KATEGORI : REVIEW

A. Ringkasan

Heddy Shri Ahimsa-Putra melalui artikel berjudul “Structural Anthropology in America And France: A Comparison”  menguraikan tentang antropologi struktural Amerika dan Perancis yang ditulis dengan tujuan agar para ahli sosial dan budaya Indonesia dapat mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan salah satu paradigma yang paling penting dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya pada abad ke 20, yaitu strukturalisme. Dalam tulisan Ahimsa Putra ini, hanya membahas antropologi struktural Perancis dan Antropologi struktural Amerika karena keduanya memiliki persamaan gagasan tentang kebudayaan dan bahasa.

Ahimsa Putra (2003: 239-240) menguraikan bahwa Werner dalam artikelnya tentang antropologi struktural (1972), membandingkan dan membahas struktural dalam etnosains dan strukturalisme Levi-Strauss. Judul artikel tersebut menunjukkan bahwa bagi Werner etnosains juga merupakan antropologi struktural. Dalam hal ini, ia memiliki pandangan yang sama dengan Scheffler (1966), yang menganggap “etnografi formal” atau The New Ethnograph -nama lain dari etnosains sebagai antropologi struktural. Scheffler membahas analisis kekerabatan dalam etnografi formal dan strukturalisme Levi-Strauss dan menyimpulkan bahwa perbedaan antara kedua antropologi struktural ini terletak pada metode dan kriteria yang sesuai untuk model yang mereka bangun, sementara persamaanya terletak pada pengadopsian metode-metode dari linguistik struktural.   

Lebih lanjut Ahimsa Putra (2003: 240) menguraikan bahwa Ward Goodenough, seorang pelopor

Antropologi struktural Amerika, menyatakan bahwa ahli antropologi mempelajari kebudayaan asing seperti ahli bahasa mempelajari bahasa asing. Dalam hal ini, Goodnough percaya bahwa salah satu masalah mendasar dari para antropolog adalah bagaimana mendeskripsikan kebudayaan tertentu kepada orang lain yang tidak terbiasa dengan kebudayaan tersebut. Masalah seperti itu tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh para ahli bahasa dalam mendeskripsikan suatu bahasa. Tetapi di sini ahli bahasa lebih baik daripada ahli antropologi, karena mereka telah menetapkan seperangkat konsep dan simbol yang dengannya elemen-elemen suatu bahasa dapat dideskripsikan dan dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Goodnough menyarankan para ahli antropologi  untuk menggunakan metode linguistik sebagai model untuk mendeskripsikan kebudayaan. Langkah serupa juga dilakukan oleh Levi-Strauss dalam mempelajari sistem kekerabatan. Hal tersebut karena linguistik dalam pandangan Lévi-Strauss adalah ilmu sosial yang sudah berkembang, maka sangat tepat jika metode analisisinya diterapkan dalam studi antropologi.

              Baik The New Ethnography (Antropologi Struktural Amerika) dan analisis struktural Lévi-Strauss (Antropologi Struktural Perancis) mengadopsi metode dan teori fonologi dalam linguistik.Namun, keduanya dilakukan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang sudah pasti berbeda. Oleh karena itu, Ahimsa Putra berargumen bahwa perbedaan analisis dan hasil dari antropologi-antropologi struktural tersebut berasal dari perbedaan pandangan mereka tentang tujuan antropologi secara umum sebagai sebuah disiplin ilmu, pandangan mereka tentang masyarakat dan kebudayaan, tentang kriteria teori ilmiah, tentang konsep makna pengetahuan pada kehidupan, serta cara-cara memperolehnya. Hal tersebut membuat Ahimsa Putra untuk membandingkan dan mendiskusikan poin-poin penting dalam kedua antropologi struktural.

Melalui makalah ini, Ahimsa Putra (2003: 240) membahas kedua antropologi struktural menjadi beberapa bagian. Bagian pertama dan kedua tentang bagaimana The New Ethnography dan strukturalisme  Lévi-Strauss mengadopsi metode linguistik dalam analisis mereka. Bagian ketiga dan keempat membahas tentang asumsi dan pandangan mereka tentang objek yang mereka pelajari serta tujuan dari penelitian mereka. Bagian kelima dan keenam membahas tentang latar belakang espistemologis dari pendekatan-pendekatan tersebut.

Antropologi Struktural Amerika dan Linguistik

            Ahimsa Putra (2003: 240) menjelaskan bahwa salah satu masalah ilmiah dalam antropologi budaya adalah masalah dalam menjelaskan persamaan dan perbedaan kebudayaan dalam beragam masyarakat yang tersebar di dunia. Kebutuhan untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut secara ilmiah dan sistematis tidak bisa diacuhkan lagi, sehingga ahli antropologi  terdorong untuk melakukan studi komparatif. Hal tersebut  tidak mengherankan jika antropologi budaya sejak awal telah dicirikan penekanannya pada pendekatan komparatif.

              Studi komparatif sistematis dipelopori oleh Edward B. Taylor, yang pada abad ke-19 menemukan metode perbandingan persilangan kebudayaan di seluruh dunia. Tylor mengumpukan informasi dengan mengambil sampel pada 350 masyarakat dari seluruh penjuru dunia dan menggunakan tes kemungkinan empiris untuk menemukan ada atau tidaknya hubungan di antara institusi sosial di bawah pertimbangan subjek untuk aturan hukum. Ketika hubungan antarvariabel membuktikan adanya signifikansi, Tylor menyebutnya dengan adhesi (pelekatan). Dalam matriks analisis kontemporer, studi komparatif Tylor dikenal R-mode anylsis (model analisis R), dimana peneliti menemukan bahwa variabel atau ciri kebudayaan sebagai kelompok sampling lebih baik daripada masyarakat atau kebudayaan (Ahimsa Putra, 2003: 241).

              Ada beberapa proposisi mengenai tempat dari bentuk kebudayaan dalam pengaturan sosial-budaya yang besar. Dua diantaranya yakni (1) proposisi yang berhubungan dengan pengaruh kondisi ekstra-kultural pada bentuk standar kebudayaan atau aturan, dan (2) kesungguhan prinsip kebudayaan sebagai sebab atau variabel independent (berdiri sendiri), dan kondisi ekstra-kultural sebagai akibat atau variabel dependen (bergantung). Data yang terekam pada masyarakat yang berbeda merupakan produk dari observasi mendetail terhadap apa yang orang-orang katakan dan lakukan, keadaan tindakan dan akibat dari aktivitas mereka. Gambaran pada orang yang sama menyajikan perbedaan penelitian untuk memastikan tingkat keberagaman satu dengan lainnya. Dalam membandingkan data yang terkumpul dari laporan yang berbeda, mengggunakan perbedaan metode dan untuk tujuan yang berbeda. Apabila data tidak dapat dibandingkan, maka tidak dapat dilakukan perbandingan persilangan kebudayaan. Apabila yang demikian itu diterapkan, kesimpulan akan selalu menjadi problematik. Untuk melakukan studi perbandingan, data harus diklasifikasi dan dipilah untuk mencocokan dengan tujuan penelitian. Artinya, perlu standar sistem dari klasifikasi untuk mengendalikan data mentah dan mereorganisasi atau mengubah data yang dipresentasikan untuk membuatnya sebanding satu sama lain (Ahimsa Putra, 2003: 241).

              Goodneough dan sejumlah ahli antropologi mengkonsepkan masalah perbandingan kebudayaan menjadi serupa dalam prinsip seperti ahli bahasa ketika mereka ingin mendeskripsikan bunyi bahasa dari bahasa lain. Satu dari beberapa pendekatan dalam mendeskripsikan bahasa adalah analisis struktural Zellig Harris. Harris mengenalkan komponen gagasan dalam analisis strukturalnya, yaitu fonem dan morfem. Fonem merupakan kombinasi unik dari beberapa komponen. Dalam sebuah bahasa, fonem digunakan dalam kesatuan yang kompleks, yang memiliki arti tertentu. Dalam linguistik deskriptif, tugas untuk mengisolir dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sebagian bahasa disebut fonemik, dan transkripsinya merepresentasikan kategori bunyi yang membuat perbedaan makna dalam kepastian bahasa, dimana studi produksi bunyi dan pembangunan meta-bahasa dengan fonem dan ciri-ciri khusus dari sebuah bahasa yang dapat dideskripsikan disebut fonetik, dan transkripsinya adalah seperangkat konsep yang dibangun oleh ahli bahasa untuk mendeskripsikan bunyi bahasa (Ahimsa Putra, 2003: 242).

              Berdasarkan atas perbedaan antara fonetik dan fonemik, dapat dikatakan bahwa deskripsi secara sosial bermakna sistem tindakan merupakan sebuah emic sejauh itu berdasar pada elemen-elemen yang memiliki komponen suatu sistem, dan sebuah etic yang berdasar pada elemen-elemen konseptual yang tidak memiliki komponen suatu sistem. Beberapa ahli antropologi meyakini bahwa masalah dalam studi perbandingan dapat dipecahkan dengan mengaplikasikan metode deskripsi dan perbandingan linguistik. Ahli antropologi memiliki klasifikasi dan tipologi sendiri mengenai hal tersebut. Untuk mendeskripsikan dan membandingkan dengan klasifikasi miliknya, ahli antropologi menemukan seperangkat instrument konseptual yang akan digunakan untuk menggambarkan perbedaan sebaik mungkin. Asumsi dasarnya adalah bahwa ekspresi linguistik didesain oleh konsep-konsep kelas. Analogi eksplisit dari analisis semantik atau analisis kompensial dalam antropologi berdasar pada model fonologi komponensial. Ada beberapa asumsi mengenai analogi tersebut. Pertama, data dalam analisis semantik dipandang kurang lebih sepadan dengan produk dari analisis fonologikal. Kedua, dalam analisis komponensial, istilah domain semantik (seperti kekerabatan) membedakannya dari satu dengan yang lain melalui ciri-ciri khusus (Ahimsa Putra, 2003: 243).

              Ahimsa Putra (2003: 243) menguraikan bahwa beberapa antropolog percaya masalah mereka dalam studi komparatif dapat diselesaikan dengan menerapkan metode linguistik deskriptif dan perbandingan. Karena kedua bidang ini yaitu linguis dan antropolog memiliki masalah yang sama. Beberapa ahli antropologi berpandangan bahwa budaya sebenarnya adalah sebuah fenomena, seperti  bahasa, dan bahasa bagi mereka adalah seperangkat standar untuk perilaku manusia. Ahimsa Putra (2003: 244) dalam artikel ini menggunakan penerapan metode linguistik dalam antropologi dengan istilahThe New Ethnography yang didefinisikan sebagai studi atau deskripsi sistem konseptual masyarakat untuk mengungkap dunia konseptual suatu masyarakat melalui kategori-kategori linguistiknya. Salah satu metode analisis yang diambil dari ilmu linguistik dalam the New Ethnography adalah analisis komponensial atau analisis semantik. Dalam analisis ini, para linguis yang mendeskripsikan ujaran-ujaran linguistik harus mengacu pada peristiwa-peristiwa non-linguistik dan  mengambil makna yang berhubungan dengan hal-hal yang  di luar bahasa. Asumsi dasarnya adalah bahwa sebuah ekspresi linguistik menunjuk pada sebuah konsep.

Strukturalisme Lévi-Strauss dan Linguistik

Jika ahli antropologi Amerika mencari model dan metode dalam linguistik, untuk mengatasi masalah dalam mendeskripsikan dan membandingkan kebudayaan di dunia, Lévi-Strauss melakukan hal yang sama untuk tujuan berbeda. Tujuan Lévi-Strauss adalah menemukan jawaban atas permasalahan status keilmiahan ilmu sosial, khususnya antropologi. Lévi-Strauss menyarankan para ahli antropologi menggunakan analisis linguistik karena fenomena sosial memproses dua karakteristik pokok yang membuatnya cocok untuk analisis ilmiah. Pertama, banyak tindak lingustik merupakan produk dari ketidaksadaran pikiran manusia. Ketika orang berbicara, mereka tidak menyadari hukum sintaktik dan morfologikal bahasanya. Kedua, bahasa muncul lebih dulu dalam sejarah umat manusia. Bahasa merupakan fenomena sosial dan juga merupakan objek tepat untuk analisis matematika. Pengaplikasian analisis linguistik dalam studi sosial-budaya hanya mungkin dilakukan apabila terdapat perbedaan model masyarakat dan budaya, dan Lévi-Strauss menemukan cara baru untuk penelitian dengan memandang masyarakat atau budaya dalam hubungan teori komunikasi. Ada tiga macam komunikasi yang juga merupakan bentuk pertukaran, yang benar-benar berhubungan, karena pernikahan (komunikasi karena Wanita) berasosiasi dengan prestasi ekonomi (komunikasi karena barang dan jasa), dan bahasa memainkan peran yang signifikan pada semua level (Ahimsa Putra, 2003: 246-247).

Ada beberapa teori linguistik yang mempengaruhi pemikiran Lévi-Strauss, yaitu dari Troubetzkoy, Jakobson, dan Saussure. Troubetzkoy, mengenalkan empat revolusi prinsip metodologi dalam linguistik struktural. Pertama, linguistik struktural bergeser dari studi fenomena kesadaran linguistik ke studi ketidaksadaran infrastruktur. Kedua, linguistik struktural bukanlah ucapan yang menyenangkan sebagai kesatuan yang independen, yang justru mengambil sebagai dasar analisis relasi antara ucapan. Ketiga, linguistik struktural  mengenalkan konsep sistem. Keempat, linguistik struktural bermaksud menemukan hukum universal, baik induksi maupun deduksi. Teori linguistik kedua yang mempengaruhi pemikiran analisis Lévi-Strauss adalah teori fonem Roman Jakobson. Jakobson meyakini bahwa mustahil untuk mengevaluasi setiap elemen dengan baik dalam sistem bahasa jika tidak memandang hubungannya dengan eleman lain dalam sistem. Jakobson percaya bahwa fungsi utama bunyi bahasa adalah memungkinkan manusia membedakan kesatuan semantik, yang dilakukan dengan merasakan ciri-ciri khusus dari bunyi dan memisahkannya dari kekhususan lain dari bunyi. Poin penting dalam teori fonem Jakobson adalah pandangannya mengenai perbedaan fonem dari kesatuan linguistik lain (Ahimsa Putra, 2003: 247-248).

De Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem ucapan interdependen dimana nilai masing-masing ucapan merupakan hasil dari kehadiran simultan orang lain. Nilai dari setiap ucapan dalam bahasa dimaknai oleh lingkungan. Ada dua aspek dari bahasa menurut Saussure, yaitu bahasa dan jaminan. Bahasa menunjuk pada kode khusus (sistem pengetahuan teratur), yang mirip kemampuan pemikiran Chomsky. Ini merupakan Kumpulan fenomena yang hanya ada dalam ketidakmengertian dimana memungkinkan orang untuk berkomunikasi. Bahasa dalam kacamata Saussure juga merupakan relasi sistem. Ada dua macam relasi, yaitu distribusional dan integratif. Distribusional diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang sama, sedangkan integratif diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang berbeda. Seperti sistem fonemik, Lévi-Strauss menyatakan bahwa sistem kekerabatan merupakan sistem tindakan terstruktur melalui hukum ketidaksadaran, dan tindakan tersebut menjadi berarti hanya ketika mereka terintegrasi dalam sistem. Dalam mengaplikasikan analisis struktural dalam fenomena kekerabatan, Lévi-Strauss juga membuat perbedaan antara kekerabatan sebagai sistem terminologi dan sistem sikap. Lévi-Strauss setuju dengan yang kedua sebagai usahanya untuk menjelaskan sikap paman dari garis ibu atau kakak laki-laki dar ibu. Sejak kekerabatan dipandang sebagai suatu sistem, Lévi-Strauss percaya bahwa paman dari garis ibu merupakan bagian dari beberapa sistem kekerabatan. Untuk menganalisis sistem kekerabatan dalam hal ini perlu dilihat ciri ketidaksadaran dari sikap sebagai bagian dari sebuah sistem. Lévi-Strauss kemudian menarik kesimpulan bahwa “satu aspek dari sistem global terdiri dari empat tipe hubungan, yaitu saudara laki-laki/saudara Perempuan, suami/istri, ayah/anak laki-laki, dan kakak laki-laki dari ibu/anak laki-laki dari kakak Perempuan. Lévi-Strauss mengemukakan aturan umum bahwa dalam kebudayaan dimana hubungan antara kakak laki-laki dari ibu dan anak laki-laki dari kakak Perempuan adalah khusus “hubungan antara paman dari garis ibu dan kemenakan laki-laki adalah hubungan antara saudara laki-laki dan saudara Perempuan, sebagai hubungan antara ayah dan anak laki-laki juga antara suami dan istri (Ahimsa Putra, 2003: 249-252).

Asumsi Dasar Antropologi Struktural Amerika

The New Ethnography atau Antropologi Struktural Amerika menjelaskan kebudayaan manusia yang menghasilkan deskripsi lain yang sebanding dengan menggunakan metode atau pendekatan yang sama. Asumsi dasarnya di sini adalah kebudayaan manusia dipelihara agar fungsi macam-macam komponen terintegrasi dan berkaitan satu sama lain. Sebagai elemen baru yang ditemukan, mereka mencoba secara berkala sebelum adanya matriks kebudayaan. Perbandingan persilangan kebudayaan diprakarsai oleh G.P. Murdock. Kontribusi Murdock di lapangan antara lain: menggunakan kesimpulan statistik formal termasuk koefisien dan korelasi dan tes yang signifikan, membangun bibliografi etnografi continental secara sistematis dan yang lebih penting lagi menggunakan dalil logika yang formal, sebuah sistem dengan memberi alasan yang berasal dari doktrin alasan deduktif dan pemalsuan hipotesis Popper. Poin terakhir tersebut menunjukkan bahwa pendekatan persilangan kebudayaan menggunakan dasar epistemologi. Ilmu pengetahuan Popper adalah ilmu pengetahuan empiris yang menunjukkan “dunia nyata” atau pengalaman kita di dunia.  Sejak teori harus palsu, teruji, teori juga harus empiris, dan sistem teori empiris harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, teori harus tiruan dalam Indera dan berisi pernyataan yang tidak bertentangan. Kedua, teori tidak harus menjadi metafisik, tetapi harus “menggambarkan dunia dari pengalaman yang masuk akal.” Ketiga, teori harus membedakan dari sistem lainnya, dan menjadi satu-satunya yang menggambarkan pengalaman dunia kita (Ahimsa Putra, 2003: 252-253).

Asumsi Dasar Strukturalisme Lévi-Strauss

Lévi-Strauss beranggapan bahwa bukan hanya naif, melainkan juga salah jika menggunakan penjelasan kesadaran tindakan nyata manusia untuk penelitian ilmiah. Pada pandangan Lévi-Strauss, fenomena kesadaran menutupi struktur ketidaksadaran. Tindakan dan penjelasan beberapa orang terkadang bertentangan dengan tindakan dan penjelasan orang lain. Keberadaan fenomena nyata tidak terlihat sebagai pemberian pada pengamat, tetapi lebih banyak pada level yang terdalam. Akibat dari pandangan ini sudah jelas, bahwa kita tidak dapat menjelaskan lebih banyak dalam mengartikan pemberian fenomena kebudayaan atau kebiasaan jika itu dipelajari terpisah.  Menurut Lévi-Strauss, struktur bukanlah gambaran ataupun pengganti realitas. Struktur merupakan realitas empiris yang menawan dalam organisasi rasional, dan tidak ada struktur yang terpisah dari isi atau sebaliknya. Dalam studi strukturnya, Lévi-Strauss memandang fenomena sosial sebagai “sistem objektivitas ide” yang digambarkan dengan simbol-simbol tertentu. Analisis struktural dapat menjadi ekonomi ilmiah, yang menggunakan angka terakhir dari aturan prinsip-prinsip untuk menjelaskan angka kemungkinan terbesar dari fenomena. Lévi-Strauss selalu mencoba mengkonstruksi model-model yang membuat fenomena sosial-budaya dapat dimengerti meskipun semakin kompleks  (Ahimsa Putra, 2003: 255).

Strukturalisme Amerika dan Perancis: Poin-poin Perbedaan

            Ahimsa Putra, (2003: 258-260 menjelaskan bahwa meskipun Antropologi Struktural Amerika dan Perancis sama-sama menggunakan metode linguistik sebagai model deskripsi kebudayaan dan analisis, hasil dari studi keduanya berbeda. Ada beberapa pandangan yang berbeda antara strukturalisme Amerika (The New Ethnography) dan Strukturalisme Perancis (strukturalisme Lévi-Strauss) di antaranya sebagai berikut.

1.     Perbedaan Tujuan

Strukturalisme Amerika lahir sebagai bentuk usaha beberapa ahli antropologi untuk menyaring metode deskripsi kebudayaan mereka dan menginginkan etnografi yang sebanding. Sedangkan strukturalisme Perancis berbanding terbalik dengan strukturalisme Amerika. Seperti studi perbandingan dalam linguistik, analisis antropologi didukung pula oleh sesuatu lebih dari klasifikasi atau kategorisasi belaka, yang dinamakan sebagai analisis nyata. Untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial-budaya, ahli antropologi membangun “efisien dan model yang terlalu hemat.”

2.     Perbedaan Konsep Kebudayaan/Gagasan Dasar

Strukturalisme Perancis memandang kebudayaan terdiri atas bermacam-macam aturan yang berada dalam sebuah struktur. Sedangkan strukturalisme Amerika (The New Ethnography atau studi persilangan kebudayaan) tidak menyangkal keberadaan struktur dalam kebudayaan, namun mereka memandang struktur sebagai sebuah sistem yang memiliki relasi fungsional antarelemen di dalamnya.

3.     Perbedaan Kriteria Teori Ilmiah

Menurut strukturalisme Amerika, ilmu pengetahuan yang tepat untuk tindakan manusia diuji dengan keterangan beberapa orang yang dalam banyak masyarakat. Sedangkan menurut strukturalisme Perancis, konsepsi ilmu pengetahuan dengan verifikasi penelitian secara teliti tidak berguna untuk analisis struktural.

4.     Perbedaan Konsepsi Makna

Strukturalisme Amerika menganggap bahwa makna ekspresi linguistik atau simbol adalah konsep-konsep kelas atau gambar yang dirancang atau ditunjukkan. Sedangkan strukturalisme Perancis menolak penunjukkan atau hubungan teori makna. Konsepsi makna dalam strukturalisme Lévi-Strauss mirip dengan ahli fonologi, berdasarkan pada makna fonem yang tidak dirancang dengan sengaja, namun posisinya berada di antara dua bahasa, yaitu sintakmatik dan paradigmatik.

5.     Perbedaan Latar Belakang Epsitemologi.

Posisi strukturalisme Amerika atau studi persilangan kebudayaan segaris dengan teori kebenaran korespondensi dimana bahan kajian tidak dapat diperkecil lagi dan dikenal sebagai “fakta”. Faktas diberikan observer, namun terpisah darinya. Sebaliknya, strukturalisme Perancis mengajurkan teori kebenaran koherensu (pertalian) dimana tidak ada pemisahan antara pikiran dan fenomena yang diamati. Fakta tidak diberikan, namun dibuat berdasarkan kehadiran observer.

B. Teori/Pandangan yang Muncul

            Berdasarkan uraian Ahimsa Putra dalam tulisan ini memberikan gambaran bahwa peneliti kebudayaan dalam penggunaan paradigmanya dipengaruhi oleh linguistik, memiliki pilihan-pilihan tertentu dalam pandangan-pandangannya. Menurut Ahimsa Putra ada dua pilihan bagi seorang peneliti kebudayaan yang berdasarkan pandangan-pandangan mengenai teks yang kemudian dapat diperlakukan sebagaimana halnya seorang ahli bahasa memperlakukan kalimat. Pertama, mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu. Hal tersebut semakin memberikan pemahaman bagi saya bahwa pilihan pertama ini berlaku bagi paradigma etnosains. Kedua, mencoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson. Menurut Ahimsa Putra, Lévi-Strauss memilih yang kedua. Dengan demikian, sebagaimana yang dinyatakan Ahimsa Putra pilihan pertama yang diambil etnosains yaitu mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada pada teks-teks tertentu dan pilihan kedua yang diambil paradigma struktural Lévi-Strauss yaitu mencoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson sekaligus merupakan perbedaan penting dari paradigma strukturalisme dan etnosains yang sama-sama dipengaruhi oleh linguistik. Hal ini terlihat pada paradigma etnosains memilih pilihan pertama (mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu).

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

            Ulasan Ahimsa Putra dalam artikel yang berjudul “Structural Anthropology in America And France: A Comparison” merupakan tulisan yang memberikan pemahaman kepada pembaca terkait dengan jenis antropologi struktural yakni antropologi struktural Amerika dan antropologi struktural Perancis. Ahimsa Putra telah menguraikan dengan jelas terkait kedua jenis antropologi struktural yang meskipun keduanya menggunakan metode linguiistik sebagai model untuk deskripsi dan analisis budaya, namun hasil penelitian mereka sangat berbeda. Berbagai contoh yang diuraikan Ahimsa Putra dalam menjelaskan kedua jenis antropologi struktural tersebut semakin memperdalam wawasan pembaca dalam memahami antropologi struktural. Tulisan ini menunjukkan keilmuan Ahimsa sebagai penulis yang mampu menjabarkan secara detail epsitemologi dari antropologi struktural yang bersifat komparatif. Dengan kedalaman pengetahuan penulis, sehingga tulisan ini sangat tepat dijadikan referensi utama dalam memahami strukturalisme. 

2. Kritik-Kekurangan                                            

            Tulisan ini bersifat komparatif sehingga harus membutuhkan ketelitian dan pemahaman pembaca terhadap epistemologi struktural, antropologi, dan linguistik yang mendalam. Bagi saya, ketika mau membandingkan tentunya pendeskripsian artikel ini harus berlandaskan pada ketiga pengetahuan tersebut. Berangkat dari penulisnya yakni seorang professor yang menggeluti strukturalisme Lévi-Strauss, membuat tulisan ini sangat ilmiah dan mendalam, sehingga kadang saya sebagai pembaca merasa ada hal yang kurang dipahami terkait dengan kaidah keilmuan yang dijelaskan oleh penulis. Oleh karena itu, saya berusaha maksimal untuk memahami tulisan ini, sehingga perlunya penjabaran secara mendetail terkait konsep strukturalisme, antropologi, dan linguistic sebelum memasuki penjabaran mendetail terkait dengan perbandingan antropologi struktural Amerika dan Perancis.

Oleh karena itu, keterbatasan saya pada epistemologi dalam tulisan ini membuat saya merasa kurang paham pada penjelasan yang terdapat pada keterbatasan pengujian hipotesis mengenai hubungan antara sistem kekerabatan dan ekologi dalam masyarakat. Dalam tulisan ini, keterkaitan antara sistem kekerabatan dan ekologi pada masyarakat belum dijelaskan secara mendalam terutama hubunganya pada kedua jenis antropologi struktural.

Selanjutnya Ward Goodenough mengemukakan bahwa antropolog mempelajari budaya asing sama seperti linguis mempelajari bahasa asing, sehingga hal ini berangkat dari masalah yang dihadapi oleh antropolog dan linguis. Dengan dasar ini, Goodenough menyarankan kepada antropolog untuk menggunakan metode linguistik sebagai model untuk mendeskripsikan kebudayaan. Pernyataan ini sebenarnya menjadi acuan dalam memahami antropologi struktural, namun ketika metode linguistik dijadikan sebagai dasar dalam memahami kebudayaan menjadi sebuah hal yang perlu untuk lebih ditelaah lagi agar dapat pembaca dapat memahami secara komprehensif maksud dari pernyataan tersebut dalam artikel ini. Hubungan kajian antropolog dan linguis baik asumsi, konsep, metode, hasil analisis dan representasinya perlu ada perbandingan khusus sehingga dapat lebih membantu pemahaman pembaca terkait dengan antropologi struktutral.  Oleh karena itu, sebagai pembaca merasa sangat membutuhkan pencerahan dari Prof. Dr.  Heddy Shri Ahimsa Putra sebagai penulis, agar kiranya bisa memberikan penjelasan detail terkait dengan espitemologi metode lingusitik yang dijadikan acuan oleh antropolog dalam memahami fenomena kebudayaan baik melalui antropologi struktural Amerika maupun Perancis. Hal ini dapat menjadi acuan saya dalam mengembangkan kelimuan sastra untuk memahami gejala kebudayaan dalam  sastra lisan dan tulisan. 

 

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. 2003.  Structural Anthropology in America And France: A Comparison. Humaniora XV (3): 239-264.  

A. Ringkasan

Tulisan ini membahas perjalanan pencarian identitas dalam puisi-puisi hitam di Amerika Serikat, yang menjadi gerakan sastra dominan setelah tahun 1900, terutama selama Perang Dunia Pertama—era 'pencarian', kehidupan mewah dan minuman keras—ketika orang Afrika Amerika mulai berjuang untuk mengidentifikasi diri dengan budaya massa hitam karena, seperti yang ditulis oleh Claude McKay, "Adalah orang-orang biasa... yang menyediakan tulang dan otot serta garam dari suatu ras atau bangsa" (McKay, 47). Keberadaan yang menyedihkan, kelemahan dan kemiskinan yang memilukan, penindasan mereka dan penolakan oleh masyarakat kulit putih yang bermusuhan serta lingkungannya merupakan bagian dari pengalaman umum mereka. Menurut McKay, "Ada paradigma rasial, yang terletak dalam sejarah masa lalu ras ini, ditemukan dalam gaya hidup orang miskin dan bahkan dalam eksistensi yang tidak pasti dipertahankan oleh kelas menengah hitam, terpaksa berjalan di atas tali keteguhan antara kebanggaan ras dan penerimaan kulit putih" (McKay, 49). Berdasarkan pada warna kulit, rasa dualitas itu datang "dari inti Kesadaran Amerika Hitam dan diulang, berulang kali, dalam berbagai cara, oleh penulis-penulis Negro Amerika" (McKay, 52). Gwendolyn Brooks dengan tepat mengatakan bahwa hanya karena dia hitam, dia tidak bisa menghindari memiliki hal-hal penting untuk dikatakan. Tubuhnya yang sederhana saja, bagaimanapun, adalah keindahan kata-kata. Langkah diamnya di jalan adalah pidato bagi orang-orang, adalah teguran, adalah permohonan, dan adalah sekolah. Menolak ras sebagai mitos dan konsep yang sedang mati, Redding, bagaimanapun, menerima bahwa ras "juga merupakan beban bagi semua orang, tetapi merupakan beban pribadi bagi Negro—beban rasa malu dan kemarahan yang diberikan padanya pada saat paling awal kesadarannya dan tidak pernah diangkat sampai mati, semua energinya, mental, emosional, spiritual, harus disimpan untuk memikulnya" (Brooks, 47).

Dilema penulis Amerika Afrika seperti yang dijelaskan oleh James Weldon Johnson di bawah judul serupa melibatkan tema kembaran, dua dunia, dua sudut pandang yang antagonis. Telah terlihat bahwa, sebagai hasil dari kesadaran baru itu, penulis hitam, mulai dari titik waktu itu, tidak punya pilihan selain untuk mengemban beban baru tersebut, atau dengan kata lain, melakukan tugas ganda. Pertama, dia telah mulai merujuk masyarakat kepada dirinya sendiri dan menciptakan seninya sambil menentang masyarakat tersebut. Kedua, dia tidak dapat jujur dengan dirinya sendiri atau dengan orang-orangnya tanpa memberikan dukungannya untuk pembentukan masyarakat baru yang menghormati martabat manusia, terlepas dari warna kulit atau penampilannya.

Transformasi unik dan radikal dari perbudakan menuju kebebasan, dari penurutan dan permohonan menjadi protes, dari ketiadaan menjadi identitas, dari gambaran diri berdasarkan pandangan orang kulit putih menjadi gambaran diri berdasarkan pengalaman pribadi, penderitaan bersama, dan kesulitan bersama, posisi sosial rendah, asal-usul rumah bersama, dan warisan bersama. "Penuh semangat" dengan psikologi baru, "semangat baru ini pada dasarnya adalah penyegaran dari rasa hormat diri dan kemandirian" (Brooks, 97). Alain Locke menyebutnya sebagai pembebasan spiritual bagi individu Hitam yang baru, yang terguncang oleh psikologi pembatasan dan inferioritas tersirat pada tahun 1920-an.

Tantangan yang dihadapi adalah pertanyaan yang sangat relevan: apakah ada yang disebut sebagai pengalaman Hitam. Karena orang Afrika Amerika di Amerika telah menjalani keberadaan yang didehumanisasi, baik pengalaman individu maupun kelompok, oleh karena itu, tidak memiliki makna dan signifikansi. Keduanya, berdasarkan kesadaran, tidak menghubungkan satu individu dengan individu lain atau kelompok apa pun. Interpretasi sosiologis dan psikologis ras cenderung mengabaikan elemen pengalaman pribadi penyair, yang menjelaskan keunikan mereka. Namun, memang benar bahwa setiap penulis selama periode krisis tidak bisa menjauh dari tekanan sosial-psikologis ras mereka. Countee Cullen, Claude McKay, dan Jean Toomer telah berupaya melampaui garis ras tetapi gagal mengatasi dorongan batin mereka untuk membawa ras ke dalam puisi mereka. Ini terutama karena pengalaman pribadi dan publik mereka telah bersatu. Tulisan otobiografi mereka, khususnya, adalah ungkapan dari penderitaan pribadi mereka, tetapi, pada saat yang sama, mereka mencerminkan kehidupan sebagian besar orang Afrika Amerika. Baik para penulis maupun para pembaca sangat akrab dengan situasi tersebut.

Hidup mereka yang terpencil di lingkungan getto, pekerjaan tidak bergengsi, seperti tukang angkut, pembantu rumah tangga, pegawai lift, buruh, atau penggosok sepatu, perilaku seksual mereka yang sembarangan, dan hierarki sosial dalam komunitas Hitam, yang terbagi menjadi subkelompok, adalah beberapa faktor signifikan yang menghambat perkembangan citra Amerika Afrika yang pantas dihormati atau citra Amerika yang otentik. Banyak dari mereka tidak memiliki kehidupan keluarga, status kelas tertentu, dan hubungan yang terstruktur secara spesifik untuk menetapkan tempat yang pasti dalam masyarakat atau kelompok. Mereka telah menjalani kehidupan dalam anonimitas.

Tradisi sastra keagamaan orang Afrika Amerika dalam bentuk spiritual, mitos tentang kesabaran dan ketahanan tak terbatas masyarakat, memori komunitas dan folklore, citra renaissance, dan mitos tentang orang Afrika Amerika baru sebagai Kristus Hitam Afrika, memberikan mereka saluran yang konkret untuk membangun identitas dan kesadaran memiliki masa lalu bersama dan takdir bersama. Dalam keadaan ini, dilema utama mereka adalah mengidentifikasi diri dengan Amerika atau Afrika, dengan orang kulit putih atau orang kulit hitam, untuk menerima budaya Anglo-Saxon kulit putih atau budaya hitam murni yang dikenal sebagai 'negritude.' Membedakan perbedaan antara dualisme budaya kulit putih dan kulit hitam Amerika, Saunders Redding mengamati bahwa perbedaannya lebih pada 'batang dan cabang.' Orang Afrika Amerika merasa kehilangan akar. Secara alami, mereka melihat ke belakang untuk mencari akar mereka di Afrika. Ralph Ellison, bagaimanapun, percaya bahwa orang Afrika Amerika telah dipaksa untuk berhubungan secara sadar dan imajinatif dengan latar belakang campuran mereka sebagai orang Afrika dan Amerika. Saunders Redding menemukan dalam sastra periode yang diteliti unsur-unsur yang bertentangan dan percaya bahwa orang Afrika Amerika adalah "asli dan canggih, elemen dan terlalu kritis, histeris dan sadar, ceroboh dan bermakna, sukacita bebas dan tetapi terjebak dalam perbudakan yang tak berharap" (Redding, 203). Dia menggambarkannya sebagai "periode katarsis yang benar-benar menggerus dan menggeliatkan" (Redding, 207). Seperti yang terungkap dalam penelitian, itu adalah periode gestasi bagi orang Afrika Amerika, karena mereka sedang mengalami tekanan dan beban yang besar. Identitas diri mereka yang terkurung perlahan-lahan bergerak menuju lahirnya citra diri yang baru.

Dalam keadaan ini, mereka tidak dapat mengembangkan objektivitas artistik. Para penyair terpaksa menghidupkan karya mereka dengan penderitaan mereka, sejarah mereka, beban mereka, dan pengakuan terhadap diri mereka sendiri dalam hal 'negritude' mereka. Dalam periode introspeksi, eksplorasi, dan ekspresi, kita menemukan bahwa orang Afrika Amerika berurusan dengan visi kompleks tentang diri mereka sendiri dan situasi mereka. Visi mereka telah manusiawi dan romantis, rasial, dan universal. Mereka telah mencoba untuk menyeberangi Sungai Mississippi, direndam dengan pertempuran ritualistik Hitam vs. putih. Jika, di satu sisi, mereka cenderung menggambarkan batas-batas citra diri mereka, mereka juga, pada saat yang sama, menghancurkan citra Anglo-Saxon kulit putih. Menolak konsep Kristen tentang Tuhan, mereka beralih ke sastra yang mencerminkan kualitas dewa Romawi dan Yunani, kuat, tangguh, dan mampu menghukum penindas sesuai dengan citra baru mereka sendiri. Citra baru tentang kemandirian diri telah dijadikan citra massa di mana semua orang Afrika Amerika bisa melihat diri mereka sendiri dengan memperoleh artefak budaya dan berbagai mitos. Mereka telah berada di jalan menuju definisi diri. Hal ini memberikan keunikan yang tidak bisa tenggelam dalam arus gerakan kelas pekerja. Atau hancur oleh holokaus dari Perang Dunia Kedua. Tetapi peristiwa-peristiwa ini tentu saja telah meredakan pahitnya rasial.

Pertumbuhan nasionalisme di Afrika dan pembentukan negara-negara bangsa yang telah mengguncang citra Afrika romantis mereka. Mereka menyadari kesenjangan budaya antara mereka dan orang Afrika. Mereka tiba-tiba menemukan bahwa mereka lebih erat terikat dengan 'neraka' budaya Amerika. Pengalaman Amerika mereka, dengan nuansa humanisme, universalisme, dan naturalisme, tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Amerika yang luas. Mereka kembali pada pengalaman Amerika tetapi dengan perbedaan karena mereka telah siap untuk hidup di Amerika sebagai komunitas yang terpinggirkan, melayani peradaban dan budaya Amerika. Orang Afrika Amerika telah menempuh perjalanan yang panjang dari protes menuju keunikan, dari keunikan menuju tuntutan, dari tuntutan menuju penerimaan diri mereka sebagai orang Amerika, dengan kesetaraan hak dan status, dan dengan partisipasi yang sama dalam mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang terpendam selama ini.

Jika ketidaksepakatan dengan otoritas besar seperti Saunders Redding dan Richard Wright tidak dilihat sebagai tanda kegilaan, dapat disarankan bahwa penggunaan frasa seperti "navel-gazing narzistik para seniman" (Wright, 184) atau 'level narzistik' untuk sikap sastra statis oleh para sarjana yang disebutkan di atas hanya menjelaskan sebagian dari kebenaran, bukan keseluruhan. Ini adalah pandangan yang sangat sempit dan penilaian yang konservatif. Selain itu, frasa 'level narzistik' digunakan di sini lebih dalam artian psikologi klinis dan bukan dalam arti kesadaran diri semata seperti yang ditunjukkan sebelumnya.

Berbeda dengan pendahulunya yang melakukan restart estetika ke dunia puisi dan merindukan kebebasan, akhirnya dalam kematian, DuBois optimis tentang "retakan tirai dalam kehidupan ini di mana lagu, keringat, dan semangat dari orang-orang Hitam dapat melewati pusaran dan kekacauan dari garis warna untuk membebaskan Negro Amerika yang dipenjara" (DuBois, 276). Dari semua bentuk seni, puisi adalah ungkapan artistik paling sabar dan efektif dari jiwa, dan penyair adalah antena ras dan bangsa, merefleksikan kondisi mereka sendiri dan kondisi orang-orang. Penulis yang kurang terdokumentasi telah mencoba mengintegrasikan fenomena internal dan eksternal berdasarkan kebanggaan ras, serta kesedihan atas ketidakadilan yang dialami. Mereka menggambarkan secara realistis dan estetis dunia orang Amerika Hitam dalam terminologi humanistik yang murni dan, kadang-kadang, holistik. Mereka telah membangun tradisi kesenian dan kebenaran serta kebanggaan menjadi orang Hitam. Mereka menyanyikan ikatan persaudaraan dan kebutuhan akan kebebasan dan kesetaraan. Alam keturunan, secara alami, mengikuti mereka. Tak heran para nabi dari mereka yang Hitam merunduk untuk menaklukkan dunia melalui lagu-lagu "dengan jiwa yang terbangun, bijaksana, dan kuat" (DuBois, 97).\

Para sarjana Hitam yang peka telah menghasilkan sastra yang dapat dijelaskan sebagai sastra "kehidupan yang dirasakan," untuk meminjam istilah Jamesian, atau sastra kebutuhan. Ini telah membantu mengintegrasikan diri dalam orang Amerika Hitam dengan fenomena eksternal, yang tidak dapat dihindari adalah Amerika dan bukan Afrika. Pengalaman Amerika mereka telah berkembang menjadi jenis sindrom rasa takut akan kebencian. Tetapi mereka tetap, meskipun Garveyism, bagian tak terpisahkan dari pengalaman Amerika. Betapa kompleksnya visi identitas mereka dapat diilustrasikan dengan perspektif yang berbeda yang dipegang oleh penulis Afrika Amerika.

W.E.B. DuBois adalah seorang sarjana besar dan juru bicara terkenal dari orang-orang kulit gelap di Amerika dan dunia, yang diakui oleh Henry James dan dihormati oleh James Weldon Johnson. DuBois adalah tokoh sastra besar yang tidak terjerumus ke dalam pesimisme, juga tidak menganggap subjek dengan seni simbolis yang sangat berkembang. Meskipun demikian, beberapa simbol seperti 'rawa' dan 'kapas' telah terbukti abadi. Sebagai bintang terang dari fajar puisi "New Negro", ia telah memperkenalkan era baru dalam sastra Afrika Amerika. DuBois adalah perintis. Ia telah menekankan pentingnya sastra dan seni sebagai media untuk mentransformasi citra diri orang Afrika Amerika yang telah banyak dieksploitasi. Selama bertahun-tahun, ia telah memungkinkan sesama orang Afrika Amerika untuk memahami kebangsawanan warisan mereka dan merasakan kembali rasa bangga rasial, basis utama bagi citra diri yang stabil dan positif. Menganggap setiap orang Afrika Amerika sebagai seniman, ia percaya bahwa keyakinan, ketegasan, dan ketekunan adalah sebuah kokon untuk melindungi mereka dan ras mereka dari materi putih, dari serangan spiritual dan budaya, bukan baju besi psikologis untuk melawan penindasan kulit putih dengan kondisi yang sama. Bagi DuBois, seni adalah propaganda, minatnya sejalan dengan aktivisme politiknya. Tulisannya yang jujur dan elok berfungsi sebagai cermin, menunjukkan dualisme psikis penonton. Ia juga telah mengusulkan strategi, baik sastra maupun lainnya, untuk menghapuskan dualisme psikis dan mengembangkan citra diri dan identitas diri yang terintegrasi berakar dalam tradisi Hitam.

DuBois adalah seorang pembangkit semangat dan pembuat mitos. Buku The Soul of the Black Folk-nya dianggap sebagai "pernyataan yang elok tentang kondisi dan aspirasi Negro" (DuBois, 64). Mungkin "pandangan yang paling otentik tentang kehidupan Negro" (DuBois, 76). Ia menginginkan untuk melawan dan menghapuskan citra seratus tahun dari puisi "New Negro", "Negro" sebagai gambaran jelek, ilusi kotor, komentar yang buruk, atau prediksi pesimis. DuBois, seorang perintis dan propagandis, mengamati bahwa orang Afrika Amerika, hingga pergantian abad ini, melihat diri mereka melalui mata dunia kulit putih. Menjadi Hitam dan Amerika berarti menderita dari dua-ness yang tak dapat dipulihkan, ambivalensi. "Dua jiwa, dua pikiran, dua usaha yang tak dapat disatukan, dua gagasan yang bertikai dalam satu tubuh yang gelap" (DuBois, 97) telah memberikannya kesadaran ganda. Namun, ada keinginan yang sangat kuat di antara orang Afrika Amerika "untuk mencapai kedewasaan diri yang sadar, untuk menyatukan diri dengan diri ganda mereka menjadi diri yang lebih baik dan lebih benar" (DuBois, 203). Formulasi DuBois tentang dilema seniman Hitam adalah salah satu yang paling awal dan mungkin masih yang paling jelas. Tulisannya merayakan budaya Hitam dan menyemangati kebanggaan dan kepercayaan diri orang Hitam. Tetapi pada saat yang sama, ia berusaha untuk mendamaikan idealisme universal persaudaraan internasional dengan kondisi Amerika di mana ia dianggap rendah. Sebagai seorang humanis, ia lebih peduli dengan masalah manusia daripada hal-hal, lebih dengan perubahan kondisi manusia daripada menerima batas-batasnya.

James Weldon Johnson, seorang kontemporer dari W.E.B. DuBois, adalah seorang penyair, diplomat, pengacara, lobbyist, dan penyanyi terkenal yang menggambarkan nilai-nilai konservatif lama berdasarkan status dan prestise. Berdasarkan bukunya The Autobiography of an Ex-colored Man (1912) dan Along This Way (1933), dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang penulis yang akan berada di tengah-tengah antara Gargeyites dan van Vechtenites. Mengenai konsep identitas orang Afrika Amerika, ia tidak memuja warisan Afrika, juga tidak tradisi rakyat Afrika Amerika dan warisan budaya. Berbeda dengan DuBois, Langston Hughes, dan Claude McKay, ia tidak tegas memegang identitas Afrika. Menurutnya, Afrika adalah mitos yang orang Afrika Amerika miliki secara romantis dan tidak realistis

James Weldon Johnson menutup argumennya dengan menyatakan bahwa prasangka menindas baik orang kulit putih maupun orang Afrika Amerika. Pandangannya mengingatkan pada Pameran Atlanta Booker T. Washington. Johnson menekankan identitas Amerika dengan begitu yakinnya sehingga ia menyanyikan: Tanah ini milik kita karena hak lahir, Tanah ini milik kita karena hak kerja, Kami membantu mengolah tanahnya yang subur Keringat kami ada di dalam tanahnya yang produktif (McKay, 240). Dalam perspektif ini, ia mendorong anggota rasnya untuk mengembangkan identitas mereka sebagai warga Amerika modern beradab.

Berbeda dengan Johnson, Langston Hughes dengan tegas percaya bahwa identitas Afrika fundamental bagi orang Afrika Amerika. Sejalan dengan gagasan Marcus Garvey, ia menempatkan nilai tinggi pada tradisi Afrika, citra Afrika yang kuat untuk kelangsungan komunitas Afrika di Amerika dan untuk menghindari cengkeraman penyiksaan dari budaya kulit putih. Ia berdebat dengan George S. Schuyler yang menolak gagasan bahwa ada budaya Hitam yang berbeda. Schuyler menganggap rasisme sebagai hal tidak penting; pada dasarnya, sebuah kepercayaan takhayul. Schuyler menekankan perlunya menghilangkan dualisme di Amerika. Tetapi Hughes, seorang penganut kuat estetika Hitam yang memulai gerakan 'negritude,' dalam artikelnya The Negro Artist and the Racial Mountain, menegaskan bahwa orang Hitam harus mempertahankan identitas mereka di hadapan standarisasi Amerika dengan memegang teguh warisan budaya mereka. Mereka harus bangga dengan kulit mereka: “Saya seorang Negro dan cantik” (Hughes, 45). Ia menulis: “Kami, seniman Negro muda yang menciptakan sekarang, berniat untuk mengungkapkan diri kami yang berkulit gelap tanpa takut atau malu. Kami membangun kuil kami untuk esok hari, sekuat yang kami ketahui dan kami berdiri di puncak gunung dengan bebas di dalam diri kami sendiri” (Hughes, 90). Jauh dari rasa kasihan pada diri sendiri dan penolakan diri, ia mengenakan warna kulitnya tidak seperti “kain kafan tapi sebagai bendera bagi yang bangga seperti lagu yang mengudara tinggi” (Hughes, 71). Ia bukanlah seorang rasialis buta karena ia tahu bahwa rasnya tidak sepenuhnya luar biasa maupun sepenuhnya tercela: “kita tahu kita cantik dan buruk juga” (Hughes, 72).

Jika dibandingkan dengan perwakilan Harlem Renaissance lainnya, jelas bahwa ia mengambil posisi ekstrem pada saat itu dan menginginkan agar orang Afrika Amerika mengembangkan identitas Hitam yang berbeda di Amerika. Sebagai perwakilan sejati dan pengikut Nasionalisme Hitam, ia menginspirasi mereka untuk “Mengangkat tanganmu, anak berkulit gelap, ambillah sebuah bintang.”

Claude McKay, seorang Jamaika, senior dari Langston Hughes, memiliki "[s] bakat yang otentik, visi yang membangkitkan dari rincian yang membingungkan dari pengalaman dan membawa gambaran secara lengkap dengan kontur yang sempurna dan gradasi warna, dan diungkapkan dengan pasti oleh sang seniman yang pandai" (McKay, 96). Sebagai pengamat yang sensitif dan cerdas, ia terkejut oleh kekejaman yang tidak terhormat yang diberikan kepada anggota rasnya. Ia bereaksi seperti seekor panther yang terluka dan mengekspresikan dirinya dalam puisi dengan perayaan bangga, kemerdekaan pribadi, dan keceriaan luar biasa. Puisinya sangat indah sehingga ia dikenal sebagai seorang radikal estetika. Ia menunjukkan kelasnya dalam If We Must Die (McKay, 97). Bukan seorang perfeksionis besar dan seorang praktisi 'seni demi seni,' ia adalah seorang propagandis yang keras yang puisinya datang secara alami untuk mengungkapkan kemarahannya, penghinaannya, kesombongannya, dan tantangannya. Namun demikian, tujuan utama puisinya bukanlah untuk menggoyangkan, menangis, atau menghina tetapi untuk menolak sepenuhnya citra Amerika kulit putih mengenai orang Afrika Amerika.

Dengan sensualitas yang sangat halus, ia memusatkan perhatian pada lawan dari kebaikan dan kejahatan dalam kesadaran insting dan intelektual Afrika Amerika, dari gairah dan spiritualitas, namun ia sederhana, merdeka, dan tidak tercemar. Seperti Langston Hughes, ia mengagumi primitivisme dan benci pada peradaban Barat dan industrialisasi. Ia lebih efektif sebagai seorang penyair protes karena ia mengartikulasikan kemarahan, militansi, dan tantangan Hitam. Ia terlalu banyak bersifat individualis; ia tidak merasa terlibat secara mendalam dalam budaya Afrika Amerika. Sebagai seorang asing dan seorang pengembara yang kompulsif, ia berkelana di Eropa dan Afrika Utara, mencoba untuk menemukan gambaran yang sejati dari Afrika. Sebagai realis sosial, puisi dan fiksinya menyoroti penderitaan dan deprivasi orang Afrika di mana pun dan dari semua jenis, termasuk deskripsi tentang germo dan pelacur, perkebunan, pesta, dan pertemuan doa. Dalam hal ini, ia percaya pada persaudaraan Hitam universal. Citra diri yang diinginkannya agar orang Hitam miliki diungkapkan dalam baris terakhir puisinya Baptism, “Sebuah jiwa yang lebih kuat dalam bingkai yang lebih halus” (McKay, 94). Ia membayangkan sebuah dunia kesadaran Afrika Amerika yang bangkit.

Jean Toomer, seorang penulis keturunan campuran, adalah orang yang memberikan perlakuan artistik pada kehidupan orang Afrika Amerika untuk membuatnya menjadi bagian dari sastra Amerika yang otentik. Penulis terbesar dari para penulis Harlem Renaissance, ia memberikan kontribusi berlimpah dalam idiom, gambar, dan simbol Hitam yang sangat halus dan berkualitas tinggi. Ia juga memperkuat tradisi estetika Hitam yang berkembang. Jika salah satu penulis Harlem mendekati definisi puisi, itu adalah Jean Toomer. “Bukan autotelic,” puisinya “bergantung pada kejeniusan kreatif sang penulis dan dalam perlakuan terhadap materi subjek, mencapai lebih dari bentuk dan struktur dan berkomunikasi dengan setiap orang di mana saja” (Toomer, 471). Ia menunjukkan cinta yang tidak malu-malu dan tak terhambat pada ras, tanah, dan lingkungan. Secara realitas, respon Toomer sendiri tidak bersifat parokial. Dengan minat yang mengganggu pada kehidupan manusia, ia menyajikan harmonisasi dari berbagai strain warisan Amerika. Pandangannya terhadap manusia universal tidak memungkinkan ia untuk melepaskan pengaruh dari menjadi Hitam, karena dalam Cane ia menggambarkan orang Afrika Amerika, warisan mereka, penderitaan mereka, kegembiraan, dan melodi. Ia memberikan tema urban primitivisme yang berbeda. Ia menggunakan simbol 'Cane' untuk menggambarkan alienasi orang Afrika Amerika, yang dicabut dari tanah Afrika, ditanam di tanah Amerika yang tidak ramah. Namun menurutnya, alam telah melakukan percobaan di Amerika “selama tiga ratus tahun dan dengan jutaan darah yang bersilangan untuk menghasilkan satu orang” (Toomer, 408). Ia memproyeksikan orang Afrika Amerika sebagai bagian integral dari masyarakat Amerika. Seorang humanis yang komitmen, Toomer juga melihat orang Afrika Amerika sebagai komunitas, terintegrasi dengan Afrika dan ras-ras lain dari umat manusia. Berbeda dengan Emerson dan Whiteman, yang tujuannya adalah pemenuhan diri dengan membangun jiwa yang mandiri, Toomer ingin orang-orang memenuhi diri mereka sendiri untuk menjadi utuh. Perspektif identitasnya melampaui parameter rasial karena ia melihat orang Afrika Amerika sebagai salah satu dari tujuh aliran dari rakyat Amerika.

Countee Cullen adalah seorang sarjana besar dan penyair dalam tradisi Keats dan Shelley. Terobsesi dengan tema kematian, ia dianggap sebagai seorang penyair pesimis yang bisa menangis dan menjerit tetapi tidak bisa menggigit. Dia bertekad untuk tidak dianggap sebagai penyair khusus Afrika Amerika, dia mencoba untuk menghindari konfrontasi dengan realitas yang diimpos oleh zamannya dan rasnya padanya.

Cullen adalah menantu dari W.E.B. DuBois dan untuk waktu yang lama ia gagal mendapatkan pengakuan yang pantas dia terima. Meskipun karyanya terkesan turunan dalam kualitasnya, kurang orisinal dan alami dibandingkan Langston Hughes, dan ia konservatif dalam keyakinan politik dan sosialnya, ia berusaha untuk mengubah pandangan stereotip tentang orang Afrika Amerika. Meskipun sebagian besar puisinya non-rasial, ia menyoroti warna dengan menempatkan penerbitannya di bawah judul ini dan dalam setiap publikasi berikutnya, ada bagian tentang ‘warna’. Puisinya terutama menyentuh tragedi dan frustrasi orang Afrika Amerika dan warisan Afrika mereka yang berwarna. Tetapi dia berhasil menembus batas rasial dan membangun citra diri tragis orang Afrika Amerika. Pada dasarnya pesimis dalam pandangan, ia mengungkapkan penderitaan bangsa Hitam. Sebagai pengagum Afrika yang tekun, ia mempertanyakan apakah rekan-rekan kulit putihnya memiliki semangat dan nilai yang sama mulia seperti yang dimiliki oleh orang Hitam. Upaya nya untuk mengekspresikan kesedihan dan dukanya atas rasnya adalah semacam kemenangan spiritual seperti yang dikatakan dengan benar oleh Blanche E. Ferguson. Namun demikian, seperti Claude McKay dan berbeda dengan Toomer, James Weldon Johnson dan Langston Hughes dan penyair generasi muda lainnya yang menegaskan karakter dan gaya orang Hitam, Cullen menampilkan dorongan negatif. Tetapi beban dorongan negatifnya jauh lebih ringan oleh spiritualitasnya, yang bebas dari bentuk Kristen tetapi dilengkapi dengan komitmen mistis terhadap kehitaman dan cinta komunal.

Meskipun dengan sudut pandang yang berbeda, semua penyair ini meraba-raba dalam kegelapan dalam pencarian gambar. Mereka juga telah berjuang untuk menemukan gambaran Amerika dengan mana mereka bisa mengidentifikasi diri. Ini adalah gerakan pikiran, keyakinan yang dibagikan oleh mereka dan penyair lain yang mengekspresikan pengalaman mereka dalam pola bicara Hitam, idiom Hitam, dan irama Hitam. Tetapi jalan yang mereka ikuti melewati lorong-lorong rasisme dan penyembahan diri. Secara umum, klaim mereka untuk keunikan daripada pemisahan telah mengambil bentuk pencarian masa lalu metafisik, yang termanifestasi dalam upaya mereka untuk melampaui ras. Meskipun strategi operasional telah mengikuti pola perang ras, itu salah untuk membingungkan krisis budaya dengan perang ras.

Puisi orang Afrika Amerika telah melayani tujuan sosio-psikologis. Ia telah memberikan cermin kepada pembaca yang, saat melihat ke dalamnya, melihat diri mereka yang terpenjara, disiksa, ketidaksadaran mereka, masa lalu budaya mereka, saat ini, masa depan, kepercayaan mereka sendiri, yang percaya diri, ceria, dan kuat dalam kebanggaan, keindahan mereka. Seperti mitos Cane dan limbo budaya, orang Afrika Amerika sedang dalam perjalanan panjang dan berat untuk menemukan identitas dan akarnya, secara bertahap memperoleh visi baru, perasaan baru, ekstensi yang tak terbatas, dan kesatuan dengan seluruh komunitas Hitam. Jika sastra adalah indeks citra diri, para penulis Afrika Amerika, meminjam bentuk puisi Inggris, telah menyerap naturalisme Emile Zola, Frank Norris dan Dostoevsky, telah memperoleh persepsi Garvey dan telah minum dalam penuh pada sejarah dan budaya ras, menikmati campuran idealisme realistis dan humanisme “sebuah sintesis dari mana jiwa orang Hitam bisa muncul terangkat dan diperbesar.” Memang, ini adalah spektrum yang unik dan luar biasa, sebuah pelangi, menunjukkan fajar visi yang indah dari citra diri yang terintegrasi sepenuhnya dari orang Afrika Amerika, bahkan, dari Amerika yang baru.

 

B. Kesimpulan

Bab 8 dari karya "The Potent Voices of Selected African American Poems" oleh Dr. M.H. Mohamed Rafiq dan Tawhida Akhter menyoroti pengaruh yang kuat serta kekuatan yang dimiliki oleh puisi-puisi terpilih dalam sastra Afrika-Amerika. Dari analisis bab tersebut, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, puisi-puisi ini menjadi ekspresi yang sangat kuat mengenai budaya dan identitas Afrika-Amerika, menyajikan pengalaman yang unik dan perspektif yang mendalam, yang pada gilirannya memperkaya pemahaman akan sejarah, perjuangan, dan pencapaian komunitas tersebut. Kedua, puisi-puisi ini juga menyoroti tema resistensi terhadap penindasan dan diskriminasi rasial, serta memperkuat gagasan pemberdayaan dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, menjadi suara yang mewakili perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan. Selanjutnya, keindahan bahasa dan gaya sastra yang terpancar dalam karya-karya ini tidak hanya memperkuat pesan yang ingin disampaikan, tetapi juga menunjukkan kedalaman emosi dan pikiran yang tersirat dalam setiap kata dan bait. Analisis konteks sejarah dan sosial dari puisi-puisi ini juga memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai perubahan zaman dan perjalanan komunitas Afrika-Amerika dalam meraih hak-hak mereka. Terakhir, bab ini menegaskan peran penting puisi dalam menginspirasi perubahan sosial dan memberikan suara bagi mereka yang kurang terdengar dalam masyarakat, menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi dan harapan yang tak terwakili. Secara keseluruhan, bab ini menekankan pentingnya puisi Afrika-Amerika dalam memperjuangkan pengalaman dan perjuangan komunitas, serta dampaknya yang kuat dalam membentuk narasi budaya dan sosial.

 

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

Dalam bab 8 yang berjudul "The Potent Voices of Selected African American Poems" karya Dr. M.H. Mohamed Rafiq dan Tawhida Akhter, terdapat beberapa kelebihan yang dapat diuraikan. Pertama, analisis mereka memberikan pemahaman yang mendalam tentang kekuatan puisi-puisi Afrika-Amerika yang dipilih dalam menggambarkan budaya, identitas, dan pengalaman unik komunitas tersebut. Melalui puisi-puisi ini, pembaca dapat merasakan kedalaman emosi, keberanian, dan kekuatan dalam menghadapi tantangan sosial yang dihadapi oleh para penyair Afrika-Amerika. Kedua, bab ini menyoroti tema-tema penting seperti resistensi terhadap penindasan rasial dan upaya pemberdayaan, yang menjadi suara yang menginspirasi dan memberikan dorongan bagi pembaca untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Ketiga, analisis keindahan bahasa dan gaya sastra dalam puisi-puisi ini mengungkapkan kepiawaian dan kecerdasan para penyair dalam menyampaikan pesan-pesan yang kompleks dengan menggunakan kata-kata yang indah dan berdaya ungkap. Keempat, bab ini mengaitkan puisi-puisi tersebut dengan konteks sejarah dan sosial yang memberikan latar belakang yang kaya tentang perjuangan komunitas Afrika-Amerika dalam mencapai hak-haknya. Terakhir, penekanan pada peran penting puisi dalam perubahan sosial menegaskan bahwa karya sastra ini tidak hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga alat yang efektif dalam membangkitkan kesadaran dan menginspirasi aksi-aksi perubahan yang positif dalam masyarakat. Dengan demikian, bab ini memberikan kontribusi yang berharga dalam memperluas pemahaman kita tentang kekuatan dan relevansi puisi Afrika-Amerika dalam konteks budaya dan sosial.

2. Kritik-Kekurangan

            Dalam analisis bab 8 yang berjudul "The Potent Voices of Selected African American Poems" oleh Dr. M.H. Mohamed Rafiq dan Tawhida Akhter, terdapat beberapa kekurangan yang dapat diidentifikasi. Pertama, meskipun bab ini memberikan gambaran yang cukup baik tentang pengaruh dan kekuatan puisi-puisi Afrika-Amerika yang dipilih, namun beberapa karya yang mungkin juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam konteks tersebut dapat saja tidak termasuk dalam analisis. Hal ini dapat mengurangi keberagaman perspektif yang disajikan dalam bab tersebut. Kedua, mungkin terdapat keterbatasan dalam analisis konteks historis dan sosial dari puisi-puisi yang dipilih, yang dapat membatasi pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana karya-karya tersebut merefleksikan perubahan zaman dan perjalanan komunitas Afrika-Amerika. Selain itu, walaupun ada penekanan pada pentingnya puisi dalam perubahan sosial, namun bab ini mungkin juga bisa mempertimbangkan aspek-aspek seperti pengaruh puisi terhadap pembentukan identitas individu dan kollektif dalam komunitas tersebut. Dengan demikian, sementara bab ini memberikan wawasan yang bermanfaat, terdapat ruang untuk pengembangan lebih lanjut dalam memperluas cakupan analisis dan mendalami berbagai aspek yang terkait dengan puisi Afrika-Amerika yang dipilih.

 

Daftar Pustaka

Rafiq, Mohamed dan Tawhida Akhter. 2022. Culture and Literature (Chapter 8, The Potent Voices of Selected African American Poems"). Newcastle Upon Tyne, Inggris. Cambridge Scholars Publishing.

 

A. Ringkasan

            Sastra fiksi sebagai jenis sastra yang paling berorientasi sosial karena ia menggambarkan masyarakat melalui kekacauan dan goncangan sejak awalnya dan telah mencapai tujuannya dalam membangkitkan kesadaran masyarakat. Novel-novel telah menggambarkan nilai-nilai sosial dan perasaan manusia serta telah menyajikan masyarakat sesuai dengan cara individu-individunya menciptakannya. Penulis novel yang baik adalah yang mencatat peristiwa-peristiwa ini dalam karya sastra yang merupakan senjatanya.

Fiksi Doris Lessing bersifat autobiografi, berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadinya dalam hidupnya, mengambil dari kenangan-kenangan pahit masa kecilnya dan partisipasinya aktif dalam isu-isu sosial dan politik pada masanya. Ia menyoroti konflik antara budaya, ketimpangan rasial, dan perjuangan individu untuk bertahan hidup. Ia selalu mengatakan kebenaran-kebenaran yang tidak enak didengar dan berfungsi sebagai moralis untuk menulis tentang Afrika. Ia termasuk dalam penulis-penulis utama abad kedua puluh. Ia adalah penulis yang produktif; semua novelnya sangat teknis. Sebagian besar novelnya saling terhubung dengan tema tunggal, seperti alienasi, politik, penindasan, wanita, komunisme, dan fragmentasi individu. Tema-temanya terutama berkaitan dengan psikologi karakter, hubungan antara pria dan wanita, seksualitas mereka, pekerjaan, dan politik. Novel-novelnya adalah upaya untuk melanggar norma-norma sosial. Ia telah menggambarkan kekejaman dunia nyata melalui karya-karyanya yang fiktif. Ia telah membicarakan isu-isu yang penting bagi orang-orang di sekitarnya.

Tawhida Akhter, dalam makalah "Nation and Nationality: Africa in the Fiction of Doris Lessing," membahas bagaimana Lessing menggambarkan realitas masyarakatnya melalui fiksi-fiksinya. Ia menyatakan, "Tulisan-tulisan Doris Lessing sebagian besar berdasarkan hidupnya di Afrika. Tema-temanya menghantui dan mendominasi tulisannya. Tema penindasan, rasisme, kehidupan dalam pengasingan, dan efeknya terhadap karakter-karakter dalam karyanya menonjol dalam tulisannya" (Akhter, 6360). Lessing memecah keheningan tentang isu-isu wanita, bersuara untuk orang-orang kulit hitam, dan menulis tentang masyarakatnya yang penuh dengan gambaran kekejaman.

Lessing termasuk dalam penulis terbesar periode kontemporer yang telah menulis tentang isu-isu politik, sosial, spiritual, dan psikologis kehidupan saat ini, terutama fokus pada topik-topik seperti mistisisme, rasisme, dan feminisme. Ia telah mengamati penderitaan orang-orang sejak masa kecilnya yang telah menjadi korban perjuangan kelas dan sebagai penulis ia telah menyoroti isu-isu ini dalam karyanya. Para kritikus telah menyimpulkan dari tulisannya bahwa pengamatan-pengamatannya diambil dari pengalaman nyata yang ia amati sendiri.

Doris Lessing memulai karir sastranya pada tahun 1950-an dan menulis tentang tema-tema seperti alienasi, rasisme, diskriminasi kelas, dan bias gender, yang dihadapi sebagian besar protagonisnya. Sebagian besar fiksi Doris Lessing berfokus pada isu-isu politik pada masanya. Karyanya, seperti kumpulan cerpen African Stories dan novel-novel The Grass is Singing, The Golden Notebook, dan seri Children of Violence adalah contoh dengan perspektif komunis. Dalam karya-karya fiksi ini, Lessing menggunakan realitas dari masa hidupnya yang ia alami. Fiksi-fiksinya, yang diterbitkan puluhan tahun yang lalu, masih segar hingga hari ini seperti saat buku-buku itu pertama kali diterbitkan. Semua fiksinya mengekspresikan kekhawatirannya utama untuk masyarakat komunis yang seharusnya menyediakan kesetaraan, persaudaraan, dan keadilan bagi semua anggotanya. The Golden Notebook adalah novel yang rumit tentang seorang penulis bernama Anna. Novel ini memiliki beberapa unsur autobiografi di dalamnya. Anna hidup di dunia yang membingungkan dari politisi, kekasih, dan keinginannya untuk menjadi wanita yang bebas. Protagonis ini memiliki empat buku catatan untuk mencatat peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Dalam The Golden Notebook, Anna mengatakan: "Poinnya adalah ... bahwa sejauh yang saya lihat, segalanya retak" (Lessing, 25). Buku catatan ini memiliki empat warna yang berbeda dan keterlibatannya membuat buku itu kompleks dalam strukturnya. Buku catatan biru mencatat peristiwa-peristiwa sehari-hari dalam hidupnya, buku catatan hitam mencatat kehidupannya di Afrika dan kehidupannya sebagai penulis, buku catatan merah mencatat kehidupan politiknya dan politik pada masanya, dan buku catatan kuning mencatat ide-ide dan draf-draf untuk ceritanya yang ia gunakan sebagai penulis.

Lessing mengamati struktur politik dan sosial yang tidak memadai yang mengarah pada penindasan perempuan dan terutama orang-orang kulit hitam. Penindasan ini menyebabkan kehancuran banyak orang di sana. Alienas, fragmentasi, dan kekerasan ini terjadi karena hubungan antara individu-individu dan sistem sosial mereka. Tema ini kental dalam karya The Grass is Singing, di mana tokoh utama menjadi korban perjuangan kelas. Lessing selalu membicarakan perjuangan kelas antara orang kulit hitam dan orang kulit putih. Tawhida Akhter, dalam makalahnya "Language as A Means to Break the Gender Inequality in Doris Lessing's African Works," membahas peran yang dimainkan oleh Doris Lessing sebagai, "Doris Lessing adalah salah satu figur paling penting dalam Sastra Inggris Kontemporer. Ia termasuk dalam penulis realisik pada zamannya" (Akhter, 39). Sigmund Krancberg dalam artikelnya, "Karl Marx and Democracy," menunjukkan perjuangan kelas ini sebagai berikut:

Dalam novel The Grass is Singing, Mary Turner, menunjukkan perjuangan antara dirinya sendiri dan kekuatan sosial yang membentuk individualitasnya. Mary juga bersikap kapitalis dengan pelayan-pelayannya, membuktikan supremasinya atas orang kulit hitam. Pembunuhan Mary oleh tangan Moses mencerminkan kurangnya cinta dan kepercayaan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Populasi kulit putih menghancurkan kebahagiaan dan kehidupan orang kulit hitam. Tulisan Doris Lessing memiliki berbagai aspek, termasuk horor fisik, sosial, dan mental, terutama apartheid di Afrika. Lessing, melalui tulisannya, menyajikan realitas masyarakat melalui imajinasi dan menjadikannya senjata untuk mengungkapkan wajah buruk masyarakat. Tulisan-tulisannya adalah contoh nyata dari sastra realistis. Doris Lessing, dalam percakapannya dengan Florence Howe, menyatakan bahwa: "Ia menulis dari sudut pandang perempuan tetapi pada dasarnya ia menulis tentang hak individu" (Howe 34). Karakter-karakter dalam novelnya terpengaruh secara psikologis karena sistem sosial dan politik pada zamannya. The Golden Notebook mengandung tema anti-perang dan anti-Stalinis serta tema Komunisme yang sepenuhnya membentuk kehidupan tokoh utama dan akhirnya mengarah pada kehancuran totalnya. Anna Wulf, protagonisnya, seperti Doris Lessing, adalah seorang penulis yang tinggal sendiri dengan putrinya yang memiliki empat buku catatan berbeda di mana ia mencatat pengalaman sosial, mental, dan politiknya dalam hidupnya. Keempat buku catatan tersebut memiliki warna yang berbeda; hitam, merah, biru, dan kuning. Warna yang dipilih untuk buku catatan tertentu terkait dengan latar belakangnya. Buku catatan hitam adalah tentang pengalaman hidupnya di Afrika, sebagian besar sebelum dan selama Perang Dunia II, dan mendorongnya untuk menulis novel pertamanya The Frontiers of War. Pengalaman politiknya terkunci di buku catatan merah, karena merah melambangkan Komunisme. Penulis tetap menjadi anggota aktif partai Komunis. Kemudian ada buku catatan kuning di mana ia menulis tentang kisah cintanya sendiri dalam bentuk novel. Buku catatan terakhir adalah buku catatan biru yang berisi kenangannya dan mimpinya yang ia tulis dalam bentuk diary. Keempat buku catatan ini memiliki tema ancaman perang nuklir, Perang Dingin, Komunisme, Marxisme, Stalinisme, dan perjuangan karakter-karakternya untuk pekerjaan, cinta, dan terutama tentang politik.

Doris Lessing dilarang mengunjungi Rhodesia dan Afrika karena ia menentang hukum-hukum kulit putih dan hanya diizinkan setelah kemerdekaan. Tahun-tahun yang dihabiskan Doris Lessing di Afrika memiliki pengaruh mendalam pada tulisannya, "Afrika milik orang Afrika, semakin cepat mereka mengambilnya kembali, semakin baik. Tetapi sebuah negara juga milik mereka yang merasa di rumah di sana" (Lessing, African Stories 11). Ia juga berbicara tentang cintanya untuk Afrika dalam Pidato Nobelnya: "Pikiran saya penuh dengan kenangan indah tentang Afrika yang bisa saya hidupkan kembali dan lihat kapan saja saya mau. Bagaimana dengan matahari terbenam, emas dan ungu dan jingga, merambat di langit saat senja. Bagaimana dengan kupu-kupu dan ngengat dan lebah di semak-semak aromatik Kalahari? . . . tetapi bagaimana dengan langit di malam hari, masih belum tercemar, hitam dan luar biasa, penuh bintang yang tak henti-hentinya" (Lessing, "Pidato Nobel 2007"). Novel-novel Lessing juga dibentuk di atas basis psikoanalitik. Novel-novelnya menggambarkan psikologi para karakternya. Karakter-karakternya menghadapi rasa sakit, penderitaan, alienasi, dan diskriminasi yang mengarah pada ketidakseimbangan psikologis mereka.

Penulis adalah saksi diskriminasi gender, konflik politik, dan konflik sosial lainnya yang mereka hadapi dari waktu ke waktu. Doris Lessing mengamati dan mempelajari masalah-masalah individu biasa dalam masyarakat mereka. Dalam fiksi Doris Lessing, pria dan wanita berjuang untuk identitas mereka. Mimpi, ketakutan, dan harapan mereka membuat mereka menghadapi pengalaman traumatis dalam hidup mereka. Dalam novel The Golden Notebook, Lessing berkomentar, "Bagiku, sejak saya bisa mengingat apa pun, hal nyata yang terjadi di dunia adalah kematian dan kehancuran. Bagiku, itu lebih kuat dari kehidupan" (Lessing, The

Dalam novel The Grass is Singing, Mary menghadapi konflik antara kehidupan pribadinya dan masyarakat yang bertanggung jawab atasnya. Sejak kecil, dia dibesarkan sebagai anak yang cacat dan tidak mendapat cinta dan kehangatan dari orangtuanya. Dia menderita dari hancurnya kesadarannya, alienasi, dan fragmentasi kepribadiannya. Rasa hampa dalam hidupnya sejak kecil menjadi katalisator dalam hidupnya dan meningkatkan rasa alienasi dan kecemasannya. Kehidupan pernikahannya juga gagal karena ketidakberhasilan suaminya yang juga gagal dalam hidupnya. Akhirnya, terjadi penurunan kepribadian yang disebabkan oleh tekanan yang menyebabkan kehilangan hidupnya. Dia akhirnya menjadi gila, akhirnya dramatis menggambarkan kehancuran totalnya. Seorang psikiater Inggris R. D. Laing, dalam bukunya The Divided Self, mengatakan hal berikut tentang kondisi mental seperti ini; keadaan pikiran Mary menyerupai pernyataan Laing:

Lessing telah menjelajahi dunia dalam diri tokoh-tokohnya; mereka sepanjang hidupnya merindukan identitas mereka. Novelnya hampir seperti bentuk-bentuk yang diperpanjang dari kilasan-kilasan, pertemuan finansial, pernikahan, dan sosial dari karakter-karakternya. Hubungan dalam kehidupan manusia membentuk dasar bagi kelangsungan hidup yang bermakna. Karakter-karakter Doris Lessing jatuh ke dalam masalah-masalah umum, sosial, pribadi, dan emosional yang menstabilkan identitas mereka sendiri. Seorang peneliti, K. A. Agalya, dalam karya penelitiannya tentang Peran Perempuan dalam Fiksi Anita Nair telah menunjukkan penindasan terhadap perempuan dalam cara ini: Keheningan adalah simbol penindasan, karakteristik kondisi subaltern, sementara bicara menandakan ekspresi diri dan pembebasan. Bab terakhir adalah ringkasan dari argumen-argumen dalam bab-bab sebelumnya. Bagi perempuan zaman sekarang, kehidupan adalah pernyataan dari individualitas, kemandirian dan menemukan suara. Bukan kehidupan eksternal yang selalu penting tetapi penderitaan internal dan pemulihan atau regenerasi dalam segala hal sangat penting bagi perempuan zaman sekarang (Agalya 245). Kita juga menemukan elemen-elemen penindasan, penekanan, dan alienasi dalam karya-karya Lessing. Karakter-karakter pusatnya selalu berjuang untuk membentuk identitas mereka. Mereka kecewa dengan kehidupan mereka dan mencari identitas.

Analisis ini menggali lebih dalam hubungan antara budak dan tuannya dalam novel, dengan fokus pada pandangan Mercy Famila terhadap novel-novel Doris Lessing dalam merombak masyarakat. Famila menggambarkan Lessing sebagai novelis abad ke-20 yang sangat berkomitmen untuk meyakinkan dan merombak masyarakat secara aktif. Dia berbicara tentang "rasa kewajiban" yang membuatnya bergabung dengan organisasi dan membela dukungannya terhadap Komunisme. Rasa tanggung jawab sosialnya mengarahkannya untuk mencari nilai-nilainya dan bahan sastra di kalangan kelas pekerja di London. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Doris Lessing adalah salah satu novelis yang siap "berdiri dengan orang yang kurang beruntung" (Famila 3).

Kebencian Mary terhadap populasi kulit hitam mencapai puncaknya. Dia bahkan membenci anak-anak yang sebagian besar berusia tujuh atau delapan tahun. Baginya, mereka tidak lebih dari binatang, “Dia membenci tubuh hitam setengah telanjang mereka yang berotot tebal membungkuk dalam ritme kerja mereka yang tanpa pikiran. Dia membenci kesuraman mereka, mata yang berpaling saat berbicara padanya, keangkuhan yang tersembunyi: dan yang paling ia benci, dengan rasa jijik fisik yang keras, bau pedih yang panas, bau hewan yang asam (Lessing, The Grass is Singing 115). Hukum juga memungkinkan orang kulit putih untuk memperlakukan populasi kulit hitam sesuai keinginan mereka, “Mereka—para pembuat undang-undang dan Pelayanan Sipil—yang mengganggu hak alami petani kulit putih untuk memperlakukan buruhnya sesuai keinginan” (120). Selain itu, Lessing menunjukkan contoh-contoh orang yang berbeda hanya karena warna kulit, menjadi anggota aktif partai Komunis, dia merasa itu menjadi perhatiannya utama untuk melawan rasnya sendiri dan bekerja untuk menyuarakan hak ras yang tertindas dari penduduk asli Afrika dalam rangka membawa perubahan besar dalam masyarakat. Dia bermimpi tentang masyarakat tanpa kelas terlepas dari ras atau daerah mana pun. Lessing memberikan contoh-contoh rasialis dan sikap mereka yang tidak adil terhadap penduduk asli untuk membawa perubahan sosial. Mary tampaknya lebih rasialis daripada orang kulit putih lainnya, yang juga terbukti rasialis pada saat-saat tertentu. Tindakan rasialisnya ditunjukkan melalui berbagai contoh, dan salah satu contoh lainnya adalah: “Kemudian datang seorang pribumi ke pintu belakang, meminta pekerjaan. Dia ingin tujuh belas shilling sebulan. Dia menurunkan harganya dua, merasa senang dengan kemenangannya atasnya” (70).

Dari perilaku dan sikapnya, jelas bagaimana dia memperlakukan orang pribumi dengan memberinya uang yang kurang dari yang seharusnya dia terima. Lessing, dalam bukunya Under My Skin (1994), mengatakan bahwa orang Inggris takut pada orang asli ini karena mereka bisa melakukan kejahatan tanpa takut dihukum. Sikap pribumi terhadap hukuman mereka adalah: “‘Saya telah berbuat salah, dan saya tahu itu,’ mungkin dia berkata, ‘oleh karena itu biarkan saya dihukum.’ Nah, tradisi untuk menghadapi hukuman, dan sebenarnya ada sesuatu yang cukup bagus tentang itu” (Lessing, Under My Skin 6). Dalam novel The Grass is Singing, orang-orang kulit putih percaya bahwa penduduk asli mampu melakukan segala jenis kejahatan. Jadi ketika mereka mendengar tentang pembunuhan Mary Turner oleh tangan pelayan pribuminya, itu adalah hal yang normal bagi mereka. Perilaku orang kulit putih memaksa pribumi untuk melakukan kejahatan dan hal yang sama terjadi dalam kasus Mary Turner. Kebencian dan kebanggaan palsu Mary menjadi penyebab kehancurannya.

Lessing, melalui tulisannya, mengubah fokus pembaca dari plot menjadi karakter dan tenggelam khususnya ke dalam bawah sadar protagonisnya dengan menggambarkan sisi tergelap dari kehidupan mereka. Mary selalu bertindak dengan cara kapitalis terhadap pelayan-pelayannya dan orang lain di sekitarnya. Alienasi Mary karena kebanggaan palsunya menambah lebih banyak lagi. Elena dkk. menyatakan, “Penting untuk melihat bahwa benih-benih kehancuran Mary Turner akhirnya ditanam bertahun-tahun sebelumnya, dalam alienasi progresifnya dari dirinya sendiri. Ketidakmampuannya menghadapi pelayan kulit hitam—hubungan pria/wanita, di mana ketegangan peran hitam/putih ditambahkan” (Elena et al. 27).

Ini sangat jelas karena kontradiksi antara kehidupannya saat ini dan kehidupan yang ingin dia jalani. Dia hanya membayangkan kehidupan di kota dan merencanakan untuk tinggal di kota bersama Dick. Narator menyatakannya sebagai: “Dan dia mulai memikirkan, selama waktu-waktu yang membosankan itu, bagaimana keadaannya ketika Dick akhirnya mendapat uang dan mereka bisa pergi dan tinggal di kota lagi” (Lessing, The Grass is Singing 97). Tetapi Dick memiliki mentalitas yang benar-benar bertentangan. Hidupnya hanya di peternakan di mana dia adalah bos dan tidak perlu mengikuti perintah orang lain. Tetapi Mary bermimpi tentang kehidupannya yang mandiri di kota seperti sebelum pernikahannya.

Analisis ini menggali bagaimana Mary mengalami banyak periode yang memiliki dampak negatif pada psikenya selama bertahun-tahun pernikahan. Hal ini terjadi karena dia tidak bersedia untuk memodifikasi atau bahkan mengubah hidupnya. Kita telah melihat bahwa Mary suka membaca buku sebelum menikah tetapi setelah menikah dia menjadi enggan bahkan untuk memiliki buku di tangannya. Dia cukup sosial dan ekstrovert tetapi setelah menikah dia menjadi antisosial dan introvert, bahkan tidak bersedia untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Dia mengisolasi dirinya dari orang lain dan menyimpan perasaannya sendiri dan perasaan yang direpresi ini merusak kehidupan psikologisnya. Pernikahan yang tidak berhasil, isolasi, dan sikap pesimistis menambah bahan-bahan lain ke dalam kehidupan psikis yang merusaknya. Dia terperangkap dalam masa depan yang gelap. Buyu mendefinisikan seluruh kronologi novel dan dampak negatifnya pada psikologi Mary, “Novel ini mulai menceritakan kehidupan Mary dalam urutan kronologis dengan fokus pada masa kecilnya yang tidak bahagia, dan kemudian hari-hari bahagia di kota, pernikahan putus asa pada usia tiga puluh tahun, datang ke desa sebagai akibat dari pernikahannya dengan Dick, ilusi yang hancur dari keduanya, perlakuan Mary yang kejam terhadap penduduk asli, kejatuhan ekonomi pasangan itu” (Buyu 23).

Hal ini ditunjukkan oleh narator sebagai, “Dia membiarkan segala sesuatu tergelincir, kecuali apa yang dipaksakan perhatiannya. Cakrawalanya telah menyempit menjadi rumah. Ayam mulai mati; dia berbisik tentang penyakit; dan kemudian memahami bahwa dia telah lupa memberi makan mereka selama seminggu” (Lessing, The Grass is Singing 149). Menjadi sendirian selama beberapa hari, Mary berubah menjadi keruntuhan psikologis. Perilakunya berubah total. Dia hanya ingin tidur untuk melarikan diri dari hidupnya. Hidupnya menjadi tidak berarti. Pesimisme ini membuka jalan menuju depresinya. Ketidakberartian hidupnya dijelaskan melalui kutipan ini oleh V. Mikluc: “Kebisingan alam, yaitu eros, menyebabkan sakit kepala dan keberatan di anggota tubuhnya. Langit panas, rendah, berat dan leher yang panas, menyakitkan yang akan patah pada akhir kisahnya adalah gambaran yang membuat kebisingan yang berdenyut menjadi lebih keras. Segera sebelum kematiannya, Mary berlari dengan panik ke semua tempat yang menjadi koordinat perjalanannya yang tidak berhasil melalui hidup” (Mikluc 212).

Ada berbagai faktor di baliknya dan, seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, pernikahan buruknya juga merupakan salah satu faktor di dalamnya. Faktor-faktor lainnya adalah stabilitas ekonomi yang buruk, ketidakcocokannya dengan pelayan aslinya, kebencian terhadap penduduk asli dan kehadiran serta dominasi Moses yang menjadi penyebab semua kehancurannya. Moses menjadi penyebab utama depresi dan kehancuran Mary. Hal ini ditunjukkan oleh narator, “Dia tegang dan terkendali di hadapannya; dia terus mempekerjakannya sebanyak mungkin, tanpa ampun atas setiap serpihan debu dan setiap gelas atau piring yang tidak berada pada tempatnya yang dia perhatikan” (148). Konflik internal dan eksternal ini dalam diri Mary disebabkan oleh kewajiban individu terhadap masyarakat mereka. Dia begitu sibuk dengan pikirannya sehingga dia melupakan segala hal lain.

Keadaan mental yang sangat terganggu dan terjepit yang dialami oleh karakter dalam novel tersebut. Di sini, karakter perempuan mengalami kesulitan berfokus dan seringkali lupa akan apa yang akan dia katakan. Hal ini tercermin dari kalimat-kalimat yang dia mulai namun tidak selesai, serta wajahnya yang menjadi kosong dan hampa, kemudian dia terdiam tanpa melanjutkan perkataannya. Karakter ini juga mengalami gangguan psikologis yang lebih dalam, seperti berbicara dengan dirinya sendiri secara keras namun juga merasa takut dengan pelayannya yang dianggap sebagai penyebab dari kekacauan mentalnya. Ada kecemasan dan ketakutan yang mendalam yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang lain. Selain itu, ada juga gambaran tentang depresi yang dia alami, yang terlihat dari tindakan tertawa tanpa alasan yang jelas. Gangguan psikologis yang dialaminya juga mencapai tingkat di mana dia memerlukan bantuan dari pelayannya untuk berpakaian, dan hal ini menjadi perhatian dari karakter lain dalam cerita yang merasa terganggu dengan situasi tersebut.

Novel "The Golden Notebook" karya Doris Lessing ini dipuji oleh sebagian besar kritikus karena dianggap sebagai salah satu karya terbaik Lessing yang menggabungkan kebenaran, eksperimentalisme, dan ketertarikan dalam penyusunan narasi yang menarik. Lessing memilih topik-topik kontroversial pada zamannya, membuat novel ini dianggap sebagai mahakarya yang mengeksplorasi breakdown sosial dan mental protagonisnya serta menganalisis pendekatan komunis dari penulis tersebut dari tahun 1930-an hingga 1950-an. Novel ini menyentuh isu feminis pada zamannya. Cerita dimulai dengan kunjungan Anna Wulf kepada temannya Molly Jacobs setelah berpisah dalam waktu yang cukup lama. Keduanya hidup mandiri di London, Anna sebagai penulis dan Molly sebagai aktris, menganggap diri mereka sebagai wanita bebas yang tidak terikat oleh konvensi sosial atau personal.

Kisah ini juga memperkenalkan karakter-karakter lain seperti Richard Portman, mantan suami Molly, yang khawatir tentang putranya Tommy. Tommy dipengaruhi oleh filosofi idealis ibunya dan Anna, yang aktif dalam Partai Komunis Inggris. Ada juga perbincangan tentang blokade penulis yang dialami Anna, yang membuatnya menulis dalam catatan harian yang tidak terlihat oleh orang lain.

Novel ini mengambil struktur naratif yang kompleks dengan penggunaan berbagai catatan berwarna yang merekam pengalaman hidup Anna dalam konteks yang berbeda, seperti kehidupannya di Afrika dan pengalaman komunis selama Perang Dunia II. Terdapat juga cerita dalam bentuk novel di buku catatan kuning yang menggambarkan hubungan antara Anna dan Paul, serta perjalanan emosional mereka. Secara keseluruhan, pembahasan ini memberikan gambaran yang cukup komprehensif tentang tema, struktur, dan karakter-karakter utama dalam novel "The Golden Notebook" karya Doris Lessing. Novel ini mengeksplorasi berbagai tema penting seperti breakdown emosional dan mental, Perang Dingin, politik, perjuangan wanita, cinta, dan peran ibu. Salah satu tema utama dalam novel ini adalah fragmentasi, yang tercermin melalui karakter protagonisnya, Anna Wulf, yang bahkan membagi tulisannya ke dalam berbagai buku catatan berwarna yang berbeda.

Dalam buku catatan biru, Anna mencatat hubungannya dengan Max (Willi), mantan suaminya dan ayah dari Janet. Dia juga mencatat pengalamannya dengan Mrs. Marks, seorang terapis psikoanalisis dengan siapa Anna menceritakan kenangan-kenangan tentang perang, perdamaian, dan Perang Dingin. Terapisnya mendorongnya untuk menulis lagi untuk meluapkan perasaannya yang telah mematikan kehidupannya. Pembahasan ini juga menyoroti kesulitan Anna dalam mengekspresikan dirinya sepenuhnya dengan kata-kata, yang menjadi penyebab utama dari blokade penulis yang dia alami. Selain itu, keintiman emosional yang kurang dalam hubungan-hubungan romantisnya juga menjadi salah satu faktor penyebab breakdown-nya.

Seri novel "Children of Violence" yang terdiri dari lima novel yang diterbitkan antara tahun 1952 dan 1969. Seri ini pertama kali diterbitkan oleh Michael Joseph dan MacGibbon and Kee di Inggris. Novel pertama dalam seri ini adalah "Martha Quest" yang diterbitkan pada tahun 1952, diikuti oleh "A Proper Marriage" pada tahun 1954, "A Ripple from the Storm" pada tahun 1958, "Landlocked" pada tahun 1965, dan novel terakhir "The Four-Gated City" pada tahun 1969. Edisi Amerika pertama kali diterbitkan pada tahun 1964, 1966, dan 1969 oleh Simon and Schuster dan Alfred A. Knopf dalam urutan tiga, dengan "Martha Quest" dan "A Proper Marriage" diikuti oleh "A Ripple from the Storm" dan "Landlocked", dan akhirnya "The Four-Gated City".

Semua novel dalam seri ini mengikuti urutan kehidupan protagonisnya, Martha Quest, dari masa kecilnya hingga remaja dan bahkan kematian. Ini adalah seri yang menggambarkan perjalanan hidup Martha Quest secara kronologis, memperlihatkan perkembangan dan pengalaman hidupnya dari awal hingga akhir. Novel "Martha Quest" karya Doris Lessing yang diterbitkan pada tahun 1952 oleh Michael Joseph di Inggris. Novel ini merupakan bagian pertama dari seri "Children of Violence" dan mengisahkan tentang protagonisnya, Martha Quest, yang merupakan sosok pemberontak sepanjang cerita. Novel ini mengambil latar belakang tahun 1934 hingga 1938 dan menggambarkan Martha sebagai seorang gadis cerdas yang mengamati segala sesuatu dengan penuh ketajaman. Dia tinggal di Afrika bersama orangtuanya yang bekerja di pertanian Afrika. Martha penuh gairah, berkeinginan untuk mengenal dirinya sendiri, namun seringkali terasa pahit dan sempit dalam pikirannya. Sebagai seorang pemberontak, Martha memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan pindah ke kota untuk bekerja sebagai tukang ketik. Di kota, dia mengalami kehidupan yang selama ini ia cari. Kisah Martha memiliki nuansa autobiografi yang mirip dengan pengalaman Lessing sendiri di Afrika, menggambarkan kehidupan di padang rumput, atmosfer dangkal diskriminasi rasial, dan kecanggihan kehidupan di kota. Novel ini juga menggambarkan keterlibatan Lessing dalam politik dan keprihatinan sosialnya, terutama dalam hal penindasan penduduk asli Afrika oleh penjajah kulit putih dan kebutuhan mereka untuk mendominasi dengan budaya mereka sendiri. Martha juga menyadari perbedaan antara apa yang dikatakan oleh orang kulit putih dengan apa yang mereka maksudkan, serta sikap mereka terhadap penduduk asli Afrika yang membuatnya merasa tidak bahagia dan terpinggirkan. Salah satu hal yang membantu Martha adalah literatur, di mana dia menemukan dukungan spiritual bagi jiwanya. Dia menggunakan buku-buku tersebut untuk membentuk teori dunianya sendiri

Novel kedua dalam seri "Children of Violence", yaitu "A Proper Marriage" (1954) karya Doris Lessing yang diterbitkan oleh Michael Joseph di Inggris. Novel ini mengisahkan lanjutan kehidupan Martha setelah dia menikah dengan Knowell Douglas. Dalam novel ini, Martha menjadi kecewa dengan kehidupan di kota dan kemudian menikahi Knowell Douglas. Dia meninggalkan pekerjaannya di kota dan menjadi istri yang berdedikasi, serta semakin sibuk dengan kedatangan bayi dalam hidupnya. Seiring berjalannya waktu, Martha merasa dirinya harus menyerah pada harapan, impian, dan idealisme sebagai individu. Dia merasa berubah karena pernikahan tersebut, namun tetap menunjukkan sifat pemberontaknya terhadap kehidupan barunya.

Martha menjadi kecewa dengan pernikahannya dan, dengan kedatangan bayi dalam hidup mereka, merasa kebebasannya terancam. Novel ini juga menggambarkan pecahnya perang dan kepergian Douglas dengan tentara. Martha kesulitan mengurus bayinya, Caroline. Setelah setahun, Douglas kembali dari perang dengan sakit maag. Keluarga kemudian pindah ke sebuah bungalow besar dengan pelayan. Pembahasan juga menyoroti sikap Martha terhadap pelayan kulit hitam, yang dia perlakukan dengan baik sesuai dengan pandangan komunisnya tentang kesetaraan. Namun, dia mendapat kritik dari ibunya yang menganggapnya tidak tahu bagaimana mengurus pelayan kulit hitam dengan baik. Martha bergabung dengan kelompok komunis dan memberikan ceramah tentang kesetaraan dan perjuangan kelas, dan akhirnya meninggalkan Douglas. Dalam novel ini, Martha ingin melarikan diri dari pernikahan, suaminya, dan anaknya untuk meraih kebebasan tanpa ikatan apapun. Dia gagal sebagai istri dan ibu, namun berhasil memenangkan pertarungan untuk hidup mandiri dan independen untuk dirinya sendiri.

Novel ketiga dalam seri "Children of Violence", yaitu "A Ripple from the Storm" (1958) karya Doris Lessing yang diterbitkan oleh Michael Joseph di Inggris, dan edisi Amerikanya diterbitkan oleh Simon and Schuster pada tahun 1966. Novel ini fokus pada bagaimana sebuah kelompok Komunis muncul di sebuah kota kecil di Afrika. Novel ini memperlihatkan bagaimana kelompok Komunis tersebut terbentuk sebagai hasil dari pengaruh Uni Soviet pada tahun 1942, 1943, dan 1944. Martha menjadi anggota aktif dalam kelompok tersebut dan, setelah bercerai dari pernikahannya yang pertama, kemudian menikahi seorang pengungsi Jerman bernama Anton Hesse yang menjadi pemimpin kelompok tersebut. Lessing melalui novel ini menggambarkan psikologi sebuah kelompok yang menentang masyarakatnya sendiri, sekaligus psikologi individu yang bertindak secara komunal. Seiring berjalannya waktu, kita melihat bagaimana kelompok tersebut gagal dan juga gagal dalam mengimplementasikan ideologi mereka. Novel ini membuka babak baru dalam kehidupan Martha, dengan cerai dari Douglas dan pernikahannya dengan Anton Hesse. Namun, perubahan ini tidak disambut baik oleh masyarakat sekitarnya. Martha terus sibuk dan menjadi lemah karena tidak memperhatikan kesehatannya. Sikap ibunya membuatnya merasa sakit, dan orang-orang sering bertanya bagaimana perasaannya setelah meninggalkan putrinya Caroline, meskipun Martha tidak ingin mengingat masa lalunya yang sulit. Dia tidak menyukai peran sebagai ibu, yang dia inginkan hanyalah kebebasan. Martha tetap sibuk dengan aktivitas Komunis, masyarakat, perbedaan antara orang kulit putih dan kulit hitam, serta bagaimana situasi tersebut dapat diperbaiki.

Novel keempat dalam seri "Children of Violence", yaitu "Landlocked" (1965) karya Doris Lessing yang diterbitkan oleh MacGibbon and Kee di Inggris, dan edisi Amerikanya diterbitkan oleh Simon and Schuster pada tahun 1966. Novel ini merupakan penutup dari seri yang berlatar di Afrika.

Novel ini menggambarkan bulan-bulan terakhir Perang Dunia II yang menghancurkan Eropa namun juga mengandung pesan kesetaraan di antara manusia. Kisah Martha sebagai seorang pejuang melawan penindasannya terus berlanjut. Dia semakin terlibat secara politik dengan kelompok Komunis dan berjuang untuk hak-hak orang Afrika. Putrinya Caroline tumbuh dewasa dan percaya bahwa istri kedua Douglas adalah ibunya. Martha berpikir bahwa suatu hari nanti putrinya akan berterima kasih padanya karena membiarkannya bebas dalam hidupnya. Novel ini juga menggambarkan kisah cinta Martha dengan Thomas, di mana mereka hidup bersama dan berbagi tempat tidur. Thomas adalah seorang Yahudi Polandia yang sudah menikah dan memiliki anak-anak. Melalui hubungan ini, Martha menyadari sisi baru dari dirinya sendiri dan mulai menikmati tubuhnya dan sentuhan Thomas. Namun, dia juga sadar bahwa hubungan ini bisa berakhir kapan saja. Latar belakang novel ini adalah Perang Dunia II dan perjuangan antara negara-negara yang mengubah peta dunia. Martha dan teman-temannya merupakan pendukung Komunisme dan penentang kapitalisme. Sebagai perang berakhir, Martha memutuskan untuk meninggalkan Afrika dan pergi ke Britania, menginginkan kebebasan dan petualangan baru dalam hidupnya.

Novel terakhir dalam seri "Children of Violence", yaitu "The Four-Gated City" (1969) karya Doris Lessing yang diterbitkan oleh MacGibbon and Kee di Inggris, dan edisi Amerikanya diterbitkan oleh Alfred A. Knopf pada tahun 1969. Novel ini berlatar di Britania Raya setelah Perang Dunia II.

Novel ini menggambarkan London pasca-perang dan Martha sebagai bagian dari Perang Dingin, Swinging London, dan Aldermaston Marches. Novel ini menggambarkan kemiskinan yang dialami masyarakat akibat perang, wawasan yang menyakitkan dari orang-orang, dan anarki sosial. Kisahnya meliputi sepanjang abad ke-20 dan berakhir dengan ilusi bahwa dunia berada dalam genggaman Perang Dunia III. Pada tahun 1997, Martha meninggal di sebuah pulau di Skotlandia. Dengan latar belakang sejarah yang kuat, novel ini memberikan gambaran yang mendalam tentang kondisi sosial dan politik pasca-perang, serta memberikan pandangan kritis terhadap masa itu. Lessing berhasil menggambarkan atmosfer pascaperang yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang cepat di Britania Raya.

Seri "Children of Violence" karya Doris Lessing, yang berpusat pada analisis diri protagonisnya, Martha Quest. Martha Quest mengalami proses yang kompleks dalam pencarian jati dirinya. Sebagian besar novel dalam seri ini berlatar di Afrika dan menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan orang-orang Afrika. Tema utamanya meliputi Komunisme, feminisme, dan psikoanalisis untuk penemuan diri. Doris Lessing melalui tulisannya mencakup banyak aspek, seperti sosiologi, psikologi, dan politik. Seri ini menggambarkan evolusi Martha Quest dari masa remajanya di Afrika hingga dewasa dan akhirnya kematiannya pada tahun 1997 di Skotlandia. Celine menjelaskan seri Children of Violence sebagai "Novel-novel ini mengungkapkan kehidupan Martha Quest dari tahun 1936 hingga 1997, membawa kita melalui masa remajanya yang gelisah, dewasa yang penuh peristiwa, dan kematiannya yang dijuluki sebagai holokaus nuklir pada tahun 1997, yang menghancurkan seluruh dunia" (Celine 38). Selama siklus ini, Martha mengubah nama dan identifikasinya, misalnya dia menjadi Matty di kota, setelah pernikahan pertamanya dia menjadi Nyonya Knowell, dan kemudian pada pernikahan keduanya dia menjadi Nyonya Hesse, tanpa memiliki identitas yang jelas. Sepanjang seri ini, dia berjuang untuk mendapatkan identitasnya sendiri dan juga untuk identitas orang-orang asli.

Tema-tema realistis yang diangkat oleh Doris Lessing dalam karyanya, dengan fokus pada gambaran yang jelas tentang masyarakat dan individu-individu di dalamnya. Karya fiksinya sebagian besar bersifat autobiografis, muncul dari pengalaman pribadinya di Afrika. Seri lima novel "Children of Violence" berkisah tentang pertumbuhan kesadaran tokoh utamanya, Martha. Nancy Ferro dalam penelitiannya tentang Doris Lessing menyatakan bahwa motif Lessing di balik seri ini adalah untuk membawa pembaca masuk ke dalam kehidupan dalam dan luar seorang wanita bernama Martha. Martha digambarkan sebagai individu yang banyak mirip dengan banyak dari kita—mengalami masa kecil yang tidak bahagia, pernikahan awal yang merugikan diri sendiri, aktivitas di partai komunis, pencarian akan dirinya sendiri, dan keterlibatan yang jujur dengan dunia. Martha, seperti kita semua, adalah seorang anak dari kekerasan. Pengalaman-pengalaman Martha mencerminkan masa pertumbuhan yang dipengaruhi oleh ketegangan dan ketakutan di era 1920-an dan 1930-an, serta Perang Dunia II yang membawa Martha dan dunia modern ke kedewasaan.

Doris Lessing membandingkan Martha dengan setiap individu yang menderita di tangan masyarakat mereka. E. Celine dalam penelitiannya tentang "Marxism in the Novels of Doris Lessing" menyatakan bahwa semangat penulisan Lessing dalam seri "Children of Violence" mencoba untuk mengekspresikan pengalaman-pengalamannya di Afrika, serta pertumbuhan dan pemahamannya tentang kehidupan yang kompleks melalui tokoh otobiografisnya, Martha Quest. Lessing berbagi dengan Martha pencariannya akan kebebasan, kebencian terhadap penindasan, kepekaan pikiran, dan semangat yang visioner. Secara keseluruhan, bagian ini memberikan gambaran yang mendalam tentang tema-tema penting yang diangkat oleh Lessing dalam seri "Children of Violence" dan mencerminkan perjalanan pribadi serta kesadaran Martha sebagai tokoh utama.

Tema kekerasan bukanlah solusi dan masyarakat seharusnya hidup dalam harmoni satu sama lain. Melalui karakter Martha, Lessing menunjukkan peran-peran yang ditetapkan oleh masyarakat padanya sebagai seorang putri, istri, dan ibu. Awalnya, Martha mencoba memenuhi semua tanggung jawab tersebut namun kemudian menolak semua peran tradisional itu untuk menemukan identitasnya sendiri. Mrs. Carson, dalam novel "A Ripple from the Storm," menjadi contoh sikap penjajah kulit putih terhadap penduduk asli. Narator menggambarkannya sebagai:"Kehidupan janda Carson adalah drama panjang yang dimainkan melawan fantasi tentang pelayannya. Dia tidak pernah mempertahankan satu orang pun lebih dari sebulan; mereka pergi kebanyakan dalam keadaan bingung. . . Mrs Carson, larut malam, berdiri diam di bawah pohon jacaranda besar di gerbang, memperhatikan rumah. Dia tenggelam dalam mimpi tentang penyerbu hitam yang masuk ke rumah meskipun penuh dengan penghalang dan menemukannya kosong. Sedangkan Martha, dia tidur seperti biasa dengan jendela dan pintu terbuka" (Lessing, A Ripple from the Storm 31-32).

Lessing membuat perbandingan antara dua orang dalam masyarakat yang sama, di mana satu percaya pada kesetaraan individu sementara yang lain merupakan lambang ketidakadilan. Mrs. Carson selalu memiliki niat jahat dan hanya memperlakukan penduduk asli sebagai penjahat. Sudut pandang realistis Martha membuatnya berperilaku adil terhadap semua individu, tanpa memandang ras atau warna kulit.

Martha, sebagai gadis yang cerdas, bingung dengan mimpi dan keinginannya. Keinginannya hanyalah untuk meninggalkan rumah dan mendapatkan pekerjaan di kota. Penelitian Mohammad Kaosar Ahmed dalam "A Psychoanalytic-Feminist Reading of Martha’s 'Battle' with Mrs Quest in Doris Lessing’s Martha Quest" menjelaskan kepribadian Miss Martha sebagai:

"Martha Quest dari Lessing, volume pertama seri Children of Violence, mempersembahkan remaja Inggris yang biasa saja, Martha Quest, yang haus akan pengetahuan dan berontak, tumbuh dewasa di latar belakang yang penuh warna dari lanskap Afrika" (Ahmed 33).

Martha dihadapkan pada keinginannya untuk membebaskan diri dari rumah dan veld, mencerminkan perjuangan identitasnya dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Ia ingin mengeksplorasi potensinya dan pengetahuannya, serta membebaskan diri dari pengaruh dan penindasan sosial yang menghantuinya. Martha mewakili peradaban manusia yang bermimpi tentang kebebasan. Namun, Martha juga menghadapi konflik dengan pengaruh ibunya yang selalu mengintai dan membuatnya gelisah. Martha merasa terganggu dengan pengaruh ibunya bahkan ketika dia pindah ke kota dan ibunya mengubah pengaturan ruangannya sesuai selera sendiri. Martha, sebagai pendatang kulit putih yang hidup di koloni yang berbeda dari tanah airnya, merasakan diskriminasi rasial, perasaan pengasingan, dan ketidaknyamanan, yang menghasilkan perasaan asing di dalam dirinya.

Penelitian Celine membandingkan Martha dengan Lessing, yang mengekspos seorang pahlawan wanita yang memberontak terhadap struktur masyarakat kapitalis yang memperbudak dan mendiskriminasi baik orang kulit hitam maupun kelompok lemah lainnya. Martha juga berjuang untuk hak-hak orang kulit hitam di Afrika sebagai anggota kelompok Komunis. Pendekatan kelompok Komunis dapat dipahami ketika semua anggota berdiskusi dalam pertemuan mereka. Mereka membicarakan pertemanan mereka yang bersifat subordinate terhadap Revolusi, yang melampaui batas-batas negara. Lessing, melalui Children of Violence, menggambarkan studi tentang nurani individu dalam hubungannya dengan kolektif.

Doris Lessing yang memiliki perhatian yang besar terhadap isu sosial, yang kemudian menjadi motif utama dalam hidupnya. Untuk mencapai hal ini, ia menjadikan menulis sebagai senjata dan pengetahuan sebagai kekuatannya. Meskipun Lessing tidak memiliki pendidikan yang lebih tinggi, ia terus membaca dan meningkatkan pengetahuannya tentang dunia. Lessing membaca bukan hanya untuk kesenangan pribadi, tetapi untuk mendapatkan pengetahuan yang mendukung tujuan-tujuannya. Ia terutama mempelajari sastra abad kesembilan belas dan karya-karya politik kontemporer yang membentuk kekhawatiran etikanya.

Dalam esainya "The Small Personal Voice," Lessing mengungkapkan preferensinya terhadap sastra, "Bagi saya, puncak tertinggi sastra adalah novel abad kesembilan belas, karya-karya Tolstoy, Stendhal, Dostoevsky, Balzac, Turgenev, Chekhov; karya-karya realis besar" (Lessing, The Small Personal Voice 4). Dalam novel Landlocked, Anton Hesse, suami kedua Martha, dan kekasihnya Thomas merupakan orang asing di negara Afrika. Lingkaran mereka hanya terdiri dari sekelompok kecil kolonialis kulit putih yang menentang rasisme. Mereka memiliki banyak impian dan gagasan untuk menyelamatkan penduduk asli, tetapi identitas mereka sebagai kolonialis kulit putih menghentikan rencana dan tindakan mereka untuk rakyat Afrika.

Seri novel Children of Violence memiliki tema kompleks yang menjelajahi psikosis budaya yang merupakan hasil langsung dari kolonisasi. Lessing berjuang untuk kebebasan orang-orang sepanjang seri novel tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Celine: "ia juga merindukan pembebasan orang-orang kulit hitam, yang tidak seperti orang-orang kulit putih lainnya, ia anggap sebagai manusia. Ia merasakan penindasan dan isolasi mereka dan membayangkan sebuah tanah di mana mereka akan bebas dan diperlakukan sebagai manusia yang setara" (Celine 59).

Martha, sepanjang hidupnya, memainkan peran sebagai seorang anak perempuan yang pemberontak, seorang istri, seorang ibu, dan juga seorang kawan Partai Komunis. Namun, dia baru benar-benar menyadari dirinya sendiri setelah dia pergi ke London dan mengikuti sesi psikiatri untuk memahami identitasnya. Pada akhirnya, Martha mengembangkan visi untuk bekerja bagi semua golongan masyarakat, tanpa memandang warna kulit, dan percaya pada dunia kemanusiaan. Keseluruhan perjalanan hidup Martha menggambarkan perjuangan dalam mencari identitas dan menemukan kedamaian dalam bingkai ketidakpastian dunia yang terus berubah.

Karya-karya Doris Lessing yang terkumpul dalam volume African Stories, yang terbit pertama kali pada tahun 1973 oleh Michael Joseph di Britania Raya. Volume pertama adalah This Was The Old Chief’s Country dan volume kedua adalah The Sun Between Their Feet. Kedua volume ini dikenal sebagai African Stories. Lessing, yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di Afrika, terkesan dengan keindahan alam benua yang gelap—landskapnya, serigala liar, babi, dan makhluk-makhluk lainnya memberikan kesan yang mendalam padanya sepanjang hidupnya. Pengalaman ini sangat terlihat dalam tulisannya tentang Afrika, yang dipenuhi dengan kesedihan yang dirasakannya untuk orang-orang Afrika dan kepahitan terhadap penjajah kulit putih yang menindas penduduk asli.

Doris Lessing adalah salah satu penulis yang berpengaruh pada abadnya. Ia termasuk dalam lingkaran penulis realis dan mengeksplorasi aspek-aspek sosial, moral, dan politik yang memengaruhi psikologi karakter-karakternya. Karyanya sering mengangkat tema-tema rasisme, feminisme, dan komunisme, yang menjadi kekhawatiran utamanya untuk bekerja demi keadilan dan kesetaraan manusia, tanpa memandang kasta, warna kulit, agama, atau jenis kelamin. Dalam sebagian besar cerita Afrikanya, Lessing menyoroti tema-tema alienasi, rasisme, ketidakadilan, dan penindasan.

Koleksi cerita pendek ini mencakup segala cerita tentang Afrika dan memuat kegembiraan, kesedihan, dan kompleksitas kehidupan Afrika yang digambarkan oleh Lessing. Ia memadukan semua karyanya yang luar biasa dalam koleksi-koleksi ini. Dalam perjalanan hidupnya, Lessing sadar akan rasisme di Afrika dan berjuang untuk keadilan orang-orang yang tertindas, khususnya penduduk asli. Visinya adalah untuk membawa perhatian dunia terhadap ketidakadilan yang terjadi, yang ia alami sendiri saat hidup di Afrika.

Lessing secara tajam menggambarkan bagaimana penjajah kulit putih telah merampas tanah-tanah dari penduduk asli Afrika dengan kekerasan dan ancaman, menyebabkan penderitaan dan pengasingan. Karya-karyanya mencerminkan penderitaan dan rasa bersalah yang ia rasakan terhadap perlakuan tidak adil ini. Ia memilih Southern Rhodesia sebagai latar belakang utama dalam tulisannya tentang Afrika karena di sanalah ia mengalami semua kekejaman yang dilakukan oleh penjajah kulit putih terhadap penduduk asli. Keseluruhan karya Lessing, termasuk African Stories, mengungkapkan pengalaman hidupnya yang autobiografis dan perjuangannya melawan ketidakadilan di Afrika.

Dalam cerita berjudul The Old Chief Mshlanga, penindasan oleh orang kulit putih terhadap orang Afrika terlihat dengan jelas. Lessing ingin membuat dunia sadar akan penindasan dan ketidakadilan yang dialami orang hanya karena satu ras manusia menganggap dirinya superior dibandingkan ras lainnya. Cerita dimulai dengan narator, seorang gadis kulit putih yang ayahnya, seperti orang Inggris lainnya, memiliki sebuah peternakan besar yang tidak digunakan. Orang Afrika diharuskan melayani penjajah kulit putih. Terdapat kesenjangan antara populasi orang Afrika dan kulit putih, bahkan anak-anak pun diajarkan tentang ketidakadilan ini. Narator menyebutnya sebagai, "Orang-orang kulit hitam di peternakan itu sejauh orang-orang Afrika hitam dan batu-batu. Mereka adalah massa hitam yang tak berbentuk, bergabung dan menipis dan bergerombol seperti katak, tanpa wajah, yang hanya ada untuk melayani, mengatakan 'Ya, Bapak,' mengambil uang mereka dan pergi" (Lessing 14).

Lessing berhasil mengangkat isu-isu hangat di Afrika pada masanya. Ia menulis untuk mengubah masyarakat. E. Celine menulis tentang hal ini dalam risetnya yang berjudul "Marxism in the novels of Doris Lessing", "Doris Lessing tampaknya telah mendengarkan Afrika seperti tidak ada penulis lain yang dapat lakukan. Afrika adalah tempat yang mengajarkan kebutuhan akan perubahan dalam masyarakat dan mendorongnya untuk mencari jawaban melalui politik kiri" (Celine 5).

Meskipun berasal dari penjajah kulit putih, cerita-cerita Lessing memfokuskan pada kehidupan orang-orang miskin yang tinggal di Afrika. Protagonisnya mewakili penjajah kulit putih di Afrika dan pandangan serta perilaku mereka terhadap orang Afrika asli.

Lessing selalu menjadi penulis yang mendefinisikan dirinya sendiri karena Afrika memberinya kesempatan untuk mengeksplorasi kemungkinan pertumbuhan spiritual untuk pembangunan sosial dan politik. Orang Afrika dieksploitasi oleh penjajah kulit putih selama periode yang panjang. Lessing ingin membawa perubahan, yang terlihat dalam karya-karya Afrikanya. Ia mengungkap rasisme dan ketidakadilan terhadap orang-orang asli di negara mereka sendiri. Dalam ceritanya, Lessing menggunakan narator yang menjadi korban ketidakadilan ini. Ia menggambarkan pengalaman pribadinya melalui cerita-cerita ini di tempat di mana ia pernah tinggal dan telah menjadi bagian penting dari hidupnya. Masyarakat Afrika dibagi menjadi berbagai ras hanya karena perbedaan warna kulit. Orang-orang Afrika ditolak hak-hak dasarnya hanya karena warna kulit mereka yang hitam dan bukan putih. Hukum-hukum orang kulit putih sangat keras bagi orang-orang Afrika. Jika kejahatan yang sama dilakukan oleh dua orang, satu kulit putih dan satu kulit hitam, hukumannya berbeda untuk keduanya. Pekerjaan tetap untuk orang Afrika adalah bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah orang kulit putih atau di tambang. Kekhawatiran Lessing adalah membuat dunia sadar akan ketidakadilan berdasarkan ras, wilayah, dan warna kulit.

Doris Lessing sebagai seorang penulis yang menggambarkan pengalaman pribadinya melalui karya-karyanya. Lessing memiliki niat untuk menyatukan berbagai aspek yang biasanya terpisah dalam kehidupan. Tulisannya mengangkat tema-tema seperti fiksi versus fakta, individu versus kolektif, dan stagnasi versus perubahan, dan sebagainya. Penulis adalah produk dari zamannya, dan masyarakat menjadi subjek utama dalam karyanya. Dengan menempatkan fiksi Lessing pada tanah yang lembut di mana keseimbangan antara manusia dan masyarakat hilang, ia menggambarkan individu dalam interaksi tak henti-hentinya dengan kekuatan sosial dan politik. Karya-karya seperti The Grass is Singing, The Golden Notebook, dan Children of Violence menggambarkan perjuangan epik protagonis melawan berbagai kelompok sampai mereka belajar menghadapi prasangka sempit mereka dan mengembangkan pandangan yang manusiawi. Melalui pengamatan yang cermat terhadap tulisannya, Lessing adalah seorang penulis dengan motif yang kuat. Fiksi-fiksinya dengan tajam mempertanyakan moralitas dan spiritualitas kita sebagai manusia.

Salah satu pengaruh penting dalam tulisan Lessing adalah kondisi mengerikan dan menyedihkan dari orang-orang di Afrika. Tempat ini adalah tempat di mana ia tumbuh dewasa. Ia melihat bagaimana populasi penduduk asli kulit hitam diperlakukan oleh penjajah kulit putih dan bagaimana mereka didiskriminasi dan dieksploitasi. Diskriminasi ini berdasarkan warna kulit membuatnya memiliki ketidaksukaan yang kuat terhadap rasisme dan kolonialisme. Hal ini membuatnya merasa simpati terhadap orang kulit hitam dan peduli dengan perbaikan keadaan untuk mereka. Tawhida Akhter membicarakan peran penulis, "Jadi penulis seperti mereka mengangkat isu-isu wanita kontemporer seperti hubungan antara pria dan wanita, penindasan terutama penindasan yang mereka hadapi di dalam dan di luar rumah. Penulis-penulis ini menjadikan sastra sebagai senjata mereka untuk melawan isu-isu ini dalam masyarakat mereka" (Akhter, 2233). Lessing melampaui kategori-kategori yang telah ditentukan seperti kelas, ras, ideologi, dan gender, untuk memahami totalitas proses mental manusia dan kesadaran kolektif.

Doris Lessing yang dalam novel-novel yang dipilihnya membahas tentang perjalanan diri, dari kehidupan di pedalaman ke kehidupan di pertanian, dari kota ke kota besar, dari masa remaja ke pernikahan dan kemudian menjadi seorang ibu. Para protagonisnya berjuang keras untuk menemukan identitas mereka sendiri. Semua protagonis seperti Mary, Anna, dan Martha memiliki pertanyaan tentang identitas mereka dan motif pencarian diri mereka. Meskipun mereka mungkin belum menemukan identitas mereka, namun setiap peristiwa dalam kehidupan mereka membantu mereka sedikit memahami diri mereka sendiri. Lessing memiliki posisi yang istimewa dalam sastra Inggris periode pasca-perang. Keunikan, cakupan luas, jumlah, dan beragamnya karya-karyanya memberikan posisi yang unik di antara penulis-penulis abad ke-20. Ia telah menulis lebih dari tiga puluh buku dalam berbagai genre mulai dari realisme sosial hingga fiksi luar angkasa, dari otobiografi hingga mistisisme dan filsafat. Karya sastranya menawarkan wawasan yang sangat tajam, meskipun kritis, terhadap situasi sosial, politik, dan budaya dunia pasca-1950-an. 'Seni sastra' Lessing memberikan wawasan yang dalam kepada pembaca tentang psikologi karakter dan perilaku emosional. Dalam tulisannya, ia menyajikan tiga tingkat eksplorasi utama. Pertama, tingkat "individu" - analisis diri karakter individu. Kedua, tingkat "antarpersonal" - hubungan antara dua individu yang berbeda, dan yang terakhir, tingkat "hubungan sosial" yang memfokuskan pada sikap protagonis terhadap konvensi sosial secara keseluruhan. Kebebasan adalah salah satu elemen yang paling signifikan dalam tulisannya.

B. Kesimpulan

Chapter 6 membahas tentang sastra dan budaya Afrika dengan referensi khusus pada karya-karya Doris Lessing. Penulisnya, Tawhida Akhter dan M. H. Mohamed Rafiq, menguraikan hubungan antara sastra Afrika dan budayanya dengan fokus pada karya-karya Doris Lessing. Dalam kesimpulannya, penulis mungkin menyimpulkan bahwa karya-karya Lessing merupakan cerminan dari kompleksitas budaya dan sosial Afrika, serta menyelidiki tema-tema seperti identitas, politik, dan perubahan sosial dalam konteks Afrika. Penulis juga mungkin menyoroti kontribusi Lessing terhadap pemahaman dunia sastra Afrika dan pengaruhnya terhadap penulisan dan pembacaan karya sastra di Afrika.

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

Tulisan ini memberikan fokus yang jelas pada hubungan antara sastra Afrika dan budayanya dengan mengacu khusus pada karya-karya Doris Lessing. Dengan demikian, membantu pembaca untuk lebih mendalam memahami kontribusi Lessing dalam konteks budaya dan sosial Afrika.

Penulis, Tawhida Akhter dan M. H. Mohamed Rafiq, melakukan analisis yang komprehensif terhadap karya-karya Lessing, termasuk tema-tema seperti identitas, politik, dan perubahan sosial dalam konteks Afrika. Hal ini memberikan wawasan yang mendalam tentang kompleksitas budaya dan sosial di Afrika.

Kesimpulan yang mungkin disampaikan oleh penulis, bahwa karya-karya Lessing merupakan cerminan dari kompleksitas budaya dan sosial Afrika, merupakan kesimpulan yang mendasar dan penting. Hal ini memungkinkan pembaca untuk menarik hubungan yang lebih dalam antara karya sastra dengan realitas sosial dan budaya di Afrika.

Tulisan ini memberikan kontribusi yang berarti dalam memahami hubungan antara sastra dan budaya Afrika, dengan fokus yang khusus dan analisis yang mendalam terhadap karya-karya Doris Lessing.

2. Kritik-Kekurangan

            Tulisan ini tampaknya terbatas pada karya-karya Doris Lessing dalam konteks sastra dan budaya Afrika. Hal ini dapat menjadi keterbatasan karena sastra Afrika memiliki beragam penulis dan karya yang juga memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman budaya dan sosial di Afrika.

Meskipun tulisan menguraikan hubungan antara karya-karya Lessing dengan budaya dan sosial Afrika, namun belum jelas sejauh mana analisis tersebut dilakukan dengan kedalaman yang memadai. Misalnya, apakah ada analisis spesifik terhadap elemen-elemen budaya Afrika yang tercermin dalam karya-karya Lessing atau bagaimana pengaruh Lessing terhadap perkembangan sastra Afrika secara lebih mendalam.

Daftar Pustaka

Akhter, Tawhida. M. H. Mohamed Rafiq. 2022. Culture and Literature (Chapter 6, African Literature And Culture with  Special Reference to Doris Lessing’s Works). Newcastle Upon Tyne, Inggris. Cambridge Scholars Publishing.

 

 

A. Ringkasan

            Budaya adalah bagian dari ethos, prinsip, dan kepercayaan yang diterima oleh suatu komunitas tertentu dan bersifat tidak bergerak serta mengalir melintasi generasi-generasi. Budaya mendefinisikan karakteristik saat ini dari sebuah kelompok dengan latar belakang masa lalu mereka. Ini termasuk keyakinan sosial, gaya hidup, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan. Budaya terus bergerak maju selama ribuan zaman. Bahkan tradisi dari kelompok tertentu menyampaikan masa lalu sejarah kepada generasi saat ini. Demikian pula, agama memperkuat kelompok dengan memberikan petunjuk jujur tentang kepercayaan dan ketahanan dalam hidup. Keyakinan agama bertujuan untuk membawa disiplin dan nada spiritualitas ke dalam kehidupan seseorang. Ini juga mengajarkan peran dan tanggung jawab pernikahan dalam hidup seseorang. Hubungan adalah kelompok orang yang penuh semangat yang membantu dalam mempertahankan nilai-nilai. Meskipun pertikaian keluarga dapat menghancurkan hubungan, ini memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang untuk membantu memahami budaya dan tradisi kelompok tersebut.

Manusia terbiasa mengikuti semua aturan dan peraturan masyarakat. Masyarakat terdiri dari berbagai macam adat istiadat. Budaya adalah perpaduan keyakinan, tradisi, nilai, perilaku, dll., yang membantu orang untuk mendefinisikan serta merepresentasikan identitas mereka di hadapan orang lain. Sejak zaman purba, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan misteri penciptaan. Oleh karena itu, manusia telah menciptakan bangsa khayalan yang memiliki kekuatan supernatural, yang disebut dewa dan dewi. Karena orang-orang dari bangsa ini dianggap memiliki kekuatan lebih besar daripada manusia, oleh karena itu mereka disalahkan atas segala masalah. Dengan demikian, penampilan paling primitif dan fundamental dari agama telah berkembang. Informasi yang jauh lebih sedikit tentang bentuk awal agama tersedia bagi kita karena, seiring berjalannya waktu, bentuk-bentuk awal tersebut telah berubah menjadi yang baru yang kita lihat saat ini.

Agama dalam bentuknya yang lebih sederhana dapat dianggap sebagai sistem yang menyatukan orang dengan seperangkat nilai dan praktik suci dari suatu komunitas tertentu untuk mencapai keselamatan. Ada berbagai agama di dunia termasuk Hinduisme, Islam, Kekristenan, Sikhisme, Buddha, dan Yudaisme yang tujuan utamanya adalah untuk mencapai keselamatan. Agama tidak hanya mengendalikan kehidupan spiritual tetapi juga kehidupan sosial para pengikutnya, membentuk dan mempengaruhi kesadaran untuk mengambil keputusan yang tepat dalam hubungan sosial. Agama adalah salah satu subjek yang paling kontroversial dan berpengaruh di seluruh dunia. Agama memiliki dampak inti pada kehidupan individu. Efek agama memainkan peran penting dan memiliki dampak yang serius pada populasi dunia. Ini tidak hanya mengontrol kehidupan pribadi tetapi juga kehidupan profesional. Dalam struktur sosial, sebagian besar hukum dan adat istiadat dibuat sesuai dengan ajaran agama. Dari kehidupan keluarga hingga kehidupan sosial, dari doa-doa harian hingga ritual pernikahan, sebagian besar konvensi didasarkan pada agama. Bahkan kehidupan yang mapan dari pasangan setelah pernikahan mereka adalah hasil dari ajaran agama moral yang membantu kita mencegah efek samping dari perceraian dan hubungan di luar pernikahan. Masyarakat saat ini lebih santai terhadap agama, etika, moral, dan gaya hidup. Jika kita mundur beberapa tahun, tata sosial yang terlihat bertindak sesuai dengan konvensi agama ortodoks di mana manusia adalah pusat keluarga dan wanita ada di sana untuk melayani rumah tangga. Tetapi saat ini, tata sosial telah menjadi lebih liberal. Dengan demikian, seiring berjalannya waktu, keyakinan dan hukum agama juga berkembang dan dimodernisasi.

Isaac Bashevis Singer adalah seorang penulis Yahudi Amerika yang lahir pada tahun 1902 di sebuah desa dekat Warsawa, Polandia. Tanggal kelahirannya yang tepat masih tidak pasti, tetapi tanggal yang paling mungkin adalah 21 November 1902, tanggal yang diberikan oleh Singer kepada biografer resminya, Paul Kresh, dan sekretarisnya, Dvorah Telushkin. Karya fiksi awal Singer bukanlah novel-novel besar tetapi cerita pendek dan novela. Pada tahun 1935, dia menulis bukunya yang pertama, Satan in Goray. Dia telah menulis cerita pendek yang luar biasa yang tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris, mulai dari Gimpel the Fool (diterjemahkan pada tahun 1953), hingga karya terbarunya, A Crown of Feathers (1973), dengan masterpiece yang mencolok di antaranya, seperti The Spinoza of Market Street (1961), atau A Friend of Kafka (1970). Dia juga menulis The Magician of Lublin, pada tahun 1961. Singer mempersonifikasi hasrat dan kegilaan sebagai setan dan hantu, termasuk segala jenis kekuatan supernatural dari perbendaharaan imajinasi populer Yahudi. The Family Moskat adalah karyanya yang pertama, ditulis pada tahun 1950. Salah satu novel terbesar yang dipuji dari Singer adalah Enemies: A Love Story (1972), yang mengungkap kisah seorang korban Holocaust yang mengarahkan keinginan pribadinya, hubungan yang sulit, dan kehilangan keyakinan. Dia juga menulis memoar dan buku anak-anak bersama dengan novel-novel yang berlatar belakang abad ke-20, seperti The Penitent (1974) dan Shosha (1978). Pada tahun yang sama dengan penulisan Shosha, Singer juga memenangkan Hadiah Nobel dalam Sastra. Setelah menerima Hadiah Nobel, ketenaran Singer berkembang tak terhitung di antara penulis-penulis dunia. Dengan demikian, melalui karyanya, Singer melengkapi harta karun sastra hingga kematiannya pada 24 Juli 1991 di Surfside, Florida.

Tulisan ini membahas karakter Jacob dalam novel The Slave karya Isaac Bashevis Singer sebagai seorang pengikut agama yang tekun. Sebagai tokoh sentral dalam novel, Jacob menjalani kehidupan sebagai budak di desa tempat tinggal Wanda. Sebelumnya, dia bekerja sebagai guru dan memiliki banyak pengetahuan tentang agamanya dibandingkan dengan penduduk setempat lainnya. Namun, seringkali kepercayaan berlebihan membuatnya terlihat seperti orang yang sangat takhayul. Oleh karena itu, dia mencoba untuk melarikan diri dari cintanya yang batiniah terhadap Wanda. Jacob adalah seorang pengikut setia Yudaisme. Dia sering berusaha untuk mengikuti semua ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya. Jacob dengan sadar mengikuti semua ritual keagamaan dalam tindakan sehari-harinya. "Sebelum memerah sapi, Jacob mengucapkan doa pembukaan (4)". Meskipun sebagai budak, sangat sulit untuk mengikuti semua praktik tersebut, dia mencoba untuk mengikutinya dengan semangat keagamaan yang luar biasa. "Dia mengulurkan tangannya tanpa melihat, meraih kendi air. Tiga kali dia mencuci tangan, tangan kiri terlebih dahulu dan kemudian tangan kanan, berganti sesuai dengan hukum. Dia telah berbisik bahkan sebelum mencuci. 'Aku bersyukur', sebuah doa yang tidak menyebut nama Tuhan... (117)". Jacob menempatkan etika keagamaan di posisi sentral dan dalam segala kondisi dia mengikuti agama, meskipun sebagai seorang budak.

Jacob mengalami beberapa kesulitan saat melakukan hukum-hukum dan observasi spiritual. Karena kurangnya praktik, dia tidak mampu mengingat semua panggilan Mishnah (bagian pertama dari Taurat) dan beberapa halaman Gemara (bagian lain dari Talmud) serta bagian-bagian lain dari Alkitab. Namun, melalui pengulangan yang berkelanjutan, Jacob mencoba untuk mengingat panggilan-panggilan tersebut, karena dia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga identitasnya utuh. Pada saat itu, sunat adalah satu-satunya tanda identitas Yahudinya karena adanya tekanan dari luar. "Dia melarikan diri dari para pembunuh dan perampok Polandia telah menyeretnya ke suatu tempat di pegunungan dan telah menjualnya sebagai budak kepada Jan Bzik. Dia tinggal di sini selama empat tahun sekarang dan tidak tahu apakah istrinya dan anak-anaknya masih hidup. Dia tanpa selendang doa dan filakteri, pakaian berjumbai atau kitab suci. Sunat adalah satu-satunya tanda di tubuhnya bahwa dia seorang Yahudi. Tapi syukur kepada Tuhan, dia tahu doa-doa, beberapa bab Mishnah, beberapa halaman Gemara, sejumlah Mazmur, serta kutipan-kutipan dari berbagai bagian Alkitab. Dia akan terbangun di tengah malam dengan baris-baris dari Gemara yang tidak menyadari bahwa dia mengetahuinya berlari melalui kepalanya. Memori-nya bermain petak umpet dengannya... Sulit untuk percaya bahwa melodi-melodi seperti itu datang dari orang-orang yang makan anjing, kucing, tikus ladang, dan menikmati segala macam kekejian. Para petani di sini bahkan belum mencapai tingkat orang Kristen. Mereka masih mengikuti kebiasaan-kebiasaan para penyembah berhala kuno (5)".

Kesetiaan Jacob terhadap keyakinan Yahudi sangat kuat, dan karena itu, dia siap untuk mengorbankan cintanya terhadap Wanda. Meskipun menghabiskan hidupnya sebagai budak, Jacob tidak pernah ragu untuk mengikuti keyakinan agamanya. Dalam keyakinan Yahudi, seseorang tidak diharapkan untuk bekerja pada hari Sabat (hari libur tertentu, yaitu Sabtu). Meskipun sulit baginya untuk mengikuti ini, dia menyeberangi semua rintangan dengan menambahkan sebulan doa sebagai kompensasi. Jacob tahu bahwa semua ini direncanakan oleh Setan; sepanjang hari dia merindukannya dan tidak bisa mengatasi kerinduannya. Segera setelah dia terbangun, dia akan mulai menghitung jam-jam sebelum dia datang kepadanya. Seringkali dia akan berjalan ke jam matahari yang telah dia buat dari batu untuk melihat seberapa jauh bayangan telah bergerak... Bagaimana dia bisa menjaga hatinya murni ketika dia tidak memiliki filakteri untuk dipakai dan tidak ada pakaian berjumbai untuk dikenakan? Karena tidak memiliki kalender, dia bahkan tidak dapat mengamati hari-hari suci dengan baik. Seperti Orang-Orang Kuno, dia menghitung awal bulan berdasarkan munculnya bulan baru, dan pada akhir tahun keempatnya, dia memperbaiki perhitungannya dengan menambahkan satu bulan ekstra. Tetapi, meskipun semua usaha ini, dia menyadari bahwa dia mungkin telah melakukan beberapa kesalahan dalam perhitungannya (9).

Keseriusan, iman, dan ketekunan Jacob terhadap agamanya membuatnya setia, tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada mantan istrinya. Dia adalah pengikut setia etika Yahudi yang mencegahnya untuk terlibat dengan seorang non-Yahudi, itulah sebabnya dia berkali-kali menolak cinta dari Wanda. "Taurat mengatakan bahwa seorang pria tidak boleh memaksa istrinya," kata Jacob. "Dia harus diakali olehnya sampai dia bersedia." "Di mana Taurat? Di Josefov?" Wanda "Taurat ada di mana-mana." "Bagaimana bisa ada di mana-mana?" "Taurat mengatakan bagaimana seorang pria seharusnya berperilaku." Wanda diam. "Itu untuk kota. Di sini pria-pria adalah banteng liar. Bersumpahlah padaku bahwa kamu tidak akan pernah mengungkapkan apa yang kukatakan padamu." "Kepada siapa aku akan mengatakannya?" (15).

Selain perbudakan terhadap agama, Jacob juga terperbudak pada cinta Wanda serta keinginan-keinginan naluriah lainnya. Berkali-kali Jacob mencoba menghindari Wanda serta cintanya, oleh karena itu ketika orang-orang dari komunitasnya datang untuk menebusnya, ia pergi tanpa memberi tahu dia. Untuk beradaptasi dengan kehidupan normal, Jacob berkerjasama dengan komunitasnya setelah sampai di tempatnya. Saat itu, ia bahkan setuju untuk menikahi seorang wanita dari komunitasnya sendiri. Tetapi perilaku wanita tersebut mengingatkan Jacob tentang pentingnya Wanda, dan akhirnya ia kembali kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan Wanda seringkali membutuhkan jawaban yang tidak bisa ditemukan di dunia ini. Ia bertanya: "Jika pembunuhan adalah kejahatan, mengapa Tuhan mengizinkan orang Israel berperang dan bahkan membunuh orang tua dan anak-anak kecil?" Jika bangsa-bangsa yang jauh dari orang Yahudi, seperti bangsanya sendiri, tidak tahu tentang Taurat, bagaimana mereka bisa disalahkan karena menjadi penyembah berhala? Jika Bapa Abraham adalah seorang santo, mengapa ia mengusir Hagar dan anaknya Ishmael ke padang gurun dengan sekantong air? Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa yang baik menderita dan yang jahat berhasil. Jacob berkali-kali mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bisa memecahkan semua teka-teki dunia, tetapi Sarah terus bersikeras, "Kau tahu segalanya." (117)

Setelah pernikahan mereka, baik Jacob maupun Wanda menjadi saling mendukung satu sama lain. Wanda tidak menyadari hukum-hukum Yudaisme, oleh karena itu Jacob membantunya beradaptasi dengan lingkungan baru. Sebagai suami, Jacob liberal, membantu, serta kooperatif. Namun, ia sangat konservatif terhadap agamanya, oleh karena itu ia ingin Wanda lebih fokus pada etika Yahudi, dan berulang kali menegakkan keyakinan Yahudi yang ketat padanya.

Jika kita melihat hari-hari sebelumnya di mana Jacob menjalani kehidupannya sebagai budak di desa Wanda, pada saat itu Wanda, tanpa pertanyaan apapun, hanya membantu pelayannya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dikatakan bahwa pada saat itu, satu-satunya bukti Jacob sebagai seorang Yahudi adalah sunatnya yang tidak boleh diungkapkan di depan wanita lain, oleh karena itu, hanya kepercayaan Wanda yang membuatnya bekerja dengan arah yang positif bagi Jacob, tetapi ketika kesempatan datang bagi Jacob untuk membuktikannya, ia bertindak berbeda.

Jacob memberi tahu Sarah tentang kehidupan moral, meramaikan teksnya dengan sedikit perumpamaan. Dia berbicara tentang seberapa besar cintanya padanya. Mereka sering mengingat musim panas yang pernah dia jalani di lumbung ketika dia membawa makanan kepadanya. Sekarang hari-hari itu sudah jauh dan sebayang seperti mimpi. Sarah merasa sulit untuk percaya bahwa desa tersebut masih ada dan bahwa Basha dan Antek dan mungkin ibunya masih tinggal di sana. Menurut hukum, kata Jacob, dia tidak lagi menjadi anggota keluarganya. Seorang konversi seperti bayi yang baru lahir dan memiliki jiwa yang segar. Sarah seperti Ibu Hawa yang terbentuk dari rusuk Adam; suaminya adalah satu-satunya kerabatnya. “Tapi,” berdebat Sarah, “ayahku masih ayahku,” dan ia mulai menangis tentang Jan Bzik yang telah memiliki kehidupan yang begitu sulit dan sekarang terbaring terkubur di antara penyembah berhala. “Kau harus membawanya ke Surga,” kata Sarah kepada Jacob. “Aku tidak akan pergi tanpanya.”

Jacob, seorang pengikut agama yang taat saat menjalani hari-harinya sebagai budak, juga berusaha sebaik mungkin untuk memperhatikan etika keagamaan. Bagi Jacob, agamanya lebih penting daripada kehidupan keluarga maupun kebutuhan naluriahnya yang lain. Ini adalah alasan utama yang membuat Wanda kehilangan cinta sejati dari Jacob. Karakter Jacob digambarkan sebagai orang yang berpengetahuan luas yang memiliki pemahaman mendalam tentang etika agama Yahudi. Namun, tujuan utama agama bukanlah untuk mendorong pengikutnya menuju kepercayaan takhayul. Tujuan dari keyakinan agama tradisional adalah untuk membawa orang-orang ke jalur yang benar agar sistem sosial dapat mengikuti jalur yang sama. Tetapi di era sekarang, para penguasa agama mendissuasi rakyat jelata demi kepentingan mereka sendiri. Sejak kecil, individu diajarkan untuk memiliki devosi yang benar terhadap keyakinan agama. Hanya agama yang membantu kita membangun persatuan dalam komunitas. Ini juga mencerminkan warisan budaya yang kaya serta harmoni sosial yang sehat dan kesetiaan, kehormatan, dan dedikasi komunitas. Namun, ketaatan buta terhadap agama berubah menjadi takhayul dan tidak peduli seberapa berpengetahuan orang tersebut, sulit untuk melarikan diri dari kepercayaan semacam itu. Kelemahan manusia atau kepercayaan berlebihan terhadap agama mengubah individu dari seorang budak agama menjadi seorang budak takhayul. Karakteristik serupa juga tercermin oleh Jacob, yang membuktikan bahwa ia bukan hanya seorang budak agama tetapi juga seorang budak takhayul. Sebelum kelahiran Sarah ketika Lady Pilitzky mengajukan pertanyaan kepada Jacob tentang identitas asli Sarah dan mengancam nyawanya, pada saat itu merasa takut akan bahaya yang akan datang, Jacob menerapkan berbagai aktivitas takhayul untuk melindungi Wanda dan bayi yang akan datang mereka.

Sarah, setelah pindah kembali ke Pilitz dari perkebunan, selain persiapan liburan, bersiap untuk melahirkan. Jacob telah meletakkan Kitab Penciptaan dan sebilah pisau di bawah bantalnya untuk mencegah setan-setan jahat yang mengitari wanita yang sedang melahirkan dan melukai bayi yang baru lahir... Jacob juga telah mendapatkan talisman dari penulis yang memiliki kekuatan untuk menyingkirkan Ygereth, ratu setan...

Jacob di sini adalah perwakilan dari perbudakan agama dan takhayul yang mencerminkan representasi mikrokosmis dari makrokosmis. Seperti Jacob, orang Yahudi lainnya dari masyarakat Pilitz juga menjadi korban takhayul. Itulah sebabnya, saat kelahiran Sarah, kata-kata awalnya (pada saat itu dia berteriak karena kesedihan) mengarahkan pikiran masyarakat kepada pemikiran takhayul. Mereka pertama-tama menganggapnya sebagai mukjizat yang kemudian berubah menjadi gagasan bahwa ada dybbuk (yaitu, roh jahat yang masuk ke dalam tubuh yang diyakini sebagai jiwa yang terpisah dari orang mati) yang masuk ke dalam tubuh Sarah.

Ketika gelap tiba dan Sarah terus berteriak, para wanita mulai bertengkar. Haruskah dia diberi susu anjing betina yang dicampur madu? ... Ini adalah pertanda buruk. Bidan berkata: “Aku takut tidak akan ada roti dari oven ini.” “Kita setidaknya harus mencoba menyelamatkan bayinya.” Para wanita berbicara dengan keras, percaya bahwa tidak perlu menjaga kata-kata mereka. “Apa yang akan janda lakukan dengan bayi yang baru lahir?” “Oh, dia akan menemukan seorang wanita untuk membantunya.” “Bayangkan, Tuhan sudah menetap

Jacob sebagai seorang Yahudi ortodoks yang memberikan lebih banyak perhatian pada keyakinan agamanya daripada hal lainnya. Selama hidupnya, Jacob berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti etika agamanya dengan tulus. Oleh karena itu, setelah pernikahan mereka, Jacob tidak ingin melihat perilaku sembarangan dari Wanda dalam mengikuti etika Yahudi. Ia ingin Wanda mengikuti semua keyakinan Yahudi dengan penuh keinginan dan berkali-kali membatasi Wanda dengan memberlakukan hukum Yahudi. Sebagai seorang Kristen lahir, Wanda tidak menyadari hukum-hukum Yahudi. Sebelumnya, Wanda menikmati kehidupan yang lebih liberal, oleh karena itu ia kesulitan mengikuti ritual Yahudi dengan sehalus Jacob. Namun, ia lebih fleksibel, terbuka, dan berfokus dengan sedikit ketakutan, oleh karena itu ia berusaha sebaik mungkin untuk bekerja sama dengan sentimen religius Jacob. Berbeda dengan Jacob, ia adalah budak dari perasaan batin dan cintanya, oleh karena itu ia dengan senang hati menerima semua perubahan, termasuk agamanya dan identitasnya sendiri. Ia sangat dinamis dan terbuka dalam mengadopsi agama Jacob, sedangkan yang terakhir selalu konservatif terhadap keyakinan agamanya sendiri dan masuk ke dalam kategori sentimen religius yang tidak matang.

Pada bagian ini, novel tersebut menggambarkan dinamika hubungan antara master dan budak, serta perbedaan keyakinan agama yang memengaruhi hubungan antara Jacob dan Wanda. Dengan mengambil sudut pandang yang mengkritisi kesalehan agama yang kaku dan menyoroti kompleksitas hubungan antara master dan budak, novel ini menggambarkan perjuangan keduanya dalam mengatasi perbedaan keyakinan dan norma sosial yang membatasi kebebasan Wanda sebagai seorang master. Selain itu, novel ini juga menunjukkan bagaimana perasaan cinta dapat melampaui batasan-batasan sosial dan agama, meskipun itu tidak selalu diterima oleh masyarakat sekitar.

Bagian ini menampilkan momen emosional yang penting dalam hubungan antara Jacob dan Wanda. Saat Jacob naik ke bukit pengamatannya, dia melihat Wanda mendekatinya sambil membawa dua ember dan keranjang makanan. Air mata mengalir di matanya karena ada seseorang yang mengingatnya dan peduli padanya. Dia berdoa agar badai menahan diri sampai Wanda mencapainya.

Potret ini menggambarkan kepedulian dan perhatian yang dalam antara Jacob dan Wanda. Meskipun mereka berada dalam hubungan master-budak yang rumit, momen ini menunjukkan bahwa ada ikatan emosional yang kuat antara keduanya. Jacob merasakan kehadiran dan perhatian Wanda dengan sangat mendalam, dan ini menjadi titik penting dalam pembangunan hubungan mereka yang penuh kasih sayang.

Perjuangan Jacob dan Wanda dalam melawan norma-norma sosial untuk cinta mereka. Jacob, sebagai seorang budak agama, kurang memiliki keberanian untuk melanggar hukum sosial, sehingga tanpa memberitahukan Wanda, ia kembali ke tempatnya sendiri. Namun, cinta Wanda dan perbudakan Jacob terhadap dorongan naluriah serta keyakinan bahwa tidak ada yang cocok bagi Jacob selain Wanda, membuatnya kembali. Setelah pernikahan mereka, Jacob mendapatkan posisi kontrol sebagai tuan. Seperti Wanda, Jacob sebagai tuan dan suami juga berusaha keras untuk memberikan kenyamanan bagi Wanda.

Ketika Jacob sendirian dengan Sarah di malam hari, dia menangis dan mengulangi apa yang dikatakan orang Yahudi. “Kamu tidak boleh mengulangi hal-hal seperti itu,” Jacob memarahinya. “Itu adalah fitnah. Itu dosa sebesar makan daging babi.” ... Jacob, membuka Pentateuk, menerjemahkan teksnya dan memberitahunya bagaimana setiap dosa telah diinterpretasikan oleh Gemara. Beberapa kali dia berjalan ke pintu untuk memastikan tidak ada yang mendengarkan atau melihat melalui lubang kunci.

Jacob sangat aktif dalam menjaga Wanda. Jacob juga sangat sadar bahwa saat identitas Sarah terungkap, mereka akan menghadapi kehancuran tertentu. Oleh karena itu, dia berusaha sebaik mungkin untuk mengambil setiap tindakan pencegahan. Meskipun dia terus berusaha melindungi Wanda dari orang-orang Yahudi, dia gagal. Itu adalah takdir atau keadaan yang memainkan peran penting dalam mengungkap identitas Jacob dan Sarah. Tidak peduli seberapa kuat, bijaksana, dan protektif seseorang, mereka hampir tidak memiliki peluang untuk melarikan diri dari serangan paksa keadaan.

Jacob juga menjadi budak keadaan dan ditinggalkan sebagai tuan yang tak berdaya yang gagal melindungi budak atau istrinya dari orang-orang komunitas Yahudi. Pada saat melahirkan, kondisi Sarah sangat kritis. Itu sebabnya, menganggap kematian Sarah pasti, para wanita tetangga membuat komentar pedas tentang pernikahan kedua Jacob yang membuat Sarah gelisah, memaksa dia untuk berbicara keras. Pada saat itu, untuk mengontrol situasi dan menyembunyikan segalanya, Jacob berkali-kali meminta Wanda untuk diam, sehingga dia mencoba menyatu dengan keyakinan takhayul penduduk desa bahwa roh lain telah masuk ke dalam Sarah. Tetapi kehadiran Pilitzky serta kesombongan Sarah membuatnya gagal. Dengan liciknya, Pilitzky mengungkap identitas Sarah, sehingga mereka ditolak oleh komunitas.

Kehidupan seorang budak selalu dikendalikan oleh tuannya di mana ia hampir tidak memiliki kebebasan untuk berpikir atau bertindak dengan benar. Budak selalu menjadi milik orang lain. Dalam kehidupan seorang budak, kebebasan ada dalam keberadaannya lebih sedikit. Seorang budak selalu dipaksa untuk berperilaku sesuai dengan tuannya, sehingga menjadi pelaku pasif dari hidupnya. Jacob, budak representatif agama, takhayul, dan masyarakat dalam novel The Slave juga bertindak secara pasif pada saat kelahiran Wanda. Konsep 'Learned Helplessness' menunjukkan bahwa jika seseorang terus-menerus dipaksa untuk menanggung rangsangan, dia menjadi reaktif pasif terhadap situasi tersebut. Demikian pula, kehidupan seorang budak terlalu menyedihkan dan pasif di mana mereka harus menanggung semua jenis trauma dan kekejaman tanpa mengucapkan satu kalimat pun. Dalam kondisi ini, mereka juga menjadi tidak peduli tentang kehidupan mereka sendiri dan hanya percaya pada adaptabilitas.

Kehidupan yang terperangkap dari Jacob berjalan dalam rute yang sama, di mana ia kehilangan segala harapan untuk melawan kembali terhadap kekuatan eksternal. Setelah pernikahan mereka, Jacob dan Wanda pergi ke Pilitz. Pada saat itu, menyembunyikan identitas Wanda, untuk melindunginya dari masyarakat Yahudi, dia diberi identitas baru sebagai Sarah tuli. Jacob sangat sadar bahwa ketika identitas Sarah terungkap bagaimana konsekuensi yang sangat keras bisa terjadi. Tetapi meskipun memiliki pengetahuan tentang semua faktor, perilakunya sangat pasif. Setelah bertemu istri Pilitzky, dia juga mendapat ide bahwa orang-orang mulai meragukan Sarah serta identitasnya. Meskipun dia takut, dia hampir tidak mengambil langkah apa pun untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Pada saat itu, untuk menyelamatkan nyawa istri dan anak yang akan datang, Jacob bisa saja meninggalkan tempat itu atau mengambil tindakan pencegahan lain, tetapi dia bertindak sangat pasif yang akhirnya membuat Wanda kehilangan nyawanya. Semua kepasifan ini terdapat dalam karakter Jacob karena kehidupan masa lalunya sebagai budak di mana ia hanya mengalami kesulitan dan siksaan. Sebagai seorang budak, dia seharusnya mengikuti setiap perintah tanpa pertanyaan apa pun.

Karakter Jacob memiliki kesamaan dengan sisi "Stabil atau Tidak Stabil dan Global atau Spesifik" dari konsep keterbantuan yang dipelajari. Frasa stabil atau tidak stabil mengacu pada pertimbangan bahwa peristiwa disebabkan oleh faktor yang tidak berubah, sehingga seseorang tidak pernah mencoba untuk mengubahnya. Global atau spesifik mengacu pada keyakinan bahwa jika peristiwa disebabkan oleh sejumlah besar faktor, seseorang dapat melakukan sedikit untuk mengubah hal-hal tersebut. Jacob, budak agama, setelah mendengar tentang ancaman yang akan datang terhadap kehidupan Wanda dari Lady Pilitzky, menjadi lumpuh secara fisik. Pada saat itu, ketakutannya tentang pengungkapan identitas mereka yang sebenarnya dan akibatnya membuatnya lebih pasif, sehingga dia menjadi korban penyebab ketiga, yaitu Global dan Spesifik. Dia berpikir bahwa Wanda berada dalam bahaya, bukan karena satu faktor, tetapi beberapa faktor, yaitu masyarakat dan hukumnya, agama, musim dingin, serta kehamilannya. Semua faktor ini, yaitu masyarakat, agama, alam, dan lingkungan berada di luar kendali seseorang. Jacob kurang mampu menyelamatkannya dari semua faktor tersebut, oleh karena itu ia merasa seolah-olah ia terperangkap. Hanya Allah yang mengendalikan faktor-faktor seperti itu dan, menjadi boneka dari tangan-Nya, seseorang hanya harus bertindak sesuai dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, sebagai budak atau korban dari penyebab internal atau eksternal, Jacob juga mencerminkan kepasifan dalam sifatnya.

Bagian ini menggambarkan bagaimana faktor-faktor tertentu membawa kepasifan pada karakter Jacob, terutama dalam konteks kelahiran yang rumit dari Wanda. Selama kelahiran, Wanda menghadapi banyak kesulitan. Para wanita tetangga juga khawatir tentangnya. Pada saat itu semua orang bingung tentang siapa yang akan diselamatkan, anak atau ibunya. Beberapa dari mereka juga membahas masa depan Jacob serta pernikahan keduanya. “'Kita setidaknya harus mencoba menyelamatkan bayinya.' Para wanita berbicara dengan keras, percaya bahwa tidak perlu menjaga kata-kata mereka. 'Apa yang akan dilakukan duda dengan bayi yang baru lahir?' 'Oh, dia akan menemukan wanita untuk membantu.'” (166) Pada saat itu Sarah mendengarkan semua percakapan para wanita tetangga. Dia berpura-pura tuli dan bisu, sehingga berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak. Kelahiran yang rumit, serta diskusi dari wanita-wanita lain, membuat Sarah gagal mengontrol emosinya. Sakit fisik dan emosional Sarah membuatnya meledak, dengan berteriak.

Jacob, yang pergi ke rumah beadle untuk mengambil matzah Paskah lebih banyak karena potongan yang digunakan jatuh dari bibir Sarah dan bercampur dengan darah, tidak ada di tempat. Semua orang di ruangan mulai berteriak sekaligus dan ada keramaian yang terdengar di jalanan. Dari semua arah orang datang berlari ke rumah Jacob, di antaranya adalah wanita-wanita persiapan pemakaman yang mengira Sarah sudah meninggal dan siap untuk menempatkan jenazah di lantai dan menyalakan lilin. Segera saja ada kerumunan di ruangan sehingga tempat tidur tempat Sarah berbaring hampir rusak. Terkejut, dia mulai berteriak dalam bahasa Polandia aslinya: “Apa yang kalian inginkan dari saya? Keluar dari sini. Kalian berpura-pura baik, tapi kalian semua busuk. Kalian ingin mengubur saya dan menikahkan Jacob dengan salah satu dari kalian, tapi saya masih hidup. Saya masih hidup dan bayi saya juga. Kalian terlalu cepat bersukacita, tetangga. Jika Tuhan ingin saya mati, Dia tidak akan membuat saya melewati apa yang saya alami.” Suara Polandia Sarah bukan milik seorang Yahudi tetapi milik seorang non-Yahudi dan wanita-wanita itu pucat. “Itu adalah dybbuk yang berbicara.” “Ada dybbuk di dalam Sarah,” suara yang lain berkata ke luar malam (166).

Mendengarkan suara Sarah, masyarakat menganggapnya sebagai sebuah keajaiban. Tetapi kemudian, mereka menganggap bahwa sejenis dybbuk telah masuk ke dalam tubuh Sarah yang membuat mereka takut. Tetapi kebenaran tentang identitas Sarah terungkap oleh Pilitzky (penguasa Pilitz) yang membuktikan bahwa Sarah adalah seorang non-Yahudi. Melihat kekuatan situasi, Jacob hanya menyerahkan dirinya padanya. Jacob bahkan mencoba menenangkan Wanda, tetapi segalanya di luar kendalinya. Akibatnya, penyebab eksternal menguasainya dan membuatnya menjadi korban keterbantuan yang dipelajari.

Bagian ini menyoroti bagaimana struktur sosial memaksa warga negara untuk mengikuti aturan dan regulasi konvensional. Seperti yang disebutkan oleh Foucault, setiap saat individu dipantau oleh struktur kekuasaan. Dalam novel ini, Jacob, serta istrinya, dikontrol dan dipantau oleh konsep struktur kekuasaan ini. Masyarakat dapat menjadi siapa saja, tetapi mata elang dari struktur kekuasaan selalu ada. Jika seseorang mencoba untuk mendekonstruksi sistem dengan merusak "kandang ayam jantan," yaitu sistem yang menjebak individu (Adiga147), maka dia akan harus menghadapi hukuman yang kejam dan berulang kali dihadapi oleh karakter seperti Sarah/Wanda.

Bagian ini menggambarkan perbandingan antara kehidupan seorang budak dengan kehidupan seorang manusia biasa, serta bagaimana kedua entitas ini mengalami bentuk perbudakan yang berbeda. Kehidupan seorang budak dianggap menyedihkan, canggung, dan kekurangan martabat serta kebebasan berkehidupan. Di sisi lain, kehidupan manusia biasa memiliki ruang kebebasan yang lebih besar. Perbudakan seorang budak terlihat jelas, tetapi manusia biasa menderita perbudakan yang lebih tersirat. Di depan dunia luar, individu berpura-pura menjadi tuan, tetapi sebenarnya mereka lebih terjebak dalam perbudakan. Alasan intinya adalah perbudakan paksa seseorang terhadap faktor-faktor eksternal. Seorang budak hanya terikat pada tuannya. Dia harus bertindak sesuai perintah tuannya. Namun, manusia biasa terperbudak pada lingkungan dan sistem secara keseluruhan. Saat menjalani kehidupan sebagai budak, seseorang tidak sadar aturan dan regulasi struktur. Pada saat itu, budak hanya mendengarkan perintah tuannya. Namun, sebagai tuan, seseorang harus sangat sadar akan hukum sistem tersebut. Meskipun seorang tuan membimbing seorang budak, tanpa disadari dia juga di bawah bimbingan sistem di mana dia juga harus mengorbankan semua kehendak bebasnya dan bertindak sesuai aturan sosial.

Jacob menjadi tuan atas Wanda setelah pernikahan mereka. Selama itu, dia berusaha memberikan perlindungan dan tempat yang lebih baik bagi istrinya. Wanda adalah seorang non-Yahudi, karena itu mereka mencoba menyembunyikan identitas aslinya dari orang lain. Meskipun Jacob berada dalam posisi sebagai tuan dan lebih kuat dibandingkan Wanda, sebagai seorang budak sistem, setelah menghadapi para kepala komunitas serta perintah mereka, dia merasa tidak berdaya. Menurut para kepala komunitas, Wanda adalah seorang non-Yahudi dan tidak diterima oleh masyarakat; itulah sebabnya putra mereka juga tidak diterima. Jacob, melalui argumennya, mencoba meyakinkan para kepala komunitas bahwa Sarah telah melakukan setiap ritual, tetapi dia gagal. Sistem berjalan berdasarkan keyakinan stereotip. Ini memperbudak individu dengan menghancurkan kehendak bebasnya. Sistem tidak berubah bagi individu, individu harus berubah sesuai sistem dengan menyampingkan semua kehendak bebas mereka. Dengan demikian, baik Jacob maupun Wanda dibiarkan dalam situasi tanpa harapan dengan membuktikan bahwa kehendak bebas tidak mungkin bagi tuan maupun budak.

Bagian ini juga menyentuh tema peran takdir dan struktur kekuasaan dalam mengendalikan kehidupan individu. Sama seperti takdir, struktur kekuasaan juga dominan, yang melalui matanya yang tajam tidak memberikan ruang untuk membebaskan rakyat biasa. Meskipun pada permukaan tingkat kebebasan tetap utuh, pada kenyataannya kebebasan bertindak hampir tidak ada. Individu dikondisikan dan dimakanisme untuk bertindak sesuai dengan kegiatan yang ditetapkan. Dan dengan sukarela atau tidak sukarela mereka diperbudak untuk melakukannya. Dan jika seseorang berani melanggar aturan, dia akan menghadapi kebinasaan, seperti yang dialami Tess. "The Slave" juga menggambarkan perbudakan paksa Jacob dan Wanda yang berkembang dari kekuasaan serta pengetahuan yang meliputi segalanya. Pada saat itu, satu-satunya upaya mereka untuk bertindak sesuai kehendak bebas mereka, yaitu keputusan mereka untuk menikah, hanya membawa seumur hidup kesedihan bagi mereka karena kematian Wanda. Meskipun keputusan mereka untuk menikah adalah jenis kehendak bebas, mereka tidak pernah diizinkan memiliki kebebasan bertindak ini dengan mulus. Itulah sebabnya Wanda mengubah identitasnya menjadi Sarah. Keputusan kehendak bebas mereka mencapai kekeringan ketika takdir, tanpa meninggalkan ruang, membawa kehancuran yang tidak terkendali melalui struktur kekuasaan.

Bagian ini menggambarkan perbandingan yang menarik antara kehidupan seorang budak dan kehidupan manusia biasa dalam konteks perbudakan yang berbeda-beda. Kebebasan dan keterikatan individu terhadap struktur eksternal, baik secara eksplisit maupun implisit, sangat ditekankan di sini. Konsep kehendak bebas dan bagaimana hal itu terbatas atau bahkan tidak ada dalam kondisi tertentu juga menjadi tema penting dalam analisis ini. Selain itu, peran takdir dan struktur kekuasaan dalam mengontrol kehidupan individu dan membatasi ruang gerak mereka juga dijelaskan dengan baik dalam konteks cerita yang disajikan.

Dalam era saat ini, setiap individu yang beradab berada dalam perlombaan panjang untuk membuktikan diri mereka menjadi lebih baik. Tidak peduli seberapa kejam, kejam, dan tidak manusiawi seseorang, di depan orang lain, mereka hanya mencoba memproyeksikan diri mereka tanpa cacat. Manusia modern saat ini berada dalam perbudakan psikologis untuk mencerminkan realitas yang diproyeksikan. Penyebabnya bisa apa saja, bisa karena takut menjadi merosot atau orang-orang terlalu terbiasa sehingga mereka hanya memproyeksikan realitas yang superficial. Dengan demikian, kesadaran manusia saat ini terperbudak untuk memikirkan dan percaya pada realitas yang diproyeksikan yang berjalan dalam bawah sadar mereka. Mulai dari multimiliuner hingga manusia biasa, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi mereka, semua berperilaku secara superficial dengan mengenakan persona. Dalam novel, 'Persona' juga tetap ada dalam penampilan Wanda. Wanda menampilkan penampilan persona di depan komunitas Pilitz. Dalam tindakan itu, dia mendapat dukungan dari suaminya Jacob. Menjadi seorang non-Yahudi, sangat sulit bagi Wanda untuk mendapatkan tempat yang aman di luar komunitasnya. Namun, dia mengatasi semua hambatan demi Jacob untuk mempresentasikan dirinya dengan persona. "Wanda, bukan Jacob, telah memikirkan untuk berpura-pura bisu, menyadari bahwa Yiddish akan membutuhkan waktu terlalu lama baginya untuk belajar; kata-kata sedikit yang dia tahu dia bicarakan seperti seorang non-Yahudi ... Dia bukan pembohong yang cekatan dan akan langsung terungkap." (115)

Jung mendefinisikan persona sebagai bagian bawah sadar bersama dengan pengalaman nenek moyang. Ini adalah jenis psyche kolektif yang terdapat dalam setiap individu. Individu secara tidak sadar suka hidup dalam realitas yang diproyeksikan. Realitas itu kasar, keras, dan pahit rasanya, itulah sebabnya seseorang memiliki kelemahan terhadap hal-hal yang diproyeksikan. Setelah mengungkapkan identitas asli Wanda dan Jacob, orang-orang dari komunitas Pilitz bereaksi keras karena kelemahan mereka terhadap menghadapi realitas yang sebenarnya. Pada saat itu, Jacob dan Wanda tidak hanya dikritik tetapi juga ditolak oleh komunitas Pilitz. Melihat karakter Wanda, jelas bahwa perbudakan bawah sadar individu terhadap realitas yang diproyeksikan memaksa dia tampil dengan persona tertentu. Orang-orang suka memiliki realitas yang diproyeksikan. Seseorang dapat dengan mudah mengembangkan kepercayaan terhadap realitas yang diproyeksikan. Tetapi individu sangat terparalisis secara psikologis terhadap kepercayaan dan sistem konvensional sehingga mereka hampir tidak dapat menyesuaikan diri dengan orang tanpa persona. Insiden serupa juga dialami oleh Sarah. Menjadi budak cinta Jacob serta sistem konvensional, Wanda menggunakan persona dan mempersembahkan dirinya sebagai Sarah. Tindakan ini membawa simpati, cinta, dan kebahagiaan kehidupan keluarga baginya dengan kepercayaan dan perawatan dari komunitas Pilitz. Tetapi saat identitas aslinya terungkap, orang-orang yang sama meninggalkannya untuk mati sendirian dengan kritikan yang keras. Sekali lagi, karakter Wanda, secara metaforis, dapat dianggap sebagai psyche kolektif atau bagian bawah sadar bersama. Wanda muncul dengan persona sambil menjadi budak sistem dan cinta Jacob. Karakteristik ini dari Wanda dibagikan oleh sebagian besar perempuan dalam masyarakat. Perempuan sebagian besar adalah budak sistem dan emosi. Dan perbudakan ini pada perempuan berlangsung dalam darah mereka selama berabad-abad. Mereka juga mengalami kebebasan yang lebih sedikit dan lebih banyak kesulitan seperti yang dialami Wanda. Keserakahan mereka terhadap kebahagiaan membawa mereka untuk tampil dengan persona. "Keesokan harinya Sarah masih terbaring tak berdaya. Para wanita menolak untuk mengunjunginya karena menurut hukum Polandia dia juga telah melakukan kejahatan besar. Hanya satu wanita tua yang datang beberapa kali untuk menanyakan keadaannya dan meninggalkan beberapa ayam yang Sarah tidak bisa menelannya." (176) Seseorang perlu berfungsi sesuai dengan aturan tertentu dari masyarakat tertentu. Menjadi budak dari sistem yang sama, kadang-kadang seseorang dapat mencoba mengenakan persona dengan menciptakan realitas yang superficial. Namun, menyembunyikan realitas yang sebenarnya untuk waktu yang lama adalah pekerjaan yang sulit. Sarah dan Jacob mencoba menggunakan persona untuk menghindari realitas Wanda tetapi kemudian terungkap oleh Pilitzky (tuannya Pilitz).

Patriarki mengacu pada sistem sosial dan ideologis di mana perempuan dianggap tidak sebanding dengan laki-laki. Patriarki mengindikasikan bahwa kendali tertinggi suatu keluarga harus ada di tangan ayah atau seorang laki-laki. Ini menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat patriarki, laki-laki mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas perempuan. Menganggap diri mereka sebagai demigod, laki-laki selalu menekan perempuan atas nama reproduksi dan seksualitas. Jacob, sebagai perwakilan Yudaisme serta masyarakat patriarki, memegang mahkota sebagai tuan ganda Wanda, dengan demikian, dia juga memiliki tanggung jawab ganda untuk melindunginya dari kepercayaan agama yang profan dengan reaksi sosial yang menakutkan, yang pada akhirnya gagal dia lakukan. Jacob sangat saleh dan setia pada agamanya. Demikian juga, dia berusaha keras dan sadar saat mengembangkan hubungan tuan dan budak yang sehat. Meskipun memiliki semua kualitas ini, Jacob gagal menahan diri dari menjadi budak keinginan kekuasaan atau dominasi. Seperti laki-laki lainnya, setelah menikah

Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap sebagai pengendali keluarga. Perempuan dari keluarga-keluarga tersebut dianggap harus bertindak atau berperilaku sesuai dengan perintahnya. Karena, secara alami, individu cenderung orientasi pada kegunaan, maka pengendali, yaitu laki-laki dari keluarga-keluarga tersebut, mencoba menggunakan perempuan hanya untuk keuntungan mereka sendiri. Bahkan dalam kasus pernikahan atau cinta, mereka memilih lawan jenis dengan cara mengukurnya terhadap pesaing lainnya. Mereka membuat tabel perbandingan kualitasnya dengan wanita lain. Jacob, yang juga merupakan perwakilan dari masyarakat patriarki, memiliki kualitas yang sama dalam Pertukaran Sosial. Dia juga rasional dan sadar akan biaya dan manfaat. Jadi, meskipun mendapatkan beberapa panggilan dari wanita-wanita desa lainnya, dia memilih Wanda sebagai pasangan hidupnya yang dianggap sebagai wanita desa tersebut.

Wanda berusia dua puluh lima tahun dan lebih tinggi dari kebanyakan wanita lainnya. Dia memiliki rambut pirang, mata biru, kulit putih, dan fitur yang baik... Saat dia tersenyum, pipinya berlekuk dan giginya begitu kuat sehingga bisa menghancurkan biji-bijian yang paling keras. Hidungnya lurus dan dia memiliki dagu yang sempit. Dia adalah penjahit yang terampil dan bisa merajut, memasak, dan bercerita yang membuat bulu kuduk orang berdiri. Di desa, dia memiliki julukan 'wanita' (8). Tidak hanya Jacob tetapi juga Wanda sadar ketika memilih pasangan untuk diri mereka sendiri. Jacob, budak di rumah Wanda, dianggap sebagai pribadi yang tampan yang juga memiliki pengetahuan luar biasa tentang agama. Itulah sebabnya, menolak proposal dari penduduk desa lainnya, Wanda memilihnya. Jacob lebih berpengetahuan dibandingkan Wanda, oleh karena itu setelah dibebaskan oleh orang-orang komunitasnya dia mencoba untuk menetap dengan menikahi seorang Yahudi. Tetapi setelah bertemu dengan wanita tersebut dia yakin bahwa tempat Wanda tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Wanda lebih agung dan jujur, oleh karena itu, meskipun menjadi budak agama, Jacob meninggalkan ide untuk menikah di dalam komunitas dan kembali kepada Wanda yang lebih baik daripada wanita lainnya. Sebagai perwakilan dari patriarki, Jacob menemukan bahwa Wanda jauh lebih cocok untuknya daripada wanita tersebut karena dia lebih berbakti dan tunduk, sedangkan Wanda lebih memilih Jacob karena pesonanya dan pengetahuannya yang kurang dimiliki oleh laki-laki desa lainnya. Dengan demikian, baik Jacob maupun Wanda mencerminkan perbudakan psikologis mereka untuk menjadi lebih baik atau mendapatkan manfaat.

Dia menyukainya, yang dilihat Jacob, dan siap untuk duduk dan menulis perjanjian awal. Tetapi dia ragu. Wanita ini terlalu tua dan manis, terlalu licik... Orang seperti ini membutuhkan suami yang terbungkus, tubuh dan jiwa, dalam uang... Saya telah berhenti menjadi bagian dari dunia ini, kata Jacob pada dirinya sendiri, pertandingan itu tidak akan baik untuk kita berdua. Saya bukan pengusaha secara alamiah... (85).

Spivak menggunakan konsep 'Lain' dalam esainya "Can the Subaltern Speak?" ketika memperkenalkan dominasi Barat atas Timur. Di sini, dia menyebut Timur sebagai Lain di mata Barat. Saat melakukan aktivitas apa pun, fokus seseorang harus pada Barat. Konsep Othering tidak hanya berlaku di Barat dan negara-negara dunia ketiga, tetapi juga dapat dibandingkan dengan setiap komunitas secara mikrokosmis di mana para penguasa komunitas menganggap diri mereka sebagai Saya, dan yang lainnya sebagai Lain. Mereka juga menyebut orang-orang dari komunitas yang berbeda sebagai Lain, menolak untuk menganggap mereka sebagai bagian dari komunitas mereka. Perlakuan serupa dari Othering diberikan oleh para penguasa komunitas Pilitz kepada Wanda, Lain. Wanda berasal dari agama Lain yaitu Kristen, yang menurut Yahudi adalah Lain. Orang Kristen bukanlah 'kita' bagi Yahudi dan sebaliknya. Jacob tidak dapat menerima Wanda sebagai kekasihnya atau istri masa depan karena konsep Other ini. Bagi Jacob, karena Wanda adalah seorang non-Yahudi, oleh karena itu dia harus diperlakukan sebagai Lain. Demikian juga, para penduduk desa Josefov menganggap Jacob sebagai Lain karena menjadi seorang Yahudi, dan juga masyarakat Pilitz menolak baik Wanda maupun anaknya.

Menurut hukum, anak lahir ke dalam keyakinan ibunya. Sudah jelas bahwa Sarah adalah seorang non-Yahudi bahkan nama tersebut menegaskan bahwa dia adalah seorang penganut agama lain. Tetapi pengadilan rabbinik mana yang akan menegakkan konversi seorang non-Yahudi ketika hukuman bagi tindakan tersebut adalah kematian?... Keesokan harinya Sarah masih terbaring tak berdaya. Para wanita menolak untuk mengunjunginya karena menurut hukum Polandia dia juga telah melakukan kejahatan besar (175-76).

Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex juga menggunakan konsep Lain untuk memproyeksikan dominasi laki-laki atas perempuan. Dalam masyarakat patriarki, seorang perempuan dianggap sebagai Lain. Untuk menunjukkan kekuasaan mereka atas perempuan, laki-laki menyebut perempuan sebagai Lain, sebagai yang kurang kuat, kurang intelektual, dan lemah dibandingkan dengan mereka. Menunjukkan perbudakan komoditas perempuan de Beauvoir mengatakan bahwa:

Dia senang dengan tampilan 'batin'nya, bahkan penampilannya sendiri, yang suami dan anak-anaknya tidak perhatikan karena mereka sudah terbiasa dengan mereka. Tugas sosialnya, yang adalah 'untuk tampil baik'... perempuan, sebaliknya, bahkan diharuskan oleh masyarakat untuk menjadikan dirinya sebagai objek erotis. Tujuan dari mode yang ia perbudakan bukan untuk menampilkan dia sebagai individu independen, tetapi lebih sebagai mangsa keinginan laki-laki (de Beauvoir 542–43).

Dalam novel 'The Slave' karya Isaac Bashevis Singer, hubungan antara Wanda dan Jacob mencerminkan dinamika yang kompleks antara harapan sosial dan keinginan pribadi. Wanda, seorang wanita desa, menghadapi mentalitas yang mengkomodifikasi tidak hanya dari penduduk desa tetapi juga dari Jacob sendiri. Jacob, seorang penganut agama yang terpelajar, menjadi budak keadaan yang menghabiskan hari-harinya sebagai budak di desa Wanda. Meskipun menghabiskan hari-harinya sebagai budak, Jacob tidak pernah melepaskan psikologi laki-laki, itulah sebabnya dia menjadi sangat spesifik dalam memilih pasangan hidupnya. Dia memilih Wanda sebagai istrinya karena dia tunduk, lembut, dan cantik dibandingkan wanita lain. Setelah menerima Wanda sebagai kekasih dan istrinya, Jacob lebih memperhatikan kesalahan Wanda dalam mengikuti ritual Yahudi. Berulang kali ia mengingatkan Wanda tentang ritual Yahudi dan memintanya untuk mengikutinya dengan baik.

Pergi ke desa tempat dia menjadi budak selama lima tahun, Jacob memikul beban yang semakin berat seiring berjalannya waktu. Tahun-tahun perbudakan yang dipaksakan padanya digantikan oleh perbudakan yang akan berlangsung selama dia hidup. "Neraka adalah untuk manusia bukan untuk anjing," pernah dia dengar seorang pembawa air mengatakan. Namun dia telah menyelamatkan sebuah jiwa dari penyembahan berhala, meskipun dia tersandung dalam pelanggaran. Di malam hari ketika Sarah dan dia berbaring di tempat tidur mereka yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sudut kanan (kamar tidak cukup panjang untuk memiliki satu di ujung yang lain), pasangan itu berbisik-bisik satu sama lain selama berjam-jam tanpa merasa lelah. Jacob memberi tahu Sarah tentang kehidupan moral, memperkaya teksnya dengan perumpamaan kecil. Dia berbicara tentang betapa sangat ia mencintainya. Mereka sering mengingat musim panas saat Jacob tinggal di lumbung dan Sarah membawakan makanan untuknya.

Masyarakat dominatif tidak pernah membiarkan seorang wanita bernapas dengan bebas dengan identitasnya sendiri. Individualitas seorang wanita dihancurkan oleh pria-pria kejam yang membanggakan diri sebagai tuan yang melindungi. Cecile Sauvage menyebutkan bahwa "Wanita harus melupakan kepribadiannya saat dia sedang jatuh cinta. Itu adalah hukum alam. Seorang wanita tidak ada tanpa seorang tuan. Tanpa seorang tuan, dia adalah buket yang tersebar" (de Beauvoir 653). Dalam masyarakat patriarki, perempuan diperlakukan sebagai 'Other' dengan memberikan mereka sedikit kebebasan ruang. Dalam mimpi kiasan pria, wanita selalu diobjektifikasi dengan imajinasi yang mengkomodifikasi. Pria bermimpi memiliki wanita sebagai budak mereka, ratu mereka, bunga mereka, teman mereka, pelayan mereka sehingga mereka dapat menindas dan mendominasi kaum wanita. Menurut patriarki, wanita ditakdirkan untuk diperlakukan sebagai 'Other'. Setiap saat, wanita mencari identitas asosiatif 'kita' atau 'kami' dengan pria tetapi hanya mendapatkan perasaan 'Other': "Tujuan tertinggi cinta manusia, seperti cinta mistis, adalah identifikasi dengan yang dicintai... Wanita yang sedang jatuh cinta mencoba melihat dengan matanya; dia membaca buku yang dia baca, lebih suka gambar dan musik yang dia suka... Kebahagiaan tertinggi wanita yang sedang jatuh cinta adalah diakui oleh pria yang dicintainya sebagai bagian dari dirinya sendiri..." (de Beauvoir 663)

Jacob memproyeksikan dirinya sebagai tuan yang rendah hati yang tidak menunjukkan keangkuhan kepada Wanda. Sebagai budak patriarki, dia mencoba menguasai Wanda dengan dominasi. Nafsunya terhadap Wanda juga mencerminkan psikologi laki-laki yang tipikal utilitarian. Seperti pria lainnya, Jacob juga ingin memiliki Wanda karena kecantikannya. Jacob sendiri mengakui bahwa cintanya pada Wanda berkembang dengan nafsu. Menjadi budak dari sistem, Jacob mengalami siksaan brutal. Dan perbudakan Jacob ini membantunya dalam mengasosiasikan dirinya dengan situasi Wanda. Sekali lagi, cinta, perhatian, dan pengorbanan Wanda melarangnya untuk terlalu keras terhadapnya. Jacob dan Wanda ditindas oleh sistem, agama, dan masyarakat yang memandang mereka sebagai 'Other'. Perlakuan eksternal tersebut membantu mereka mengembangkan rantai korelasi yang menghubungkan. Ini juga memberi mereka kekuatan bersatu untuk melawan dan dengan demikian menghancurkan semua batasan.

Peran dan dampak dari tuan-tuan yang berkuasa memiliki keberadaan yang tidak dapat disangkal dalam kehidupan kita. Dari zaman kuno hingga era saat ini, waktu telah berubah tetapi struktur masyarakat tetap sama. Tuan-tuan kaya dan berkuasa tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengeksploitasi orang biasa. Karl Marx, saat memprotes hak-hak proletariat, juga berbicara tentang eksploitasi borjuis. Keserakahan akan kekuasaan adalah satu-satunya cara yang mengarahkan individu untuk mengeksploitasi orang biasa, dan kekayaan mereka mendukung mereka dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Pada era ini, dominasi berada di tangan kapitalis serta pemimpin politik. Dengan mewakili diri mereka sebagai pemelihara publik, mereka sebenarnya mengeksploitasi massa dan menundukkan mereka untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Eksploitasi dominatif serupa dilakukan oleh Pilitzky (tuan dari Pilitz) dalam novel. Jenis perbudakan lainnya diberikan oleh para Kozak. Pada bab kedua novel, Zeinvel Bear (yang datang sebagai tamu ke rumah Jacob) mengungkapkan rasa sakit seorang wanita dan bagaimana dia disiksa, diperbudak, dan dipaksa untuk bertindak sesuai dengan sistem. Para Kozak telah menangkap wanita tersebut dan mencoba untuk mengeksploitasi dia. Anggota keluarganya juga disiksa dengan kejam oleh para Kozak.

Ketika kota memberimu roti, segera kamu berharap mati.' Dia duduk dan belajar dan saya mengurus toko barang kering kami. Saat pasar dibuka, saya pergi ke sana dengan stok kami, dan Tuhan tidak meninggalkan saya. Kesedihan saya hanya karena saya tidak memiliki anak. Sepuluh tahun setelah pernikahan kami, ibu mertuaku (semoga itu tidak dianggap terhadapnya) mengatakan bahwa suamiku harus menceraikan saya karena saya mandul. Kami menikah muda. Saya berumur sebelas tahun dan dia dua belas tahun. Dia disunat di rumah ayah saya. Ibu mertuaku memiliki hukum di pihaknya, tetapi suamiku menjawab, 'Trine adalah milikku.' Dia suka berbicara berima. Dia akan menjadi jester pernikahan yang baik. Yah, para pembunuh datang. Kami semua lari untuk bersembunyi, tetapi dia mengenakan selendang doanya dan berjalan keluar untuk menemui mereka. Mereka membuatnya menggali kubur sendiri. Saat dia menggali, dia berdoa. Saya duduk di ruang bawah tanah selama beberapa hari dan saya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit. Saya pingsan karena lapar. Orang lain pergi keluar pada malam hari untuk mencari makanan. Saya sudah di dunia lain dan saya melihat ibu saya. Ada musik dan saya tidak berjalan tetapi melayang seperti burung. Ibu saya terbang di samping saya. Kami sampai di dua gunung dengan jalan di antara. Jalan tersebut merah seperti matahari terbenam dan berbau rempah-rempah Surga. Ibuku meluncur melewati, tetapi saat saya mencoba untuk mengikutinya seseorang mendorong saya kembali.” “Malaikat?” tukang sepatu bertanya. “Saya tidak tahu.” “Apa yang terjadi kemudian? “ “Saya menangis, 'Ibu, mengapa kamu meninggalkan saya?' Saya tidak bisa mendengar jawabannya. Itu hanya sebuah gema samar di telinga saya. Saya membuka mata saya dan seseorang menyeret saya. Malam telah tiba (150). Bahkan saudara perempuan Jacob juga dieksploitasi oleh para Kozak. Saat Jacob menghabiskan hidupnya sebagai budak di desa Wanda pada saat itu, menunjukkan kekejaman mereka, para Kozak mengganggu keluarga dan masyarakat. Eksploitasi ini oleh para Kozak mengarahkan orang-orang biasa, termasuk saudara perempuan Jacob, menuju kehancuran mental. Itu adalah kekejaman para Kozak yang memaksa Jacob untuk menjalani hidup sebagai budak di luar masyarakat dan agamanya.

Keyakinan, ketergantungan, dan budaya adalah fitur utama masyarakat dalam kelompok mana pun yang memberlakukan hukum, kadang - kadang untuk mengendalikan, tetapi juga untuk menciptakan keseragaman di antara masyarakat. Untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang lancar dan memiliki lingkungan sosial yang sehat, individu seharusnya bekerja sesuai dengan norma yang ditetapkan. Dari manusia normal menjadi budak, serta tuannya, setiap orang bekerja sesuai dengan norma - norma yang ditetapkan masyarakat dan sistem. Selain itu, kepercayaan yang berlebihan sering mengubah orang tersebut menjadi budak takhayul yang mengabaikan moto dasar di balik hukum. Namun demikian, menjadi bagian dari suatu sistem, semua orang berada dalam pandangan panoptik. Mata panopticon yang tajam mengikuti individu dari waktu ke waktu. Dan jika ada individu yang mencoba mendekonstruksi skenario konvensional yang dia hadapi kehancuran seperti yang diderita Wanda dalam novel. Selanjutnya, sambil melihat semua faktor, seseorang dapat hanya mencapai kesimpulan bahwa tidak peduli berapa banyak yang diklaim, pada kenyataannya, kita dilahirkan sebagai budak, sehingga perbudakan kita berjalan dalam jiwa kita ke dalam lingkaran yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Oleh karena itu, terkadang kita menjadi budak yang dipaksakan dan terkadang kita menjadi budak secara sadar seperti yang dilakukan Yakub dan Wanda. Dengan demikian, Isaac Bashevis Singer dalam buku The Slave telah memproyeksikan dengan indah kehidupan seorang budak melalui karakter Yakub bersama dengan peran masyarakat dan penderitaan pengalaman perbudakan oleh kedua binari, yaitu Yakub dan Wanda. Individu dapat mencoba untuk mengganggu pembatasan tradisional dan mencoba untuk tidak menjadi budak ortodoks. Dekonstruksi sistem hanya membawa ketidaknyamanan dan kesengsaraan seperti yang dialami Wanda dan Jacob.

B. Kesimpulan

Tulisan ini membahas Chapter 5 dari novel "The Slave" karya Isaac Bashevis Singer dengan fokus pada tema-tema Conviction, Culture, dan Enslavement. Penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, menggambarkan bagaimana karakter utama Jacob menghadapi konflik antara keyakinan agamanya, budaya yang mempengaruhinya, dan situasi perbudakan yang dia alami.

Jacob adalah seorang Yahudi taat beragama yang kuat keyakinannya. Meskipun terjebak dalam situasi perbudakan dan dihadapkan pada tantangan yang besar, Jacob tetap mempertahankan prinsip-prinsip agamanya. Dia terus menjalankan ritual keagamaannya, seperti berdoa dan mematuhi aturan-aturan agama Yahudi, yang menjadi landasan moral dan spiritualnya di tengah-tengah penderitaan.

Jacob hidup di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya Polandia pada abad ke-17. Budaya ini memiliki norma-norma sosial dan nilai-nilai yang berbeda dengan keyakinan agama Yahudi yang dianutnya. Jacob harus berhadapan dengan konflik antara budaya tempatnya tinggal dan prinsip-prinsip agama yang dipegang teguhnya, terutama dalam hal moralitas, hubungan sosial, dan pemahaman akan kebebasan.

Salah satu konflik utama yang dihadapi Jacob adalah situasi perbudakan yang dia alami. Dia dipaksa untuk menjadi budak oleh seorang bangsawan Polandia yang kaya, dan hal ini mempengaruhi kehidupannya secara drastis. Jacob harus menghadapi ketidakadilan, penindasan, dan penderitaan fisik dan emosional sebagai seorang budak, sementara tetap berusaha mempertahankan martabat dan integritasnya sebagai manusia.

Melalui perjalanan karakter Jacob dalam novel ini, Isaac Bashevis Singer menggambarkan dengan jelas kompleksitas konflik yang dihadapi oleh individu yang terjebak dalam situasi yang penuh dengan pertentangan antara keyakinan agama, pengaruh budaya, dan kondisi perbudakan yang menghambat kebebasan dan martabat manusia.

Dalam chapter ini, Jacob menunjukkan keyakinan agamanya yang kuat meskipun terjebak dalam perbudakan. Dia terus mempertahankan identitasnya sebagai seorang Yahudi taat beragama, walaupun menghadapi tekanan dan pengaruh budaya yang berbeda di lingkungan perbudakan tersebut. Sementara itu, penulis juga membahas bagaimana budaya dan lingkungan sosial memainkan peran dalam membentuk karakter dan perilaku Jacob serta orang-orang di sekitarnya. Hal ini tercermin dalam dinamika hubungan antara Jacob dan tokoh lain dalam novel, termasuk tokoh wanita yang mungkin mewakili budaya yang berbeda. Pada intinya, chapter ini menggambarkan kompleksitas perjalanan karakter Jacob dalam menghadapi konflik internal dan eksternal yang berkaitan dengan keyakinan agama, pengaruh budaya, dan situasi perbudakan yang mempengaruhi kehidupannya.

 

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

Artikel ini memberikan analisis yang mendalam tentang tema-tema utama yang muncul dalam bab 5 dari novel tersebut, yaitu konviction (keyakinan), culture (budaya), dan enslavement (perbudakan). Pembahasan yang rinci memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas karakter dan konflik yang dihadapi dalam cerita.

Artikel ini menggambarkan bagaimana konflik budaya dan keyakinan agama dapat memengaruhi dinamika hubungan antara karakter utama, yang merupakan aspek penting dalam novel "The Slave". Ini membantu pembaca untuk lebih memahami latar belakang dan motif perilaku karakter.

Artikel ini menyoroti hubungan kompleks antara Jacob dan Wanda, menggali dinamika kekuasaan dan perasaan perbudakan yang terkait dengan hubungan mereka. Ini membuka diskusi yang menarik tentang bagaimana struktur kekuasaan dapat memengaruhi dan membentuk hubungan interpersonal.

Kehadiran dua penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, mungkin memberikan perspektif yang lebih luas dan beragam terhadap tema-tema yang dibahas dalam artikel ini. Ini dapat membantu memperkaya analisis dan memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif.

Dengan demikian, artikel ini menawarkan kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang novel "The Slave" dan mengajak pembaca untuk mempertimbangkan aspek budaya, agama, dan perbudakan dalam konteks yang lebih luas.

2. Kritik-Kekurangan

            Artikel ini mungkin kurang dalam hal memberikan data konkret atau kutipan langsung dari teks novel "The Slave" untuk mendukung analisisnya. Hal ini dapat mengurangi kekuatan argumennya dan membatasi kemampuan pembaca untuk membentuk pemahaman yang lebih kuat.

Meskipun memiliki dua penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, artikel ini mungkin kurang dalam hal menyajikan perspektif yang seimbang dari kedua penulis. Hal ini dapat mempengaruhi keberagaman analisis dan sudut pandang yang dihadirkan dalam artikel.

Daftar Pustaka

Akhter, Tawhida. 2022. Culture and Literature (Chapter 5). Newcastle Upon Tyne, Inggris. Cambridge Scholars Publishing.

 

A. Ringkasan

            Budaya adalah bagian dari ethos, prinsip, dan kepercayaan yang diterima oleh suatu komunitas tertentu dan bersifat tidak bergerak serta mengalir melintasi generasi-generasi. Budaya mendefinisikan karakteristik saat ini dari sebuah kelompok dengan latar belakang masa lalu mereka. Ini termasuk keyakinan sosial, gaya hidup, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan. Budaya terus bergerak maju selama ribuan zaman. Bahkan tradisi dari kelompok tertentu menyampaikan masa lalu sejarah kepada generasi saat ini. Demikian pula, agama memperkuat kelompok dengan memberikan petunjuk jujur tentang kepercayaan dan ketahanan dalam hidup. Keyakinan agama bertujuan untuk membawa disiplin dan nada spiritualitas ke dalam kehidupan seseorang. Ini juga mengajarkan peran dan tanggung jawab pernikahan dalam hidup seseorang. Hubungan adalah kelompok orang yang penuh semangat yang membantu dalam mempertahankan nilai-nilai. Meskipun pertikaian keluarga dapat menghancurkan hubungan, ini memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang untuk membantu memahami budaya dan tradisi kelompok tersebut.

Manusia terbiasa mengikuti semua aturan dan peraturan masyarakat. Masyarakat terdiri dari berbagai macam adat istiadat. Budaya adalah perpaduan keyakinan, tradisi, nilai, perilaku, dll., yang membantu orang untuk mendefinisikan serta merepresentasikan identitas mereka di hadapan orang lain. Sejak zaman purba, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan misteri penciptaan. Oleh karena itu, manusia telah menciptakan bangsa khayalan yang memiliki kekuatan supernatural, yang disebut dewa dan dewi. Karena orang-orang dari bangsa ini dianggap memiliki kekuatan lebih besar daripada manusia, oleh karena itu mereka disalahkan atas segala masalah. Dengan demikian, penampilan paling primitif dan fundamental dari agama telah berkembang. Informasi yang jauh lebih sedikit tentang bentuk awal agama tersedia bagi kita karena, seiring berjalannya waktu, bentuk-bentuk awal tersebut telah berubah menjadi yang baru yang kita lihat saat ini.

Agama dalam bentuknya yang lebih sederhana dapat dianggap sebagai sistem yang menyatukan orang dengan seperangkat nilai dan praktik suci dari suatu komunitas tertentu untuk mencapai keselamatan. Ada berbagai agama di dunia termasuk Hinduisme, Islam, Kekristenan, Sikhisme, Buddha, dan Yudaisme yang tujuan utamanya adalah untuk mencapai keselamatan. Agama tidak hanya mengendalikan kehidupan spiritual tetapi juga kehidupan sosial para pengikutnya, membentuk dan mempengaruhi kesadaran untuk mengambil keputusan yang tepat dalam hubungan sosial. Agama adalah salah satu subjek yang paling kontroversial dan berpengaruh di seluruh dunia. Agama memiliki dampak inti pada kehidupan individu. Efek agama memainkan peran penting dan memiliki dampak yang serius pada populasi dunia. Ini tidak hanya mengontrol kehidupan pribadi tetapi juga kehidupan profesional. Dalam struktur sosial, sebagian besar hukum dan adat istiadat dibuat sesuai dengan ajaran agama. Dari kehidupan keluarga hingga kehidupan sosial, dari doa-doa harian hingga ritual pernikahan, sebagian besar konvensi didasarkan pada agama. Bahkan kehidupan yang mapan dari pasangan setelah pernikahan mereka adalah hasil dari ajaran agama moral yang membantu kita mencegah efek samping dari perceraian dan hubungan di luar pernikahan. Masyarakat saat ini lebih santai terhadap agama, etika, moral, dan gaya hidup. Jika kita mundur beberapa tahun, tata sosial yang terlihat bertindak sesuai dengan konvensi agama ortodoks di mana manusia adalah pusat keluarga dan wanita ada di sana untuk melayani rumah tangga. Tetapi saat ini, tata sosial telah menjadi lebih liberal. Dengan demikian, seiring berjalannya waktu, keyakinan dan hukum agama juga berkembang dan dimodernisasi.

Isaac Bashevis Singer adalah seorang penulis Yahudi Amerika yang lahir pada tahun 1902 di sebuah desa dekat Warsawa, Polandia. Tanggal kelahirannya yang tepat masih tidak pasti, tetapi tanggal yang paling mungkin adalah 21 November 1902, tanggal yang diberikan oleh Singer kepada biografer resminya, Paul Kresh, dan sekretarisnya, Dvorah Telushkin. Karya fiksi awal Singer bukanlah novel-novel besar tetapi cerita pendek dan novela. Pada tahun 1935, dia menulis bukunya yang pertama, Satan in Goray. Dia telah menulis cerita pendek yang luar biasa yang tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris, mulai dari Gimpel the Fool (diterjemahkan pada tahun 1953), hingga karya terbarunya, A Crown of Feathers (1973), dengan masterpiece yang mencolok di antaranya, seperti The Spinoza of Market Street (1961), atau A Friend of Kafka (1970). Dia juga menulis The Magician of Lublin, pada tahun 1961. Singer mempersonifikasi hasrat dan kegilaan sebagai setan dan hantu, termasuk segala jenis kekuatan supernatural dari perbendaharaan imajinasi populer Yahudi. The Family Moskat adalah karyanya yang pertama, ditulis pada tahun 1950. Salah satu novel terbesar yang dipuji dari Singer adalah Enemies: A Love Story (1972), yang mengungkap kisah seorang korban Holocaust yang mengarahkan keinginan pribadinya, hubungan yang sulit, dan kehilangan keyakinan. Dia juga menulis memoar dan buku anak-anak bersama dengan novel-novel yang berlatar belakang abad ke-20, seperti The Penitent (1974) dan Shosha (1978). Pada tahun yang sama dengan penulisan Shosha, Singer juga memenangkan Hadiah Nobel dalam Sastra. Setelah menerima Hadiah Nobel, ketenaran Singer berkembang tak terhitung di antara penulis-penulis dunia. Dengan demikian, melalui karyanya, Singer melengkapi harta karun sastra hingga kematiannya pada 24 Juli 1991 di Surfside, Florida.

Tulisan ini membahas karakter Jacob dalam novel The Slave karya Isaac Bashevis Singer sebagai seorang pengikut agama yang tekun. Sebagai tokoh sentral dalam novel, Jacob menjalani kehidupan sebagai budak di desa tempat tinggal Wanda. Sebelumnya, dia bekerja sebagai guru dan memiliki banyak pengetahuan tentang agamanya dibandingkan dengan penduduk setempat lainnya. Namun, seringkali kepercayaan berlebihan membuatnya terlihat seperti orang yang sangat takhayul. Oleh karena itu, dia mencoba untuk melarikan diri dari cintanya yang batiniah terhadap Wanda. Jacob adalah seorang pengikut setia Yudaisme. Dia sering berusaha untuk mengikuti semua ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya. Jacob dengan sadar mengikuti semua ritual keagamaan dalam tindakan sehari-harinya. "Sebelum memerah sapi, Jacob mengucapkan doa pembukaan (4)". Meskipun sebagai budak, sangat sulit untuk mengikuti semua praktik tersebut, dia mencoba untuk mengikutinya dengan semangat keagamaan yang luar biasa. "Dia mengulurkan tangannya tanpa melihat, meraih kendi air. Tiga kali dia mencuci tangan, tangan kiri terlebih dahulu dan kemudian tangan kanan, berganti sesuai dengan hukum. Dia telah berbisik bahkan sebelum mencuci. 'Aku bersyukur', sebuah doa yang tidak menyebut nama Tuhan... (117)". Jacob menempatkan etika keagamaan di posisi sentral dan dalam segala kondisi dia mengikuti agama, meskipun sebagai seorang budak.

Jacob mengalami beberapa kesulitan saat melakukan hukum-hukum dan observasi spiritual. Karena kurangnya praktik, dia tidak mampu mengingat semua panggilan Mishnah (bagian pertama dari Taurat) dan beberapa halaman Gemara (bagian lain dari Talmud) serta bagian-bagian lain dari Alkitab. Namun, melalui pengulangan yang berkelanjutan, Jacob mencoba untuk mengingat panggilan-panggilan tersebut, karena dia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga identitasnya utuh. Pada saat itu, sunat adalah satu-satunya tanda identitas Yahudinya karena adanya tekanan dari luar. "Dia melarikan diri dari para pembunuh dan perampok Polandia telah menyeretnya ke suatu tempat di pegunungan dan telah menjualnya sebagai budak kepada Jan Bzik. Dia tinggal di sini selama empat tahun sekarang dan tidak tahu apakah istrinya dan anak-anaknya masih hidup. Dia tanpa selendang doa dan filakteri, pakaian berjumbai atau kitab suci. Sunat adalah satu-satunya tanda di tubuhnya bahwa dia seorang Yahudi. Tapi syukur kepada Tuhan, dia tahu doa-doa, beberapa bab Mishnah, beberapa halaman Gemara, sejumlah Mazmur, serta kutipan-kutipan dari berbagai bagian Alkitab. Dia akan terbangun di tengah malam dengan baris-baris dari Gemara yang tidak menyadari bahwa dia mengetahuinya berlari melalui kepalanya. Memori-nya bermain petak umpet dengannya... Sulit untuk percaya bahwa melodi-melodi seperti itu datang dari orang-orang yang makan anjing, kucing, tikus ladang, dan menikmati segala macam kekejian. Para petani di sini bahkan belum mencapai tingkat orang Kristen. Mereka masih mengikuti kebiasaan-kebiasaan para penyembah berhala kuno (5)".

Kesetiaan Jacob terhadap keyakinan Yahudi sangat kuat, dan karena itu, dia siap untuk mengorbankan cintanya terhadap Wanda. Meskipun menghabiskan hidupnya sebagai budak, Jacob tidak pernah ragu untuk mengikuti keyakinan agamanya. Dalam keyakinan Yahudi, seseorang tidak diharapkan untuk bekerja pada hari Sabat (hari libur tertentu, yaitu Sabtu). Meskipun sulit baginya untuk mengikuti ini, dia menyeberangi semua rintangan dengan menambahkan sebulan doa sebagai kompensasi. Jacob tahu bahwa semua ini direncanakan oleh Setan; sepanjang hari dia merindukannya dan tidak bisa mengatasi kerinduannya. Segera setelah dia terbangun, dia akan mulai menghitung jam-jam sebelum dia datang kepadanya. Seringkali dia akan berjalan ke jam matahari yang telah dia buat dari batu untuk melihat seberapa jauh bayangan telah bergerak... Bagaimana dia bisa menjaga hatinya murni ketika dia tidak memiliki filakteri untuk dipakai dan tidak ada pakaian berjumbai untuk dikenakan? Karena tidak memiliki kalender, dia bahkan tidak dapat mengamati hari-hari suci dengan baik. Seperti Orang-Orang Kuno, dia menghitung awal bulan berdasarkan munculnya bulan baru, dan pada akhir tahun keempatnya, dia memperbaiki perhitungannya dengan menambahkan satu bulan ekstra. Tetapi, meskipun semua usaha ini, dia menyadari bahwa dia mungkin telah melakukan beberapa kesalahan dalam perhitungannya (9).

Keseriusan, iman, dan ketekunan Jacob terhadap agamanya membuatnya setia, tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada mantan istrinya. Dia adalah pengikut setia etika Yahudi yang mencegahnya untuk terlibat dengan seorang non-Yahudi, itulah sebabnya dia berkali-kali menolak cinta dari Wanda. "Taurat mengatakan bahwa seorang pria tidak boleh memaksa istrinya," kata Jacob. "Dia harus diakali olehnya sampai dia bersedia." "Di mana Taurat? Di Josefov?" Wanda "Taurat ada di mana-mana." "Bagaimana bisa ada di mana-mana?" "Taurat mengatakan bagaimana seorang pria seharusnya berperilaku." Wanda diam. "Itu untuk kota. Di sini pria-pria adalah banteng liar. Bersumpahlah padaku bahwa kamu tidak akan pernah mengungkapkan apa yang kukatakan padamu." "Kepada siapa aku akan mengatakannya?" (15).

Selain perbudakan terhadap agama, Jacob juga terperbudak pada cinta Wanda serta keinginan-keinginan naluriah lainnya. Berkali-kali Jacob mencoba menghindari Wanda serta cintanya, oleh karena itu ketika orang-orang dari komunitasnya datang untuk menebusnya, ia pergi tanpa memberi tahu dia. Untuk beradaptasi dengan kehidupan normal, Jacob berkerjasama dengan komunitasnya setelah sampai di tempatnya. Saat itu, ia bahkan setuju untuk menikahi seorang wanita dari komunitasnya sendiri. Tetapi perilaku wanita tersebut mengingatkan Jacob tentang pentingnya Wanda, dan akhirnya ia kembali kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan Wanda seringkali membutuhkan jawaban yang tidak bisa ditemukan di dunia ini. Ia bertanya: "Jika pembunuhan adalah kejahatan, mengapa Tuhan mengizinkan orang Israel berperang dan bahkan membunuh orang tua dan anak-anak kecil?" Jika bangsa-bangsa yang jauh dari orang Yahudi, seperti bangsanya sendiri, tidak tahu tentang Taurat, bagaimana mereka bisa disalahkan karena menjadi penyembah berhala? Jika Bapa Abraham adalah seorang santo, mengapa ia mengusir Hagar dan anaknya Ishmael ke padang gurun dengan sekantong air? Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa yang baik menderita dan yang jahat berhasil. Jacob berkali-kali mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bisa memecahkan semua teka-teki dunia, tetapi Sarah terus bersikeras, "Kau tahu segalanya." (117)

Setelah pernikahan mereka, baik Jacob maupun Wanda menjadi saling mendukung satu sama lain. Wanda tidak menyadari hukum-hukum Yudaisme, oleh karena itu Jacob membantunya beradaptasi dengan lingkungan baru. Sebagai suami, Jacob liberal, membantu, serta kooperatif. Namun, ia sangat konservatif terhadap agamanya, oleh karena itu ia ingin Wanda lebih fokus pada etika Yahudi, dan berulang kali menegakkan keyakinan Yahudi yang ketat padanya.

Jika kita melihat hari-hari sebelumnya di mana Jacob menjalani kehidupannya sebagai budak di desa Wanda, pada saat itu Wanda, tanpa pertanyaan apapun, hanya membantu pelayannya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dikatakan bahwa pada saat itu, satu-satunya bukti Jacob sebagai seorang Yahudi adalah sunatnya yang tidak boleh diungkapkan di depan wanita lain, oleh karena itu, hanya kepercayaan Wanda yang membuatnya bekerja dengan arah yang positif bagi Jacob, tetapi ketika kesempatan datang bagi Jacob untuk membuktikannya, ia bertindak berbeda.

Jacob memberi tahu Sarah tentang kehidupan moral, meramaikan teksnya dengan sedikit perumpamaan. Dia berbicara tentang seberapa besar cintanya padanya. Mereka sering mengingat musim panas yang pernah dia jalani di lumbung ketika dia membawa makanan kepadanya. Sekarang hari-hari itu sudah jauh dan sebayang seperti mimpi. Sarah merasa sulit untuk percaya bahwa desa tersebut masih ada dan bahwa Basha dan Antek dan mungkin ibunya masih tinggal di sana. Menurut hukum, kata Jacob, dia tidak lagi menjadi anggota keluarganya. Seorang konversi seperti bayi yang baru lahir dan memiliki jiwa yang segar. Sarah seperti Ibu Hawa yang terbentuk dari rusuk Adam; suaminya adalah satu-satunya kerabatnya. “Tapi,” berdebat Sarah, “ayahku masih ayahku,” dan ia mulai menangis tentang Jan Bzik yang telah memiliki kehidupan yang begitu sulit dan sekarang terbaring terkubur di antara penyembah berhala. “Kau harus membawanya ke Surga,” kata Sarah kepada Jacob. “Aku tidak akan pergi tanpanya.”

Jacob, seorang pengikut agama yang taat saat menjalani hari-harinya sebagai budak, juga berusaha sebaik mungkin untuk memperhatikan etika keagamaan. Bagi Jacob, agamanya lebih penting daripada kehidupan keluarga maupun kebutuhan naluriahnya yang lain. Ini adalah alasan utama yang membuat Wanda kehilangan cinta sejati dari Jacob. Karakter Jacob digambarkan sebagai orang yang berpengetahuan luas yang memiliki pemahaman mendalam tentang etika agama Yahudi. Namun, tujuan utama agama bukanlah untuk mendorong pengikutnya menuju kepercayaan takhayul. Tujuan dari keyakinan agama tradisional adalah untuk membawa orang-orang ke jalur yang benar agar sistem sosial dapat mengikuti jalur yang sama. Tetapi di era sekarang, para penguasa agama mendissuasi rakyat jelata demi kepentingan mereka sendiri. Sejak kecil, individu diajarkan untuk memiliki devosi yang benar terhadap keyakinan agama. Hanya agama yang membantu kita membangun persatuan dalam komunitas. Ini juga mencerminkan warisan budaya yang kaya serta harmoni sosial yang sehat dan kesetiaan, kehormatan, dan dedikasi komunitas. Namun, ketaatan buta terhadap agama berubah menjadi takhayul dan tidak peduli seberapa berpengetahuan orang tersebut, sulit untuk melarikan diri dari kepercayaan semacam itu. Kelemahan manusia atau kepercayaan berlebihan terhadap agama mengubah individu dari seorang budak agama menjadi seorang budak takhayul. Karakteristik serupa juga tercermin oleh Jacob, yang membuktikan bahwa ia bukan hanya seorang budak agama tetapi juga seorang budak takhayul. Sebelum kelahiran Sarah ketika Lady Pilitzky mengajukan pertanyaan kepada Jacob tentang identitas asli Sarah dan mengancam nyawanya, pada saat itu merasa takut akan bahaya yang akan datang, Jacob menerapkan berbagai aktivitas takhayul untuk melindungi Wanda dan bayi yang akan datang mereka.

Sarah, setelah pindah kembali ke Pilitz dari perkebunan, selain persiapan liburan, bersiap untuk melahirkan. Jacob telah meletakkan Kitab Penciptaan dan sebilah pisau di bawah bantalnya untuk mencegah setan-setan jahat yang mengitari wanita yang sedang melahirkan dan melukai bayi yang baru lahir... Jacob juga telah mendapatkan talisman dari penulis yang memiliki kekuatan untuk menyingkirkan Ygereth, ratu setan...

Jacob di sini adalah perwakilan dari perbudakan agama dan takhayul yang mencerminkan representasi mikrokosmis dari makrokosmis. Seperti Jacob, orang Yahudi lainnya dari masyarakat Pilitz juga menjadi korban takhayul. Itulah sebabnya, saat kelahiran Sarah, kata-kata awalnya (pada saat itu dia berteriak karena kesedihan) mengarahkan pikiran masyarakat kepada pemikiran takhayul. Mereka pertama-tama menganggapnya sebagai mukjizat yang kemudian berubah menjadi gagasan bahwa ada dybbuk (yaitu, roh jahat yang masuk ke dalam tubuh yang diyakini sebagai jiwa yang terpisah dari orang mati) yang masuk ke dalam tubuh Sarah.

Ketika gelap tiba dan Sarah terus berteriak, para wanita mulai bertengkar. Haruskah dia diberi susu anjing betina yang dicampur madu? ... Ini adalah pertanda buruk. Bidan berkata: “Aku takut tidak akan ada roti dari oven ini.” “Kita setidaknya harus mencoba menyelamatkan bayinya.” Para wanita berbicara dengan keras, percaya bahwa tidak perlu menjaga kata-kata mereka. “Apa yang akan janda lakukan dengan bayi yang baru lahir?” “Oh, dia akan menemukan seorang wanita untuk membantunya.” “Bayangkan, Tuhan sudah menetap

Jacob sebagai seorang Yahudi ortodoks yang memberikan lebih banyak perhatian pada keyakinan agamanya daripada hal lainnya. Selama hidupnya, Jacob berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti etika agamanya dengan tulus. Oleh karena itu, setelah pernikahan mereka, Jacob tidak ingin melihat perilaku sembarangan dari Wanda dalam mengikuti etika Yahudi. Ia ingin Wanda mengikuti semua keyakinan Yahudi dengan penuh keinginan dan berkali-kali membatasi Wanda dengan memberlakukan hukum Yahudi. Sebagai seorang Kristen lahir, Wanda tidak menyadari hukum-hukum Yahudi. Sebelumnya, Wanda menikmati kehidupan yang lebih liberal, oleh karena itu ia kesulitan mengikuti ritual Yahudi dengan sehalus Jacob. Namun, ia lebih fleksibel, terbuka, dan berfokus dengan sedikit ketakutan, oleh karena itu ia berusaha sebaik mungkin untuk bekerja sama dengan sentimen religius Jacob. Berbeda dengan Jacob, ia adalah budak dari perasaan batin dan cintanya, oleh karena itu ia dengan senang hati menerima semua perubahan, termasuk agamanya dan identitasnya sendiri. Ia sangat dinamis dan terbuka dalam mengadopsi agama Jacob, sedangkan yang terakhir selalu konservatif terhadap keyakinan agamanya sendiri dan masuk ke dalam kategori sentimen religius yang tidak matang.

Pada bagian ini, novel tersebut menggambarkan dinamika hubungan antara master dan budak, serta perbedaan keyakinan agama yang memengaruhi hubungan antara Jacob dan Wanda. Dengan mengambil sudut pandang yang mengkritisi kesalehan agama yang kaku dan menyoroti kompleksitas hubungan antara master dan budak, novel ini menggambarkan perjuangan keduanya dalam mengatasi perbedaan keyakinan dan norma sosial yang membatasi kebebasan Wanda sebagai seorang master. Selain itu, novel ini juga menunjukkan bagaimana perasaan cinta dapat melampaui batasan-batasan sosial dan agama, meskipun itu tidak selalu diterima oleh masyarakat sekitar.

Bagian ini menampilkan momen emosional yang penting dalam hubungan antara Jacob dan Wanda. Saat Jacob naik ke bukit pengamatannya, dia melihat Wanda mendekatinya sambil membawa dua ember dan keranjang makanan. Air mata mengalir di matanya karena ada seseorang yang mengingatnya dan peduli padanya. Dia berdoa agar badai menahan diri sampai Wanda mencapainya.

Potret ini menggambarkan kepedulian dan perhatian yang dalam antara Jacob dan Wanda. Meskipun mereka berada dalam hubungan master-budak yang rumit, momen ini menunjukkan bahwa ada ikatan emosional yang kuat antara keduanya. Jacob merasakan kehadiran dan perhatian Wanda dengan sangat mendalam, dan ini menjadi titik penting dalam pembangunan hubungan mereka yang penuh kasih sayang.

Perjuangan Jacob dan Wanda dalam melawan norma-norma sosial untuk cinta mereka. Jacob, sebagai seorang budak agama, kurang memiliki keberanian untuk melanggar hukum sosial, sehingga tanpa memberitahukan Wanda, ia kembali ke tempatnya sendiri. Namun, cinta Wanda dan perbudakan Jacob terhadap dorongan naluriah serta keyakinan bahwa tidak ada yang cocok bagi Jacob selain Wanda, membuatnya kembali. Setelah pernikahan mereka, Jacob mendapatkan posisi kontrol sebagai tuan. Seperti Wanda, Jacob sebagai tuan dan suami juga berusaha keras untuk memberikan kenyamanan bagi Wanda.

Ketika Jacob sendirian dengan Sarah di malam hari, dia menangis dan mengulangi apa yang dikatakan orang Yahudi. “Kamu tidak boleh mengulangi hal-hal seperti itu,” Jacob memarahinya. “Itu adalah fitnah. Itu dosa sebesar makan daging babi.” ... Jacob, membuka Pentateuk, menerjemahkan teksnya dan memberitahunya bagaimana setiap dosa telah diinterpretasikan oleh Gemara. Beberapa kali dia berjalan ke pintu untuk memastikan tidak ada yang mendengarkan atau melihat melalui lubang kunci.

Jacob sangat aktif dalam menjaga Wanda. Jacob juga sangat sadar bahwa saat identitas Sarah terungkap, mereka akan menghadapi kehancuran tertentu. Oleh karena itu, dia berusaha sebaik mungkin untuk mengambil setiap tindakan pencegahan. Meskipun dia terus berusaha melindungi Wanda dari orang-orang Yahudi, dia gagal. Itu adalah takdir atau keadaan yang memainkan peran penting dalam mengungkap identitas Jacob dan Sarah. Tidak peduli seberapa kuat, bijaksana, dan protektif seseorang, mereka hampir tidak memiliki peluang untuk melarikan diri dari serangan paksa keadaan.

Jacob juga menjadi budak keadaan dan ditinggalkan sebagai tuan yang tak berdaya yang gagal melindungi budak atau istrinya dari orang-orang komunitas Yahudi. Pada saat melahirkan, kondisi Sarah sangat kritis. Itu sebabnya, menganggap kematian Sarah pasti, para wanita tetangga membuat komentar pedas tentang pernikahan kedua Jacob yang membuat Sarah gelisah, memaksa dia untuk berbicara keras. Pada saat itu, untuk mengontrol situasi dan menyembunyikan segalanya, Jacob berkali-kali meminta Wanda untuk diam, sehingga dia mencoba menyatu dengan keyakinan takhayul penduduk desa bahwa roh lain telah masuk ke dalam Sarah. Tetapi kehadiran Pilitzky serta kesombongan Sarah membuatnya gagal. Dengan liciknya, Pilitzky mengungkap identitas Sarah, sehingga mereka ditolak oleh komunitas.

Kehidupan seorang budak selalu dikendalikan oleh tuannya di mana ia hampir tidak memiliki kebebasan untuk berpikir atau bertindak dengan benar. Budak selalu menjadi milik orang lain. Dalam kehidupan seorang budak, kebebasan ada dalam keberadaannya lebih sedikit. Seorang budak selalu dipaksa untuk berperilaku sesuai dengan tuannya, sehingga menjadi pelaku pasif dari hidupnya. Jacob, budak representatif agama, takhayul, dan masyarakat dalam novel The Slave juga bertindak secara pasif pada saat kelahiran Wanda. Konsep 'Learned Helplessness' menunjukkan bahwa jika seseorang terus-menerus dipaksa untuk menanggung rangsangan, dia menjadi reaktif pasif terhadap situasi tersebut. Demikian pula, kehidupan seorang budak terlalu menyedihkan dan pasif di mana mereka harus menanggung semua jenis trauma dan kekejaman tanpa mengucapkan satu kalimat pun. Dalam kondisi ini, mereka juga menjadi tidak peduli tentang kehidupan mereka sendiri dan hanya percaya pada adaptabilitas.

Kehidupan yang terperangkap dari Jacob berjalan dalam rute yang sama, di mana ia kehilangan segala harapan untuk melawan kembali terhadap kekuatan eksternal. Setelah pernikahan mereka, Jacob dan Wanda pergi ke Pilitz. Pada saat itu, menyembunyikan identitas Wanda, untuk melindunginya dari masyarakat Yahudi, dia diberi identitas baru sebagai Sarah tuli. Jacob sangat sadar bahwa ketika identitas Sarah terungkap bagaimana konsekuensi yang sangat keras bisa terjadi. Tetapi meskipun memiliki pengetahuan tentang semua faktor, perilakunya sangat pasif. Setelah bertemu istri Pilitzky, dia juga mendapat ide bahwa orang-orang mulai meragukan Sarah serta identitasnya. Meskipun dia takut, dia hampir tidak mengambil langkah apa pun untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Pada saat itu, untuk menyelamatkan nyawa istri dan anak yang akan datang, Jacob bisa saja meninggalkan tempat itu atau mengambil tindakan pencegahan lain, tetapi dia bertindak sangat pasif yang akhirnya membuat Wanda kehilangan nyawanya. Semua kepasifan ini terdapat dalam karakter Jacob karena kehidupan masa lalunya sebagai budak di mana ia hanya mengalami kesulitan dan siksaan. Sebagai seorang budak, dia seharusnya mengikuti setiap perintah tanpa pertanyaan apa pun.

Karakter Jacob memiliki kesamaan dengan sisi "Stabil atau Tidak Stabil dan Global atau Spesifik" dari konsep keterbantuan yang dipelajari. Frasa stabil atau tidak stabil mengacu pada pertimbangan bahwa peristiwa disebabkan oleh faktor yang tidak berubah, sehingga seseorang tidak pernah mencoba untuk mengubahnya. Global atau spesifik mengacu pada keyakinan bahwa jika peristiwa disebabkan oleh sejumlah besar faktor, seseorang dapat melakukan sedikit untuk mengubah hal-hal tersebut. Jacob, budak agama, setelah mendengar tentang ancaman yang akan datang terhadap kehidupan Wanda dari Lady Pilitzky, menjadi lumpuh secara fisik. Pada saat itu, ketakutannya tentang pengungkapan identitas mereka yang sebenarnya dan akibatnya membuatnya lebih pasif, sehingga dia menjadi korban penyebab ketiga, yaitu Global dan Spesifik. Dia berpikir bahwa Wanda berada dalam bahaya, bukan karena satu faktor, tetapi beberapa faktor, yaitu masyarakat dan hukumnya, agama, musim dingin, serta kehamilannya. Semua faktor ini, yaitu masyarakat, agama, alam, dan lingkungan berada di luar kendali seseorang. Jacob kurang mampu menyelamatkannya dari semua faktor tersebut, oleh karena itu ia merasa seolah-olah ia terperangkap. Hanya Allah yang mengendalikan faktor-faktor seperti itu dan, menjadi boneka dari tangan-Nya, seseorang hanya harus bertindak sesuai dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, sebagai budak atau korban dari penyebab internal atau eksternal, Jacob juga mencerminkan kepasifan dalam sifatnya.

Bagian ini menggambarkan bagaimana faktor-faktor tertentu membawa kepasifan pada karakter Jacob, terutama dalam konteks kelahiran yang rumit dari Wanda. Selama kelahiran, Wanda menghadapi banyak kesulitan. Para wanita tetangga juga khawatir tentangnya. Pada saat itu semua orang bingung tentang siapa yang akan diselamatkan, anak atau ibunya. Beberapa dari mereka juga membahas masa depan Jacob serta pernikahan keduanya. “'Kita setidaknya harus mencoba menyelamatkan bayinya.' Para wanita berbicara dengan keras, percaya bahwa tidak perlu menjaga kata-kata mereka. 'Apa yang akan dilakukan duda dengan bayi yang baru lahir?' 'Oh, dia akan menemukan wanita untuk membantu.'” (166) Pada saat itu Sarah mendengarkan semua percakapan para wanita tetangga. Dia berpura-pura tuli dan bisu, sehingga berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak. Kelahiran yang rumit, serta diskusi dari wanita-wanita lain, membuat Sarah gagal mengontrol emosinya. Sakit fisik dan emosional Sarah membuatnya meledak, dengan berteriak.

Jacob, yang pergi ke rumah beadle untuk mengambil matzah Paskah lebih banyak karena potongan yang digunakan jatuh dari bibir Sarah dan bercampur dengan darah, tidak ada di tempat. Semua orang di ruangan mulai berteriak sekaligus dan ada keramaian yang terdengar di jalanan. Dari semua arah orang datang berlari ke rumah Jacob, di antaranya adalah wanita-wanita persiapan pemakaman yang mengira Sarah sudah meninggal dan siap untuk menempatkan jenazah di lantai dan menyalakan lilin. Segera saja ada kerumunan di ruangan sehingga tempat tidur tempat Sarah berbaring hampir rusak. Terkejut, dia mulai berteriak dalam bahasa Polandia aslinya: “Apa yang kalian inginkan dari saya? Keluar dari sini. Kalian berpura-pura baik, tapi kalian semua busuk. Kalian ingin mengubur saya dan menikahkan Jacob dengan salah satu dari kalian, tapi saya masih hidup. Saya masih hidup dan bayi saya juga. Kalian terlalu cepat bersukacita, tetangga. Jika Tuhan ingin saya mati, Dia tidak akan membuat saya melewati apa yang saya alami.” Suara Polandia Sarah bukan milik seorang Yahudi tetapi milik seorang non-Yahudi dan wanita-wanita itu pucat. “Itu adalah dybbuk yang berbicara.” “Ada dybbuk di dalam Sarah,” suara yang lain berkata ke luar malam (166).

Mendengarkan suara Sarah, masyarakat menganggapnya sebagai sebuah keajaiban. Tetapi kemudian, mereka menganggap bahwa sejenis dybbuk telah masuk ke dalam tubuh Sarah yang membuat mereka takut. Tetapi kebenaran tentang identitas Sarah terungkap oleh Pilitzky (penguasa Pilitz) yang membuktikan bahwa Sarah adalah seorang non-Yahudi. Melihat kekuatan situasi, Jacob hanya menyerahkan dirinya padanya. Jacob bahkan mencoba menenangkan Wanda, tetapi segalanya di luar kendalinya. Akibatnya, penyebab eksternal menguasainya dan membuatnya menjadi korban keterbantuan yang dipelajari.

Bagian ini menyoroti bagaimana struktur sosial memaksa warga negara untuk mengikuti aturan dan regulasi konvensional. Seperti yang disebutkan oleh Foucault, setiap saat individu dipantau oleh struktur kekuasaan. Dalam novel ini, Jacob, serta istrinya, dikontrol dan dipantau oleh konsep struktur kekuasaan ini. Masyarakat dapat menjadi siapa saja, tetapi mata elang dari struktur kekuasaan selalu ada. Jika seseorang mencoba untuk mendekonstruksi sistem dengan merusak "kandang ayam jantan," yaitu sistem yang menjebak individu (Adiga147), maka dia akan harus menghadapi hukuman yang kejam dan berulang kali dihadapi oleh karakter seperti Sarah/Wanda.

Bagian ini menggambarkan perbandingan antara kehidupan seorang budak dengan kehidupan seorang manusia biasa, serta bagaimana kedua entitas ini mengalami bentuk perbudakan yang berbeda. Kehidupan seorang budak dianggap menyedihkan, canggung, dan kekurangan martabat serta kebebasan berkehidupan. Di sisi lain, kehidupan manusia biasa memiliki ruang kebebasan yang lebih besar. Perbudakan seorang budak terlihat jelas, tetapi manusia biasa menderita perbudakan yang lebih tersirat. Di depan dunia luar, individu berpura-pura menjadi tuan, tetapi sebenarnya mereka lebih terjebak dalam perbudakan. Alasan intinya adalah perbudakan paksa seseorang terhadap faktor-faktor eksternal. Seorang budak hanya terikat pada tuannya. Dia harus bertindak sesuai perintah tuannya. Namun, manusia biasa terperbudak pada lingkungan dan sistem secara keseluruhan. Saat menjalani kehidupan sebagai budak, seseorang tidak sadar aturan dan regulasi struktur. Pada saat itu, budak hanya mendengarkan perintah tuannya. Namun, sebagai tuan, seseorang harus sangat sadar akan hukum sistem tersebut. Meskipun seorang tuan membimbing seorang budak, tanpa disadari dia juga di bawah bimbingan sistem di mana dia juga harus mengorbankan semua kehendak bebasnya dan bertindak sesuai aturan sosial.

Jacob menjadi tuan atas Wanda setelah pernikahan mereka. Selama itu, dia berusaha memberikan perlindungan dan tempat yang lebih baik bagi istrinya. Wanda adalah seorang non-Yahudi, karena itu mereka mencoba menyembunyikan identitas aslinya dari orang lain. Meskipun Jacob berada dalam posisi sebagai tuan dan lebih kuat dibandingkan Wanda, sebagai seorang budak sistem, setelah menghadapi para kepala komunitas serta perintah mereka, dia merasa tidak berdaya. Menurut para kepala komunitas, Wanda adalah seorang non-Yahudi dan tidak diterima oleh masyarakat; itulah sebabnya putra mereka juga tidak diterima. Jacob, melalui argumennya, mencoba meyakinkan para kepala komunitas bahwa Sarah telah melakukan setiap ritual, tetapi dia gagal. Sistem berjalan berdasarkan keyakinan stereotip. Ini memperbudak individu dengan menghancurkan kehendak bebasnya. Sistem tidak berubah bagi individu, individu harus berubah sesuai sistem dengan menyampingkan semua kehendak bebas mereka. Dengan demikian, baik Jacob maupun Wanda dibiarkan dalam situasi tanpa harapan dengan membuktikan bahwa kehendak bebas tidak mungkin bagi tuan maupun budak.

Bagian ini juga menyentuh tema peran takdir dan struktur kekuasaan dalam mengendalikan kehidupan individu. Sama seperti takdir, struktur kekuasaan juga dominan, yang melalui matanya yang tajam tidak memberikan ruang untuk membebaskan rakyat biasa. Meskipun pada permukaan tingkat kebebasan tetap utuh, pada kenyataannya kebebasan bertindak hampir tidak ada. Individu dikondisikan dan dimakanisme untuk bertindak sesuai dengan kegiatan yang ditetapkan. Dan dengan sukarela atau tidak sukarela mereka diperbudak untuk melakukannya. Dan jika seseorang berani melanggar aturan, dia akan menghadapi kebinasaan, seperti yang dialami Tess. "The Slave" juga menggambarkan perbudakan paksa Jacob dan Wanda yang berkembang dari kekuasaan serta pengetahuan yang meliputi segalanya. Pada saat itu, satu-satunya upaya mereka untuk bertindak sesuai kehendak bebas mereka, yaitu keputusan mereka untuk menikah, hanya membawa seumur hidup kesedihan bagi mereka karena kematian Wanda. Meskipun keputusan mereka untuk menikah adalah jenis kehendak bebas, mereka tidak pernah diizinkan memiliki kebebasan bertindak ini dengan mulus. Itulah sebabnya Wanda mengubah identitasnya menjadi Sarah. Keputusan kehendak bebas mereka mencapai kekeringan ketika takdir, tanpa meninggalkan ruang, membawa kehancuran yang tidak terkendali melalui struktur kekuasaan.

Bagian ini menggambarkan perbandingan yang menarik antara kehidupan seorang budak dan kehidupan manusia biasa dalam konteks perbudakan yang berbeda-beda. Kebebasan dan keterikatan individu terhadap struktur eksternal, baik secara eksplisit maupun implisit, sangat ditekankan di sini. Konsep kehendak bebas dan bagaimana hal itu terbatas atau bahkan tidak ada dalam kondisi tertentu juga menjadi tema penting dalam analisis ini. Selain itu, peran takdir dan struktur kekuasaan dalam mengontrol kehidupan individu dan membatasi ruang gerak mereka juga dijelaskan dengan baik dalam konteks cerita yang disajikan.

Dalam era saat ini, setiap individu yang beradab berada dalam perlombaan panjang untuk membuktikan diri mereka menjadi lebih baik. Tidak peduli seberapa kejam, kejam, dan tidak manusiawi seseorang, di depan orang lain, mereka hanya mencoba memproyeksikan diri mereka tanpa cacat. Manusia modern saat ini berada dalam perbudakan psikologis untuk mencerminkan realitas yang diproyeksikan. Penyebabnya bisa apa saja, bisa karena takut menjadi merosot atau orang-orang terlalu terbiasa sehingga mereka hanya memproyeksikan realitas yang superficial. Dengan demikian, kesadaran manusia saat ini terperbudak untuk memikirkan dan percaya pada realitas yang diproyeksikan yang berjalan dalam bawah sadar mereka. Mulai dari multimiliuner hingga manusia biasa, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi mereka, semua berperilaku secara superficial dengan mengenakan persona. Dalam novel, 'Persona' juga tetap ada dalam penampilan Wanda. Wanda menampilkan penampilan persona di depan komunitas Pilitz. Dalam tindakan itu, dia mendapat dukungan dari suaminya Jacob. Menjadi seorang non-Yahudi, sangat sulit bagi Wanda untuk mendapatkan tempat yang aman di luar komunitasnya. Namun, dia mengatasi semua hambatan demi Jacob untuk mempresentasikan dirinya dengan persona. "Wanda, bukan Jacob, telah memikirkan untuk berpura-pura bisu, menyadari bahwa Yiddish akan membutuhkan waktu terlalu lama baginya untuk belajar; kata-kata sedikit yang dia tahu dia bicarakan seperti seorang non-Yahudi ... Dia bukan pembohong yang cekatan dan akan langsung terungkap." (115)

Jung mendefinisikan persona sebagai bagian bawah sadar bersama dengan pengalaman nenek moyang. Ini adalah jenis psyche kolektif yang terdapat dalam setiap individu. Individu secara tidak sadar suka hidup dalam realitas yang diproyeksikan. Realitas itu kasar, keras, dan pahit rasanya, itulah sebabnya seseorang memiliki kelemahan terhadap hal-hal yang diproyeksikan. Setelah mengungkapkan identitas asli Wanda dan Jacob, orang-orang dari komunitas Pilitz bereaksi keras karena kelemahan mereka terhadap menghadapi realitas yang sebenarnya. Pada saat itu, Jacob dan Wanda tidak hanya dikritik tetapi juga ditolak oleh komunitas Pilitz. Melihat karakter Wanda, jelas bahwa perbudakan bawah sadar individu terhadap realitas yang diproyeksikan memaksa dia tampil dengan persona tertentu. Orang-orang suka memiliki realitas yang diproyeksikan. Seseorang dapat dengan mudah mengembangkan kepercayaan terhadap realitas yang diproyeksikan. Tetapi individu sangat terparalisis secara psikologis terhadap kepercayaan dan sistem konvensional sehingga mereka hampir tidak dapat menyesuaikan diri dengan orang tanpa persona. Insiden serupa juga dialami oleh Sarah. Menjadi budak cinta Jacob serta sistem konvensional, Wanda menggunakan persona dan mempersembahkan dirinya sebagai Sarah. Tindakan ini membawa simpati, cinta, dan kebahagiaan kehidupan keluarga baginya dengan kepercayaan dan perawatan dari komunitas Pilitz. Tetapi saat identitas aslinya terungkap, orang-orang yang sama meninggalkannya untuk mati sendirian dengan kritikan yang keras. Sekali lagi, karakter Wanda, secara metaforis, dapat dianggap sebagai psyche kolektif atau bagian bawah sadar bersama. Wanda muncul dengan persona sambil menjadi budak sistem dan cinta Jacob. Karakteristik ini dari Wanda dibagikan oleh sebagian besar perempuan dalam masyarakat. Perempuan sebagian besar adalah budak sistem dan emosi. Dan perbudakan ini pada perempuan berlangsung dalam darah mereka selama berabad-abad. Mereka juga mengalami kebebasan yang lebih sedikit dan lebih banyak kesulitan seperti yang dialami Wanda. Keserakahan mereka terhadap kebahagiaan membawa mereka untuk tampil dengan persona. "Keesokan harinya Sarah masih terbaring tak berdaya. Para wanita menolak untuk mengunjunginya karena menurut hukum Polandia dia juga telah melakukan kejahatan besar. Hanya satu wanita tua yang datang beberapa kali untuk menanyakan keadaannya dan meninggalkan beberapa ayam yang Sarah tidak bisa menelannya." (176) Seseorang perlu berfungsi sesuai dengan aturan tertentu dari masyarakat tertentu. Menjadi budak dari sistem yang sama, kadang-kadang seseorang dapat mencoba mengenakan persona dengan menciptakan realitas yang superficial. Namun, menyembunyikan realitas yang sebenarnya untuk waktu yang lama adalah pekerjaan yang sulit. Sarah dan Jacob mencoba menggunakan persona untuk menghindari realitas Wanda tetapi kemudian terungkap oleh Pilitzky (tuannya Pilitz).

Patriarki mengacu pada sistem sosial dan ideologis di mana perempuan dianggap tidak sebanding dengan laki-laki. Patriarki mengindikasikan bahwa kendali tertinggi suatu keluarga harus ada di tangan ayah atau seorang laki-laki. Ini menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat patriarki, laki-laki mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas perempuan. Menganggap diri mereka sebagai demigod, laki-laki selalu menekan perempuan atas nama reproduksi dan seksualitas. Jacob, sebagai perwakilan Yudaisme serta masyarakat patriarki, memegang mahkota sebagai tuan ganda Wanda, dengan demikian, dia juga memiliki tanggung jawab ganda untuk melindunginya dari kepercayaan agama yang profan dengan reaksi sosial yang menakutkan, yang pada akhirnya gagal dia lakukan. Jacob sangat saleh dan setia pada agamanya. Demikian juga, dia berusaha keras dan sadar saat mengembangkan hubungan tuan dan budak yang sehat. Meskipun memiliki semua kualitas ini, Jacob gagal menahan diri dari menjadi budak keinginan kekuasaan atau dominasi. Seperti laki-laki lainnya, setelah menikah

Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap sebagai pengendali keluarga. Perempuan dari keluarga-keluarga tersebut dianggap harus bertindak atau berperilaku sesuai dengan perintahnya. Karena, secara alami, individu cenderung orientasi pada kegunaan, maka pengendali, yaitu laki-laki dari keluarga-keluarga tersebut, mencoba menggunakan perempuan hanya untuk keuntungan mereka sendiri. Bahkan dalam kasus pernikahan atau cinta, mereka memilih lawan jenis dengan cara mengukurnya terhadap pesaing lainnya. Mereka membuat tabel perbandingan kualitasnya dengan wanita lain. Jacob, yang juga merupakan perwakilan dari masyarakat patriarki, memiliki kualitas yang sama dalam Pertukaran Sosial. Dia juga rasional dan sadar akan biaya dan manfaat. Jadi, meskipun mendapatkan beberapa panggilan dari wanita-wanita desa lainnya, dia memilih Wanda sebagai pasangan hidupnya yang dianggap sebagai wanita desa tersebut.

Wanda berusia dua puluh lima tahun dan lebih tinggi dari kebanyakan wanita lainnya. Dia memiliki rambut pirang, mata biru, kulit putih, dan fitur yang baik... Saat dia tersenyum, pipinya berlekuk dan giginya begitu kuat sehingga bisa menghancurkan biji-bijian yang paling keras. Hidungnya lurus dan dia memiliki dagu yang sempit. Dia adalah penjahit yang terampil dan bisa merajut, memasak, dan bercerita yang membuat bulu kuduk orang berdiri. Di desa, dia memiliki julukan 'wanita' (8). Tidak hanya Jacob tetapi juga Wanda sadar ketika memilih pasangan untuk diri mereka sendiri. Jacob, budak di rumah Wanda, dianggap sebagai pribadi yang tampan yang juga memiliki pengetahuan luar biasa tentang agama. Itulah sebabnya, menolak proposal dari penduduk desa lainnya, Wanda memilihnya. Jacob lebih berpengetahuan dibandingkan Wanda, oleh karena itu setelah dibebaskan oleh orang-orang komunitasnya dia mencoba untuk menetap dengan menikahi seorang Yahudi. Tetapi setelah bertemu dengan wanita tersebut dia yakin bahwa tempat Wanda tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Wanda lebih agung dan jujur, oleh karena itu, meskipun menjadi budak agama, Jacob meninggalkan ide untuk menikah di dalam komunitas dan kembali kepada Wanda yang lebih baik daripada wanita lainnya. Sebagai perwakilan dari patriarki, Jacob menemukan bahwa Wanda jauh lebih cocok untuknya daripada wanita tersebut karena dia lebih berbakti dan tunduk, sedangkan Wanda lebih memilih Jacob karena pesonanya dan pengetahuannya yang kurang dimiliki oleh laki-laki desa lainnya. Dengan demikian, baik Jacob maupun Wanda mencerminkan perbudakan psikologis mereka untuk menjadi lebih baik atau mendapatkan manfaat.

Dia menyukainya, yang dilihat Jacob, dan siap untuk duduk dan menulis perjanjian awal. Tetapi dia ragu. Wanita ini terlalu tua dan manis, terlalu licik... Orang seperti ini membutuhkan suami yang terbungkus, tubuh dan jiwa, dalam uang... Saya telah berhenti menjadi bagian dari dunia ini, kata Jacob pada dirinya sendiri, pertandingan itu tidak akan baik untuk kita berdua. Saya bukan pengusaha secara alamiah... (85).

Spivak menggunakan konsep 'Lain' dalam esainya "Can the Subaltern Speak?" ketika memperkenalkan dominasi Barat atas Timur. Di sini, dia menyebut Timur sebagai Lain di mata Barat. Saat melakukan aktivitas apa pun, fokus seseorang harus pada Barat. Konsep Othering tidak hanya berlaku di Barat dan negara-negara dunia ketiga, tetapi juga dapat dibandingkan dengan setiap komunitas secara mikrokosmis di mana para penguasa komunitas menganggap diri mereka sebagai Saya, dan yang lainnya sebagai Lain. Mereka juga menyebut orang-orang dari komunitas yang berbeda sebagai Lain, menolak untuk menganggap mereka sebagai bagian dari komunitas mereka. Perlakuan serupa dari Othering diberikan oleh para penguasa komunitas Pilitz kepada Wanda, Lain. Wanda berasal dari agama Lain yaitu Kristen, yang menurut Yahudi adalah Lain. Orang Kristen bukanlah 'kita' bagi Yahudi dan sebaliknya. Jacob tidak dapat menerima Wanda sebagai kekasihnya atau istri masa depan karena konsep Other ini. Bagi Jacob, karena Wanda adalah seorang non-Yahudi, oleh karena itu dia harus diperlakukan sebagai Lain. Demikian juga, para penduduk desa Josefov menganggap Jacob sebagai Lain karena menjadi seorang Yahudi, dan juga masyarakat Pilitz menolak baik Wanda maupun anaknya.

Menurut hukum, anak lahir ke dalam keyakinan ibunya. Sudah jelas bahwa Sarah adalah seorang non-Yahudi bahkan nama tersebut menegaskan bahwa dia adalah seorang penganut agama lain. Tetapi pengadilan rabbinik mana yang akan menegakkan konversi seorang non-Yahudi ketika hukuman bagi tindakan tersebut adalah kematian?... Keesokan harinya Sarah masih terbaring tak berdaya. Para wanita menolak untuk mengunjunginya karena menurut hukum Polandia dia juga telah melakukan kejahatan besar (175-76).

Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex juga menggunakan konsep Lain untuk memproyeksikan dominasi laki-laki atas perempuan. Dalam masyarakat patriarki, seorang perempuan dianggap sebagai Lain. Untuk menunjukkan kekuasaan mereka atas perempuan, laki-laki menyebut perempuan sebagai Lain, sebagai yang kurang kuat, kurang intelektual, dan lemah dibandingkan dengan mereka. Menunjukkan perbudakan komoditas perempuan de Beauvoir mengatakan bahwa:

Dia senang dengan tampilan 'batin'nya, bahkan penampilannya sendiri, yang suami dan anak-anaknya tidak perhatikan karena mereka sudah terbiasa dengan mereka. Tugas sosialnya, yang adalah 'untuk tampil baik'... perempuan, sebaliknya, bahkan diharuskan oleh masyarakat untuk menjadikan dirinya sebagai objek erotis. Tujuan dari mode yang ia perbudakan bukan untuk menampilkan dia sebagai individu independen, tetapi lebih sebagai mangsa keinginan laki-laki (de Beauvoir 542–43).

Dalam novel 'The Slave' karya Isaac Bashevis Singer, hubungan antara Wanda dan Jacob mencerminkan dinamika yang kompleks antara harapan sosial dan keinginan pribadi. Wanda, seorang wanita desa, menghadapi mentalitas yang mengkomodifikasi tidak hanya dari penduduk desa tetapi juga dari Jacob sendiri. Jacob, seorang penganut agama yang terpelajar, menjadi budak keadaan yang menghabiskan hari-harinya sebagai budak di desa Wanda. Meskipun menghabiskan hari-harinya sebagai budak, Jacob tidak pernah melepaskan psikologi laki-laki, itulah sebabnya dia menjadi sangat spesifik dalam memilih pasangan hidupnya. Dia memilih Wanda sebagai istrinya karena dia tunduk, lembut, dan cantik dibandingkan wanita lain. Setelah menerima Wanda sebagai kekasih dan istrinya, Jacob lebih memperhatikan kesalahan Wanda dalam mengikuti ritual Yahudi. Berulang kali ia mengingatkan Wanda tentang ritual Yahudi dan memintanya untuk mengikutinya dengan baik.

Pergi ke desa tempat dia menjadi budak selama lima tahun, Jacob memikul beban yang semakin berat seiring berjalannya waktu. Tahun-tahun perbudakan yang dipaksakan padanya digantikan oleh perbudakan yang akan berlangsung selama dia hidup. "Neraka adalah untuk manusia bukan untuk anjing," pernah dia dengar seorang pembawa air mengatakan. Namun dia telah menyelamatkan sebuah jiwa dari penyembahan berhala, meskipun dia tersandung dalam pelanggaran. Di malam hari ketika Sarah dan dia berbaring di tempat tidur mereka yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sudut kanan (kamar tidak cukup panjang untuk memiliki satu di ujung yang lain), pasangan itu berbisik-bisik satu sama lain selama berjam-jam tanpa merasa lelah. Jacob memberi tahu Sarah tentang kehidupan moral, memperkaya teksnya dengan perumpamaan kecil. Dia berbicara tentang betapa sangat ia mencintainya. Mereka sering mengingat musim panas saat Jacob tinggal di lumbung dan Sarah membawakan makanan untuknya.

Masyarakat dominatif tidak pernah membiarkan seorang wanita bernapas dengan bebas dengan identitasnya sendiri. Individualitas seorang wanita dihancurkan oleh pria-pria kejam yang membanggakan diri sebagai tuan yang melindungi. Cecile Sauvage menyebutkan bahwa "Wanita harus melupakan kepribadiannya saat dia sedang jatuh cinta. Itu adalah hukum alam. Seorang wanita tidak ada tanpa seorang tuan. Tanpa seorang tuan, dia adalah buket yang tersebar" (de Beauvoir 653). Dalam masyarakat patriarki, perempuan diperlakukan sebagai 'Other' dengan memberikan mereka sedikit kebebasan ruang. Dalam mimpi kiasan pria, wanita selalu diobjektifikasi dengan imajinasi yang mengkomodifikasi. Pria bermimpi memiliki wanita sebagai budak mereka, ratu mereka, bunga mereka, teman mereka, pelayan mereka sehingga mereka dapat menindas dan mendominasi kaum wanita. Menurut patriarki, wanita ditakdirkan untuk diperlakukan sebagai 'Other'. Setiap saat, wanita mencari identitas asosiatif 'kita' atau 'kami' dengan pria tetapi hanya mendapatkan perasaan 'Other': "Tujuan tertinggi cinta manusia, seperti cinta mistis, adalah identifikasi dengan yang dicintai... Wanita yang sedang jatuh cinta mencoba melihat dengan matanya; dia membaca buku yang dia baca, lebih suka gambar dan musik yang dia suka... Kebahagiaan tertinggi wanita yang sedang jatuh cinta adalah diakui oleh pria yang dicintainya sebagai bagian dari dirinya sendiri..." (de Beauvoir 663)

Jacob memproyeksikan dirinya sebagai tuan yang rendah hati yang tidak menunjukkan keangkuhan kepada Wanda. Sebagai budak patriarki, dia mencoba menguasai Wanda dengan dominasi. Nafsunya terhadap Wanda juga mencerminkan psikologi laki-laki yang tipikal utilitarian. Seperti pria lainnya, Jacob juga ingin memiliki Wanda karena kecantikannya. Jacob sendiri mengakui bahwa cintanya pada Wanda berkembang dengan nafsu. Menjadi budak dari sistem, Jacob mengalami siksaan brutal. Dan perbudakan Jacob ini membantunya dalam mengasosiasikan dirinya dengan situasi Wanda. Sekali lagi, cinta, perhatian, dan pengorbanan Wanda melarangnya untuk terlalu keras terhadapnya. Jacob dan Wanda ditindas oleh sistem, agama, dan masyarakat yang memandang mereka sebagai 'Other'. Perlakuan eksternal tersebut membantu mereka mengembangkan rantai korelasi yang menghubungkan. Ini juga memberi mereka kekuatan bersatu untuk melawan dan dengan demikian menghancurkan semua batasan.

Peran dan dampak dari tuan-tuan yang berkuasa memiliki keberadaan yang tidak dapat disangkal dalam kehidupan kita. Dari zaman kuno hingga era saat ini, waktu telah berubah tetapi struktur masyarakat tetap sama. Tuan-tuan kaya dan berkuasa tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengeksploitasi orang biasa. Karl Marx, saat memprotes hak-hak proletariat, juga berbicara tentang eksploitasi borjuis. Keserakahan akan kekuasaan adalah satu-satunya cara yang mengarahkan individu untuk mengeksploitasi orang biasa, dan kekayaan mereka mendukung mereka dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Pada era ini, dominasi berada di tangan kapitalis serta pemimpin politik. Dengan mewakili diri mereka sebagai pemelihara publik, mereka sebenarnya mengeksploitasi massa dan menundukkan mereka untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Eksploitasi dominatif serupa dilakukan oleh Pilitzky (tuan dari Pilitz) dalam novel. Jenis perbudakan lainnya diberikan oleh para Kozak. Pada bab kedua novel, Zeinvel Bear (yang datang sebagai tamu ke rumah Jacob) mengungkapkan rasa sakit seorang wanita dan bagaimana dia disiksa, diperbudak, dan dipaksa untuk bertindak sesuai dengan sistem. Para Kozak telah menangkap wanita tersebut dan mencoba untuk mengeksploitasi dia. Anggota keluarganya juga disiksa dengan kejam oleh para Kozak.

Ketika kota memberimu roti, segera kamu berharap mati.' Dia duduk dan belajar dan saya mengurus toko barang kering kami. Saat pasar dibuka, saya pergi ke sana dengan stok kami, dan Tuhan tidak meninggalkan saya. Kesedihan saya hanya karena saya tidak memiliki anak. Sepuluh tahun setelah pernikahan kami, ibu mertuaku (semoga itu tidak dianggap terhadapnya) mengatakan bahwa suamiku harus menceraikan saya karena saya mandul. Kami menikah muda. Saya berumur sebelas tahun dan dia dua belas tahun. Dia disunat di rumah ayah saya. Ibu mertuaku memiliki hukum di pihaknya, tetapi suamiku menjawab, 'Trine adalah milikku.' Dia suka berbicara berima. Dia akan menjadi jester pernikahan yang baik. Yah, para pembunuh datang. Kami semua lari untuk bersembunyi, tetapi dia mengenakan selendang doanya dan berjalan keluar untuk menemui mereka. Mereka membuatnya menggali kubur sendiri. Saat dia menggali, dia berdoa. Saya duduk di ruang bawah tanah selama beberapa hari dan saya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit. Saya pingsan karena lapar. Orang lain pergi keluar pada malam hari untuk mencari makanan. Saya sudah di dunia lain dan saya melihat ibu saya. Ada musik dan saya tidak berjalan tetapi melayang seperti burung. Ibu saya terbang di samping saya. Kami sampai di dua gunung dengan jalan di antara. Jalan tersebut merah seperti matahari terbenam dan berbau rempah-rempah Surga. Ibuku meluncur melewati, tetapi saat saya mencoba untuk mengikutinya seseorang mendorong saya kembali.” “Malaikat?” tukang sepatu bertanya. “Saya tidak tahu.” “Apa yang terjadi kemudian? “ “Saya menangis, 'Ibu, mengapa kamu meninggalkan saya?' Saya tidak bisa mendengar jawabannya. Itu hanya sebuah gema samar di telinga saya. Saya membuka mata saya dan seseorang menyeret saya. Malam telah tiba (150). Bahkan saudara perempuan Jacob juga dieksploitasi oleh para Kozak. Saat Jacob menghabiskan hidupnya sebagai budak di desa Wanda pada saat itu, menunjukkan kekejaman mereka, para Kozak mengganggu keluarga dan masyarakat. Eksploitasi ini oleh para Kozak mengarahkan orang-orang biasa, termasuk saudara perempuan Jacob, menuju kehancuran mental. Itu adalah kekejaman para Kozak yang memaksa Jacob untuk menjalani hidup sebagai budak di luar masyarakat dan agamanya.

Keyakinan, ketergantungan, dan budaya adalah fitur utama masyarakat dalam kelompok mana pun yang memberlakukan hukum, kadang - kadang untuk mengendalikan, tetapi juga untuk menciptakan keseragaman di antara masyarakat. Untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang lancar dan memiliki lingkungan sosial yang sehat, individu seharusnya bekerja sesuai dengan norma yang ditetapkan. Dari manusia normal menjadi budak, serta tuannya, setiap orang bekerja sesuai dengan norma - norma yang ditetapkan masyarakat dan sistem. Selain itu, kepercayaan yang berlebihan sering mengubah orang tersebut menjadi budak takhayul yang mengabaikan moto dasar di balik hukum. Namun demikian, menjadi bagian dari suatu sistem, semua orang berada dalam pandangan panoptik. Mata panopticon yang tajam mengikuti individu dari waktu ke waktu. Dan jika ada individu yang mencoba mendekonstruksi skenario konvensional yang dia hadapi kehancuran seperti yang diderita Wanda dalam novel. Selanjutnya, sambil melihat semua faktor, seseorang dapat hanya mencapai kesimpulan bahwa tidak peduli berapa banyak yang diklaim, pada kenyataannya, kita dilahirkan sebagai budak, sehingga perbudakan kita berjalan dalam jiwa kita ke dalam lingkaran yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Oleh karena itu, terkadang kita menjadi budak yang dipaksakan dan terkadang kita menjadi budak secara sadar seperti yang dilakukan Yakub dan Wanda. Dengan demikian, Isaac Bashevis Singer dalam buku The Slave telah memproyeksikan dengan indah kehidupan seorang budak melalui karakter Yakub bersama dengan peran masyarakat dan penderitaan pengalaman perbudakan oleh kedua binari, yaitu Yakub dan Wanda. Individu dapat mencoba untuk mengganggu pembatasan tradisional dan mencoba untuk tidak menjadi budak ortodoks. Dekonstruksi sistem hanya membawa ketidaknyamanan dan kesengsaraan seperti yang dialami Wanda dan Jacob.

B. Kesimpulan

Tulisan ini membahas Chapter 5 dari novel "The Slave" karya Isaac Bashevis Singer dengan fokus pada tema-tema Conviction, Culture, dan Enslavement. Penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, menggambarkan bagaimana karakter utama Jacob menghadapi konflik antara keyakinan agamanya, budaya yang mempengaruhinya, dan situasi perbudakan yang dia alami.

Jacob adalah seorang Yahudi taat beragama yang kuat keyakinannya. Meskipun terjebak dalam situasi perbudakan dan dihadapkan pada tantangan yang besar, Jacob tetap mempertahankan prinsip-prinsip agamanya. Dia terus menjalankan ritual keagamaannya, seperti berdoa dan mematuhi aturan-aturan agama Yahudi, yang menjadi landasan moral dan spiritualnya di tengah-tengah penderitaan.

Jacob hidup di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya Polandia pada abad ke-17. Budaya ini memiliki norma-norma sosial dan nilai-nilai yang berbeda dengan keyakinan agama Yahudi yang dianutnya. Jacob harus berhadapan dengan konflik antara budaya tempatnya tinggal dan prinsip-prinsip agama yang dipegang teguhnya, terutama dalam hal moralitas, hubungan sosial, dan pemahaman akan kebebasan.

Salah satu konflik utama yang dihadapi Jacob adalah situasi perbudakan yang dia alami. Dia dipaksa untuk menjadi budak oleh seorang bangsawan Polandia yang kaya, dan hal ini mempengaruhi kehidupannya secara drastis. Jacob harus menghadapi ketidakadilan, penindasan, dan penderitaan fisik dan emosional sebagai seorang budak, sementara tetap berusaha mempertahankan martabat dan integritasnya sebagai manusia.

Melalui perjalanan karakter Jacob dalam novel ini, Isaac Bashevis Singer menggambarkan dengan jelas kompleksitas konflik yang dihadapi oleh individu yang terjebak dalam situasi yang penuh dengan pertentangan antara keyakinan agama, pengaruh budaya, dan kondisi perbudakan yang menghambat kebebasan dan martabat manusia.

Dalam chapter ini, Jacob menunjukkan keyakinan agamanya yang kuat meskipun terjebak dalam perbudakan. Dia terus mempertahankan identitasnya sebagai seorang Yahudi taat beragama, walaupun menghadapi tekanan dan pengaruh budaya yang berbeda di lingkungan perbudakan tersebut. Sementara itu, penulis juga membahas bagaimana budaya dan lingkungan sosial memainkan peran dalam membentuk karakter dan perilaku Jacob serta orang-orang di sekitarnya. Hal ini tercermin dalam dinamika hubungan antara Jacob dan tokoh lain dalam novel, termasuk tokoh wanita yang mungkin mewakili budaya yang berbeda. Pada intinya, chapter ini menggambarkan kompleksitas perjalanan karakter Jacob dalam menghadapi konflik internal dan eksternal yang berkaitan dengan keyakinan agama, pengaruh budaya, dan situasi perbudakan yang mempengaruhi kehidupannya.

 

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

Artikel ini memberikan analisis yang mendalam tentang tema-tema utama yang muncul dalam bab 5 dari novel tersebut, yaitu konviction (keyakinan), culture (budaya), dan enslavement (perbudakan). Pembahasan yang rinci memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas karakter dan konflik yang dihadapi dalam cerita.

Artikel ini menggambarkan bagaimana konflik budaya dan keyakinan agama dapat memengaruhi dinamika hubungan antara karakter utama, yang merupakan aspek penting dalam novel "The Slave". Ini membantu pembaca untuk lebih memahami latar belakang dan motif perilaku karakter.

Artikel ini menyoroti hubungan kompleks antara Jacob dan Wanda, menggali dinamika kekuasaan dan perasaan perbudakan yang terkait dengan hubungan mereka. Ini membuka diskusi yang menarik tentang bagaimana struktur kekuasaan dapat memengaruhi dan membentuk hubungan interpersonal.

Kehadiran dua penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, mungkin memberikan perspektif yang lebih luas dan beragam terhadap tema-tema yang dibahas dalam artikel ini. Ini dapat membantu memperkaya analisis dan memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif.

Dengan demikian, artikel ini menawarkan kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang novel "The Slave" dan mengajak pembaca untuk mempertimbangkan aspek budaya, agama, dan perbudakan dalam konteks yang lebih luas.

2. Kritik-Kekurangan

            Artikel ini mungkin kurang dalam hal memberikan data konkret atau kutipan langsung dari teks novel "The Slave" untuk mendukung analisisnya. Hal ini dapat mengurangi kekuatan argumennya dan membatasi kemampuan pembaca untuk membentuk pemahaman yang lebih kuat.

Meskipun memiliki dua penulis, Smita Devi dan Tawhida Akhter, artikel ini mungkin kurang dalam hal menyajikan perspektif yang seimbang dari kedua penulis. Hal ini dapat mempengaruhi keberagaman analisis dan sudut pandang yang dihadirkan dalam artikel.

Daftar Pustaka

Akhter, Tawhida. 2022. Culture and Literature (Chapter 5). Newcastle Upon Tyne, Inggris. Cambridge Scholars Publishing.