REVIEW ARTIKEL STRUCTURAL ANTHROPOLOGI IN AMERICA AND FRANCE: A COMPARISON KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA

08 May 2024 18:37:30 Dibaca : 284 Kategori : REVIEW

A. Ringkasan

Heddy Shri Ahimsa-Putra melalui artikel berjudul “Structural Anthropology in America And France: A Comparison”  menguraikan tentang antropologi struktural Amerika dan Perancis yang ditulis dengan tujuan agar para ahli sosial dan budaya Indonesia dapat mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan salah satu paradigma yang paling penting dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya pada abad ke 20, yaitu strukturalisme. Dalam tulisan Ahimsa Putra ini, hanya membahas antropologi struktural Perancis dan Antropologi struktural Amerika karena keduanya memiliki persamaan gagasan tentang kebudayaan dan bahasa.

Ahimsa Putra (2003: 239-240) menguraikan bahwa Werner dalam artikelnya tentang antropologi struktural (1972), membandingkan dan membahas struktural dalam etnosains dan strukturalisme Levi-Strauss. Judul artikel tersebut menunjukkan bahwa bagi Werner etnosains juga merupakan antropologi struktural. Dalam hal ini, ia memiliki pandangan yang sama dengan Scheffler (1966), yang menganggap “etnografi formal” atau The New Ethnograph -nama lain dari etnosains sebagai antropologi struktural. Scheffler membahas analisis kekerabatan dalam etnografi formal dan strukturalisme Levi-Strauss dan menyimpulkan bahwa perbedaan antara kedua antropologi struktural ini terletak pada metode dan kriteria yang sesuai untuk model yang mereka bangun, sementara persamaanya terletak pada pengadopsian metode-metode dari linguistik struktural.   

Lebih lanjut Ahimsa Putra (2003: 240) menguraikan bahwa Ward Goodenough, seorang pelopor

Antropologi struktural Amerika, menyatakan bahwa ahli antropologi mempelajari kebudayaan asing seperti ahli bahasa mempelajari bahasa asing. Dalam hal ini, Goodnough percaya bahwa salah satu masalah mendasar dari para antropolog adalah bagaimana mendeskripsikan kebudayaan tertentu kepada orang lain yang tidak terbiasa dengan kebudayaan tersebut. Masalah seperti itu tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh para ahli bahasa dalam mendeskripsikan suatu bahasa. Tetapi di sini ahli bahasa lebih baik daripada ahli antropologi, karena mereka telah menetapkan seperangkat konsep dan simbol yang dengannya elemen-elemen suatu bahasa dapat dideskripsikan dan dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Goodnough menyarankan para ahli antropologi  untuk menggunakan metode linguistik sebagai model untuk mendeskripsikan kebudayaan. Langkah serupa juga dilakukan oleh Levi-Strauss dalam mempelajari sistem kekerabatan. Hal tersebut karena linguistik dalam pandangan Lévi-Strauss adalah ilmu sosial yang sudah berkembang, maka sangat tepat jika metode analisisinya diterapkan dalam studi antropologi.

              Baik The New Ethnography (Antropologi Struktural Amerika) dan analisis struktural Lévi-Strauss (Antropologi Struktural Perancis) mengadopsi metode dan teori fonologi dalam linguistik.Namun, keduanya dilakukan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang sudah pasti berbeda. Oleh karena itu, Ahimsa Putra berargumen bahwa perbedaan analisis dan hasil dari antropologi-antropologi struktural tersebut berasal dari perbedaan pandangan mereka tentang tujuan antropologi secara umum sebagai sebuah disiplin ilmu, pandangan mereka tentang masyarakat dan kebudayaan, tentang kriteria teori ilmiah, tentang konsep makna pengetahuan pada kehidupan, serta cara-cara memperolehnya. Hal tersebut membuat Ahimsa Putra untuk membandingkan dan mendiskusikan poin-poin penting dalam kedua antropologi struktural.

Melalui makalah ini, Ahimsa Putra (2003: 240) membahas kedua antropologi struktural menjadi beberapa bagian. Bagian pertama dan kedua tentang bagaimana The New Ethnography dan strukturalisme  Lévi-Strauss mengadopsi metode linguistik dalam analisis mereka. Bagian ketiga dan keempat membahas tentang asumsi dan pandangan mereka tentang objek yang mereka pelajari serta tujuan dari penelitian mereka. Bagian kelima dan keenam membahas tentang latar belakang espistemologis dari pendekatan-pendekatan tersebut.

Antropologi Struktural Amerika dan Linguistik

            Ahimsa Putra (2003: 240) menjelaskan bahwa salah satu masalah ilmiah dalam antropologi budaya adalah masalah dalam menjelaskan persamaan dan perbedaan kebudayaan dalam beragam masyarakat yang tersebar di dunia. Kebutuhan untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut secara ilmiah dan sistematis tidak bisa diacuhkan lagi, sehingga ahli antropologi  terdorong untuk melakukan studi komparatif. Hal tersebut  tidak mengherankan jika antropologi budaya sejak awal telah dicirikan penekanannya pada pendekatan komparatif.

              Studi komparatif sistematis dipelopori oleh Edward B. Taylor, yang pada abad ke-19 menemukan metode perbandingan persilangan kebudayaan di seluruh dunia. Tylor mengumpukan informasi dengan mengambil sampel pada 350 masyarakat dari seluruh penjuru dunia dan menggunakan tes kemungkinan empiris untuk menemukan ada atau tidaknya hubungan di antara institusi sosial di bawah pertimbangan subjek untuk aturan hukum. Ketika hubungan antarvariabel membuktikan adanya signifikansi, Tylor menyebutnya dengan adhesi (pelekatan). Dalam matriks analisis kontemporer, studi komparatif Tylor dikenal R-mode anylsis (model analisis R), dimana peneliti menemukan bahwa variabel atau ciri kebudayaan sebagai kelompok sampling lebih baik daripada masyarakat atau kebudayaan (Ahimsa Putra, 2003: 241).

              Ada beberapa proposisi mengenai tempat dari bentuk kebudayaan dalam pengaturan sosial-budaya yang besar. Dua diantaranya yakni (1) proposisi yang berhubungan dengan pengaruh kondisi ekstra-kultural pada bentuk standar kebudayaan atau aturan, dan (2) kesungguhan prinsip kebudayaan sebagai sebab atau variabel independent (berdiri sendiri), dan kondisi ekstra-kultural sebagai akibat atau variabel dependen (bergantung). Data yang terekam pada masyarakat yang berbeda merupakan produk dari observasi mendetail terhadap apa yang orang-orang katakan dan lakukan, keadaan tindakan dan akibat dari aktivitas mereka. Gambaran pada orang yang sama menyajikan perbedaan penelitian untuk memastikan tingkat keberagaman satu dengan lainnya. Dalam membandingkan data yang terkumpul dari laporan yang berbeda, mengggunakan perbedaan metode dan untuk tujuan yang berbeda. Apabila data tidak dapat dibandingkan, maka tidak dapat dilakukan perbandingan persilangan kebudayaan. Apabila yang demikian itu diterapkan, kesimpulan akan selalu menjadi problematik. Untuk melakukan studi perbandingan, data harus diklasifikasi dan dipilah untuk mencocokan dengan tujuan penelitian. Artinya, perlu standar sistem dari klasifikasi untuk mengendalikan data mentah dan mereorganisasi atau mengubah data yang dipresentasikan untuk membuatnya sebanding satu sama lain (Ahimsa Putra, 2003: 241).

              Goodneough dan sejumlah ahli antropologi mengkonsepkan masalah perbandingan kebudayaan menjadi serupa dalam prinsip seperti ahli bahasa ketika mereka ingin mendeskripsikan bunyi bahasa dari bahasa lain. Satu dari beberapa pendekatan dalam mendeskripsikan bahasa adalah analisis struktural Zellig Harris. Harris mengenalkan komponen gagasan dalam analisis strukturalnya, yaitu fonem dan morfem. Fonem merupakan kombinasi unik dari beberapa komponen. Dalam sebuah bahasa, fonem digunakan dalam kesatuan yang kompleks, yang memiliki arti tertentu. Dalam linguistik deskriptif, tugas untuk mengisolir dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sebagian bahasa disebut fonemik, dan transkripsinya merepresentasikan kategori bunyi yang membuat perbedaan makna dalam kepastian bahasa, dimana studi produksi bunyi dan pembangunan meta-bahasa dengan fonem dan ciri-ciri khusus dari sebuah bahasa yang dapat dideskripsikan disebut fonetik, dan transkripsinya adalah seperangkat konsep yang dibangun oleh ahli bahasa untuk mendeskripsikan bunyi bahasa (Ahimsa Putra, 2003: 242).

              Berdasarkan atas perbedaan antara fonetik dan fonemik, dapat dikatakan bahwa deskripsi secara sosial bermakna sistem tindakan merupakan sebuah emic sejauh itu berdasar pada elemen-elemen yang memiliki komponen suatu sistem, dan sebuah etic yang berdasar pada elemen-elemen konseptual yang tidak memiliki komponen suatu sistem. Beberapa ahli antropologi meyakini bahwa masalah dalam studi perbandingan dapat dipecahkan dengan mengaplikasikan metode deskripsi dan perbandingan linguistik. Ahli antropologi memiliki klasifikasi dan tipologi sendiri mengenai hal tersebut. Untuk mendeskripsikan dan membandingkan dengan klasifikasi miliknya, ahli antropologi menemukan seperangkat instrument konseptual yang akan digunakan untuk menggambarkan perbedaan sebaik mungkin. Asumsi dasarnya adalah bahwa ekspresi linguistik didesain oleh konsep-konsep kelas. Analogi eksplisit dari analisis semantik atau analisis kompensial dalam antropologi berdasar pada model fonologi komponensial. Ada beberapa asumsi mengenai analogi tersebut. Pertama, data dalam analisis semantik dipandang kurang lebih sepadan dengan produk dari analisis fonologikal. Kedua, dalam analisis komponensial, istilah domain semantik (seperti kekerabatan) membedakannya dari satu dengan yang lain melalui ciri-ciri khusus (Ahimsa Putra, 2003: 243).

              Ahimsa Putra (2003: 243) menguraikan bahwa beberapa antropolog percaya masalah mereka dalam studi komparatif dapat diselesaikan dengan menerapkan metode linguistik deskriptif dan perbandingan. Karena kedua bidang ini yaitu linguis dan antropolog memiliki masalah yang sama. Beberapa ahli antropologi berpandangan bahwa budaya sebenarnya adalah sebuah fenomena, seperti  bahasa, dan bahasa bagi mereka adalah seperangkat standar untuk perilaku manusia. Ahimsa Putra (2003: 244) dalam artikel ini menggunakan penerapan metode linguistik dalam antropologi dengan istilahThe New Ethnography yang didefinisikan sebagai studi atau deskripsi sistem konseptual masyarakat untuk mengungkap dunia konseptual suatu masyarakat melalui kategori-kategori linguistiknya. Salah satu metode analisis yang diambil dari ilmu linguistik dalam the New Ethnography adalah analisis komponensial atau analisis semantik. Dalam analisis ini, para linguis yang mendeskripsikan ujaran-ujaran linguistik harus mengacu pada peristiwa-peristiwa non-linguistik dan  mengambil makna yang berhubungan dengan hal-hal yang  di luar bahasa. Asumsi dasarnya adalah bahwa sebuah ekspresi linguistik menunjuk pada sebuah konsep.

Strukturalisme Lévi-Strauss dan Linguistik

Jika ahli antropologi Amerika mencari model dan metode dalam linguistik, untuk mengatasi masalah dalam mendeskripsikan dan membandingkan kebudayaan di dunia, Lévi-Strauss melakukan hal yang sama untuk tujuan berbeda. Tujuan Lévi-Strauss adalah menemukan jawaban atas permasalahan status keilmiahan ilmu sosial, khususnya antropologi. Lévi-Strauss menyarankan para ahli antropologi menggunakan analisis linguistik karena fenomena sosial memproses dua karakteristik pokok yang membuatnya cocok untuk analisis ilmiah. Pertama, banyak tindak lingustik merupakan produk dari ketidaksadaran pikiran manusia. Ketika orang berbicara, mereka tidak menyadari hukum sintaktik dan morfologikal bahasanya. Kedua, bahasa muncul lebih dulu dalam sejarah umat manusia. Bahasa merupakan fenomena sosial dan juga merupakan objek tepat untuk analisis matematika. Pengaplikasian analisis linguistik dalam studi sosial-budaya hanya mungkin dilakukan apabila terdapat perbedaan model masyarakat dan budaya, dan Lévi-Strauss menemukan cara baru untuk penelitian dengan memandang masyarakat atau budaya dalam hubungan teori komunikasi. Ada tiga macam komunikasi yang juga merupakan bentuk pertukaran, yang benar-benar berhubungan, karena pernikahan (komunikasi karena Wanita) berasosiasi dengan prestasi ekonomi (komunikasi karena barang dan jasa), dan bahasa memainkan peran yang signifikan pada semua level (Ahimsa Putra, 2003: 246-247).

Ada beberapa teori linguistik yang mempengaruhi pemikiran Lévi-Strauss, yaitu dari Troubetzkoy, Jakobson, dan Saussure. Troubetzkoy, mengenalkan empat revolusi prinsip metodologi dalam linguistik struktural. Pertama, linguistik struktural bergeser dari studi fenomena kesadaran linguistik ke studi ketidaksadaran infrastruktur. Kedua, linguistik struktural bukanlah ucapan yang menyenangkan sebagai kesatuan yang independen, yang justru mengambil sebagai dasar analisis relasi antara ucapan. Ketiga, linguistik struktural  mengenalkan konsep sistem. Keempat, linguistik struktural bermaksud menemukan hukum universal, baik induksi maupun deduksi. Teori linguistik kedua yang mempengaruhi pemikiran analisis Lévi-Strauss adalah teori fonem Roman Jakobson. Jakobson meyakini bahwa mustahil untuk mengevaluasi setiap elemen dengan baik dalam sistem bahasa jika tidak memandang hubungannya dengan eleman lain dalam sistem. Jakobson percaya bahwa fungsi utama bunyi bahasa adalah memungkinkan manusia membedakan kesatuan semantik, yang dilakukan dengan merasakan ciri-ciri khusus dari bunyi dan memisahkannya dari kekhususan lain dari bunyi. Poin penting dalam teori fonem Jakobson adalah pandangannya mengenai perbedaan fonem dari kesatuan linguistik lain (Ahimsa Putra, 2003: 247-248).

De Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem ucapan interdependen dimana nilai masing-masing ucapan merupakan hasil dari kehadiran simultan orang lain. Nilai dari setiap ucapan dalam bahasa dimaknai oleh lingkungan. Ada dua aspek dari bahasa menurut Saussure, yaitu bahasa dan jaminan. Bahasa menunjuk pada kode khusus (sistem pengetahuan teratur), yang mirip kemampuan pemikiran Chomsky. Ini merupakan Kumpulan fenomena yang hanya ada dalam ketidakmengertian dimana memungkinkan orang untuk berkomunikasi. Bahasa dalam kacamata Saussure juga merupakan relasi sistem. Ada dua macam relasi, yaitu distribusional dan integratif. Distribusional diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang sama, sedangkan integratif diartikan sebagai relasi antarelemen pada level yang berbeda. Seperti sistem fonemik, Lévi-Strauss menyatakan bahwa sistem kekerabatan merupakan sistem tindakan terstruktur melalui hukum ketidaksadaran, dan tindakan tersebut menjadi berarti hanya ketika mereka terintegrasi dalam sistem. Dalam mengaplikasikan analisis struktural dalam fenomena kekerabatan, Lévi-Strauss juga membuat perbedaan antara kekerabatan sebagai sistem terminologi dan sistem sikap. Lévi-Strauss setuju dengan yang kedua sebagai usahanya untuk menjelaskan sikap paman dari garis ibu atau kakak laki-laki dar ibu. Sejak kekerabatan dipandang sebagai suatu sistem, Lévi-Strauss percaya bahwa paman dari garis ibu merupakan bagian dari beberapa sistem kekerabatan. Untuk menganalisis sistem kekerabatan dalam hal ini perlu dilihat ciri ketidaksadaran dari sikap sebagai bagian dari sebuah sistem. Lévi-Strauss kemudian menarik kesimpulan bahwa “satu aspek dari sistem global terdiri dari empat tipe hubungan, yaitu saudara laki-laki/saudara Perempuan, suami/istri, ayah/anak laki-laki, dan kakak laki-laki dari ibu/anak laki-laki dari kakak Perempuan. Lévi-Strauss mengemukakan aturan umum bahwa dalam kebudayaan dimana hubungan antara kakak laki-laki dari ibu dan anak laki-laki dari kakak Perempuan adalah khusus “hubungan antara paman dari garis ibu dan kemenakan laki-laki adalah hubungan antara saudara laki-laki dan saudara Perempuan, sebagai hubungan antara ayah dan anak laki-laki juga antara suami dan istri (Ahimsa Putra, 2003: 249-252).

Asumsi Dasar Antropologi Struktural Amerika

The New Ethnography atau Antropologi Struktural Amerika menjelaskan kebudayaan manusia yang menghasilkan deskripsi lain yang sebanding dengan menggunakan metode atau pendekatan yang sama. Asumsi dasarnya di sini adalah kebudayaan manusia dipelihara agar fungsi macam-macam komponen terintegrasi dan berkaitan satu sama lain. Sebagai elemen baru yang ditemukan, mereka mencoba secara berkala sebelum adanya matriks kebudayaan. Perbandingan persilangan kebudayaan diprakarsai oleh G.P. Murdock. Kontribusi Murdock di lapangan antara lain: menggunakan kesimpulan statistik formal termasuk koefisien dan korelasi dan tes yang signifikan, membangun bibliografi etnografi continental secara sistematis dan yang lebih penting lagi menggunakan dalil logika yang formal, sebuah sistem dengan memberi alasan yang berasal dari doktrin alasan deduktif dan pemalsuan hipotesis Popper. Poin terakhir tersebut menunjukkan bahwa pendekatan persilangan kebudayaan menggunakan dasar epistemologi. Ilmu pengetahuan Popper adalah ilmu pengetahuan empiris yang menunjukkan “dunia nyata” atau pengalaman kita di dunia.  Sejak teori harus palsu, teruji, teori juga harus empiris, dan sistem teori empiris harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, teori harus tiruan dalam Indera dan berisi pernyataan yang tidak bertentangan. Kedua, teori tidak harus menjadi metafisik, tetapi harus “menggambarkan dunia dari pengalaman yang masuk akal.” Ketiga, teori harus membedakan dari sistem lainnya, dan menjadi satu-satunya yang menggambarkan pengalaman dunia kita (Ahimsa Putra, 2003: 252-253).

Asumsi Dasar Strukturalisme Lévi-Strauss

Lévi-Strauss beranggapan bahwa bukan hanya naif, melainkan juga salah jika menggunakan penjelasan kesadaran tindakan nyata manusia untuk penelitian ilmiah. Pada pandangan Lévi-Strauss, fenomena kesadaran menutupi struktur ketidaksadaran. Tindakan dan penjelasan beberapa orang terkadang bertentangan dengan tindakan dan penjelasan orang lain. Keberadaan fenomena nyata tidak terlihat sebagai pemberian pada pengamat, tetapi lebih banyak pada level yang terdalam. Akibat dari pandangan ini sudah jelas, bahwa kita tidak dapat menjelaskan lebih banyak dalam mengartikan pemberian fenomena kebudayaan atau kebiasaan jika itu dipelajari terpisah.  Menurut Lévi-Strauss, struktur bukanlah gambaran ataupun pengganti realitas. Struktur merupakan realitas empiris yang menawan dalam organisasi rasional, dan tidak ada struktur yang terpisah dari isi atau sebaliknya. Dalam studi strukturnya, Lévi-Strauss memandang fenomena sosial sebagai “sistem objektivitas ide” yang digambarkan dengan simbol-simbol tertentu. Analisis struktural dapat menjadi ekonomi ilmiah, yang menggunakan angka terakhir dari aturan prinsip-prinsip untuk menjelaskan angka kemungkinan terbesar dari fenomena. Lévi-Strauss selalu mencoba mengkonstruksi model-model yang membuat fenomena sosial-budaya dapat dimengerti meskipun semakin kompleks  (Ahimsa Putra, 2003: 255).

Strukturalisme Amerika dan Perancis: Poin-poin Perbedaan

            Ahimsa Putra, (2003: 258-260 menjelaskan bahwa meskipun Antropologi Struktural Amerika dan Perancis sama-sama menggunakan metode linguistik sebagai model deskripsi kebudayaan dan analisis, hasil dari studi keduanya berbeda. Ada beberapa pandangan yang berbeda antara strukturalisme Amerika (The New Ethnography) dan Strukturalisme Perancis (strukturalisme Lévi-Strauss) di antaranya sebagai berikut.

1.     Perbedaan Tujuan

Strukturalisme Amerika lahir sebagai bentuk usaha beberapa ahli antropologi untuk menyaring metode deskripsi kebudayaan mereka dan menginginkan etnografi yang sebanding. Sedangkan strukturalisme Perancis berbanding terbalik dengan strukturalisme Amerika. Seperti studi perbandingan dalam linguistik, analisis antropologi didukung pula oleh sesuatu lebih dari klasifikasi atau kategorisasi belaka, yang dinamakan sebagai analisis nyata. Untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial-budaya, ahli antropologi membangun “efisien dan model yang terlalu hemat.”

2.     Perbedaan Konsep Kebudayaan/Gagasan Dasar

Strukturalisme Perancis memandang kebudayaan terdiri atas bermacam-macam aturan yang berada dalam sebuah struktur. Sedangkan strukturalisme Amerika (The New Ethnography atau studi persilangan kebudayaan) tidak menyangkal keberadaan struktur dalam kebudayaan, namun mereka memandang struktur sebagai sebuah sistem yang memiliki relasi fungsional antarelemen di dalamnya.

3.     Perbedaan Kriteria Teori Ilmiah

Menurut strukturalisme Amerika, ilmu pengetahuan yang tepat untuk tindakan manusia diuji dengan keterangan beberapa orang yang dalam banyak masyarakat. Sedangkan menurut strukturalisme Perancis, konsepsi ilmu pengetahuan dengan verifikasi penelitian secara teliti tidak berguna untuk analisis struktural.

4.     Perbedaan Konsepsi Makna

Strukturalisme Amerika menganggap bahwa makna ekspresi linguistik atau simbol adalah konsep-konsep kelas atau gambar yang dirancang atau ditunjukkan. Sedangkan strukturalisme Perancis menolak penunjukkan atau hubungan teori makna. Konsepsi makna dalam strukturalisme Lévi-Strauss mirip dengan ahli fonologi, berdasarkan pada makna fonem yang tidak dirancang dengan sengaja, namun posisinya berada di antara dua bahasa, yaitu sintakmatik dan paradigmatik.

5.     Perbedaan Latar Belakang Epsitemologi.

Posisi strukturalisme Amerika atau studi persilangan kebudayaan segaris dengan teori kebenaran korespondensi dimana bahan kajian tidak dapat diperkecil lagi dan dikenal sebagai “fakta”. Faktas diberikan observer, namun terpisah darinya. Sebaliknya, strukturalisme Perancis mengajurkan teori kebenaran koherensu (pertalian) dimana tidak ada pemisahan antara pikiran dan fenomena yang diamati. Fakta tidak diberikan, namun dibuat berdasarkan kehadiran observer.

B. Teori/Pandangan yang Muncul

            Berdasarkan uraian Ahimsa Putra dalam tulisan ini memberikan gambaran bahwa peneliti kebudayaan dalam penggunaan paradigmanya dipengaruhi oleh linguistik, memiliki pilihan-pilihan tertentu dalam pandangan-pandangannya. Menurut Ahimsa Putra ada dua pilihan bagi seorang peneliti kebudayaan yang berdasarkan pandangan-pandangan mengenai teks yang kemudian dapat diperlakukan sebagaimana halnya seorang ahli bahasa memperlakukan kalimat. Pertama, mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu. Hal tersebut semakin memberikan pemahaman bagi saya bahwa pilihan pertama ini berlaku bagi paradigma etnosains. Kedua, mencoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson. Menurut Ahimsa Putra, Lévi-Strauss memilih yang kedua. Dengan demikian, sebagaimana yang dinyatakan Ahimsa Putra pilihan pertama yang diambil etnosains yaitu mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada pada teks-teks tertentu dan pilihan kedua yang diambil paradigma struktural Lévi-Strauss yaitu mencoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson sekaligus merupakan perbedaan penting dari paradigma strukturalisme dan etnosains yang sama-sama dipengaruhi oleh linguistik. Hal ini terlihat pada paradigma etnosains memilih pilihan pertama (mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu).

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

            Ulasan Ahimsa Putra dalam artikel yang berjudul “Structural Anthropology in America And France: A Comparison” merupakan tulisan yang memberikan pemahaman kepada pembaca terkait dengan jenis antropologi struktural yakni antropologi struktural Amerika dan antropologi struktural Perancis. Ahimsa Putra telah menguraikan dengan jelas terkait kedua jenis antropologi struktural yang meskipun keduanya menggunakan metode linguiistik sebagai model untuk deskripsi dan analisis budaya, namun hasil penelitian mereka sangat berbeda. Berbagai contoh yang diuraikan Ahimsa Putra dalam menjelaskan kedua jenis antropologi struktural tersebut semakin memperdalam wawasan pembaca dalam memahami antropologi struktural. Tulisan ini menunjukkan keilmuan Ahimsa sebagai penulis yang mampu menjabarkan secara detail epsitemologi dari antropologi struktural yang bersifat komparatif. Dengan kedalaman pengetahuan penulis, sehingga tulisan ini sangat tepat dijadikan referensi utama dalam memahami strukturalisme. 

2. Kritik-Kekurangan                                            

            Tulisan ini bersifat komparatif sehingga harus membutuhkan ketelitian dan pemahaman pembaca terhadap epistemologi struktural, antropologi, dan linguistik yang mendalam. Bagi saya, ketika mau membandingkan tentunya pendeskripsian artikel ini harus berlandaskan pada ketiga pengetahuan tersebut. Berangkat dari penulisnya yakni seorang professor yang menggeluti strukturalisme Lévi-Strauss, membuat tulisan ini sangat ilmiah dan mendalam, sehingga kadang saya sebagai pembaca merasa ada hal yang kurang dipahami terkait dengan kaidah keilmuan yang dijelaskan oleh penulis. Oleh karena itu, saya berusaha maksimal untuk memahami tulisan ini, sehingga perlunya penjabaran secara mendetail terkait konsep strukturalisme, antropologi, dan linguistic sebelum memasuki penjabaran mendetail terkait dengan perbandingan antropologi struktural Amerika dan Perancis.

Oleh karena itu, keterbatasan saya pada epistemologi dalam tulisan ini membuat saya merasa kurang paham pada penjelasan yang terdapat pada keterbatasan pengujian hipotesis mengenai hubungan antara sistem kekerabatan dan ekologi dalam masyarakat. Dalam tulisan ini, keterkaitan antara sistem kekerabatan dan ekologi pada masyarakat belum dijelaskan secara mendalam terutama hubunganya pada kedua jenis antropologi struktural.

Selanjutnya Ward Goodenough mengemukakan bahwa antropolog mempelajari budaya asing sama seperti linguis mempelajari bahasa asing, sehingga hal ini berangkat dari masalah yang dihadapi oleh antropolog dan linguis. Dengan dasar ini, Goodenough menyarankan kepada antropolog untuk menggunakan metode linguistik sebagai model untuk mendeskripsikan kebudayaan. Pernyataan ini sebenarnya menjadi acuan dalam memahami antropologi struktural, namun ketika metode linguistik dijadikan sebagai dasar dalam memahami kebudayaan menjadi sebuah hal yang perlu untuk lebih ditelaah lagi agar dapat pembaca dapat memahami secara komprehensif maksud dari pernyataan tersebut dalam artikel ini. Hubungan kajian antropolog dan linguis baik asumsi, konsep, metode, hasil analisis dan representasinya perlu ada perbandingan khusus sehingga dapat lebih membantu pemahaman pembaca terkait dengan antropologi struktutral.  Oleh karena itu, sebagai pembaca merasa sangat membutuhkan pencerahan dari Prof. Dr.  Heddy Shri Ahimsa Putra sebagai penulis, agar kiranya bisa memberikan penjelasan detail terkait dengan espitemologi metode lingusitik yang dijadikan acuan oleh antropolog dalam memahami fenomena kebudayaan baik melalui antropologi struktural Amerika maupun Perancis. Hal ini dapat menjadi acuan saya dalam mengembangkan kelimuan sastra untuk memahami gejala kebudayaan dalam  sastra lisan dan tulisan. 

 

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. 2003.  Structural Anthropology in America And France: A Comparison. Humaniora XV (3): 239-264.