ARSIP BULANAN : October 2022

SOCRATES DAN KEBEBASAN BERPIKIR

21 October 2022 11:13:01 Dibaca : 3407

SOCRATES

Adriansyah Abu Katili

 

Sosok pria itu dikenal sebagai Bapak Filsafat Barat bahkan dunia. Dia hidup di Athena zaman Yunani Kuno. Melihat pekerjaannya sebagai tukang batu, apalagi bukan penyandang gelar doktor, kita yg hidup di Indonesia zaman modern sulit percaya bahwa dia adalah pemikir besar yg dimiliki dunia. Pemikiran-pemikirannya dikenal dunia, dikutip oleh para cendekiawan, dibahas para guru besar, setelah dihimpun oleh para muridnya, Plato dan Aristoteles. Yah, dia Sokrates yg memperkenalkan metode kritis analitis. Dia memperkenalkan pemikiran-pemikirannya melalui dialog dengan para muridnya.

Sayang, para penguasa Athena pada masa itu kurang suka pada pemikirannya. Melalui konspirasi yg kejam, dia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda. Yang terjadi sebenarnya adalah mereka terusik dan takut pemikirannya akan mengganggu kekuasaan mereka. Diapun dijatuhi hukuman mati dengan cara harus minum racun. Hukuman yang dijalaninya itu menyebabkan kematiannya, namun bukan kematian pemikiran filosofisnya.

Socrates mati karena penguasa Athena pada masa itu telah mengambil posisi sebagai penentu kebenaran. Kebenaran yang mereka tentukan berdasarkan kepentingan politik kekuasan, bukan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan syarat kebenaran itu sendiri, yaitu rasional, obyektif,  dan empiris.

Zaman berganti, akhirnya tibalah zaman milenial ini. Socrates zaman Yunani kuno kini telah tiada. Penguasa yang menghukumnya, lebih tepat membunuhnya untuk membumkam pemikirannya juga ikut tiada. Tap para pemikir akan terus ada sesuai zamannya. Demikian juga mereka yang tidak suka dengan pemikiran juga akan terus ada. Reaksi mereka yang membenci pemikiran juga sama: membumkam pemikirnya dengan tujuan membumkam pemikiran. Cara pembumkaman itu dilakukan melalui kekuasaan maupun media. Pembumkaman melalui kekuasaan dilakukan secara legal maupun non-legal. Secara legal dengan membuat keputusan yang berkekuatan hukum. itu dilakukan dengan pelarangan buku untuk beredar seperti yang terjadi pada Yahya Muhaimin dengan bukunya yang merupakan hasil dari disertasinya yang berbicara kapitalisme semu yang melingkupi kekuasaan orde baru, dan pembreidelan koran dan majalah yang memuat tulisan yang berisi pemikiran kritis pada penguasa. Metode pembumkaman secara non-legal adalah dengan pembunuhan secara fisik seperti yang terjadi pada Munir, Widji Thukul, dan Marsinah. Pembumkaman  melalui media adalah dengan memanfaatkan media sosial. Mereka yang pembenci kebebasan berpikir akan menyewa orang-orang sebagai buzzer untuk melakukan pembunuhan karakter melalui terhadap mereka yang berpikir kritis melalui akun-akun.

Lantas, apalagi bentuk pembumkaman kebebasan berpikir? Pembumkaman pikiran bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam lembaga pendidikan. Seorang dosen bisa saja membumkam pikiran mahasiswanya dan mengarahkan pada pikiran yang disukainya. Dalam pembimbingan skirpsi, misalnya, dosen pembimbing bisa memaksakan pikirannya pada mahasiswa bimbingannya tanpa alasan rasional dan obyektif. Seorang guru bisa saja menyalahkan jawaban siswanya dalam ujian hanya berdasarkan kunci jawaban. Maka mahasiswa dan siswanya menjadi tidak berdaya di hadapan dosen atau guru yang memiliki kekuasaan terhadapnya. Susah diharapkan mahasiswa dan siswa yang kreatif berpikir jika kondisi ini tidak diubah.

Socrates mati. Penguasa pembencinya mati. Tapi sejarah berulang dalam bentuk yang bervariasi.

 

 

MENGHANCURKAN CEBONG DAN KADRUN,  MEREKONSTRUKSI KEIINDONESIAAN MELALUI BAHASA INDONESIA

Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Tulisan ini adalah refleksi tentang rasa keiindonesiaan kita menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2022. Setiap tahun kita memperingati hari ini dengan meriah. Kita mengadakan upacara bendera, menghormati bendera merah putih kita sebagai representai tanah air. Dalam upacara itu kita serempak mengulangi kembali ketiga butir sumpah yang diucapkan para pemuda itu. Dalam upacara itu kita merefleksi sejarah saat-saat para pemuda pendiri bangsa ini berjuang untuk keiindonesiaan kita, yang kemudian ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Poin terakhir sumpah ini adalah bahwa kita putera dan puteri Indonesia menjunjung tingga bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa seyogyanya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa pemecah bangsa.

 Rasa kebangsaan kita tercermin dalam sikap kita, ucapan verbal kita. Bila kita setuju bahwa bahasa adalah cermin dari realita, maka ungkapan-ungkapan yang lagi popular di media sosial adalah cermin kebangsaan kita yang menunjukkan tanda-tanda keretakan.Label-label cebong dan kadrun merefleksikan adanya dua pihak yang saling berhadap-hadapan, yang saling berkonfrontasi.  Dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini, penulis menguraikan lebih mendetail tentang label ini dalam kaitannya dengan gambaran keretakan keindonesiaan kita dengan kacamata Critical Discourse Analysis, yakni analisis bahasa dan kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan.

Mengapa penulis mengaitkanya bahasa dengan ideologi dan kekuasaan? Bisa dijawab dengan merujuk pada kisah dalam Alquran bahwa Allah SWT mengajarkan nama-nama benda kepada Nabi Adam yang diplot sebagai khalifah pengatur dunia. Mengapa yang diajarkan adalah nama-nama benda dan bukan ilmu manajemen sebagaimana yang diakui oleh manusia sekarang ini sebagai ilmu mengatur organisasi? Ini juga akan dibahas dalam sesi selanjutnya.

 

Bahasa dan Kekuasaan

Sebagaimana dikemukakan di atas, setelah Allah menciptakan Nabi Adam. Allah mengajarkan nama-nama benda kepadanya. Ini berarti Allah mengajarkan bahasa kepada Nabi Adam. Pertanyaan yang selanjutnya, megapa bahasa yang diajarkan, bukan ilmu lainnya? Ternyata bahasa bisa berfungsi sebagai alat kekuasaan. Dengan menguasai bahasa, manusia bisaberkuasa, dalam hal ini menguasai pikiran manusia. Bila kita ingin menguasai manusia maka kuasai dahulu pikirannya,

Bahasa sebagai alat kekuasaan dibahas dalam cabang ilmu linguistik Critical Discourse Analysis atau Analisis Wacana Kritis. Dick (1993) mendefinisikan analisis wacana ini sebagai analisis penggunaan bahasa dalam konteks kekuasaan. Kata konteks mengacu pada siapa yang berbicara, siapa pendengar, apa yang dibicarakan, apa tujuannya. Dikaitkan dengan kekuasaan, bahasa digunakan oleh pembicara dengan tujuan menguasai pikiran pendengar agar bisa diarahkan sesuai kehendak pembicara. Hal ini tercermin dalam penggunaan kata yang kemudian diberi konotasi tertentu. Di masa Orde Baru kita sering mendengar label-label seperti Bahaya Laten Komunis, Organisasi Tanpa Bentuk, Stabilitas Negara. Kata-kata ini ada hubungannya dengan penguasaan pikiran rakyat Indonesia. Komunis adalah paham yang terlarang di Indonesia, dan Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Suharto berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan melalui G.30 S PKI pada tahun 1965. Maka saat Orde Baru berkuasa setiap mereka yang mengkritisi pemerintah akan segera mendapat label komunis, lalu akan muncul peringatan tentang bahaya laten komunis. Kemudian muncul lagi label Organisasi Tanpa Bentuk. Label ini juga mengacu pada organisasi terlarang PKI yang ditenggarai sebagai bahaya laten yang akan muncul diam-diam tanpa bentuk yang bisa dilihat. Label ini akan dilekatkan pada setiap orang yang bersikap kritis. Pelabelan ini sangat berhasil membuat para tokoh kritis diam.

Para pejuang kemerdekaan kita dilabeli sebagai pahlawan. Tapi harus diingat bahwa yang melabeli itu adalah kita bangsa Indonesia dengan tujuan mengobarkan jiwa perjuangan kemerdekaan. Dari sudut pandang kita bangsa Indonesia, mereka adalah pejuang yang gagah perkasa. Tapi di mata Belanda mereka adalah perberontak yang meruntuhkan kekuasaan mereka di Bumi Indonesia. Maka mereka melabeli para pahlawan itu sebagai ekstrimis yang maknanya sama dengan teroris. Di sini kita lihat perebutan kekuasaan. Kita yang berusaha menguasai pikiran orang bahwa kita berhak merdeka dan Belanda yang berusaha meyakinkan orang bahwa Indonesia adalah wilayah syah kekuasaan mereka. Maka mereka yang melawan penjajahan adalah pemberontak yang dilabeli ekstrimis.

 

 

Cebong dan Kadrun

Cebong dan Kadrun adalah pelabelan yang marak di Indonesia akhir-akhir ini. Cebong adalah label yang diberikan kepada mereka yang pro pemerintah, yang selalu mendukung politik pemerintah. Label ini diberikan oleh mereka yang mengambil sikap anti pemerintah, diberikan konotasi negatif sebagai orang yang kurang berpikir. Sementara kadrun adalah label yang dilekatkan oleh mereka yang pro-pemerintah kepada mereka yang selalu mengkritisi pemerintah. Kadrun adalah sejenis binatang gurun pasir. Ini dilabelkan kepada pihak pengkritik pemerintah yang berasal dari golongan Islam yang dianggap sebagai Islam garis keras.

Kedua pihak ini nampaknya berusaha memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan. Ada upaya masing-masing pihak mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya. Semakin banyak pendukung semakin membuka peluang untuk menang. Masing-masing berusaha menguasai pikiran massa melalui pelabelan terhadap lawan. Mereka yang melabeli lawan sebagai cebong menyiratkan bahwa cebong itu mereka yang tidak berpikir. Itu berarti hanya pihak pelabel yang berpikir. Sementara pihak yang melabeli lawan sebagai kadrun menyiratkan bahwa lawan itu berusaha mengarabkan Indonesia, dan dengan demikian mereka bukan Indonesia. Maka menurut pihak pelabel hanya mereka yang bukan kadrun yang Indonesia.

Bila kita berasumsi bahwa bahasa adalah gejala sosial, maka kedua label ini mengisyaratkan adanya gejala keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Keretakan berbangsa adalah hal yang sangat berbahaya. Kita tak ingin bangsa ini hancur hanya karena pertarungan ini.

 

Penutup

Dikaitkan dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda, sudah saatnya kita kembali menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Potensi bahasa sebagai alai kekuasaan mari kita arahkan untuk hal-hal yang mendukung persatuan bangsa. Kita jangan menciptakan label-label yang meretakkan kehidupan berbangsa kita. istilah-istilah yang kini popular seperti cebong dan kadrun mari kita musnahkan.  

Para pendukung pemerintah bukanlah orang-orang yang tidak berpikir tapi yang berpikir bahwa pemerintah harus didukung agar mampu bekerja. Jadi mereka bukan cebong. Sebaliknya mereka yang mengkiritisi pemerintah bukanlah kadrun yang anti Indonesia. Justru mereka mengekspresikan kecintaan mereka kepada Indonesia dengan bersikap kritis. Mereka mengkritis pemerintah agar tidak salah arah.

Maka ke depan nanti tak ada lagi label peretak kebangsaan. Saatnya ungkapan Kau Cebong, atau Kau kadrun berganti Kita Indonesia.

Sekali lagi, jadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa sebagaimana yang kita sering sumpahkan setiap tanggal 28 Oktober. Hari Sumpah Pemuda inilah saat yang tepat untuk mengilanhkan keretakan berbangsa dan bertanah airmerekatkan kembali.

 

Referensi

 

Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society vol. 4(2), 249-.

Gorontalo, 25 September 2022

 

ooOOoo