Mendidik Manusia itu Subversif
"Mendidik manusia itu bukan cuma bikin pintar, tapi juga bikin waras"
Rezkiawan Tantawi--Pengajar Jurusan Manajemen FEB UNG
Sering kali orang bicara “pembangunan SDM” dengan gaya seminar ber-AC, pakai pointer laser dan grafik PowerPoint berslide-slide. Tapi mari kita tanya jujur: sudahkah kita benar-benar mendidik manusia, atau cuma menginstal keterampilan supaya mereka bisa kerja dan bayar cicilan?
Manusia bukan printer. Tidak bisa cuma dikasih input lalu keluar hasil rapi. Mendidik manusia itu lebih ada dramanya, ada baunya, kadang disundul juga. Tapi justru di situlah letak investasi paling strategis dalam membangun. Manusia!!!! Bukan gedung. Bukan jembatan. Apalagi patung.
Mendidik Itu Mengasah, Bukan Mengisi
Manusia bukan botol kosong yang harus diisi pengetahuan. Manusia ibarat kompor, perlu disulut, dijaga apinya, biar bisa masak ide-ide segar. Sayangnya, manusia sering kali dididik layaknya fotokopi: semua seragam, semua lulus, semua bingung mau ngapain setelahnya.
Organisasi juga Bukan Mesin, Tapi Taman
Bayangkan organisasi sebagai taman. Kalau yang kita tanam cuma satu jenis pohon (misalnya, cuma jago Excel semua), taman itu rapuh. Sekali hama datang, habis sudah. Tapi kalau kita tanam berbagai macam (yang jago writing,yang aktif speaking, yang bisa public relation) maka organisasi jadi resilien. Investasi dalam pendidikan manusia harus memupuk keragaman kapasitas, bukan hanya kepintaran semata.
Investasi SDM harus mengarah pada pembangkitan daya pikir dan empati. Kenapa empati? Karena organisasi itu bukan spreadsheet. Mereka hidup, dinamis, dan penuh gesekan. Dan hanya manusia-manusia waras yang bisa memeluk konflik dan mengubahnya jadi inovasi.
Infrastruktur juga penting, tapi manusia yang tahu cara berpikir strategis dan punya kompas moral yang sehat jauh lebih langka daripada beton dan aspal.
Mendidik manusia itu berarti menantang sistem yang ingin segalanya cepat, instan, dan bisa dikuantifikasi. Tapi investasi paling berani memang tidak selalu kelihatan hasilnya hari ini. Sama seperti menanam pohon, kita tanam sekarang, cucu kita panen nanti. Tapi kalau tidak kita mulai sekarang, ya siap-siap saja panen kekosongan.
Carut Marut Hubungan Industrial: Solusi Instan, Masalah Berulang
Carut Marut Hubungan Industrial: Solusi Instan, Masalah Berulang
Rezkiawan Tantawi
Pengajar di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo
“PHK seolah sudah menjadi solusi default. Daya beli masyarakat turun, produksi diturunkan, lalu buruh dirumahkan”
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menghantam Indonesia bukan lagi sekadar badai sesaat, melainkan telah menjelma menjadi musim yang tak kunjung reda. Kemnaker merilis dari 77 ribu orang di 2014 hingga menyentuh angka fantastis 80 ribu orang pada 2024, tren ini mencerminkan betapa rapuhnya struktur ketenagakerjaan nasional di tengah dinamika global maupun domestik. Kondisi ini semakin parah sejak pandemi Covid-19 menyerang, lalu perlahan mereda, namun tidak pernah kembali ke titik stabil. Tahun 2024, meski pandemi sudah berlalu, PHK justru kembali melonjak.
Penyebabnya bukan semata urusan pasar atau pandemi, tapi juga hasil racikan kebijakan yang "katanya" pro-investasi, namun malah menyingkirkan pekerja. Alih-alih memperkuat industri dalam negeri, pemerintah justru terlalu asyik memoles undangan bagi investor baru, tanpa cukup perhatian pada pelaku industri lama yang sudah berjasa menopang ekonomi bertahun-tahun. Kebijakan impor yang terlalu longgar membuat produk lokal terkapar tak berdaya. Ditambah dengan keterlambatan investasi pada mesin dan teknologi, industri kita tertinggal, tak kompetitif di mata global, apalagi domestik.
Tahun 2025 pun tidak memberi harapan lebih cerah justru makin pelik dengan politik dalam negeri yang tak menentu. Alokasi anggaran yang lebih fokus pada program populis seperti makanan bergizi gratis, sambil menyampingkan stabilitas ketenagakerjaan (anak kenyang, orang tua kehilangan pekerjaan). Ancaman baru berupa kenaikan PPN, pengurangan subsidi, dan naiknya premi BPJS akan makin menekan biaya operasional perusahaan. Dan seperti biasa, solusi tercepat dan termurah dari mereka yang duduk di ruang rapat adalah: PHK. Kondisi hubungan industrial pun semakin kompleks dengan adanya tekanan eksternal dari globalisasi. Kebijakan resiprokal tarif oleh Amerika Serikat turut menekan ekspor Indonesia.
PHK bukan hanya masalah statistik. Di balik angka-angka tersebut, terdapat kehidupan yang berubah, keluarga yang terpuruk, dan masa depan yang terancam. Ironisnya, sebagian besar PHK terjadi pada sektor-sektor padat karya seperti industri pengolahan, jasa, dan pertanian, sektor yang selama ini menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja terbesar.
PHK seolah sudah menjadi solusi default. Daya beli masyarakat turun, produksi diturunkan, lalu buruh dirumahkan. Apakah ini pola yang akan terus terjadi?
Jika kita menengok ke sejarah dan praktik internasional, kita akan menemukan pola hubungan industrial yang lebih adaptif. Hu, X., et al (2024) dalam studinya menyebutkan bahwa hubungan industrial tidak hanya bergantung pada sistem tripartite (pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja), tetapi juga melibatkan aktor internasional (LSM global, organisasi hak asasi manusia, lembaga donor, perusahaan multinasional) yang membawa "senjata" berupa otoritas politik, pengaruh ekonomi, mobilisasi publik, dan pelatihan profesional sebagai alat tawar-menawar dalam membentuk sistem hubungan kerja yang lebih berkeadilan. Ini untuk memastikan bahwa efisiensi tidak dilakukan dengan mengorbankan hak-hak pekerja. Sayangnya, paradigma ini belum sepenuhnya diadopsi secara serius dalam lanskap industri Indonesia saat ini.
Mengapa PHK selalu menjadi "solusi default" yang terus diulang dari tahun ke tahun? bukan karena tidak ada alternatif, tapi karena sistem tidak dibangun untuk menciptakan alternatif tersebut. Tidak ada mekanisme check and balance yang kuat dari aktor eksternal. Tidak ada dorongan internasional untuk menciptakan praktik industri yang berkelanjutan dan berkeadilan. Akibatnya, kebijakan seperti PP No. 35 Tahun 2021 justru mempercepat proses penghilangan pekerja tetap dengan dalih efisiensi.
Dalam perspektif yang berbeda, logika manajerial menekankan efisiensi jangka pendek jika terjadi tekanan pasar, menjadikan pengurangan tenaga kerja sebagai langkah yang cepat, terukur, dan langsung terlihat dampaknya dalam laporan keuangan. Pun demikian dalam pemikiran manajemen konvensional, keberhasilan sering kali diukur dari peningkatan laba, efisiensi biaya, dan respons cepat terhadap tekanan eksternal, sehingga PHK tampak sebagai pilihan yang rasional dan pragmatis.
Ini mencerminkan ketegangan antara logika pasar dan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendekatan ini menunjukkan kurangnya visi jangka panjang dan lemahnya pemahaman manajerial terhadap pentingnya aset manusia sebagai sumber daya strategis. Di sinilah letak kegagalan manajemen dalam menginternalisasi prinsip keberlanjutan dan keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial. Jadi, jawaban atas pertanyaan di atas bukan hanya karena alasan ekonomis, tetapi juga karena kelemahan dalam sistem manajerial dan kelembagaan yang belum mampu membentuk kultur perusahaan yang berkomitmen pada kesejahteraan pekerja secara jangka panjang.
Ironinya, pemerintah kita justru lebih sibuk membangun narasi pertumbuhan ekonomi lewat karpet merah investasi, tetapi lupa merawat pondasi industrinya sendiri. Pelaku lama dibiarkan mati pelan-pelan oleh derasnya arus impor dan stagnasi teknologi, lalu disalahkan ketika tak lagi mampu bersaing. Dan ketika mereka tak mampu bertahan, buruhlah yang menjadi korban pertama. Sementara itu, bantuan seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya sebatas "plester penahan luka" yang tidak pernah menyentuh sumber penyakitnya.