog. Monolog, jika mengacu pada teori komunikasi, merupakan sebentuk komunikasi intrapersonal.
Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Seseorang berbicara kepada dirinya sendiri, bertanya kepada dirinya, dan dijawab oleh dirinya sendiri. Komunikasi intrapersonal ini terjadi karena adanya perangsang internal dari subjek dan juga perangsang eksternal dari lingkungan sekitar (Effendi, 1993: 57-58). Nah, pertanyaannya, mengapa Tini, Rohayah, dan juga Tono dalam novel ini digambarkan lebih banyak membicarakan kerisauan mereka dengan dirinya sendiri, yakni dalam modus monolog?

Pesan yang Ingin Disampaikan Pengarang
Pada titik inilah makna judul novel ini menjadi dapat lebih dimengerti. Dalam novel ini, para tokohnya digambarkan berada dalam belenggu arus transisi. Tini, yang mulai berkenalan dengan ide emansipasi, terbelenggu dalam perjuangannya sebagai aktivis sosial yang justru menjauhkannya dari Tono. Sementara itu, Tono dibelenggu oleh angan-angannya tentang sosok ideal seorang istri dokter yang mestinya dapat membantu dan mendukung profesi suaminya. Sedangkan Rohayah berada dalam proses transisi dari belenggu masa lalunya yang kelam. Masing-masing tokoh dalam novel ini terikat dengan kepentingan nilai subjektifnya yang terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidupnya.
Jika mau disebut sebagai “pesan terselubung” yang ingin disampaikan Armijn Pane, maka itu adalah ihwal belenggu subjektivitas yang menempatkan masing-masing karakter dalam ruang sempit yang mengerdilkan pikirannya (Dahana, 2008: 65). Belenggu subjektivitas itu secara sosiologis tampak sebagai sesuatu yang wajar, karena proses transformasi dan transisi kebudayaan memang membentuk situasi sosio-kultural yang cukup kompleks. Ide-ide baru yang berkaitan dengan kebebasan dan pembebasan, seperti halnya emansipasi, pada titik tertentu dapat memunculkan situasi serupa euforia. Euforia adalah perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan. Bersentuhan dengan gagasan dan paradigma baru, subjek kebudayaan bisa saja larut dalam euforia yang bisa mengantarkannya ke berbagai wilayah penjelajahan personal-eksistensial yang tak tertebak. Seperti itulah kira-kira yang dialami Tini. Petualangannya dengan euforia gagasan emansipasi harus dibayar dengan keretakan kehidupan keluarganya. Dalam situasi seperti ini, euforia dapat menjadi jenis belenggu yang lain—selain belenggu obsesi dan belenggu masa lalu.

KESIMPULAN
Jika dicermati mengenai isi cerita novel Belenggu, maka ada beberapa poin yang menjadi kesimpulan dari penelitian ini:
1. Novel Belenggu yang lahir sejak masa perang dunia II yang melukiskan mengenai nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca tentang gejolak yang terjadi pada saat itu.
2. Dalam Novel ini, akhir dari suatu cerita tidak tetap, akan tetapi selalu berubah-ubah sehingga pembaca sulit untuk menebak. Dan hal ini barangkali yang menjadi ciri suatu perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia yang tidak menentu.
3. Karena ingin mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Maka saat ini berbagai belenggu seperti yang tergambar dalam novel ini terus hadir dengan berbagai rupa, tidak hanya subjektivitas obsesif, masa lalu, atau euforia—seiring dengan transformasi dan transisi budaya yang terus berlangsung.
4. Novel ini diharapkan dapat menginspirasikan refleksi dan banyak hal lain berkaitan dengan cara kita bersiasat menghadapi berbagai bentuk belenggu tersebut.
5. Adapun tema dalam cerita ini adalah mengenai kehidupan yang tidak bebas atau terbelenggu.

DAFTAR PUSTAKA

Beauvoir, Simone. The Second Sex, Penerjemah: H.M. Parshley. New York: Vintage Books, 1989.
Dahana, Radhar Panca. “Nasionalisme dalam Belenggu Waktu”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Edisi 19-25 Mei 2008, PT Tempo Inti Media, Jakarta, 2008.
Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Aditya Bakti, 1993.
Junus, Umar. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Cetakan Kedua. Jakarta: LP3ES, 1988.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Penerjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, dkk, Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia, 2005.
Pane, Armijn. Belenggu, Cetakan Kedua Puluh. Jakarta: Dian Rakyat, 2006.
Sahal, Ahmad. “Sastra, Ambiguitas, dan Tawa Tuhan”, kata pengantar dalam Kenedi Nurhan (Ed.), Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Jakarta: Kompas, 1999.
Subiantoro, Eko Bambang. “Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertaruhan Eksistensi”, Jurnal Perempuan, No. 22/2002. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002.
Sumardjo, Jakob. “Armijn Pane dan ‘Belenggu’”, dalam J.B. Kristanto (Ed.), Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: Kompas, 2000.
Supelli, Karlina. “Keluarga: Jarak Fungsi dari Diri (Surat-Surat Nokturnal)”, Majalah Basis, Mei-Juni 2003. Yogyakarta: Yayasan BP Basis, 2003.
Swastika, Alia. “Perempuan dalam Sastra Indonesia: Perjalanan dari Obyek ke Subyek”, Harian Kompas, Sabtu, 18 Desember 2004.
Wellek, Rene and Austin Warren. Theory of Literature, Third ed. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1956.
Wolf, Naomi. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, Penerjemah: Alia Swastika. Yogyakarta: Niagara, 2004.

 

Jadwal Mengajar

25 September 2013 20:28:40 Dibaca : 984
[Tanpa Konten]

Lokakarya dan Sosialisasi Kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Gorontalo.

 

Panitia mengundang Bapak/Ibu Pimpinan Fakultas, Prodi, Mahasiswa, dan Alumni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Gorontalo kiranya berkenan hadir untuk mengikuti kegiatan dimaksud yang insya Allah akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa s.d Kamis, 30,31 Juli dan 1 Agustus 2013

Waktu: Pukul 09.00 Wita s.d selesai

Tempat: Ruang Sidang FSB Universitas Negeri Gorontalo

 

Kehadiran Bapak/Ibu sangat diharapkan demi menghasilkan keputusan tentang kurikulum prodi yang ideal dan bermanfaat untuk kita semua.

 

Gorontalo, 18 Juli 2013

Panitia

ttd

Dr. Fatmah AR. Umar, M.Pd

Selamat Memasuki Bulan Suci Ramdhan 1434 H/2013 M

03 July 2013 21:53:12 Dibaca : 1116

Saya dan Keluarga menyampaikan Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan 1434 H/2013 M bagi umat Islam khususnya Civitas Akademika Universitas Negeri Gorontalo, "Mohon Maaf Lahir dan Batin". Semoga kita semua dapat menjalaninya dengan sempurna.Amin.

Muslimin dan Keluarga

di Gorontalo

Selamat Natal 2012 bagi yang merayakan dan Tahun Baru 2013

25 December 2012 12:50:26 Dibaca : 701
[Tanpa Konten]