REVIEW BUKU ANTROPOLOGI KOENTJARANINGRAT: SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA
A. Ringkasan
Ahimsa-Putra melalui tulisannya dalam buku berjudul Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis menguraikan pandangannya tentang antropologi koentjaraningrat merupakan antropologi dengan ciri-ciri epistomologi yang positivistis. Menurut Ahimsa Putra (1997: 28) bahwa Profesor Koentjaraningrat belum pernah menguraikan secara eksplisit berbagai asumsi dari pendekatan yang dipakainya sehingga Ahimsa Putra memanfaatkan tulisan-tulisan para ahli antropologi yang pandangannya diikuti oleh Profesor Koentjaraningrat dan yang secara eksplisit telah menguraikan asumsi-asumsi serta landasan filosofis pendekatan mereka. Oleh karena itu, Ahimsa Putra menggunakan sub-judul “sebuah tafsir” untuk tulisan ini.
Positivisme dalam Ilmu Sosial
Dalam menelaah epistemologi Antrop-Koen dan mengatakannya sebagai “positivistis”, Ahimsa Putra (1997: 28-29) menguraikan apa yang dimaksud dengan “positivisme” dalam antropologi atau ilmu sosial, atau bagaimana sebenarnya padangan yang “positivistis” mengenai ilmu pengetahuan itu. Di sini Ahimsa Putra pertama-tama menguraikan terkait pendapat Kolakowski, seorang ahli filsafat yang memandang bahwa positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia. Menurut Kolakowski ada empat aturan dalam positivisme yang menentukan apa yang dimaksud dengan “pengetahuan”, yakni: (1) “rule of phenomenalism”, (2) “rule of nominalism”, (3) “rule that refuses to call value judgments and normative statements knowledge”, dan (4) “belief in essential unity of scientific method” (Bryant 1985; Rossi 1974).
Aturan pertama mengatakan bahwa kita hanya berhak merekam apa yang sebenarnya ada dalam pengalaman kita atau apa yang sebenarnya kita alami, hal mana berarti bahwa positivisme mengakui eksistensi, tetapi menolak esensi, sehingga positivisme menolak setiap penjelasan yang mengacu pada hal-hal yang menurut definisinya tidak dapat digapai oleh pengetahuan manusia. Dengan kata lain, aturan ini menyatakan bahwa bagi positivisme pengalaman adalah dasar terpenting (ultimate foundation) dari pengetahuan manusia. Jadi, positivisme tidak memberikan tempat pada metafisika. Aturan kedua, “rule of nominalism”, merupakan implikasi lebih lanjut dari aturan pertama. Aturan ini menyebutkan bahwa kita tidak boleh beranggapan setiap pemahaman (insight) yang dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada fakta-fakta individual. Menurut aturan nominalisme ini, setiap ilmu pengetahuan yang abstrak tidak lain adalah sebuah metode untuk meringkas (abridging) perekaman pengalaman. Selanjutnya aturan yang ketiga mengatakan bahwa kita wajib menolak pandangan yang mengatakan bahwa nilai-nilai (values) merupakan ciri-ciri dari dunia yang di sekitar kita. Hal tersebut dijelaskan oleh Ahimsa Putra bahwa nilai-nilai ini tidak dapat diperoleh dengan cara yang sama sebagaimana halnya “pengetahuan” yang kita miliki. Aturan keempat, merupakan pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar antara metode ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dengan metode ilmu sosial-budaya. Implikasi dari pandangan semacam ini adalah bahwa berbagai prosedur dan metode penalaran serta penelitian yang telah berkembang terlebih dulu dalam ilmu-ilmu alam dianggap dapat digunakan juga untuk memahami berbagai macam gejala atau peristiwa sosial-budaya (Ahimsa Putra, 1997: 29-30)
Bagi Ahimsa-Putra (1997:30) serangkaian aturan yang disodorkan oleh Kolakowski ini memang dapat membantu kita memahami apa kira-kira yang dimaksud dengan positivisme. Namun, jika kerangka ini ingin kita terapkan untuk menelaah suatu pemikiran tertentu, seperti Antro-Koen misalnya, maka kita masih akan kesulitan yang cukup serius, karena Kolakowski tidak menunjukkan dengan jelas pada kita bagaimana aturan-aturan tersebut terwujud dalam suatu cabang ilmu sosial-budaya. Kerangka aturan yang dikemukakannya memang masih berada dalam tataran pemikiran filsafat. Oleh karena itu, Ahimsa Putra (1997:30) menguraikan kerangka pemikiran yang bersifat positivistis dalam cabang ilmu sosial-budaya seperti yang dikemukakan Giddens mengenai positivisme dalam sosiologi. Anthony Giddens mengatakan bahwa “positivistic attitude” dalam sosiologi mencakup paling tidak tiga pandangan yang saling berkaitan, yakni: pandangan bahwa (1) “the procedures of natural science may be directly adapted to sociology”; (2) “the end results of sociological investigations can be formulated as “laws” or “law-like” generalizations of the same kind as those established by natural scientist”, dan (3) “sociology has a technical character (Bryant, 1985). Ciri-ciri “positivistic attitude” dari Giddens ini tampak lebih konkrit daripada apa yang dikemukakan oleh Kolakowski, dan kata “sociology” atau sociological” dalam rumusan Giddens tersebut dapat saja kita ganti dengan “anthropology” atau anthropological”, jika kita ingin menerapkannya dalam disiplin antropologi. Oleh karena itu, Ahimsa Putra merasa bahwa kerangka yang disodorkan oleh Giddens ini dapat digunakan untuk menentukan apakah Antro-Koen positivistis atau tidak.
Untuk lebih memudahkan lagi langkah kita menafsirkan epistemologi Antro-Koen, kita juga dapat menggunakan jalan yang lain, yakni melihat pandangan kaum positivis mengenai ilmu pengetahuan. Salah satu ciri penting pandangan mereka tentang hal ini adalah bahwa bagi mereka ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang “predictive” dan “explanatory” mengenai dunia di luar sana. Untuk itu, orang harus membangun teori-teori, yang isinya tidak lain adalah pernyataan-pernyataan yang sangat umum, yang menggambarkan “regular relationship” gejala-gejala di luar diri manusia. Berbagai pernyataan umum atau hukum-hukum ini juga memungkinkan kita menebak, memperkirakan ataupun menjelaskan gejala-gejala yang kita jumpai dalam aktivitas percobaan dan pengamatan yang sistematis (Keat & Urry dalam Ahimsa Putra, 1997: 31).
Beberapa ciri dan pandangan kaum postivis tersebut akan kita jadikan kerangka komseptual untuk menafsirkan apakah Antrop-Koen memang merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis, atau bukan. Jika memang positivistis, tentunya beberapa ciri dan pandangan di atas akan ada dalam Antrop-Koen (Ahimsa Putra, 1997: 31).
Antropologi Koentjaraningrat
Metode Pengumpulan Fakta
Antropologi sebagai ilmu, menurut Profesor Koentjaraningrat, dapat dicapai melalui tiga tingkat, yaitu: (1) pengumpulan fakta; (2) penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem; serta (3) verifikasi. Pada tahap pertama seorang ahli antropologi harus mengumpulkan berbagai fakta kebudayaan dan masyarakat terlebih dahulu dan baru kemudian menganalisisnya secara ilmiah, Pengumpulan fakta ini dilakukan dengan menggunakan metode-metode mengobservasi, mencatat, mengolah, dan melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat yang hidup. Penelitian lapangan yang memakan waktu beberapa bulan atau beberapa tahun merupakan salah satu cara yang penting untuk mengumpulkan data dalam antropologi, namun demikian penelitian perpustakaan juga penting karena Profesor Koentjaraningrat menyusun disertasinya tampak jelas hasil penelitiannya di perpustakaan menempati posisi sentral. Penelitian lapangan dalam antropologi, Profesor Koentjaraningrat berpendapat bahwa para ahli antropologi sebaiknya menggabungkan dua macam metode penelitian yang seringkali dipertentangkan, yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif, agar generalisasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Menurut Profesor Koentjaraningrat bahwa metode kuantitatif rupanya masih lebih tinggi daripada metode kualitatif, sebab di mata beliau hasil penelitian dan analisis metode kualitatif merupakan penambahan atau persiapan bagi penelitian dengan metode kuantitatif. Metode penelitian kualitatif tidak dapat dikatakan sebagai metode yang menentukan keputusan akhir dari suatu hasil penelitian, sedangkan metode kuantitatif yang lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat diterima sebagai generalisasi yang dapat dipercaya dan obyektif atau tidak (Ahmisa Putra, 1997: 32-33).
Taksonomi Kebudayaan
Bila fakta-fakta mengenai kebudayaan dan masyarakat telah terkumpul, maka pada tahap berikutnya si ahli antropologi kemudian harus menentukan “sifat-sifat umum dan sistem” dalam fakta. Ini adalah sebuah proses yang biasa disebut sebagai generalisasi. Dua metode penting yang dipakai dalam proses generalisasi ini adalah metode perbandingan dan metode klasifikasi atau tipologi. Melalui studi perbandingan dapat diketahui sifat-sifat umum dalam fakta yang kemudian dirumuskan dalam kategori-kategori atau tipe-tipe tertentu, yang sekaligus juga merupakan sarana untuk mengklasifikasi obyek-obyek yang diteliti atau fakta yang diperoleh, dan professor Koentjaraningrat setuju dengan upaya klasifikasi ini, yang juga dikenal sebagai taksonomi (Ahmisa Putra, 1997: 33-34).
Taksonomi atau tipologi kebudayaan merupakan upaya untuk menentukan jenis atau karakter dari suatu kebudayaan dan kemudian memberinya nama tertentu, Salah satu contoh taksonomi kebudayaan yang dibuat oleh Profesor Koentjaraningrat terdapat dalam buku beliau yang berjudul Introduction to the Peoples and Cultures of Indonesia and Malaysia (1975b). Dalam buku ini, beliau menampilkan gambaran tentang persamaan dan perbedaan dari berbagai kebudayaan di dalamnya melalui typology of culture (1975b;52). Ratusan kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia dan Malaysia beliau kelompokkan menjadi empat macam tipe kebudayaan yakni (1) kebudayaan-kebudayaan yang berdasarkan atas “shifting cultivation, yams, taro, and other root crops, (2) kebudayaan-kebudayaan pendalaman yang berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crops, (3) kebudayaan Pantai yang berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crop, dan (4) kebudayaan pedalaman berdasarkan atas “wet-rice agriculture (Ahmisa Putra, 1997: 34-35).
Ahimsa Putra (1997: 36) menyatakan bahwa para ahli antropologi yang menempuh prosedur klasifikasi tersebut juga menganut suatu pandangan bahwa tidak ada perbedaan yang esensial antara fenomena alam dan fenomena sosial-budaya, karena pengertian nature (alam) bukan hanya fisik saja tetapi mencakup juga gejala-gejala sosial-budaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis Ahimsa Putra yakni apakah anggapan-anggapan semacam itu cukup kuat dasarnya atau sah? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua dalil yakni (1) “man is part of the natural world juga dalam human world” yang selanjutnya berarti pula bahwa “individual and society phenomena can be understood by objective methods of study. Implikasinya gejala-gejala sosial budaya tetap dapat dipelajari dengan menggunakan metode-metode yang umum dipakai dalam ilmu-ilmu alam; (2) “all behavior is naturally determined”, Implikasinya bahwa “explanation of events shall be sought in natural causes or antecedents (Lastrucci, dalam Ahimsa Putra, 1997: 36).
Induktif dan Deduktif
Ahimsa Putra menyatakan proses berfikir ilmiah Professor Koentjaraningrat adalah proses yang induktif. Dalam proses ini, seorang ahli antropologi haruslah berangkat dari berbagai macam fakta sosial-budaya yang merupakan hasil observasi dan wawancara, dan kemudian mengklasifikasi fakta-fakta tersebut berdasarkan atas kesamaan sifat atau ciri-ciri di dalamnya dan baru kemudian melakukan suatu generalisasi. Proses berfikir secara induktif dan deduktif sebagai proses yang bersifat saling mengisi sebenarnya sangat disadari oleh Profesor Koentjaraningrat sehingga antropologi yang ingin dikembangkannya diusahakan untuk mencakup kedua-daunya. Namun demikian, karya-karya beliau lebih dominan proses berfikir secara induktif dalam antropologinya (Ahimsa Putra, 1997: 37-38).
Perbandingan, Generalisasi, dan Verifikasi
Ahimsa Putra (1997: 39) menguraikan bahwa dalam Antrop-Koen, studi perbandingan sebenarnya ada dua macam, yakni: (a) yang ditujukan untuk dapat menghasilkan suatu sistem klasifikasi tertentu, dan (b) yang ditujukan untuk menguji kebenaran dari pengertian-pengertian yang telah diperoleh mengenai masyarakat dan kebudayaan. Studi perbandingan yang pertama bertujuan mencari kesamaan dan perbedaan, sedangkan studi kedua merupakan tahap dimana pemahaman yang telah diperoleh berusaha diuji dengan studi perbandingan yang melibatkan lebih banyak masyarakat dan kebudayaan. Profesor Koentjaringrat menurut Ahimsa Putra memang menekankan pentingnya melakukan verifikasi melalui studi perbandingan ini bilamana kita ingin mencapai generalisasi yang kokoh fondasi empirisnya. Proses verifikasi itu sendiri menurut Ahimsa Putra sebenarnya ada dua macam, yakni yang berdasarkan atas (1) prediksi atau prakiraan yang tidak bersifat kebetulan, dan (2) yang berdasarkan atas consensus atau persetujuan antara para ilmuwan. Verifikasi yang cenderung digunakan oleh Profesor Koent menurut Ahimsa Putra adalah verifikasi yang pertama. Implikasinya menurut Ahimsa Putra bahwa Profesor Koentjaraningrat menganut epistemology stochastic yakni epistemology yang berhubungan soal probabilitas.
Menurut Ahimsa Putra (1997: 40) bahwa Profesor Koentjaraningrat menginginkan antropologi tidak hanya berhenti menjadi ilmu deskriptif, yang hanya menggambarkan hasil pengamatan para ahli antropologi saja, namun juga bisa meningkat menjadi ilmu yang dapat merumuskan hukum-hukum mengenai berbagai macam gejala sosial-budaya. Untuk itu, antropologi perlu melakukan studi perbandingan yang meluas, yang world-wide, yang mencakup berbagai macam kebudayaan yang ada di muka bumi ini. Sebagaimana ilmu-ilmu yang telah berhasil merumuskan hukum-hukum tentang gejala alam sebagai modelnya. Profesor Koentjaraningrat mengakui bahwa prosedur yang ada dalam ilmu eksak yakni penyelidikan, observasi, dan pengujian suatu temuan yang dilakukan berulang kali, tidak hanya dapat tetapi juga perlu diterapkan dalam antropologi. Dengan demikian, pengadopsian metode-metode analisis kuantitatif yang ada dalam ilmu eksak, seperti misalnya analisis statistik dan matematik, merupakan langkah yang harus diambil (Ahimsa Putra, 1997: 41)
Antropologi Koentjaraningrat pada dasarnya adalah antropologi yang komparatif, dan ini memang merupakan salah satu ciri pokok antropologi di dunia pada umumnya, namun demikian, selain bermakna teoretis dan akademis, studi perbandingan atas berbagai kebudayaan di Indonesia dalam konteks Antrop-Koen juga mempunyai makna strategis dan praktis, yakni untuk memperlancar berbagai upaya membangun masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini terlihat dalam pandangan Profesir Koentjaraningrat mengenai manfaat antropologi bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam sebuah negara kesatuan (Ahimsa Putra, 1997: 43)
Fungsi dan Kebudayaan
Menurut Ahimsa Putra (1997: 44) dalam sudut pandang antropologi yang menekankan pada studi perbandingan melalui model-model tertentu mengenai masyarakat dan kebudayaan, Antrop-Koen adalah antropologi fungsionalitas. Ada tiga definisi fungsi yang dilontarkan oleh Spiro, dan menurut Profesor Koentjaraningrat dua diantaranya diikuti oleh para ahli antropologi, yakni (1) fungsi “sebagai konsep yang menerangkan hubungan kovariabel antara satu hal dengan yang lain (kalua nilai dari satu hal X berubah, maka nilai dari suatu hal yang lain Y yang ditentukan oleh X tadi juga berubah,(2) fungsi “sebagai konsep yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang bulat (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah, menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme (Ahimsa Putra, 1997: 44)
Pandangan Profesor Koentjaraningrat yang menekankan pada pentingnya studi perbandingan antarkebudayaan juga mengandung model tentang kebudayaan sebagai suatu sistem yang fungsional; yang memiliki berbagai unsur yang saling berkaitan satu sama lain, terintegrasi, dan merupakan sutau satuan yang berfungsi, yang hidup. Pemahaman mengenai fungsi unsur kebudayaan ini dalam kehidupan suatu masyarakat sangat penting artinya bagi seorang peneliti, sebab hal itu akan sangat membantunya dalam melakukan studi perbandingan yang terkendali (Ahimsa Putra, 1997: 46)
B. Teori/Pandangan yang Muncul
Antropologi Koentjaraningrat: Positivistis?
Pada akhir tulisan, Ahimsa Putra (1997: 46-47) menguraikan kembali terkait analisis atas berbagai karya tulis Koentjaraningrat yang membawa pada anggapan-anggapan dasar yang ada dalam Antrop-Koen, antara lain:
a. Kebudayaan merupakan sesuatu yang terdiri dari berbagai unsur yang terkait secara fungsional satu sama lain, sehingga suatu kebudayaan juga merupakan sebuah sistem yang unsur-unsurnya relatif terintegrasi satu dengan yang lain. Perubahan salah satu unsur di sini akan membawa perubahan pada unsur-unsur yang lain, dan akhirnya pada seluruh sistem
b. Gejala sosial-budaya merupakan bagian dari tatanan alami (natural order) sehingga jika fenomena alam tunduk pada hukum-hukum tertentu, maka tentunya ada juga fenomena sosial-budaya yang tunduk pada hukum-hukum semacam itu. Tugas para ilmuwan sosial adalah menemukan dan merumuskan hukum-hukum tersebut.
c. Ilmu sosial-budaya seyogyanya tidak berhenti menjadi ilmu yang deskriptif, tetapi juga menjadi sebuah disiplin yang mampu merumuskan generalisasi-generalisasi yang meyakinkan mengenai gejala sosial-budaya, yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d. Untuk mencapai tujuan tersebut prosedur penelitian yang telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam, yang terbukti telah mampu merumuskan hukum-hukum yang ada di balik gejala alam, dapat atau perlu digunakan dalam mempelajari gejala sosial-budaya. Melalui strategi ini diharapkan akan dapat ditemukan juga hukum-hukum yang bekerja di balik gejala sosial-budaya tersebut.
e. Antropologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kebudayaan, harus dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang mendekati “hukum” atau merumuskan dalil-dalil mengenai relasi-relasi yang mantap antar berbagai unsur kebudayaan atau relasi-relasi antara gejala sosial-budaya satu dengan yang lain. Ini dapat dicapai bilamana prosedur-prosedur ilmiah seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu eksak diikuti dengan seksama, mulai dari proses pengamatan, pendeskripsian, klasifikasi, generalisasi, hingga verifikasi.
Anggapan-anggapan ini menurut pandangan Ahimsa Putra (1997:47) semakin memperjelas bahwa Antrop-Koen memang merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis. Ciri-ciri penting dari epistemologi semacam ini adalah adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial-budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial-budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil, mengenai gejala sosial-budaya, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam illmu-ilmu sosial budaya.
C. Tanggapan Kritis
1. Pujian-Kelebihan
Ulasan Ahimsa Putra dalam tulisan yang berjudul “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologi” semakin menunjukkan ketajaman analisis Ahimsa Putra terhadap landasan filosofis Antrop-Koen. Hal tersebut karena kelebihan dari Ahimsa Putra terkait dengan repertoa yang dimiliki Ahimsa Putra mengenai pemanfaatan tulisan-tulisan para ahli antropologi yang pandangannya diikuti oleh Profesor Koentjaraningrat. Tulisan-tulisan sebelumnya ini diistilahkan oleh Ahimsa Putra melalui “pintu belakang”, yang mengindikasikan pada kelebihan repertoa atau Gudang pengetahuan yang dimiliki Ahimsa Putra. Ahimsa Putra sebagai professor Antropologi UGM tentu memiliki keahlian dan pengetahuan yang sangat mendalam terkait dengan antropologi Koentjaraningrat. Apalagi Ahimsa Putra pernah menjadi mahasiswa dari Profesor Koentjaraningrat, sehingga sangatlah wajar ketika pengetahuan Ahimsa Putra begitu mendalam dalam menafsirkan antropologi Koentjaraningrat.
Tulisan Ahimsa Putra ini, sangat sistematis, ilmiah, lugas, dan jelas, sehingga sebagai pembaca dapat memahami alur dan maksud dari penafsiran Ahimsa Putra terhadap epistemologi antropologi Koentjaraningrat. Ahimsa Putra tidak serta merta langsung menyimpulkan bahwa Anrop-Koen merupakan antropologi dengan epistemologi yang postivistis, namun beliau melakukan berbagai pengetahuan dengan menelusuri tulisan-tulisan sebelumnya, menggunakan asumsi-asumsi dasar. Ahimsa Putra begitu lihai dalam menguraikan Riwayat hidup Koentjaraningrat bahkan dinilai oleh himsa Putra bahwa Koentjaraningrat sangat layak sebagai Bapak Antropologi Indonesia karena kontribusi yang sangat besar oleh Koen terhadap pengembangan antropologi di Indonesia.
Selain itu, Ahimsa Putra dalam menafsirkan antropologi Koentjaraningrat menggunakan kerangka konseptual dengan pandangan kaum postivis. Cara berpikir Ahimsa Putra sangat sistematis melalui tahapan metode pngumpulan fakta dengan mengacu pada Profesor Koentjaraningrat yang dapat dicapai melalui tiga tingkat yakni (1) pengumpulan fakta, (2) penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi, dan sistem serta (3) verifikasi. Oleh karena itu, tulisan Ahimsa Putra bagi saya dapat membuka cakrawala harapan saya dalam memahami epistemologi antropologi Koentjaraningrat, sehingga berdampak pada analisis saya nanti pada keilmuan saya terhadap epistemologi sastra yang semakin berkembang.
2. Kritik-Kekurangan
Kekurangan yang dapat dilihat dari tulisan ini sebenarnya sangat sulit diuraikan karena memang sudah sangat tepat dalam memberikan penjelasan terkait dengan penafsiran Ahimsa Putra terhadap epistemologi Koentjaraningrat. Namun, perlu kiranya dalam memberikan penilaian dari sudut pandang yang berbeda baik kelebihan maupun kekurangan.
Dalam tulisan Ahimsa Putra berjudul “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologi” masih terdapat beberapa pandangan yang kurang jelas terutama pada pandangan terhadap dua metode yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Penjelasan Ahimsa Putra terkait kedua metode ini seakan mengarahkan pada posisi kedua metode tersebut, antara mana yang lebih tinggi sehingga seakan mempertentangkan kedua metode tersebut. Sementara penjelasan Ahimsa Putra dengan mengutip pendapat Profesor Koentjaraningrat bahwa kedua metode tersebut tidak berlawanan tetapi saling mengisi. Di dalam tulisan ini, seakan metode kuantitatif yang lebih tinggi dibanding kualitatif, serta metode kuantitatif yang lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat diterima sebagai generalisasi yang dapat dipercaya atau obyektif atau tidak. Di sini kedudukan metode kualitatif hanya sebagai penambahan atau persiapan yang justru semakin mengaburkan makna dari metode kualitatif dalam penelitian sosial budaya. Kemungkinan metode kuantitatif ini mengikuti pandangan positivisme sehingga lebih ke arah eksak, namun hal tersebut dalam tulisan ini, masih perlu dijelaskan secara detail bagaimana metode penelitian kuantitatif bekerja dalam menganalisis gejala sosial-budaya.
Selain itu, tulisan ini juga menguraikan terkait dengan pandangan Kolakowski terkait dengan positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia yang juga memiliki empat aturan postivisme yang menentukan apa yang dimaksud dengan pengetahuan. Namun, dalam uraian selanjutnya tiba-tiba pemikiran Kolakowski dianggap sangat sulit dalam menerapkan pemikirian Antrop-Koen, sehingga mengalihkan pada pemikiran yang dianggap lebih kongkret yakni pandangan Giddens mengenai positivisme. Uraian ini menjadi rancu bagi saya, karena paparan Kolakowski tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengapa hal tersebut terasa sulit diterapkan dalam Antrop-Koen, dari segi konsepnya, metodenya, atau hasilnya, sehingga dengan penjelasan tersebut justru akan membantu pembaca untuk memasuki pandangan Giddens yang terasa lebih tepat. Apakah tidak memungkinkan kedua pandangan ini digunakan sekaligus dalam memahami Antro-Koen agar lebih menguatkan dalam memahami epsitemologi Koen sebagai antropologi dengan epistemologi yang postivistis?
Kekurangan lainnya bagi saya terdapat pada penjelasan Ahimsa Putra mengenai tugas para ilmuwan sosial adalah menemukan dan merumuskan hukum-hukum tersebut. Ilmu sosial budaya seyogyanya tidak berhenti menjadi ilmu yang deskriptif, tetapi juga menjadi sebuah disiplin yang mampu merumuskan generalisasi-generalisasi yang meyakinkan mengenai gejala sosial-budaya, yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penjelasan ini kiranya perlu dijabarkan secara detail yang akan membawa pemahaman pembaca dalam mengetahui hakikat dari postivistis itu sendiri. Hukum-hukum serta generalisasi seperti apa yang tercermin dalam Antro-Koen sehingga semakin memperkuat bahwa Antro-Koen itu disebut sebagai epistemology postivistis. Meskipun ada penjabaran, namun akan lebih dimengerti apabila ada contoh kongkret terkait hukum-hukum tersebut sebagai gejala sosial budaya.
Justru dalam uraian selanjutnya dalam pandangan Ahimsa Putra telah masuk pada perbandingan ilmu sosial dengan ilmu alam, yang mana ilmu alam terbukti telah mampu merumuskan hukum-hukum yang ada di balik gejala alam. Sebagai saran agar lebih memudahkan kiranya disertai dengan contoh kongkret gejala alam sebagai sampel saja agar dapat dibandingkan dengan mempelajari gejala sosial budaya sehingga membantu memudahkan pembaca dalam merumuskan hukum-hukum yang ada dalam gejala ilmu sosial.
Dan diakhiri dengan antropologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kebudayaan, harus dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang mendekati hukum atau merumuskan dali-dalil. Pertanyaan yang mendasari untuk lebih dkongkretkan dalam tulisan selanjutnya seperti apa nanti rumusan hukum dan dalil-dalil dapat dicapai dengan mengikuti prosedur ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu eksak?
Akhirnya sebagai mahasiswa, perlu menyadari kekurangan pada kelilmuan filsafat sehingga bisa jadi berbagai kelemahan yang saya uraikan ini karena horison harapan yang saya miliki masih terbatas, sehingga perlu banyak membaca dan berdiskusi. Oleh karena itu, saya bersyukur dapat bertemu dengan Profesor Ahimsa Putra melalui perkuliahan dan membaca serta mereview beberapa artikel beliau sehingga membantu saya dapat memahami berbagai paradigma yang sebelumnya masih terasa kabur dalam pemikiran saya.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. 1997. "Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis" dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, E.K.M. Masinambow (ed). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.