ZIARAH KUBUR SAAT IDUL FITRI DALAM TINJAUAN FILOSOFIS

28 September 2022 06:18:25 Dibaca : 1455

ZIARAH KUBUR SAAT IDUL FITRI  DALAM TINJAUAN FILOSOFIS

Oleh Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Ada fenomena yang unik yang dapat ditemui pada masyarakat Indonesia di hari Idul Fitri. Masyarakat Indonesia, setelah melaksanakan sholat Idul Fitri menziarahi kubur kaum kerabat. Menziarahu kubur orang tuanya, atau saudaranya. Fenomena yang tak ada di negara Saudi tempat Islam diturunkan.

Para ulama berbeda  mengenai hukum ziarah itu. Yang super puritan menganggap ziarah itu mengada-ngada karena tak dicontohkan oleh Nabi. Bagi mereka mengkhususkan ziarah kubur di hari Idul Fitri adalah bidah yang harus dijauhi. Ada yang berpendapat bahwa ziarah kubur di hari Idul Fitri itu tidak dilarangan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa pada hari IdulFitri, roh kaum Muslimin akan datang ke kubur masing-masing. Mereka menantikan diziarahi oleh anak, kaum kerabat, dan handai tolan.

Saya tak memasuki wilayah perdebatan itu. Pengetahuanku  dalam bidang agama masih sebatas pengetahuan orang yang masih belajar dasar-dasar agama, belum sampai memasuki wilayah fiqih yang harus dikaji mendalam.Saya hanya akan meninjaunya dari segi filosofisnya karena aku hanya memiliki kemampuan dalam bidang filsafat dan sastra. 

Saya memandang bahwa ziarah kubur adalah symbol pertautan yang erat antara mereka yang telah meninggalkan dunia dan kaum kerabat yang ditinggalkan. Walau bagaimanapun kaum kerabat yang hidup tidak akan melupakan orang-orang tercinta yang telah pergi. Mereka akan datang ke kubur, membawa dan menaburkan kembang di atas hamparan kubur. Membaca doa-doa permohonan agar kiranya Allah SWT berkenan mengampuni almarhum/almarhumah yang telah berbaring di alam kubur.

Sebelum berdoa mereka membersihkan areal kubur. Mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di atas kubur. Menyapu dan menyingkirkan daun-daun kering yang berserakan dan menutupi areal kubur. Lalu menggosok porselin kubur sehingga mengkilat. Lalu menggelar alas, duduk bersila berdoa dipimpin seorang imam atau ustaz yang sengaja diundang untuk itu.

Ziarah kubur juga berarti perputaran roda ekonomi yang lumayan. Di beberapa wilayah Republik Indonesia banyak ditemukan para penjual kembang. Para peziarah yang tak sempat membawa kembang membeli kembang yang dijual. Itu berarti terjadinya transaksi dan perputaran uang dan dengan demikian menolong ekonomi para penjual.

 

Ziarah sebagai Refleksi Kemanusiaan dan Ketuhanan

Secara filosofis ziarah kubur  dapat ditinjau dari segi refleksi kemanusiaan dan ketuhanan. Untuk itu saya mencoba memasuki refleksi itu melalui pintu Filsafat Eksistensilisme. Eksistensialime adalah aliran filsafat yang berkembang di Eropah pada abad ke-19. Filsafat ini membahas eksistensi manusia di dunia sebagai individu yang bertindak. Ada banyak filsuf yang mengembangkan aliran pemikiran ini, dua di anataranya yang paling terkenal adalah Jean Paul Sartre dan Karl Jaspers. Sartre mengatakan bahwa ada keberadaan tidak dapat dilepaskan dari kesadaran manusia. Kesadaran manusia terbagi dua,  kesadaran non-reflektif dan kesadarab reflektif. Kesadaran non-reflektif adalah tentang keberadaan diri tanpa disertai refleksi tentang keberadaan itu sendiri. Sebagai contoh, seorang yang berada di suatu taman. Pada saat itu dia sadar bahwa dia berada di taman namun tak menyadari mengapa dan untuk apa dia di taman itu. Pada saat dia mulai menyadari apa yang membawa di ke taman itu, dan apa tujuannya, maka dia memasuki kesadaran reflektif.

Bila dibawa ke dalam keberadaan mahasiswa di kampus, maka mahasiswa yang hanya sadar bahwa di ada di kampus tanpa menyadari mengapa dan untuk apa dia di kampus, maka dia masih berada pada kesadaran non-reflektif. Saat dia menyadari penyebab dia berada di kampus, bahwa dia di kampus karena dia adalah mahasiswa yang memliki tugas dan tanggung jawab, maka dia memasuki kesadaran reflektif. Kesadaran yang kemudian diikuti dengan tindakan akademis.

Karla Jasper mengatakan bahwa keberadaan manusia memiliki tiga tingkatan. Tingkatan esensi, eksistensi, dan transedensi. Tingkatan esensi adalah permulaan, di mana manusia mulai berada di alam dunia. Manusia sejak lahir membawa esensi kemanusiaan, esensi ini berupa nilai-nilai universal manusia, kemampuan untuk bertindak. Kemudian dia memasuki tingkatan eksistensi melalui tindakan yang berhubungan dengan ada. Dalam hal ada bersama dunia, bukan ada di dalam dunia. Dalam ada bersama dunia, dia mengimplementasikan esensinya melalui tindakan yang bersifat kontekstual. Dia memulainya dengan ilmu yang diperoleh. Seiring dengan perjalanan waktu, dia mulai memasuki situasi batas. Umur yang menua, penyakit, kematian orang-orang terdekat adalah contoh situasi batas. Disebut situasi batas karena ini adalah batas yang tak dapat dilampaui oleh manusia yang sedang bereksistensi karena eksistensi dibatasi oleh hal-hal yang yang disebut di atas. Pada saat ini dia berdiri di depan transedensi, yaitu tingkatan setingkat di atas eksistensi. Orang-orang yang relijius, dia memasuki kesadaran ketuhanan yang semakin intens. Transedensi adalah keadaan yang melingkupi eksistensi, sebagai langit yang tak terbatas. Dalam Bahasa umum itu adalah kesadaran ketuhanan.

Dengan memakai kacamat kedua filsuf di atas, aku mencoba membangun kesadaran reflektif kita akan eksistensi kita. Ada di mana kita ini? Ada di dunia. Mengapa kita ada di dunia? Untuk apa kita di dunia? Apakah kita berada di dunia ini hanya sekedar ada, lahir sebagai bayi, remaja, dewasa, tua, lalu akhirnya mati? Atau kita harus berbuat sesuatu agar keberadaan kita di dunia tidak menjadi keberadaan yang sia-sia.

Saya melihat dengan kacamata eksistensi Karl Jasper, para peziarah kubur adalah para eksistensi yang menjiarahi situasi batas berupa kematian orang-orang terdekat. Dia menyadari bahwa sebagai eksistensi, bagaimanapun kuatnya ilmu yang dimiliki dia tak mampu mencegah kematian orang-orang terdekat, bahkan kematian dirinya sekalipun. Maka dia berdiri di depan transedensi dengan kesadaran reflektif berbasis ketuhanan. Saat itu dia adalah eksistensi yang memasuki tingkatan transedensi. Dalam bahasa sufi itu mungkin sejenis makrifat.

 

Penutup

Itulah essay singkat tentang makna filosofis ziarah. Ziarah bukan sekedar mengunjungi makam orang-orang terdekat yang telah mendahului kita tapi adalah refleksi keberadaan kemanusiaan kita di dunia, agar keberadaan kita di bernilai dan tidak sia-sia. Kita memang perlu menziarahi kemanusiaan kita, kata seorang novelis beraliran filsafat Eksistensialisme, Iwan Simatupang dalam novelnya berjudul “Ziarah.”

ooOOoo

Daftar Pustaka

Jaspers, K (1971). Philosophy of Existence. Diterjemahkan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Inggris Oleh Richard F. Grabau.  Philadelphia: University of Pennsylvania Press

Sartre, J.P, (2007) Existentialism is a Humanism.  Paris: Yale University.

Simatupang, I (1969). Ziarah. Jakarta Selatan: Noura Books.

Siswanto, J (2017) Bereksistensi Dalam Transendensi Menurut Pemikiran Karl Jaspers. “Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara”

 

Catatan:

Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Tinggal di Kabila, Bone Bolango, Gorontalo.