BINATANG JALANG ITU ADALAH KITA
BINATANG JALANG ITU ADALAH KITA
SEBUAH REFLEKSI IDUL FITRI
Oleh Adriansyah A. Katili
adriansyahkatili@ung.ac.id
Malam Idul Fitri. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan perayaan tahunan pasca Ramadhan nan sakral bagi umat Islam ini. Ada yang membersihkan rumah. Ibu-ibu menyiapkan makanan terbaik untuk santapan di hari yang sakral. Di jalanan orang-orang sibuk menuju dan pulang dari pusat perbelanjaan. Di pasar senggol, pasar yang digelar pemerintah daerah menjelang Idul Fitri orang-orang berjubel berbelanja. Transaksi jual beli terjadi. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan kegembiraan setelah sebulan berpuasa.
Lantunan takbir terdengar mengalun melalui pengeras suara di masjid-masjid. Takbir yang terkadang melengking tinggi saat ekspresi harapan yang dijeritkan oleh sang penakbir kepada Dia sang pemilik takbir, yang bersemayam di aras, mendesak tak tertahankan. Lalu merendah syahdu saat timbul kesadaran akan kemaharendahan dan kemahakecilan diri di hadapan Dia yang Maha Tinggi dan Maha Besar.
Aku sedang duduk di teras rumah, mendengarkan lantunan takbir sambil memandang cahaya lampu, sisa-sisa perayaan tumbilotohe atau malam pasang lampu yang digelar selama tiga malam berturut-turut menjelang Idul Fitri sesuai tradisi kaum Muslimin etnis Gorontalo. Kini tersisa satu lampu yang cahayanya mengerdip, menyiratkan sepi di kelam sunyi. Malam yang sakral, dan kerdip lampu di kelam sunyi. Situasi yang melankolis, yang sulit diilustrasikan dengan kata-kata yang tercanggih sekalipun.
Tiba-tiba aku teringat si Binatang Jalang, Chairil Anwar yang dalam sebuah sajaknya berjudul “Doa.” Doa yang diucapkan lirih oleh seorang penyair yang biasanya bersuara lantang saat berkata “AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI.” Kali ini lirih, dalam meditasi kesadaran tentang kemanusiaan yang selama ini terisolasi, termarginalkan di negeri asing. Kemanusiaan yang hampir-hampir terkikis di negeri asing yang jauh dari ketuhanan. Seolah terbayang Chairil Anwar yang sedang mengucapkan lirih baris-baris sajaknya singkatnya itu:
Doa
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling
Puisi yang mewakili keadaan kita. Negeri asing yang melambangkan ketersesatan kita, negeri yang penuh debu dosa yang mengasingkan kita dari jati diri kemanusiaan yang suci fitri. Kita kini termangu-mangu, memandangi caya lilin yang sunyi. Begitu jauhnya kita dari Dia, sehingga menyebut nama-Nyapun kita sungguh susah. Yah, betapa susahnya kita menyebut nama-Nya yang penuh seluruh. Secara lisan mungkin kita mudah menyebu tnama-Nya, bahkan dalam gema takbir Idul Fitri kita menyebutnya. Namun apakah hati kita bisa dengan mudah menyebut-Nya. Jangan-jangan lisan kita bertakbir namun nurani kita, kalbu kita sulit sungguh bahkan sekedar mengingat nama-Nya teramat sulit. Kita menjauh dari Dia sehingga hati kita gelap karena cahaya-Nya yang panas suci kini bagai kerdip lilin di kelam sunyi.
Begitu sulitnya menyebut nama-Nya sampai cahaya-Nya yang panas suci, kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Kita mengembara di negeri asing, mengumpulkan debu-debu dan menempelkannya di tubuh kita, hati kita. begitu tebalnya debu-debu itu menyatu dengan hati kita sehingga cahaya Tuhan yang panas suci sulit menembus hati. Bahkan cahaya itu kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi, Akankah kita biarkan cahaya itu tetap tinggal kerdip lilin di kelam sunyi? Akankah kita tetap menutup cahaya itu, membiarkan hati kita gelap?
Kegelapan itu menyebabkan diri kita hilang bentuk, bahkan remuk. Remuk adalah sakit yang tak terhingga. Sakit karena kita kehilangan jati diri kita. Sakit karena diri kita hilang, remuk diamuk debu-debu duaniawiah yang menjelma dalam bentuk aneka, keserakahan, ketamakan, amarah, dendam. Ketamakan pada harta. Ketamakan pada kekuasaan. Amarah dan dendam pada mereka yang kita anggap melecehkan kebesaran kita. Kericuhan yang kita ciptakan berbasis kerakusan dan ketamakan sehingga membuat orang lain tidak nyaman. Entah kericuhan yang kita ciptakan berbungkus kebaikan atau kericuhan yang kita citrakan sebagai agama melalui kemampuan retorika kita yang handal sehingga yang haram terlihat halal.
Aku melihat Chairil Anwar sebagai perwakilan diri kita, bermeditasi, memanggil-manggil Tuhan di kelam sunyi. Tuhanku, aku puitik capek mengembara di negeri asing. Aku takut bentukku hilang dan remuk terus menerus. Aku babak belur. Sudilah kiranya Kau melihat aku dengan pandangan kasih sayang-Mu yang seluas langit dan bumi. Aku kini berdiri di pintu-Mu yang tertutup disebabkan aku terlalu lama meninggalkan-Mu, mengangungkan egoku yang sering mengaum bagaikan binatang jalang. Inilah Aku yang dengan tanganku yang gemetar dihantam debu-debu, mencoba mengetuk pintu-Mu.
Tuhanku, takbir itu kian menghantam egoku.
ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR
ALLHU AKBAR
Engkau yang Maha Besar ya Allah. Engkau yang Maha Besar ya Tuhanku. Engkau yang Maha Besar ya Ilahi. Aku maha kecil. Aku maha hina. Aku tak berarti apa-apa. Debu-debu itu telah lama menutup wajahku.
LA ILAHA ILLALLAH, ALLAHU AKBAR
Tiada Tuhan selain Kau, Ya Allah. Tiada Tuhan selain kau yang Maha Besar, yang aku sembah, kepada siapa aku meminta dan berharap. Tiada Tuhan pengabul harapan. Kini di pintu-Mu aku berdiri. Di pintu-Mu aku berlutut. Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling, ya Allah. Aku tidak bisa berpaling. Bagaimana aku bisa berpaling sementara hanya pintu-Mu yang tersedia, tempat aku kembali?
Dalam bayanganku aku melihat Chairil Anwar, yang tak akan perduli pada apapun, yang pernah berteriak lantang “AKU INI BINATANG JALANG,” berlutut di pintu itu, pintu Tuhan, Dia mengetuk dengan tangannya yang gemetar, suaranya yang memelas, tangisanya yang terisak-isak, memohon agar supaya sudilah kiranya Tuhan membukanya. Yah, Chairil Anwar itu adalah kita. Binatang jalang itu adalah kita.
Dari kejauhan sayup-sayup kudengan lantunan takbir, sendu. Lantunan takbir yang mengisyaratkan, memanggil-manggil manusia untuk kembali ke jati dirinya. Jati diri sebagai makhluk maha kecil di depan Dia yang Maha Besar. Takbir itu adalah pintu itu. Dan kita berlutut di depan pintu itu. Kita mengakui bahwa kita tidak bisa berpaling dari Dia.
oooOOOooo
Penulis adalah pengajar di Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong