ARSIP BULANAN : June 2025

"Sekolah kita sudah punya proyektor dan Wi-Fi, jadi pendidikan kita sudah modern, bukan?" Tidak selalu.

Di era digital seperti sekarang, banyak sekolah berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur teknologi, mulai dari pengadaan laptop untuk siswa, pemasangan layar pintar di kelas, hingga pelatihan penggunaan aplikasi pembelajaran daring. Namun sayangnya, tidak semua investasi ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Mengapa demikian? Karena teknologi bukan solusi otomatis. Sekadar hadirnya alat canggih di ruang kelas tidak akan mengubah apa-apa jika sekolah masih terjebak dalam budaya lama dan tidak menyiapkan strategi perubahan yang matang.

Artikel "Changing Schools with Technology" oleh David M. Marcovitz menyampaikan satu pesan penting: keberhasilan teknologi dalam pendidikan tidak ditentukan oleh alatnya, tetapi oleh manusia yang menggunakannya, budaya di sekitarnya, dan proses perubahan yang dijalani. Banyak guru hanya mengganti kapur dengan PowerPoint, namun tetap mengajar dengan gaya satu arah. Itu bukan transformasi-itu sekadar perubahan kosmetik. Perubahan yang bermakna menuntut lebih dari sekadar peralatan. Ia menuntut perubahan pola pikir, metode pengajaran, dan hubungan antara guru, siswa, serta teknologi.

Seringkali, kegagalan inovasi bukan terletak pada teknologi atau guru, tetapi pada budaya sekolah itu sendiri. Ketika guru inovatif diminta untuk "menyesuaikan" dengan kebiasaan lama, atau saat keberanian mencoba hal baru justru diberi beban tambahan, maka sekolah sedang membunuh semangat inovasi itu sendiri. Budaya sekolah yang kaku, birokratis, atau menolak risiko hanya akan menjadikan teknologi sebagai hiasan tanpa makna.

Teknologi yang hebat akan sia-sia tanpa dukungan dan pelatihan yang memadai untuk guru. Mereka bukan robot yang langsung bisa menjalankan teknologi begitu dipasang. Mereka butuh waktu untuk belajar dan mencoba, pelatihan yang relevan, kesempatan untuk gagal dan belajar, serta penghargaan atas usahanya. Tanpa dukungan ini, inovasi justru menjadi beban tambahan yang melelahkan.

Sering kali, sekolah menerapkan teknologi hanya setahun dan buru-buru menilai hasilnya. Ketika dampaknya belum terlihat signifikan, teknologi langsung ditinggalkan. Ini menciptakan siklus "coba, kecewa, lalu ditinggalkan" yang justru merusak semangat inovasi. Inovasi sejati butuh waktu dan strategi jangka panjang. Sama seperti tanaman, ia perlu ditanam, disiram, dan dirawat sebelum berbuah.

Untuk benar-benar mengubah pendidikan dengan teknologi, sekolah perlu memenuhi syarat-syarat perubahan yang sukses: ketidakpuasan terhadap kondisi lama, pelatihan memadai, dukungan waktu dan sumber daya, kepemimpinan yang kuat, dan partisipasi aktif guru dalam pengambilan keputusan. Kita tidak butuh penggunaan teknologi yang hanya sekadar ikut tren tanpa benar-benar memahami tujuan dan manfaatnya. Yang kita butuhkan adalah ekosistem sekolah yang hidup, belajar, dan bertumbuh bersama teknologi.

Teknologi memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita menggunakannya untuk memperkuat proses belajar, membebaskan kreativitas guru, dan membangun budaya sekolah yang adaptif terhadap perubahan. Karena pada akhirnya, inovasi bukan soal alat canggih, tetapi tentang bagaimana warga sekolah (guru, siswa, dan pemimpin sekolah) mengubah cara berpikir dan cara belajar menjadi lebih baik.

Kategori

Blogroll

  • Masih Kosong