CERPEN KETIKA PESTA USAI

09 January 2023 16:41:59 Dibaca : 896

KETIKA PESTA USAI

ADRIANSYAH A. KATILI

Malam itu sepasang suami istri itu sedang duduk termangu-mangu. Te Hasa sedang memegang undangan dari atasannya di kantor pemerintahan tempatnya bekerja. Undangan resepsi pernikahan anak sang bos. Undangan yang dirancang khusus, dengan kertas luks berwarna merah muda, tulisan berwarna emas mengkilat. Ada foto pre-wedding dengan lay out yang istimewa. Tulisan mengisyaratkan bahwa penerima undangan itu, suami istri diharapkan menghadiri dan memberikan doa restu pada pernikahan pengantin. Pengantin putri itu adalah anak dari bos si Hasa.

Bukanlah undangan itu yang membuat kedua suami istri penerima undangan itu menjadi sangat galau. Tapi pengirim undangan itu yang menjadi masalah. Sebagai bawahan di kantor, Hasa merasa dia dan istrinya harus menghadiri acara resepsi itu. Dia dan istrinya harus memberikan penghargaan yang tertinggi dibandingkan bila  pengundang itu adalah tetangga, sanak famili ataupun teman sejawat. Ini ada hubungannya dengan menyenangkan atasan yang diharapkan berimbas pada peningkatan kesejahteraan dalam bentuk perhatian sang bos. Siapa tahu bisa menjadi perantara promosi di kantor.

Nah, sumber kegalauan adalah istrinya Hasa, Habibah. Sebagaimana lazimnya perempuan Gorontalo, dan mungkin perempuan etnis lainnya, ingin tampil PD. Tampil PD di sini diartikan memiliki baju yang pantas bahkan mewah , bahkan kalau perlu asesoris yang mewah pula. Hal ini menjadi masalah besar bagi Hasa yang cuma pegawai rendahan dengan gaji yang rendahan pula. Mana cukup kalau harus membeli baju mewah dengan asesoris mewah. Seumur hidupnya, Hasa tidak pernah memegang baju dan asesoris seperti itu. Namun rengekan istri tercinta dan ancaman tidak akan ikut ke pesta membuat Hasa pusing 13 keliling. Dari mana dia bisa mendapat uang untuk pakaian dan asesoris semahal itu?

"Pokoknya, Kak, aku harus tampil prima di depan ibu bos dan ibu-ibu lainnya."

"Bagaimana caranya , Nou*. Gajiku  terlalu kecil untuk mencapait harganya."

"Pokoknya harus."

Malam itu mereka tidur dalam galau. Hasa galau karena tuntutan istrinya. Habibah galau karena keinginan untuk tampil prima di pesta bergengsi yang akan berlangsung lima hari lagi. Pesta resepsi pernikahan anak boss suaminya. Dia membayangkan ribuan pasang mata yang akan memandangnya dengan takjub. Ribuan pasang mata yang terkagum-kagum sehingga lupa berkedip. Hilang kepekaan rasa sehingga tak merasa bila ada serangga yang tersesat, mengira bahwa mata yang terbelalak kagum itu adalah cahaya terang sehingga dengan rela menempelkan badannya di balik kelopak mata itu. Mulut mereka akan ternganga sehingga setiap serangga akan mengira bahwa itu adalah sarang yang  nyaman. Dan istri boss yang tak akan lagi memandang enteng padanya karena ternyata bisa tampil prima. Pendek kata Habibah membayangkan yang sangat wah, melebihi ucapan wahnya sendiri setiap menerima tambahan gaji 13 setiap tahunnya.

Kegalauan Hasa juga tak lepas dari perkara yang sama. Antara gengsi sang istri dan kelemahan kantongnya. Setiap bulan  dia hanya mampu membawa penghasilan dari gaji yang tidak seberapa. Baju mewah bisa dimanipulasi dengan membelikan baju murah namun dengan penampilan yang mewah. Namun bagaimana dengan perhiasan yang mewah? Istrinya menginginkan perhiasan asesoris yang lain dari yang lain, yang menurut dia bisa menaikkan derajat mereka, menaikkan gengsi setinggi-tingginya. Melebihi derajat ketua tim penggerak PKK di desanya. Melebihi derajat ibu camat. Dan ini diyakini akan menaikkan gengsi suaminya.

Kepala Hasa pusing, bukan lagi tujuh keliling, tapi ribuan keliling. Dari mana dia bisa mendapatkan uang pembeli perhiasan itu? Kalung emas dua puluh empat karat seberat 5 gram. Bermata berlian.

Sampai ayam jantan berkokok bersahut-sahutan mengucapkan selamat datang kepada sang surya sekaligus mengingat kepada umat bahwa sudah tiba saatnya menghadap sang Maha Boss yang menguasai hidup dan matinya alam semesta beserta seluruh isinya.

Di kantor, Hasa tidak sepenuhnya berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Beberapa kali dia mendapat teguran dari atasan langsung karena tidak menjawab pertanyaan atasaan dengan tepat.

"Hasa, sudah kau ketik naskah surat?"

"Iya, Pak. Perhiasan itu penting bagi istri saya." Jawabnya ngelantur.

"Apa? Emas?" tanya atasannya bingung.

"Hasa, kau baik-baik saja?"

"Iya, Pak. Saya harus menyediakannya."

Sang atasan tambah bingung. Ada apa dengan te Hasa? Jangan-jangan dia lagi kesurupan syetan kredit yang lagi ramai berkeliaran. Syetan itu memiliki berbagai nama, namun secara umum dikelompokkan pada dua group besar--Group Mas dan Group Daeng.

Begitulah keadaan Hasa. Semakin mendekati hari H semakin menjadi-jadi. Semakin uring-uringan. Habibah istrinya semakin galau. Semakin sering membayangkan ribuan pasang mata yang membelalak karena penampilan dirinya di pesta nanti.

Saat makan siang, butiran nasi terlihat seperti butiran emas berlian. Ketika sedang duduk istirahat di rumahnya, dia akan terbangun hanya karena radio tetangga memutarkan lagu yang dinyanyikan Berlian Hutauruk. Pantatnya terangkat dari kursi demi mendengar nama Berlian diucapkan penyiar. Dikiranya ada pengumuman obral berlian dengan harga yang super murah.

Bila ada tetangga yang kedatangan tamu, sejenis tukang kredit dari group mas, dan memanggil Mas dengan suara keras, dia akan terbangun dari pembaringan. Dia mengira ada penjualan emas keliling dengan harga murah. Pernah dia berlari ke jalan karena ada tetangga berteriak Mas. Dia mengira itu semacam pengumuman bahwa ada penjualan mas secara obral. Alangkah kecewanya dia. Ternyata yang itu hanya panggilan bagi penjual es krim. Sambil bersungut-sungut dia akan kembali ke pembaringan, melanjutkan acara berpikir bagaimana caranya mencari berlian ataupun emas.

Bila dia bosan, dia akan duduk di bawah pohon jambu di halaman depan rumahnya. Memandangi ayam-ayam yang berkeliaran. Timbul hayalannya, seandainya kotoran ayam itu berbentuk butiran emas atau butiran berlian. Memandangi buah-buah jambu yang bergelantungan. Lalu menghayalkan buah jambu yang berbentuk emas ataupun berlian. Dia akan mengumpulkan kotoran ayam yang berbentuk emas ataupun berlian, memetik buah jambu berbentuk emas ataupun berlian. Lalu dia akan mempersembahkannya bagi sang istri. Dengan persembahan ala bangsawan Inggris yang mencium punggung tangan sang kekasih. Istrinya akan memeluknya dan menciuminya sebagai suami yang penuh cinta.

Bila malam dia akan duduk di halaman depan, memandangi bintang gemintang dan membayangkan satu bintang saja jatuh dalam bentuk emas ataupun berlian.

Di waktu lain dia tidur dan bermimpi menjadi milyarder yang pulang bertualang naik jet pribadi. Pulang membawakan oleh-oleh berlian dari luar negeri, yang dibelinya di pusat shopping Singapuran. Dan istrinya menyambut dengan penuh cinta.

Hasa sudah tingkat sakit jiwa yang parah. Menyamai sakit jiwanya mereka yang gagal dalam PILKADA karena sudah habis-habisan dalam mentraktir calon pemilih namun pada hari pencoblosan ditinggalkan mereka yang sudah menikmati kemurahan hati yang semu.

Keadaan ini sudah sangat mengkhawatirkan seandainya Hasa tidak teringat sesuatu. Dia ingat istrinya memiliki seorang teman yang memiliki banyak perhiasan. Baik dari emas maupun dari berlian ataupun perak.

Bergegas dia mendatangi istrinya yang lagi melamun.

"Nou, kau ingat temanmu bernama Hadijah?"

"Iya, Kak. Ada apa?"

"Dia memiliki banyak perhiasan yang indah. Kau bisa pinjam satu malam saja."

"Kenapa harus pinjam, Kak?"

"Aku tak punya uang cukup untuk membeli. Sudahlah, pinjam saja. Yang pentingkan tampil beda. Tidak ada yang tahu bahwa perhiasanmu itu hanya pinjaman."

"Ia, Kak. Tapi apa dia mau meminjamkan?"

"Dicoba dulu. Dia kan teman terbaikmu sejak kecil."                         

Singkat kata, merekapun pergi ke rumah Hadijah. Hadijah setuju meminjamkan perhiasannya. Dia mengeluarkan satu kotak berisi beraneka perhiasan. Mata Habibah terbelalak lebar melihat aneka jenis perhiasan. Dia belum pernah melihat perhiasan sebanyak itu, dengan beraneka bentuk dan jenis. Ada cincin yang terbuat dari emas dan bertahtakan berlian. Ada kalung emas bermata belian ataupun permata.

"Silahkan pilih mana yang kau sukai."

"Aku pilih ini saja, ya?" Habibah mengambil sebuah kalung berlian yang paling mahal. Sebuah kalung berlian yang sangat indah. Dia mencobanya dan Hasapun terpesona melihat istrinya mencoba kalung itu. Betul-betul cantik. Sukar dibandingkan dengan artis tenar sekalipun. Habibah yang memang cantik terlihat semakin cantik dengan kalung itu.

Hari pernikahanpun tibalah. Malam itu mereka berdua pergi menghadiri resepsi pernikahan anak sang bos. Pesta yang meriah. Dihadiri para pejabat. Dari eselon tertinggi sampai eselon terendah. Para bapak dengan pakaian yang terbaik. Para ibu dengan pakaian tercantik. Dilengkapi dengan asesoris.

Isti Hasa tampil paling prima. Baju yang kelihatannya termahal dipadu dengan kalung yang juga terlihat sangat mahal. Cita-cita Habibah untuk membuat dirinya menjadi pusat perhatian tercapai. Semua pasang mata memperhatikan kalung itu. Kalung yang terlihat paling mahal.

Ketika dia diminta menyumbangkan sebuah lagu, dia tidak menolak. Habibah yang pada dasarnya pintar menyanyi, menyanyi dengan sangat merdu. Namun para hadirin bukan menyimak lagu. Mereka lebih menikmati kalung itu. Dengan pemakainya yang anggun.

Dan Hasa beserta istrinya mendapat kehormatan berfoto bersama pengantin. Didampingi oleh boss dan istrinya. Suatu kehormatan bagi pegawai rendahan. Ini sesuatu hal yang luar biasa, karena biasanya yang diundang foto bersama pengantin adalah orang-orang terhormat.

Demikianlah pasangan suami istri dari kelas sederhana itu. Malam itu mereka menikmati keadaan naik kelas menjadi kelas atas. Siapa yang tidak bahagia, naik peringkat dari orang yang tidak diperhitungkan, menjadi orang yang diperhitungkan?

Sepasang hati yang berbunga-bunga itupun pulang ke rumah setelah pesta usai. Sepanjang perjalanan pulang mereka membicarakan kejadian di pesta. Bagi mereka itu adalah hal yang spektakuler. Sampai di rumah, topik pembicaraan masih tetap pesta yang spektakuler.

"Aku bangga, Bang. Baru kali ini aku dianggap berkelas. Semuanya berkat kalung mahal ini." Kata Habiba sambil meraba dadanya, meraba kalungnya.

"Kak!!," tiba-tiba Habiba berteriak panik.

"Ada, apa? Apa yang terjadi?"  Tanya Hasa kaget dengan teriakan panik istrinya.

"Kalung, kalung."

"Ada apa dengan kalung itu?"

"Kalungnya hilang."

"Apa? Kalungnya hilang"

"Iya, kalungnya hilang." Kata Habiba dengan panik, tangannya gemetar meraba seluruh dadanya, lehernya, seluruh tubuhnya mencari kalung itu.

"Ya Allah, hilang? Kau tidak salah, Nou? Masak hilang?

"YaKak, hilang. Aduh, bagaimana ini. Kalung mahal pinjaman. Aduh."

"Coba periksan lagi."

Habiba meraba seluruh tubuhnya, namun tak ada seuntai kalungpun yang ditemukannya. Tangannya semakin gemetar, cemasnya semakin menjadi-jadi, pucat wajahnya semakin pias, dan gugupnya semakin menyiksanya.

Mereka mencoba menelusur jalan ke tempat pesta tadi. Mencari jangan-jangan kalung itu jatuh di jalan. Sebuah usaha yang sia-sia. Mereka kempali ke rumah dengan badan capek dan peluh menyelimuti badan.

Maka meledaklah tangisnya. Tangis ketakutan. Dia telah berjanji akan mengembalikan kalung itu segera setelah pesta usai karena akan dipakai pemiliknya. Te Hasa tambah galau. Galau memikirkan kalung mahal yang hilang. Galau melihat istrinya menangis. Dia tak sempat memperhatikan lunturnya make up istrinya karena air mata bercampur peluh.

Malam itu juga mereka keluar, mencari toko perhiasan yang masih buka. Setelah berkeliling, mereka menemukan sebuah toko dan toko itu menjual kalung yang sama persis dengan kalung yang hilang itu.

"Berapa harganya?" Tanya Hasa

"Lima belas juta  rupiah."

Setelah negosiasi, terjadi kesepakatan bahwa kalung itu tidak akan dijual kepada orang lain. Namun Hasa diberi kesempatan sampai besok hari jam dua belas siang. Tiada pilihan lain. Hasa harus berpacu dengan waktu, mencari pinjaman sebesar lima puluh juta  rupiah.

Besoknya, pagi-pagi sekali, te Hasa bertandang kepada tetangganya. Tetangga yang terkenal suka meminjamkan uang dengan bunga yang cukup mencekik sampai peminjam susah bernapas meskipun tidak sampai mencapai titik game over. Terjadilah kesepakatan yang berlanjut dengan transaksi. Te hasa memperoleh pinjaman sebesar lima belas juta . Dan dia harus mengembalikan pinjaman itu dengan cara mencicil dengan tambahan sebesar 5 persen. Tambahan itu diberi nama yang sangat memikat: bunga. Te Hasa sering memanggil istrinya dengan sebuta Bunga Hatiku. Tapi kali ini dia berhubungan dengan bunga pinjaman yang tentu saja tidak memiliki suara yang mendayu-dayu. Bunga yang bisu tapi membuat napas sesak.

Kalung itupun dibeli dan dibawa kepada Hadijah. Syukurlah Hadijah tidak tahu bahwa kalung itu sudah bertukar karena sama persis dengan kalung yang hilang.

Sejak saat itu mereka berhemat demi membayar hutang kepada si rentenir, baik hutang maupun bunganya. Te Hasa bekerja keras. Setelah pulang kantor dia berkerja extra mencari tambahan uang. Dia bekerja apa saja asal menghasilkan uang. Habibah berhemat. Bila biasanya makan tiga kali sehari, kali ini cukup makan dua atau satu kali sehari. Menunyapun mengalami proses minimalisasi. Bila biasanya lengkap dengan lauk dan sayur, kini cukup nasi dan garam. Bila beras sudah menipis sementara uang sudah habis, dia akan membuat bubur agar beras itu mencukupi.

Lama kelamaan penampilan tubuh mereka mengalami penurunan. Badan menjadi kurus secara drastis. Tubuh menjadi tua di usia yang masih muda. Sampai akhirnya setelah berlangsung selama dua tahun, maka lunaslah hutang itu.

Suatu saat Habibah bertemu hadijah di taman kota, ketika sedang bersantai. Dia ketemu Hadijah.

"Hai" sapanya.

Hadijah tidak bisa mengenalinya.

"Aku Habibah"

"Ya Allah. Mengapa kau jadi begini?"

"Yah, beginilah aku sekarang. Ini berawal dari kalung yang kau pinjamkan dulu."

"Maksudmu?"

"Kalung itu hilang, Hadijah. Yang aku berikan padamu itu adalah tukarannya. Kubeli yang sama persis dan harganya mahal, sekitar lima belas juta rupiah. Dan suamiku harus bekerja keras melunasi hutang pada rentenir dengan bunga yang sangat mencekik leher. Namun semuanya sudah berakhir. Hutang itu sudah lunas. Dan aku sudah mengembalikan kalung itu padamu."

"Ya Allah. Bodohnya kau, Habibah. Kenapa kau tukar dengan kalung berlian asli. Itu Cuma kalung imitasi."

 

Gorontalo 28 Januari 2016

Catatan: Cerpen ini disadur dari cerpen The Diamond Necklace karya Guy de Maupassant (Satrawan Spanyol). Diolah kembali disesuaikan dengan kondisi lokal Gorontalo.

 

PERJALANAN EKSISTENSIAL SANG ILMUAN

15 December 2022 22:03:39 Dibaca : 54

 

Analisis Singkat Kehidupan Manusia dalam Perspektif Filsafat Eksistensi Karl Jaspers

Tokoh nasional bahkan internasional yg sangat aku kagumi itu memulai eksistensinya dgn mempelajari ilmu dan teknologi. Dengan iptek itu dia mampu menguasai dunia, bahkan memukau manusia. Seiring waktu dia mulai mengalami situasi batas: usia mulai menua, kesehatan menurun, bahkan kematian orang terkasihnya. Situasi batas ini merupakan nasib yg ditentukan di luar dirinya, situasi di mana ilmu pengetahuan berhenti berperan, membuat dia berdiri sebagai eksistensi di depan transedensi. Namun berbeda dgn transedensinya Karl Jasper yg menolak dokrin agama yg dogmatis, dia memilih transedensi agama, dalam hal ini Islam untuk mengatasi penderitaan eksistensial yg merupakan situasi batas.

Terbukti pilihan itu tepat. Transedensi agama membuat dia kuat dan damai. Transedensi ketuhanan yang amat kuat membuat dia merasa kuat, dan perasaan bahwa Tuhan tidak meninggalkannya sendiri membuat dia merasa damai. Seandainya dia memilih transedensi agnostik, dia pasti jauh dari damai

.29 April 2022

Adriansyah Katili

CERPEN: SANG GURU

03 December 2022 20:58:49 Dibaca : 2387

SANG GURU

Adriansyah A. Katili

   Aku  sedang mengenang dua orang mantan guru agamaku di SMA tiga puluh delapan tahun yang lalu. Yang pertama adalah seorang pria yang selalu mengenakan jubah, bersurban dan berjanggut tebal. Namanya Syafii. Seorang yang boleh dikatakan sangat puritan dalam beragama, mendekati kolot dalam menyikapi situasi sosial dan sangat anti pada kebebasan berpikir.

Aku teringat pertama kali dia masuk. Mulai dengan pelajaran tentang sholat. Aku ingat dialog antara kami dalam kelas.

"Apakah arti sholat?  Siapa yang bisa menjawab?"

Aku yang mengangkat tanganku menjawab dengan penuh percaya diri, "Sholat adalah pertemuan puitis antara dua maha, maha pendamba dan Maha Pencinta."

"Jawaban apa itu?" Katanya dengan marah." Ini pelajaran agama, jangan ngawur. Sholat adalah ibadah wajib yang kalau kalian tidak laksanakan akan menyebabkan kalian berdosa dan akan dibakar di neraka."

Itulah kali pertama aku mendapat semprotan dari guru. Sebelumnya tidak ada guru yang menyemprot aku sedemikian.

Minggu berikutnya dia bertanya, "Apakah Alquran itu?"

Setelah tidak ada teman-temanku yang mengangkat tangannya, aku angkat tanganku dan aku menjawab, "Alquran adalah surat cinta Tuhan kepada hambaNya."

"Apa? Kau kira Tuhan itu anak muda dan selalu kasmaran?"  Reaksinya sangat marah. "Alquran adalah kitab suci, firman Tuhan yang wajib dibaca. Camkan itu. Jangan coba-coba melecehkan Alquran dengan jawaban ngawur seperti itu. Kalian akan dibakar di neraka."

Sejak itu aku selalu mendengarkan dokrin-dokrin yang sangat menakutkan, Tentang Tuhan yang akan membakar setiap hambanya setiap ada kesalahan sedikit saja. Dalam kata-kata pak guru itu, Tuhan menjelma menjadi monster yang sangat menakutkan. Penguasa yang tidak ramah, tidak penyayang, yang selalu siap dengan api yang membakar.

Lama kelaman aku merasa bahwa sang guru inilah neraka yang sebenarnya. Dia membawa suasana kelas yang penuh indokrinasi, neraka, penjaga neraka yang kejam. Aku merasa bahwa dia telah mengambil alih posisi Tuhan, menjadi penentu seseorang masuk neraka atau syurga. Sementara Tuhan yang aku tahu sebagaimana kata Bismillahirrahmanirrahim, adalah Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.

Suatu ketika aku mengatakan kepadanya bahwa zikir itu laksana lantunan musik yang sangat menyejukkan jiwa. Murkanya bangkit laksana harimau marah. "Siapa yang mengajarimu kata-kata yang durjana itu? Apa ada ajaran yang mengatakan zikir itu musik? Kau tahu, ha? Bahwa musik itu haram, sekali lagi haram. Jangan coba-coba samakan zikir yang suci dengan benda haram najis itu."

Aku shok berat. Aku adalah penggemar music. Aku suka memainkam musik. Kini aku dikatakan suka barang najis.

Aku suka memperhatikan jubah putihnya. Katanya meniru Nabi.  Aku yang suka berpikir bebas kadang-kadang berpikir bahwa seandainya Nabi itu orang Gorontalo, pasti Pak Guru ini akan mengenakan baju karawo. Dan kalau Nabi itu orang Jawa, pasti Pak Guru ini akan mengenakan blankon dalam kesehariannya. Karena Nabi orang Arab pasti beliau yang mulia mengenakan baju Arab, jubah dan sorban. Tidak mungkin beliau yang mulia mengenakan karawo atau blankon. Pak Guru ini ingin meneladani Nabi. Sayang hanya model pakaiannya. Bukan sifat arifnya.

Sekolah kami berada dekat jalan. Sekali-kali lewat kenderaan dengan bunyi musik yang agak keras. Aku memperhatikan bahwa jari-jari  Pak Guru ini dam-diam bergerak-gerak mengikuti irama musik itu. Aku tersenyum dalam hati. Pak Guru ini tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dalam alam bawah sadarnya dia sebenarnya suka musik juga. Namun karena dokrin yang dia ikuti mengatakan bahwa musik haram maka dia mendokrinkan bahwa music itu haram.  Aku menilai bahwa dia tidak bisa menyatukan hati, kata, dan perbuatan.

Waktu berlalu, suatu saat Pak Guru ini meninggal dalam suatu kecelakaan  lalulintas. Jangan kalian berpikir bahwa aku pernah menyumpahinya agar cepat masuk tahap game over. Bagi aku menyumpahi seseorang agar celaka itu adalah perbuatan yang tidak berseni. Sama dengan tidak berseninya orang yang mengubah  citra Tuhan menjadi monster yang menakutkan, yang menganggap musik najis tapi diam-diam menikmati ketika mendengarnya tanpa sengaja.

Penggantinya adalah seorang bapak yang berpakaian necis. Pakaiannya sama dengan orang Indonesia pada umumnya. Sebagai orang Gorontalo, pak guru agama yang ini sering berbaju karawo, baju sulaman khas  Gorontalo. Kadang-kadang dia berbaju batik. Yang sangat berkesan bagiku dia kadang-kadang berbaju kaus oblong dan bercelana jeans ketika aku ketemu dia di acara weekend di suatu tempat rekreasi. Dia memperkenalkan namanya. "Nama saya Ahmad."

Pelajaran agama berlangsung dengan cara yang sangat berbeda. Sikapnya santai.

"Apakah kalian sholat?" Tanyanya

"Iya, Pak." Jawab kami

"Apa yang kalian rasakan selama sholat?"

Kami tak ada yang menjawab. Kami bingung. Ada yang menjawab, "Ketakutan kalau-kalau sholat kami salah sehingga kami dibakar di api neraka."

Pak guru ini tersenyum.

"Anak-anakku, Tuhan itu Maha Cinta dan Maha Mengerti. Dia cinta kepada hambanya yang mendambakan cintanya. Dia mengerti bahwa hambanya tidak sempurna dan tidak mungkin menggapai kesempurnaan termasuk kesempurnaan dalam beribadah. Jadi jangan takut bahwa Dia yang maha cinta akan menyiksamu karena sholat yang tidak sempurna"

Aku terharu. Untuk pertama kalinya selama bersekolah, aku merasakan kesejukan. Aku merasakan cinta Tuhan. Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa Tuhan memang Maha Sayang, seperti dalam ungkapan yang selalu diucapkan setiap memulai Alfatihah dan pekerjaan lainnya.

Di hari lain Pak Guru itu berkata lagi. "Tuhan itu Maha Indah dan menyukai  keindahan. Dia ingin kita bisa merasakan keidahanNya. Maka dia menurunkan agama agar kita bisa larut dalam keindahanNya. Maka dia menurunkan kitab suci agar kita bisa merasakan cintaNya yang agung. Alquran adalah surat cinta-Nya."

Aku ingat, kata-kata ini adalah ungkapanku yang menyebabkan guru yang dulu marah. Aku merasa beryukur bahwa ada guru agama yang seidea dengan aku.

Senyap sesaat. Seakan dia memberikan kami waktu untuk mencernakan kata-katanya. Bebersapa saat kemdian dia berkata, "Pernahkah kalian membaca puisi?"

Aku yang memang suka membaca puisi menjawab, "Pernah, Pak."

"Apa yang anakku rasakan ketika membaca puisi?"

"Kenikmatan, Pak. Puisi itu indah, setiap kata mengandung keindahan dan makna yang dalam."

"Demikian juga sholat. Sholat bila dipahami dan dihayati maka akan terasa keindahannya. Setiap ayat yang dibaca mengandung keindahannya sendiri. Setiap gerakan mengandung makna dan keindahannya. Makna dan keindahan tentang hamba yang mendamba cinta-Nya dan Dia yang Maha Cinta, memberikan cintanya kepada hambanya yang mendamba cinta-Nya."

"Zikir juga bila dihayati akan terasa keindahannya. Seperti alunan musik yang menenangkan. Maka bila berzikir, berzikirlah dengan penghayatan yang bagus.

Aku teringat jawaban-jawaban yang aku berikan atas pertanyaan guru yang lalu, yang dilecehkan sebagai jawaban tak bermutu. Kali ini aku mendapatkan kenyataan  esensi jawabanku dulu sama dengan kata-kata pak guru yang ini, meskipun dengan formulasi kata yang berbeda.

Pernah juga dia berkata, "Anak-anak, agama bagaikan matahari. Dia bersinar memberikan cahaya kepada bumi. Sinar itu menjadi energi. Dan dengan energi itu tumbuhlah beraneka makhluk di muka bumi ini. Makhluk itu tumbuh sesuai dengan jati dirinya. Tumbuhan dengan jati dirinya. Hewan dengan jati dirinya. Kita manusia dengan jati diri kita. Maka pertahankanlah jati dirmu sebagai manusia. Jadi dirmu sendiri, yang menghayati keberadaan dirimu dan Tuhan."

"Pak Guru, saya mau bertanya." Kataku pada suatu hari.

"Silahkan." Katanya

"Mengapa Pak Guru, sebagai guru agama tidak mengenakan jubah sebagaimana ustaz lain? Bahkan pernah saya lihat Pak Guru mengenakan jeans dan topi pet di suatu tempat rekreasi."

Pak Guru tersenyum. " Anakku. Model apapun pakaian yang kita kenakan tidak menjadi masalah, sepanjang menutupi aurat. Menjadi Islam tidak harus mengenakan jubah, meskipun Nabi mengenakan jubah. Nabi mengenakan jubah karena Beliau yang mulia hidup di daerah yang budayanya meminta mengenakan pakaian itu.  Kita tidak harus menjadi seperti orang Arab untuk menjadi Muslim yang sholeh."

Di hari lain, dia memberikan pertanyaan yang merupaka kejutan bagiku. "Anak-anak, apa cita-cita kalian?"

Ramai seisi kelas menjawab. Ada yang bercita-cita menjadi dokter. Ada yang mau menjadi pilot. Ada yang jadi pengusaha. Ada yang mau menjadi presiden.  Hanya aku yang menjawab, "Mau jadi penulis."

Jawabanku yang lain dari yang lain membuat guruku itu bertanya, "Apa yang menyebabkan anakku mau jadi penulis?"

"Itu perintah pertama Alquran," Jawabku.

"Perintah pertama Alquran adalah membaca. Bukan menulis. Coba anakku jelaskan jawaban itu."

"Bapak. Untuk bisa membaca, harus ada yang dibaca terlebih dahulu. Itu berarti secara tidak langsung perintah untuk menulis supaya ada yang akan dibaca."

Pak guruku ini tersenyum dengan jawabanku. "Benar anakku. Namun jangan lupa ada juga pihak lain yang menunjang perintah itu. Sebelum bisa menulis kita harus mengenal huruf. Jadi ayat itu juga berarti perintah untuk mengajarkan dan belajar  huruf, itu, berarti harus ada guru. Juga harus ada yang memfasilitasi penerbitan buku. Hanya pesan saya, kalau menjadi penulis, jadilah penulis yang baik, yang menginspirasi kebaikan dan semangat hidup, yang memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kemanusiaan.. Yang menulis dengan keindahan."

Siang itu, seusai sekolah,  aku ulang pulang dengan suasana hati yang baru. Tak kurasakan ancaman-ancaman neraka. Malah sebaliknya aku termotivasi untuk mencari keindahan dalam ibadah. Agama itu mengajak kita menikmati keindahan, keindahan bertemu dengan Tuhan.

 

Gorontalo, 29 Agustus 2016.

 

Catatan: Cerpen ini sepenuhnya imajinatif, bersifat fiksi, Kesamaan nama adalah kebetulan. Pernah dimuat di media online De Gorontalo yang kini sudah almarhum. Kini dimuat lagi dengan perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan kini.

Sumber gambar https://i.pinimg.com/originals/87/09/3c/87093c6f5a15ae8060b6c2e5c0c9682d.jpg

 

 

 

SOCRATES DAN KEBEBASAN BERPIKIR

21 October 2022 11:13:01 Dibaca : 2771

SOCRATES

Adriansyah Abu Katili

 

Sosok pria itu dikenal sebagai Bapak Filsafat Barat bahkan dunia. Dia hidup di Athena zaman Yunani Kuno. Melihat pekerjaannya sebagai tukang batu, apalagi bukan penyandang gelar doktor, kita yg hidup di Indonesia zaman modern sulit percaya bahwa dia adalah pemikir besar yg dimiliki dunia. Pemikiran-pemikirannya dikenal dunia, dikutip oleh para cendekiawan, dibahas para guru besar, setelah dihimpun oleh para muridnya, Plato dan Aristoteles. Yah, dia Sokrates yg memperkenalkan metode kritis analitis. Dia memperkenalkan pemikiran-pemikirannya melalui dialog dengan para muridnya.

Sayang, para penguasa Athena pada masa itu kurang suka pada pemikirannya. Melalui konspirasi yg kejam, dia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda. Yang terjadi sebenarnya adalah mereka terusik dan takut pemikirannya akan mengganggu kekuasaan mereka. Diapun dijatuhi hukuman mati dengan cara harus minum racun. Hukuman yang dijalaninya itu menyebabkan kematiannya, namun bukan kematian pemikiran filosofisnya.

Socrates mati karena penguasa Athena pada masa itu telah mengambil posisi sebagai penentu kebenaran. Kebenaran yang mereka tentukan berdasarkan kepentingan politik kekuasan, bukan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan syarat kebenaran itu sendiri, yaitu rasional, obyektif,  dan empiris.

Zaman berganti, akhirnya tibalah zaman milenial ini. Socrates zaman Yunani kuno kini telah tiada. Penguasa yang menghukumnya, lebih tepat membunuhnya untuk membumkam pemikirannya juga ikut tiada. Tap para pemikir akan terus ada sesuai zamannya. Demikian juga mereka yang tidak suka dengan pemikiran juga akan terus ada. Reaksi mereka yang membenci pemikiran juga sama: membumkam pemikirnya dengan tujuan membumkam pemikiran. Cara pembumkaman itu dilakukan melalui kekuasaan maupun media. Pembumkaman melalui kekuasaan dilakukan secara legal maupun non-legal. Secara legal dengan membuat keputusan yang berkekuatan hukum. itu dilakukan dengan pelarangan buku untuk beredar seperti yang terjadi pada Yahya Muhaimin dengan bukunya yang merupakan hasil dari disertasinya yang berbicara kapitalisme semu yang melingkupi kekuasaan orde baru, dan pembreidelan koran dan majalah yang memuat tulisan yang berisi pemikiran kritis pada penguasa. Metode pembumkaman secara non-legal adalah dengan pembunuhan secara fisik seperti yang terjadi pada Munir, Widji Thukul, dan Marsinah. Pembumkaman  melalui media adalah dengan memanfaatkan media sosial. Mereka yang pembenci kebebasan berpikir akan menyewa orang-orang sebagai buzzer untuk melakukan pembunuhan karakter melalui terhadap mereka yang berpikir kritis melalui akun-akun.

Lantas, apalagi bentuk pembumkaman kebebasan berpikir? Pembumkaman pikiran bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam lembaga pendidikan. Seorang dosen bisa saja membumkam pikiran mahasiswanya dan mengarahkan pada pikiran yang disukainya. Dalam pembimbingan skirpsi, misalnya, dosen pembimbing bisa memaksakan pikirannya pada mahasiswa bimbingannya tanpa alasan rasional dan obyektif. Seorang guru bisa saja menyalahkan jawaban siswanya dalam ujian hanya berdasarkan kunci jawaban. Maka mahasiswa dan siswanya menjadi tidak berdaya di hadapan dosen atau guru yang memiliki kekuasaan terhadapnya. Susah diharapkan mahasiswa dan siswa yang kreatif berpikir jika kondisi ini tidak diubah.

Socrates mati. Penguasa pembencinya mati. Tapi sejarah berulang dalam bentuk yang bervariasi.

 

 

MENGHANCURKAN CEBONG DAN KADRUN,  MEREKONSTRUKSI KEIINDONESIAAN MELALUI BAHASA INDONESIA

Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Tulisan ini adalah refleksi tentang rasa keiindonesiaan kita menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2022. Setiap tahun kita memperingati hari ini dengan meriah. Kita mengadakan upacara bendera, menghormati bendera merah putih kita sebagai representai tanah air. Dalam upacara itu kita serempak mengulangi kembali ketiga butir sumpah yang diucapkan para pemuda itu. Dalam upacara itu kita merefleksi sejarah saat-saat para pemuda pendiri bangsa ini berjuang untuk keiindonesiaan kita, yang kemudian ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Poin terakhir sumpah ini adalah bahwa kita putera dan puteri Indonesia menjunjung tingga bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa seyogyanya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa pemecah bangsa.

 Rasa kebangsaan kita tercermin dalam sikap kita, ucapan verbal kita. Bila kita setuju bahwa bahasa adalah cermin dari realita, maka ungkapan-ungkapan yang lagi popular di media sosial adalah cermin kebangsaan kita yang menunjukkan tanda-tanda keretakan.Label-label cebong dan kadrun merefleksikan adanya dua pihak yang saling berhadap-hadapan, yang saling berkonfrontasi.  Dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini, penulis menguraikan lebih mendetail tentang label ini dalam kaitannya dengan gambaran keretakan keindonesiaan kita dengan kacamata Critical Discourse Analysis, yakni analisis bahasa dan kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan.

Mengapa penulis mengaitkanya bahasa dengan ideologi dan kekuasaan? Bisa dijawab dengan merujuk pada kisah dalam Alquran bahwa Allah SWT mengajarkan nama-nama benda kepada Nabi Adam yang diplot sebagai khalifah pengatur dunia. Mengapa yang diajarkan adalah nama-nama benda dan bukan ilmu manajemen sebagaimana yang diakui oleh manusia sekarang ini sebagai ilmu mengatur organisasi? Ini juga akan dibahas dalam sesi selanjutnya.

 

Bahasa dan Kekuasaan

Sebagaimana dikemukakan di atas, setelah Allah menciptakan Nabi Adam. Allah mengajarkan nama-nama benda kepadanya. Ini berarti Allah mengajarkan bahasa kepada Nabi Adam. Pertanyaan yang selanjutnya, megapa bahasa yang diajarkan, bukan ilmu lainnya? Ternyata bahasa bisa berfungsi sebagai alat kekuasaan. Dengan menguasai bahasa, manusia bisaberkuasa, dalam hal ini menguasai pikiran manusia. Bila kita ingin menguasai manusia maka kuasai dahulu pikirannya,

Bahasa sebagai alat kekuasaan dibahas dalam cabang ilmu linguistik Critical Discourse Analysis atau Analisis Wacana Kritis. Dick (1993) mendefinisikan analisis wacana ini sebagai analisis penggunaan bahasa dalam konteks kekuasaan. Kata konteks mengacu pada siapa yang berbicara, siapa pendengar, apa yang dibicarakan, apa tujuannya. Dikaitkan dengan kekuasaan, bahasa digunakan oleh pembicara dengan tujuan menguasai pikiran pendengar agar bisa diarahkan sesuai kehendak pembicara. Hal ini tercermin dalam penggunaan kata yang kemudian diberi konotasi tertentu. Di masa Orde Baru kita sering mendengar label-label seperti Bahaya Laten Komunis, Organisasi Tanpa Bentuk, Stabilitas Negara. Kata-kata ini ada hubungannya dengan penguasaan pikiran rakyat Indonesia. Komunis adalah paham yang terlarang di Indonesia, dan Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Suharto berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan melalui G.30 S PKI pada tahun 1965. Maka saat Orde Baru berkuasa setiap mereka yang mengkritisi pemerintah akan segera mendapat label komunis, lalu akan muncul peringatan tentang bahaya laten komunis. Kemudian muncul lagi label Organisasi Tanpa Bentuk. Label ini juga mengacu pada organisasi terlarang PKI yang ditenggarai sebagai bahaya laten yang akan muncul diam-diam tanpa bentuk yang bisa dilihat. Label ini akan dilekatkan pada setiap orang yang bersikap kritis. Pelabelan ini sangat berhasil membuat para tokoh kritis diam.

Para pejuang kemerdekaan kita dilabeli sebagai pahlawan. Tapi harus diingat bahwa yang melabeli itu adalah kita bangsa Indonesia dengan tujuan mengobarkan jiwa perjuangan kemerdekaan. Dari sudut pandang kita bangsa Indonesia, mereka adalah pejuang yang gagah perkasa. Tapi di mata Belanda mereka adalah perberontak yang meruntuhkan kekuasaan mereka di Bumi Indonesia. Maka mereka melabeli para pahlawan itu sebagai ekstrimis yang maknanya sama dengan teroris. Di sini kita lihat perebutan kekuasaan. Kita yang berusaha menguasai pikiran orang bahwa kita berhak merdeka dan Belanda yang berusaha meyakinkan orang bahwa Indonesia adalah wilayah syah kekuasaan mereka. Maka mereka yang melawan penjajahan adalah pemberontak yang dilabeli ekstrimis.

 

 

Cebong dan Kadrun

Cebong dan Kadrun adalah pelabelan yang marak di Indonesia akhir-akhir ini. Cebong adalah label yang diberikan kepada mereka yang pro pemerintah, yang selalu mendukung politik pemerintah. Label ini diberikan oleh mereka yang mengambil sikap anti pemerintah, diberikan konotasi negatif sebagai orang yang kurang berpikir. Sementara kadrun adalah label yang dilekatkan oleh mereka yang pro-pemerintah kepada mereka yang selalu mengkritisi pemerintah. Kadrun adalah sejenis binatang gurun pasir. Ini dilabelkan kepada pihak pengkritik pemerintah yang berasal dari golongan Islam yang dianggap sebagai Islam garis keras.

Kedua pihak ini nampaknya berusaha memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan. Ada upaya masing-masing pihak mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya. Semakin banyak pendukung semakin membuka peluang untuk menang. Masing-masing berusaha menguasai pikiran massa melalui pelabelan terhadap lawan. Mereka yang melabeli lawan sebagai cebong menyiratkan bahwa cebong itu mereka yang tidak berpikir. Itu berarti hanya pihak pelabel yang berpikir. Sementara pihak yang melabeli lawan sebagai kadrun menyiratkan bahwa lawan itu berusaha mengarabkan Indonesia, dan dengan demikian mereka bukan Indonesia. Maka menurut pihak pelabel hanya mereka yang bukan kadrun yang Indonesia.

Bila kita berasumsi bahwa bahasa adalah gejala sosial, maka kedua label ini mengisyaratkan adanya gejala keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Keretakan berbangsa adalah hal yang sangat berbahaya. Kita tak ingin bangsa ini hancur hanya karena pertarungan ini.

 

Penutup

Dikaitkan dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda, sudah saatnya kita kembali menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Potensi bahasa sebagai alai kekuasaan mari kita arahkan untuk hal-hal yang mendukung persatuan bangsa. Kita jangan menciptakan label-label yang meretakkan kehidupan berbangsa kita. istilah-istilah yang kini popular seperti cebong dan kadrun mari kita musnahkan.  

Para pendukung pemerintah bukanlah orang-orang yang tidak berpikir tapi yang berpikir bahwa pemerintah harus didukung agar mampu bekerja. Jadi mereka bukan cebong. Sebaliknya mereka yang mengkiritisi pemerintah bukanlah kadrun yang anti Indonesia. Justru mereka mengekspresikan kecintaan mereka kepada Indonesia dengan bersikap kritis. Mereka mengkritis pemerintah agar tidak salah arah.

Maka ke depan nanti tak ada lagi label peretak kebangsaan. Saatnya ungkapan Kau Cebong, atau Kau kadrun berganti Kita Indonesia.

Sekali lagi, jadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa sebagaimana yang kita sering sumpahkan setiap tanggal 28 Oktober. Hari Sumpah Pemuda inilah saat yang tepat untuk mengilanhkan keretakan berbangsa dan bertanah airmerekatkan kembali.

 

Referensi

 

Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society vol. 4(2), 249-.

Gorontalo, 25 September 2022

 

ooOOoo

 

 

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong