REVIEW BUKU FENOMENOLOGI AGAMA: PENDEKATAN FENOMENOLOGI UNTUK MEMAHAMI AGAMA KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA

20 April 2024 13:41:28 Dibaca : 559 Kategori : REVIEW

Heddy Shri Ahimsa-Putra melalui artikel berjudul “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama” menguraikan apa yang disebut ‘pendekatan fenomenologi’ dalam kajian agama. Berangkat dari filsafat fenomenologi Husserl, penulis melacak pengaruhnya pada ilmu sosial melalui salah seorang murid Husserl, Alfred Schultz. Berdasarkan ide Husserl yang dikembangkan oleh Schultz, penulis menyajikan pandangannya bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan dalam kajian agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Penulis selanjutnya menjelaskan beberapa implikasi etis metodologis jika melakukan kajian fenomenologis terhadap agama (Ahimsa Putra, 2012: 271).

Pada bagian pendahuluan Ahimsa Putra meguraikan beberapa pandangan beliau yang menjadi dasar mengenai “pendekatan fenomenologi” yakni Pertama adalah istilah “pendekatan” yang sama dengan kerangka teori yang didefinisikan sebagai seperangkat kon sep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan atau masalah yang dihadapi. Istilah pendekatan fenomenologi di sini sama maknanya dengan paradigma fenomenologi, kerangka teori atau perspektif fenomenologi. Kedua, sebuah paradigma atau kerangka teori, mempunyai unsur-unsur yang membentuk kerangka tersebut. Dalam ilmu sosial budaya, sebuah paradigma biasanya dapat dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi tau anggapan-anggapan dasarnya tentang objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, metode- metode serta teori-teori yang dihasilkannya (Ahimsa Putra, 2012: 272-273).

Fenomenologi: dari Filsafat ke Ilmu Sosial Budaya

Hegel mendefinisikan fenomenologi sebagai “pengetahuan sebagaimana pengetahuan tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” (“knowledge as it appears to consciousness”). Selain itu fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness and experience-nya. Penekanan pada proses penggambaran ini membawa kita kepada upaya mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal, kesadaran mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “the absolute knowledge of the absolute (Ahimsa Putra, 2012: 273-274).

Filsafat Fenomenologi: Edmund Husserl dan Pemikirannya

Husserl pada dasarnya berupaya menemukan dasar bagi sebuah filsafat yang membahas, menelaah, kenyataan. Dasar ini, menurut Husserl, hanya dapat ditemukan dalam kenyataan itu sendiri atau sesuatu itu sendiri (things in themselves). Dasar dari filsafat adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan sebagaimana dia menampilkan dirinya, sebagaimana dia menghadirkan dirinya. Husserl melanjutkan bahwa yang dimaksudkannya dengan “sesuatu itu sendiri” (the thing itself) tidak lain adalah “kesadaran” (conscious- ness). Oleh karena itu, fenomenologi yang dibangun oleh Husserl dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesadaran. Bagi Husserl, kesadaran ini selalu kesadaran tentang sesuatu, “consciousness of something”. Jadi ada dua aspek “kesadaran” yang saling mengisi, yakni: (1) proses sadar itu sendiri, “the process of being conscious” (the cogito), yang wujudnya bisa beberapa macam (misalnya mengingat, melihat, menilai), dan (2) yang menjadi objek dari kesadaran tersebut (Ahimsa Putra, 2012: 274).

Ahimsa Putra (2012: 277) menguraikan bahwa Husserl mengatakan bahwa fenomenologi  tidak hanya harus menjadi “psikologi deskriptif”, tetapi juga harus menjadi filsafat transendental. Filsafat fenomenologi transendental berupaya menemukan struktur yang paling elementer, yang “we, here and now, are always departing from, and which lead and make possible our perceiving and knowing, speaking and thinking, remembering and expecting...” Sumbangan pemikiran Husserl yang lain bagi ilmu sosial adalah pandangannya tentang natural attitude. Konsep inilah yang di kemudian hari menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh Husserl natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mythical religious attitude. Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian di- kembangkan oleh Alfred Schutz, dan diteruskan oleh Harold Garfinkel dalam etnometodologi. Di situ mereka menghubungkan attitude tersebut dengan bisa tidaknya proses interaksi sosial terjadi.

Fenomenologi dalam Ilmu Sosial: Alfred Schutz Merintisnya

Schutz berpendapat bahwa bentuk dasar intersubjektivitas ini tidak lain adalah adanya timbal-balik perspektif (reciprocity of perspective), yang mencakup dua macam bentuk idealisasi (idealization), yakni interchangability of view- points dan congruence of system of relevances. Pada idealisasi kedua, masalah yang perlu dipahami adalah bagaimana si pelaku mendefinisikan situasi yang dihadapi. Situasi di sini maksudnya adalah “a particular physical and sociocultural environment in which the actor a physical, social and moral position as determined in part by his biography. Dengan demikian ki-ta dapat mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Schutz sebagai congruence of system of relevances adalah keadaan di mana seorang Ego dan Alter yang terlibat dalam suatu interaksi berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam sistem relevansi masing-masing pihak dapat diabaikan demi tujuan yang ingin dicapai bersama. Melalui dua bentuk idealisasi itulah proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari dapat berlangsung dengan lancar. Di situ masing-masing pihak yang terlibat tidak lagi menyangsikan lagi bahwa hal-hal yang akan dihadapinya tidak akan berlainan dengan apa yang telah pernah dialaminya (Ahimsa Putra, 2012: 279)

Ahimsa Putra (2012: 280) menguraikan bahwa Schutz juga mengatakan dalam proses interaksi sosial para pelaku di situ harus mendefinisikan situasi yang dihadapi, termasuk di dalamnya pelaku-pelaku yang lain. Di sini para pelaku sadar atau tidak melakukan typification atau pemberian tipe atau ciri. Dalam typification ini pelaku mengabaikan hal-hal yang unik pada suatu objek dan menempat- kan objek tersebut dalam kelas yang sama dengan objek-objek lain yang memiliki ciri-ciri, unsur-unsur atau kualitas yang sama. Konsep typification dari Schutz inilah yang memungkinkan aliran etnosains dan antropologi kognitif dalam antropologi bertemu dengan sosiologi yang fenomenologis, sehingga etnosains dan antropologi kognitif kemudian dapat dikatakan sebagai antropologi yang fenomenologis. Dalam etnosains dan antropologi kognitif tidak digunakan konsep typifycation. Para ahli antropologi lebih banyak menggunakan isitilah classification atau categorization, yang pada dasarnya memiliki makna dan fungsi yang sama. Baik typification maupun classification atau categorization, bermakna menentukan dan memberikan ciri-ciri umum tertentu kepada sejumlah objek agar kemudian dapat dilakukan pengelompokan-pengelompokan tertentu atas objek-objek tersebut.

Pendekatan Fenomenologi: Asumsi Dasar dan Model

Beberapa Asumsi Dasar Fenomenologi

Ahimsa Putra (2012: 282-283) mencoba untuk memaparkan asumsi-asumsi dasar fenomenologi untuk ilmu- ilmu sosial budaya di sini atas dasar pemikiran-pemikiran Husserl dan Schutz di atas, karena baik Husserl maupun Schutz  setahu Ahimsa belum melakukan- nya. Beberapa butir pemikiran yang dapat menjadi landasan epistemologis pendekatan fenomenologi sosial budaya adalah Pertama, bahwa fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran mengenai sesuatu ini adalah juga pengetahuan, sehingga kesadaran dari sisi tertentu adalah perangkat pengetahuan yang kita miliki. Kedua, pengetahuan pada manusia ini berawal dari interaksi atau komunikasi di antara mereka, antara individu satu dengan individu yang lain, dan sarana komunikasi yang fundamental adalah bahasa lisan. Dengan kata lain, eksistensi kesadaran manusia hanya dapat diketahui adanya lewat bahasa. Ketiga, oleh karena kesadaran terbangun lewat proses komunikasi, lewat interaksi sosial, maka kesadaran tersebut dengan sendirinya bersifat intersubjektif (antar subjek). Keempat, perangkat pengetahuan atau kerangka kesadaran ini menjadi pembimbing individu dalam mewujudkan perilaku-perilaku dan tindakan- tindakannya. Kelima, salah satu bagian dari perangkat kesadaran tersebut adalah typification atau klasifikasi (classification), yang berupa kategori-kategori atau tipe-tipe dari unsur-unsur yang ada dalam kehidupan manusia. keenam, bahwa kehidupan manusia adalah kehidupan yang bermakna, kehidupan yang diberi makna oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Ketujuh, gejala sosial budaya merupakan gejala yang berbeda dengan gejala alam, karena dalam gejala sosial budaya yang terlibat adalah manusia, dan manusia memiliki kesadaran tentang apa yang mereka lakukan, tentang  gejala di mana mereka terlibat; mampu memberikan makna terhadap dunia mereka. Oleh karena itu, gejala sosial budaya tidak dapat dipelajari sebagaimana halnya kita mempelajari gejala alam. Inilah asumsi dasar yang kedelapan. Metode yang digunakan untuk mempelajari suatu gejala harus sesuai dengan “hakikat” dari gejala yang dipelajari tersebut. Kata Husserl, metode yang tepat “follows the nature of things to be investigated and not our prejudices or preconceptions.” Ini berarti untuk dapat memahami dan menjelaskan gejala- gejala sosial budaya diperlukan metode penelitian dan analisis yang berbeda dengan yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam.

 

 

 

“Model” dalam Fenomenologi

Fenomenologi tidak bertujuan untuk menganalisis atau menjelaskan suatu gejala. Tujuan utama fenomenologi, sebagaimana dikatakan oleh Husserl, adalah mendeskripsikan dengan sebaik-baiknya gejala yang ada di luar diri manusia sebagaimana gejala tersebut menampilkan dirinya di hadapan kesadaran manusia. Model yang ada dalam fenomenologi sebagian besar terdapat atau sudah terkandung dalam beberapa asumsi dasarnya, terutama asumsi yang berkenaan dengan perilaku dan perangkat kesadaran manusia. Model di sini lebih tepat disebut sebagai “gambaran”, “imaji” peneliti mengenai apa yang ditelitinya, tetapi imaji bukan dalam bentuk perumpamaan atau analogi. Model yang ada di sini berkenaan dengan manusia dan perilakunya, manusia dengan jagadnya, dan sarana yang digunakan untuk membuat deskripsi mengenai gejala yang diteliti (Ahimsa Putra, 2012: 284)

“Memahami”: Pengertian dan Asumsinya

“Memahami” dalam konteks penelitian fenomenologis adalah mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma, aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut oleh individu, dan kemudian dapat menetapkan relasinya dengan perilaku warga masyarakat, perilaku sebuah kolektivitas, atau perilaku individu tertentu. Jadi, memahami perilaku seorang individu atau suatu kolektivitas adalah mengetahui pandangan- pandangan, pengetahuan, nilai-nilai dan sebagainya yang dijadikan pedoman, pembimbing, oleh suatu kolektivitas atau oleh seorang individu untuk mewujudkan perilakunya, tindakannya. Pengetahuan mengenai pandangan, pendapat, makna, nilai, pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau warga suatu masyarakat merupakan salah satu syarat terpenting dalam upaya ilmu sosial budaya untuk dapat “mengerti”, “memahami”, gejala-gejala sosial budaya berupa berbagai pola perilaku dan tindakan manusia (Ahimsa Putra, 2012:285-286)

Agama, Simbol, dan Kebudayaan

Ketika paradigma seperti di atas akan digunakan untuk meneliti feno mena keagamaan di Indonesia, maka ada lagi beberapa konsep yang perlu dijelaskan berkenaan dengannya. Dalam budaya Indonesia, istilah ‘agama’ sebenarnya memiliki makna yang berbeda dengan makna religion pada umumnya. Selain itu, agama juga berbeda dengan sistem kepercayaan. Dilihat dari sudut pandang tertentu makna ‘agama’ lebih luas daripada sistem ke- percayaan, namun dilihat dari sudut pandang yang lain sistem kepercayaan lebih luas maknanya daripada agama. Di sini saya akan mengikuti pendapat yang pertama. Tentu saja pandangan ini tidak dapat dikatakan sebagai yang paling benar, tetapi pandangan inilah yang dianggap Ahimsa Putra masih paling cocok untuk memahami gejala sosial budaya yang disebut “agama” (Ahimsa Putra, 2012:286-287)

Manusia, Simbol, dan Kebudayaan

Berbicara mengenai agama tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang manusia dan kebudayaan. Manusia merupakan makhluk pengemban kebudayaan, dan agama adalah bagian dari kebudayaan. Manusia memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang membuatnya berbeda kualitasnya dengan binatang yang manapun. Kemampuan tersebut adalah kemampuannya untuk menggunakan simbol-simbol yang merupakan rangkaian dari tanda-tanda, untuk menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol, untuk menyampaikan dan memahami pesan-pesan yang di- sampaikan oleh manusia yang lain. Dengan kata lain manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol guna melakukan komunikasi atau untuk menyampaikan pesan-pesan. Atas dasar pandangan semacam itu, maka di sini kebudayaan didefinisikan sebagai perangkat simbol yang diperoleh manusia dari kehidupannya sebagai warga masyarakat dan digunakan untuk beradaptasi serta melestarikan keberadaannya sebagai makhluk hidup (spesies). Sebagai perangkat simbol kebudayaan juga memiliki tiga wujud, yakni berupa budaya material (material culture), budaya perilaku (behavioral culture) dan budaya gagasan (ideational culture). Budaya material adalah simbol-simbol yang bersifat fisik, material atau bendawi, seperti misalnya mobil, sepeda motor, sepeda, pakaian, rumah dan sebagainya. Simbol-simbol fisik ini tidak harus merupakan hasil karya atau buatan manusia. Bisa saja simbol-simbol ini berupa unsur-unsur dari alam, karena manusia memberikan pemaknaan tidak hanya kepada benda-benda hasil buatannya saja, tetapi juga kepada gejala-gejala alam, sebagaimana terlihat dengan jelas pada fenomena totemisme di kalangan masyarakat yang masih sederhana (Ahimsa Putra, 2012:287-289).

Kebudayaan, Kepercayaan, dan Agama

Dalam kaitannya dengan kebudayaan, kepercayaan merupakan salah satu bagian atau unsur kebudayaan. Akan tetapi, berbeda dengan unsur lainnya, kepercayaan merupakan unsur budaya yang dapat dikatakan mendasari unsur-unsur budaya yang lain. Artinya, unsur-unsur budaya lain boleh dikatakan selalu dibangun di atas seperangkat pandangan-pandangan yang diyakini kebenarannya. Pandangan-pandangan yang diyakini kebenarannya inilah yang kita sebut sebagai “kepercayaan”, “keyakinan”. Kepercayaan dapat didefinisikan sebagai pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, yang diyakini kebenarannya baik secara eksistensial maupun substansial, mengenai hal-hal yang empiris maupun tidak empiris, yang mendasari proses adaptasi manusia terhadap dua dunia itu (empiris dan tidak empiris). Oleh karena itu pula, “kepercayaan” ini lebih sering disebut sebagai sistem kepercayaan. Unsur yang penting dalam sistem kepercayaan tersebut adalah “keyakinan akan kebenaran pandangan”. Keyakinan ini berhubungan dengan “hati” manusia. Kalau unsur “pandangan” berada dalam “jagad pemikiran”, maka unsur “keyakinan” berada dalam “jagad perasaan”. Di Indonesia, agama memiliki pengertian yang lebih luas daripada kepercayaan, karena kata “agama” dapat mencakup simbol-simbol yang material, behavioral maupun yang ideational. Agama di sini dapat men- cakup kepercayaan-kepercayaan, yang—sebagaimana telah diuraikan— kurang terlihat dimensi material dan behavioral-nya. Kebudayaan, sebagaimana telah dikatakan, merupakan perangkat simbol, sementara agama juga merupakan unsur kebudayaan. Oleh karena itu, agama pada dasarnya juga merupakan perangkat simbol-simbol.

 

Agama dan Kepercayaan: Individual dan Kolektif

Agama mempunyai dua dimensi, yakni: dimensi kolektif dan individual. Artinya, ada pandangan-pandangan yang kebenarannya diterima secara ko lektif, diyakini oleh sejumlah orang, oleh sekelompok orang, ada pula yang hanya diikuti oleh satu orang saja. Pada awalnya agama ini bersifat individual  apalagi jika ini mengenai hal-hal yang tidak empiris atau dunia gaib, tetapi melalui proses komunikasi, pandangan-pandangan yang semula hanya diyakini oleh satu orang ini kemudian diterima oleh banyak orang, dan menjadi milik suatu kolektivitas atau kumpulan individu. Ketika sebuah kepercayaan atau agama telah berada pada tataran kolektif, telah diikuti banyak orang, maka perubahannya akan menjadi lebih sulit, karena perubahan tersebut akan menuntut persetujuan atau kesepakatan kolektif juga. Sebelum suatu pandangan sepakat untuk diganti atau diubah, akan banyak individu yang menganut pandangan tersebut mempertanyakan manfaat dan kebenaran dari usaha perubahan itu sendiri. Di sinilah terjadi proses seleksi yang ketat pada tataran kepercayaan, jika perubahan-perubahan akan dilakukan. Kenyataan semacam ini menyiratkan bahwa agama suatu masyarakat dapat menjadi wahana yang penting dalam proses perubahan, karena di situ sistem kepercayaan dapat menjadi semacam penyaring, pengontrol, proses perubahan yang tengah atau akan berjalan (Ahimsa Putra, 2012: 292-294).

Agama: Perspektif Fenomenologi

Ahimsa Putra (2012: 294-295) menguraikan bahwa agama dalam perspektif fenomenologi pertama-tama harus didefinisikan sejajar dengan pandangan Husserl mengenai phenomenon, yakni sebagai suatu bentuk kesadaran (consciousness). Menurut Ahimsa Putra secara fenomenologis agama dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran mengenai (a) adanya dunia yang berlawanan gaib dan empiris dan (b) bagaimana manusia sebagai bagian dunia empiris (c) dapat menjalin hubungan simbolik dengan dunia gaib tersebut. Selain itu, Kesadaran mengenai dunia yang gaib dan dunia yang empiris tersebut  adalah kesadaran mengenai ciri-ciri dua dunia tersebut, sifat-sifat dunia tersebut dengan berbagai subjek atau “makhluk” yang mendiaminya. Deskripsi fenomenologis mengenai alam gaib dan alam empiris bisa juga difokuskan pada deskripsi kesadaran yang individual atau yang kolektif. Dalam agama, eksistensi dunia gaib tidak bisa dilepaskan dari dunia manusia yang empiris. Demikian pula sebaliknya. Selanjutnya, dua dunia tersebut hanya memperoleh maknanya ketika ditempatkan dalam relasi dengan manusia, karena manusialah makhluk yang dapat memberikan makna-makna. Manusia merupakan unsur utama penghubung dua dunia yang berlawanan, sekaligus pemberi makna kepada dua dunia tersebut serta hubungan di antara keduanya. Kajian fenomenologis di sini akan berupaya mengungkap dan mendeskripsikan kesadaran pemeluk agama mengenai simbol-simbol “ke- agamaan” tersebut, simbol-simbol yang digunakan oleh manusia yang berada dalam dunia empiris untuk berkomunikasi dengan dunia gaib, untuk “me-nyapa” tokoh-tokoh, pelaku-pelaku dalam dunia gaib.

 

 

B. Teori/Pandangan yang Muncul

Tulisan Ahimsa Putra ini menitikberatkan pada pandangan terkait dengan fenomenologi yang merupakan pendekatan dalam memahami agama. Agama dalam perspektif fenomenologi pertama-tama harus didefinisikan sejajar dengan pandangan Husserl mengenai phenomeneon, yakni sebagai bentuk kesadaran (consciousness). Beberapa prinsip etis-metodologis yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pendekatan fenomenologis untuk penelitian agama antara lain adalah:

1.              Tidak menggunakan kerangka pemikiran tertentu untuk menentukan atau menilai kebenaran pandangan “tineliti” (subjek yang diteliti), karena tugas peneliti bukanlah untuk menilai atau menentukan kebenaran pandangan keagamaan yang diteliti, tetapi mendeskripsikan dengan sebaik-baiknya pandangan keagamaan tersebut lewat perspektif  penganutnya.

2.              Pandangan-pandangan keagamaan yang berhasil diperoleh juga tidak perlu ditentukan mana yang paling benar, karena dari sudut pandang Fenomenologi, setiap “kesadaran” adalah “benar”, sehingga setiap pandangan keagamaan sama posisinya, sama kedudukannya, dan sama berhaknya untuk ditampilkan dalam sebuah etnografi.

3.              Dalam berhadapan dengan tineliti posisi peneliti adalah sebagai “murid” yang ingin memahami pandangan-pandangan keagamaan seorang individu atau suatu komunitas tertentu, yang kemudian bermaksud mendeskripsikan pandangan-pandangan tersebut dengan sebaik-baiknya, artinya secocok mungkin dengan apa yang dimaksud oleh tineliti

4.              Peneliti harus berusaha untuk tidak mengemukakan pendapat-pendapatnya, yang mungkin akan berlawanan dengan pandangan-pandangan tineliti, karena hal itu dapat mengganggu hubungan antara peneliti dengan tineliti, yang kemudian akan berpengaruh terhadap kualitas data yang berhasil dikumpulkan. Dalam penelitian fenomenologis ini seorang peneliti harus selalu sadar bahwa tujuan utamanya adalah mengungkapkan pandangan, keyakinan atau kesadaran kolektif masyarakat berkenaan dengan fenomena keagamaan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti harus lebih banyak bertanya pada informan, daripada menjelaskan atau menjawab pertanyaan mereka. Oleh karena itu, peneliti harus betul-betul siap dengan berbagai pertanyaan untuk para informan.

 

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

            Ulasan Ahimsa Putra dalam artikel yang berjudul ““Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama” merupakan tulisan yang memberikan pemahaman kepada pembaca terkait dengan perspektif fenomenologi dalam memahami agama. Ahimsa Putra memberikan pengetahuan baru terkait dengan bagaimana memahami agama yang beragam namun perlun dihargai karena setiap manusia memiliki perbedaan kepercayaan yang harus diterima. Membaca artikel ini semakin menguatkan rasa persatuan Indonesia dengan menghargai perbedaan yang ada, sehingga yang menjadi kelebihan tulisan ini ada pada penjelasan secara analitis yang tajam mengenai fenomena agama yang dianut oleh setiap individu dan sosial.

              Analisis fenomenologi agama oleh Ahimsa Putra asik dibaca dan sistematis, sehingga mudah untuk dipahami. Pemahaman terhadap analisis Ahimsa Putra, dapat dijadikan landasan pembaca dalam memahami fenomena atau gejala dalam karya sastra baik dari sudut pandang pembaca maupun pengarangya. Selain itu, Ahimsa Putra memamaparkan fenomenologi agama berdasarkan asumsi yang sesuai dengan fenomenologi itu sendiri sehingga tampak jelas alur penjelasan dalam mendeskripsikan pendekatan fenomenologi yang berkembang dalam ilmu sosial budaya khususnya pada fenomenologi agama.

2. Kritik-Kekurangan                                            

            Kekurangan yang dapat dilihat dari tulisan ini terdapat pada keterbatasan pada unsur paradigma ilmu sosial budaya yang digunakan dalam memahami fenomenologi agama. Unsur yang digunakan Ahimsa Putra hanya asumsi-asumsi dasar, masalah yang ingin diselesaikan, dan model-model. Bagi saya perlu kiranya menjabarkan ke 9 unsur untuk lebih membantu pembaca dalam memahami implementasi fenomenologi dalam memahami agama. Selanjutnya, kelemahan terdapat pada penjelasan terkait dengan model dalam fenomenologi yang terkesan tidak konsisten. Penulis menguraikan bahwa fenomenologi tidak mengajukan perumpamaan-perumpamaan atau  model-model sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lain, sementara pada penjelasan selanjutnya mengaburkan pemaknaan sebelumnya yakni model yang ada dalam fenomenologi. Menurut penulis model sudah terdapat atau sudah terkandung dalam beberapa asumsi dasarnya, terutama asumsi yang berkenaan dengan perilaku dan perangkat kesadaran manusia. Kedua pernyataan ini bertolakbelakang, sehingga kemungkinan yang pembaca pahami bahwa dalam memahami fenomenologi justru memiliki model dengan berdasarkan asumsi dari fenomenologi itu sendiri yakni kesadaran manusia. Oleh karena itu, perlu penjelasan mengenai model lebih rinci agar dapat membantu pembaca dalam memahami model yang sebenarnya seperti apa.

            Selanjutnya uraian yang berkaitan dengan kesadaran dunia gaib dan dunia nyata seolah menjadi pernyataan sebagai kunci utama dalam memahami fenomena agama, sehingga kadang ini bersifat subjektif karena terkesan hanya melihat pandangan individu terhadap keyakinan yang dianut. Seharusnya kedua pernyataan kunci ini perlu dijabarkan lebih detail mengenai hubungan kedua yang empiris dan non empiris beradasarkan keyakinan masing-masing. Mengapa kedua hal tersebut menjadi gejala yang patut kita terima dalam memahami agama. Tulisan ini hanya sekadar menjabarkan dari aspek ideational, behavioral, dan material yang memang dalam agama memiliki tiga aspek ini yang kita temukan. Maksud dari pernyataan ini, perlu adanya data sebagai bukti bahwa setiap individu atau kelompok memang memiliki kesadaran murni terhadap agama yang dianut. Apalagi ketika bertemu dengan agama yang berbeda, dengan sudut pandang berbeda, dan pasti berbeda pula hubungan antara yang empiris dan non empiris dalam setiap agama. Namun, dalam tulisan ini sebenarnya menjadi jelas ketika dijabarkan kitab al Quran menjadi perangkat simbolis mengenai dunia empiris dan tidak empiris. Namun bagaimana dengan agama lain melalui kitab mereka, akankah memiliki kemiripan, hal inilah yang mendorong pembaca ingin bagaimana penulis bisa lebih mengamati lagi dalam setiap agama di Indonesia dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agara tujuan untuk perdamaian dan toleransi semakin kokoh di Indonesia melalui kajian Profesor Ahimsa Putra mengenai fenomenologi agama di Indonesia.

            Berangkat dari keinginan tersebut, seyogyanya tulisan ini perlu dikembangkan lagi dalam memahami fenomenologi dalam agama di Indonesia dan mitos serta kepercayaan tradisional yang masih mengakar di berbagai pelosok sehingga dapat menambah cakrawala pengetahuan terkait dengan fenomena atau gejala tersebut menurut fenomenologi ala kajian Profesor Ahimsa Putra. Membaca tulisan ini, menjadi inspirasi sendiri bagi saya sebagai mahasiswa untuk lebih memahami lagi gejala sastra dengan pendekatan fenomenologi sesuai dengan minat kajian saya. Ahimsa Putra sebagai inspirator ilmuwan kami mahasiswa, tentunya banyak hal yang kami dapatkan ketika membaca tulisan-tulisan beliau yang kaya dengan sumber referensi sehingga menambah pengetahuan kami.

 

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. 2012. "Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama." Jurnal Penelitian Walisongo Vol. 20 (2): 271-302.