SOCRATES DAN KEBEBASAN BERPIKIR
SOCRATES
Adriansyah Abu Katili
Sosok pria itu dikenal sebagai Bapak Filsafat Barat bahkan dunia. Dia hidup di Athena zaman Yunani Kuno. Melihat pekerjaannya sebagai tukang batu, apalagi bukan penyandang gelar doktor, kita yg hidup di Indonesia zaman modern sulit percaya bahwa dia adalah pemikir besar yg dimiliki dunia. Pemikiran-pemikirannya dikenal dunia, dikutip oleh para cendekiawan, dibahas para guru besar, setelah dihimpun oleh para muridnya, Plato dan Aristoteles. Yah, dia Sokrates yg memperkenalkan metode kritis analitis. Dia memperkenalkan pemikiran-pemikirannya melalui dialog dengan para muridnya.
Sayang, para penguasa Athena pada masa itu kurang suka pada pemikirannya. Melalui konspirasi yg kejam, dia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda. Yang terjadi sebenarnya adalah mereka terusik dan takut pemikirannya akan mengganggu kekuasaan mereka. Diapun dijatuhi hukuman mati dengan cara harus minum racun. Hukuman yang dijalaninya itu menyebabkan kematiannya, namun bukan kematian pemikiran filosofisnya.
Socrates mati karena penguasa Athena pada masa itu telah mengambil posisi sebagai penentu kebenaran. Kebenaran yang mereka tentukan berdasarkan kepentingan politik kekuasan, bukan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan syarat kebenaran itu sendiri, yaitu rasional, obyektif, dan empiris.
Zaman berganti, akhirnya tibalah zaman milenial ini. Socrates zaman Yunani kuno kini telah tiada. Penguasa yang menghukumnya, lebih tepat membunuhnya untuk membumkam pemikirannya juga ikut tiada. Tap para pemikir akan terus ada sesuai zamannya. Demikian juga mereka yang tidak suka dengan pemikiran juga akan terus ada. Reaksi mereka yang membenci pemikiran juga sama: membumkam pemikirnya dengan tujuan membumkam pemikiran. Cara pembumkaman itu dilakukan melalui kekuasaan maupun media. Pembumkaman melalui kekuasaan dilakukan secara legal maupun non-legal. Secara legal dengan membuat keputusan yang berkekuatan hukum. itu dilakukan dengan pelarangan buku untuk beredar seperti yang terjadi pada Yahya Muhaimin dengan bukunya yang merupakan hasil dari disertasinya yang berbicara kapitalisme semu yang melingkupi kekuasaan orde baru, dan pembreidelan koran dan majalah yang memuat tulisan yang berisi pemikiran kritis pada penguasa. Metode pembumkaman secara non-legal adalah dengan pembunuhan secara fisik seperti yang terjadi pada Munir, Widji Thukul, dan Marsinah. Pembumkaman melalui media adalah dengan memanfaatkan media sosial. Mereka yang pembenci kebebasan berpikir akan menyewa orang-orang sebagai buzzer untuk melakukan pembunuhan karakter melalui terhadap mereka yang berpikir kritis melalui akun-akun.
Lantas, apalagi bentuk pembumkaman kebebasan berpikir? Pembumkaman pikiran bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam lembaga pendidikan. Seorang dosen bisa saja membumkam pikiran mahasiswanya dan mengarahkan pada pikiran yang disukainya. Dalam pembimbingan skirpsi, misalnya, dosen pembimbing bisa memaksakan pikirannya pada mahasiswa bimbingannya tanpa alasan rasional dan obyektif. Seorang guru bisa saja menyalahkan jawaban siswanya dalam ujian hanya berdasarkan kunci jawaban. Maka mahasiswa dan siswanya menjadi tidak berdaya di hadapan dosen atau guru yang memiliki kekuasaan terhadapnya. Susah diharapkan mahasiswa dan siswa yang kreatif berpikir jika kondisi ini tidak diubah.
Socrates mati. Penguasa pembencinya mati. Tapi sejarah berulang dalam bentuk yang bervariasi.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong