REVIEW MENDEFINISIKAN KEMBALI KEBUDAYAAN: KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA
A. Ringkasan
Tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra (2021) dengan judul “Mendefinisikan Kembali Kebudayaan” menguraikan pemahaman Ahimsa-Putra terkait dengan kebudayaan. Pada bagian awal tulisan, Ahima-Putra (2021) merasa harus menyinggung pandangan Bapak Antropologi Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut Ahimsa-Putra masih memiliki kekurangan pada pandangan Koentjaraningrat terkait konsep kebudayaan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, Ahimsa Putra menawarkan sebuah konsepsi kebudayaan yang berbeda yang dapat diharapkan akan lebih dapat mengungkapkan seluk-beluk, pernik-pernik gejala kebudayaan yang selama ini belum terjamah oleh penelitian-penelitian yang menggunakan konsep kebudayaan dari Koentjaraningrat.
Dalam tulisan Ahimsa Putra ini terdiri atas beberapa pembahasan yakni paparan mengenai pandangan Koentjaraningrat tentang kebudayaan, telaah kritis atas pandangan tersebut, dan pendefinisian kembali oleh Ahimsa Putra mengenai konsep kebudayaan beserta penjelasannya, dan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian dengan menggunakan konsep kebudayaan.
Dalam pandangan Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai 3 wujud, yakni (a) wujud berupa “suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (b) wujud berupa ‘suatu kompleks’ aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (c) wujud berupa “benda-benda hasil karya manusia.”(Ahimsa Putra, 2021: 3).
Pandangan Koentjaraningrat mengenai kebudayaan dinilai oleh Ahimsa Putra (2021: 4) memiliki kelebihan berupa rumusan lebih rinci dan jelas dan lebih terlihat sesuai dengan realitas kebudayaan, memahami kebudayaan perlu dilakukan dengan memecahnya ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil yaitu cultural items dan cultural traits. Konsepsi kebudayaan Koentjaraningrat relatif mudah dipahami dan diterapkan dalam penelitian karena nama-nama untuk unsur kebudayaan seperti kesenian, teknologi, bahasa, dan seterusnya merupakan istilah sehari-hari yang terasa jelas maknanya, dan kemudahan untuk dipahami sehingga mendorong penelitian-penelitian kebudayaan yang sangat banyak di Indonesia. Selain terdapat kelebihan, Ahimsa Putra (2021:4) menjelaskan terdapat beberapa kekurangan dalam konsep kebudayaan Koentjaraningrat yakni pada basis filosofis definisi tersebut, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan berangkat aspek keterwujudannya, aspek empirisnya, tanpa menjelaskan terlebih dahulu filsafat manusia seperti apa yang mendasari pendefinisian tersebut. Strategi tersebut menurut Ahimsa Putra tidaklah salah, tetapi kurang menguntungkan, karena dengan begitu landasan filosofis definisi tersebut menjadi tidak kokoh sama sekali, atau bahkan terlupakan. Kekurangan selanjutnya terdapat pada penggunaan kata “wujud” dalam “wujud kebudayaan.” Koentjaraningrat menggunakan kata “wujud” yang tampaknya kurang diperhitungkan implikasinya terhadap konsepsi mengenai kebudayaan itu sendiri. Kata ‘wujud’ menyiratkan adanya sesuatu yang diwujudkan, sesuatu yang dinyatakan. Wujud kebudayaan menurut Koentjaramingrat ada tiga, yakni: (a) gagasan; (b) perilaku, dan (c) hasil perilaku. Untuk perilaku dan hasil perilaku katga wujud tidak menimbulkan masalah, karena keduanya dapat dipandang sebagai perwujudan dari sesuatu yang abstrak, yang tidak kelihatan, yakni gagasan, ide, pengetahuan, nilai-nilai dan sebagainya. Akan tetapi, Ketika kata “wujud” digunakan untuk gagasan, munculla masalah karena menurut Ahimsa-Putra gagasan adalah sesuatu yang abstrak, yang tidak kelihatan dan berada dalam pikiran manusia. Menurut Ahimsa Putra bahwa penggunaan istilah wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat sebenarnya kurang tepat, kurang sesuai, karena berlawanan dengan pandangan filosofis Koentjaraningrat yang positivistik (Ahimsa-Putra, 2021: 5). Kekurangan yang dipandang Ahimsa Putra dari konsep kebudayaan Koentjaraningrat adalah pandangan Koentjaraningrat yang universal (cultural universals) sehingga bagi Ahimsa Putra ternyata membingungkan dan ketidakjelasan kriteria klasifikasi unsur kebudayaan. Selanjutnya Ahimsa Putra menilai bahwa tujuh unsur budaya universal tersebut ternyata masih belum dapat mencakup keseluruhan gejala sosial budaya yang terdapat dalam sebuah kebudayaan. Kekurangan lainnya yang diuraikan oleh Ahimsa Putra adalah ditempatkannya ‘bahasa’ sebagai unsur, bukan sebagai dimensi. Ahims
Berdasarkan kekurangan yang diuraikan oleh Ahimsa Putra pada konsep kebudayaan Koentjaraningrat menjadi alasan untuk mengajukan sebuah pandangan kebudayaan yang berbeda, yang setidak-tidaknya tidak lagi mengandung berbagai kekurangan tersebut. Hal tersebut berarti bahwa konsepsi kebudayaan yang baru ini harus memenuhi beberapa persyaratan minimal, yaitu: (a) dibangun atas dasar pandangan filosofis tertentu mengenai manusia; (b) menggunakan konsep atau istilah secara tepat, dengan memperhitungkan berbagai macam implikasi teoritis dan metodologinya; (c) menggunakan kriteria yang jelas dalam membuat sebuah perangkat klasifikasi atau kategorisasi unsur kebudayaan; (d) kategorisasi unsur budaya bersifat ekslusif, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam paparannya.
Ahimsa Putra membuat batasan (definisi) sebuah konsep pokok dalam sebuah cabang ilmu pengetahuan tidak dapat dilakukan secara gegabah. Begitu pula halnya dalam mendefinisikan kata “kebudayaan” sebagai konsep terpenting dalam antropologi atau studi kebudayaan. Menurut Ahimsa Putra (2021:6-7) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita merumuskan sebuah definisi. Pertama, definisi tersebut tidak boleh mengandung atau mengulangi kata yang didefinisikannya. Jadi definisi kebudayaan misalnya, tidak boleh mengandung kata ‘kebudayaan’ atau ‘budaya’ di dalamnya. Kedua, sehubungan dengan definisi kebudayaan, definisi ini juga harus didasarkan pada filosofis tertentu mengenai manusia, karena kebudayaan tidak aka nada tanpa manusia. Ketiga, definisi kebudayaan tersebut sebaiknya juga mengandung pandangan tentang asal-mulanya atau pemerolehannya. Keempat, definisi tersebut sebaiknya juga menunjukkan fungsi, karena aspek fungsi tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Empat prasyarat tersebut mempunyai implikasi terhadap pandangan filosofis tentang kebudayaan, yaitu (a) bahwa kebudayaan adalah sebuah gejala yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, karena kebudayaan merupakan ekspresi (perwujudan) dari kemanusiaan itu sendiri; (b) bahwa kebudayaan merupakan sebuah gejala yang mempunyai asal-muasal, yang tidak muncul atau hadir begitu saja dalam kehidupan manusia; dan (c) bahwa kebudayaan merupakan sebuah gejala yang memiliki fungsi tertentu di situ.
Berkaitan dengan kebudayaan, Ahimsa Putra (2021:8) menguraikan secara jelas terkait dengan manusia yang memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh hewan yang lain, yakni kemampuan melakukan simbolisasi (pelambangan). Melalui lambang-lambang inilah manusia berkomunikasi yaitu menyampaikan pesan-pesan kepada sesamanya dan menanggapi lingkugannya. Dalam hal ini, bahasa merupakan perangkat simbol terpenting dalam kehidupan manusia. Bahasa sebagai bunyi-bunyi yang kita hasilkan melalui penggunaan organ mulut dan kerongkongan untuk menyampaikan pesan-pesan merupakan perangkat tanda dan lambing yang memungkinkan manusia membangun kehidupan bermasyarakat. Tanpa bahasa tidak akan muncul kehidupan sosial. Tanpa bahasa tidak akan lahir kebudayaan. Lebih lanjut Ahimsa Putra menjelaskan bahwa dengan kemampuan simbolisasinya manusia kemudian mampu melakukan abstraksi dan memproduksi gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran mengenai berbagai kenyataan yang dihadapinya. Gagasan-gagasan ini kemudian disampaikan kepada manusia-manusia lain dengan menggunakan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh leher dan mulut, yang kemudian disebut aktivitas “komunikasi.” Dari aktivitas komunikasi inilah lahir kemudian kehidupan bersama yang kita sebut “masyarakat” dan hasil karya dari kehidupan bersama ini kita sebut sebagai “kebudayaan”.
Selanjutnya Ahimsa Putra menguraikan terkait simbol dan tanda. Menurut Ahimsa Putra (2021:9) simbol yang menjadi dasar terbangunnya kehidupan sosial adalah bahasa. Menurut Ahimsa Putra jika simbol adalah sesuatu yang dimaknai, maka dalam bahasa simbol ini tentunya berupa kata-kata, sebab kata-kata inilah yang merupakan unit terkecil yang ‘bermakna’ atau dapat dimaknai atau mewakili sesuatu. Dalam pandangan Saussure, sign merupakan unit yang terkecil dalam bahasa, dan ini memiliki dua sisi, yakni: sisi signified (tinanda) dan sisi signifier (penanda). ‘Tanda’ yang dicontohkan oleh de Saussure tidak lain adalah ‘kata’, sebab kata adalah unit terkecil bahasa yang memiliki aspek signified dan signifier. Namun menurut Ahimsa Putra unit terkecil bahasa ternyata bukanlah ‘kata’ sebagaimana diduga oleh Saussure, tetapi elemen lebih kecil yang membentuk kata tersebut yakni fonem (phoneme). Fonem adalah satuan bahasa terkecil yang membedakan arti. Sebuah fonem tidak mempunyai acuan apa-apa. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa fonem itu “tidak bermakna”. Fonem sebagai sign tidak dapat dikatakan memiliki aspek penanda (signifier) dan tinanda (signified). Ditemukannya fonem sebagai ‘tanda’ dalam bahasa menuntut kita kini membedakan antara symbol (lambang) dengan sign kini perlu diartikan sebagai simbol. Simbol mempunyai dua sisi, yakni simbol itu sendiri (syimbol/signifier) dan yang disimbolkan (syimbolized/ signified). Dalam bahasa, simbol ini adalah kata, sedang tanda (sign) adalah fonem.
Lebih lanjut Ahimsa Putra (2021:9) menegaskan bahwa tanda berbeda dengan lambang (syimbol). Tanda memang juga merupakan segala sesuatu yang dimaknai, namun ‘makna’ di sini bukanlah apa yang diacunya, tetapi ‘fungsinya’ dalam suatu sistem relasi tertentu. Contoh yang paling mudah dan jelas dapat kita ambil dari bahasa. Unit bahasa terkecil adalah fonem. Perbedaan antara tanda dan simbol ini juga hanya ‘bermakna’ dalam konteks tertentu. Perbedaan lain antara tanda dan simbol adalah makna atau acuan pada sebuah simbol umumnya diketahui, disadari oleh penggunanya, sehingga dapat dinyatakan secara eksplisit, sedang makna atau nilai dari sebuah tanda tidak selalu disadari atau diketahui. Makna atau nilai tanda lebih bersifat nirsadar (tidak disadari).
Ahimsa Putra menjelaskan dimensi (wujud) dan unsur kebudayaan untuk meluruskan Kembali unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Adapun menurut Ahimsa-Putra (2021: 13) bahwa dimensi kebudayaan memiliki (1) Dimensi fisik/material (Material Dimension of Culture); (2) Dimensi Perilaku (Behavioral of Culture); (3) Dimensi kebahasaan (Lingual Dimension of Culture; (4) Dimensi Pengetahuan (Ideational Dimension of Culture). Selain dimensi, Ahimsa Putra (2021:15) juga menguraikan unsur kebudayaan menjadi 10 unsur yakni () Unsur Perangkat Komunikasi: mengatasi masalah hubungan antar individu;; (2) Unsur Perangkat Klasifikasi: mengatasi masalah ketertataan (orderlyness); (3) Unsur Perangkat Organisasi: mengatasi masalah kerja sama dan reproduksi sosial; (4) Unsur Perangkat Ekonomi: mengatasi masalah kelangkaan pangan dan sandang; (5) Unsur Perangkat Kesehatan: mengatasi masalah reproduksi biologis; (6) Unsur Perangkat Kepercayaan: mengatasi masalah ketidakberdayaan; (7) Unsur Perangkat Pelestarian: mengatasi masalah kehilangan/kepunahan; (8) Unsur Perangkat Transportasi: mengatasi masalah pemindahan tempat; (9) Unsur Perangkat Permainan (Hiburan): mengatasi masalah kebosanan; (10) Unsur Perangkat Kesenian: mengatasi masalah ekspresi perasaan.
Dalam tulisan Ahimsa Putra (2021: 16-23) menguraikan secara jelas terkait dengan unsur-unsur budaya beserta dimensinya. Uraian unsur dan dimensi menurut Ahimsa Putra dijabarkan sebagai berikut.
(1) Unsur perangkat komunikasi mengatasi masalah hubungan antar individu memiliki dimensi pengetahuan yang terdiri atas gagasan-gagasan, pengetahuan, pandangan, norma, dan aturan dalam proses penyampaian pesan antar individu dalam kehidupan suatu masyarakat. Selain itu, dapat juga mencakup pengetahuan tentang penggunaan perangkat komunikasi itu sendiri. Selanjutnya untuk dimensi kebahasaan mencakup berbagai istilah dan wacana tentang perangkat tersebut dan wacana tentang berbagai fenomena yang termasuk dalam unsur budaya komunikasi. Dimensi perilaku dalam unsur budaya komunikasi mencakup misalnya perilaku menerima tamu, sedangkan dimensi material berupa peralatan komunikasi yang terdapat dalam diri manusia dan di luar diri manusia.
(2) Unsur perangkat klasifikasi mengatasi masalah ketertataan (orderliness) memiliki dimensi pengetahuan dari perangkat klasifikasi ini berupa aturan-aturan untuk melakukan penghitungan, seperti yang terdapat pada matematika, fisika, dan ilmu statistik. Dimensi kebahasaan mencakup di dalamnya berbagai istilah yang digunakan untuk mengklasifikasi waktu, istilah-istilah untuk mengklasifikasi dimensi ruang, dan wacana tentang sistem klasifikasi tersebut. Dimensi perilaku berupa kegoatan belajar dan mengajar hitung-menghitung atau menjawab soal-soal matematik, fisika, dan statistik. Dimensi material dari perangkat klasifikasi adalah berbagai peralatan yang digunakan untuk kegiatan hitung-menghitung, mengklasifikasi, mengelompokkan, dan mengetahui jumlahnya.
(3) Unsur perangkat organisasi mengatasi masalah Kerjasama dan reproduksi sosial memiliki dimensi pengetahuan berupa segenap pandangan, pengetahuan nilai, norma, dan aturan-aturan yang menyangkut apa yang harus dan dapat diperoleh seseorang dari individu lain serta, apa yang harus dan dapat diperoleh seseorang dari individu lain serta, apa yang harus dan dapat dia berikan kepada yang lain, entah itu berupa barang atau jasa. Dimensi kebahasaan berupa berbagai istilah yang digunakan untuk membangun interaksi dan relasi sosial antar individu, berbagai istilah-istilah untuk individu, kelompok, atau satuan sosial dalam masyarakat, berbagai wacana mengenai interaksi dan relasi antar inividu atau antarkelompok. Dimensi perilaku berupa berbagai perilaku, Tindakan, interaksi sosial, dan kegiatan bersama untuk mengatur kegiatan bersama, misalnya hidup bersama sebagai sebuah keluarga, kegiatan mengasuh anak, pertemuan keluarga, pertemuan-pertmeuan kampung, rapat-rapat organisasi, dan sebagainya. Dimensi material dari perangkat organisasi ini antara lain adalah rumah, balai pertemuan, pos ronda, dan sebagainya, dengan berbagai peralatan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan di situ.
(4) Unsur perangkat ekonomi mengatasi masalah kelangkaan pangan dan sandang memiliki dimensi pengetahuan berupa pengetahuan, gagasan mengenai berbagai hal yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang serta berbagai cara, nilai, aturan yang perlui diikuti dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Dimensi kebahasaan berupa istilah dan wacana berkenaan dengan unsur-unsur perangkat simbolik tersebut, misalnya istilah-istilah untuk berbagai jenis ubi dan singkong, berbagai jenis sayuran, berbagai jenis serangga yang dapat dimakan, berbagai hewan yang dapat dipelihara, berbagai perbincangan mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi untuk Kesehatan, perbincangan tentang cara beternak hewan-hewan tertentu, perbincangan tentang cara bercocok tanam sayuran, dan sebagainya. Dimensi perilaku berupa perilaku pedagang di pasar ketika menjajakan barang dagangannya, kegiatan sejumlah petanki bersama-sama mengolah sawah, kegiatan para petani memetic sayur di kebun, kegiatan tawar-menawar pembeli dengan pedagang di took, perilaku para pengemudi ojek online ketika menjawab pesan dari pelanggan atau ketika menelpon pelanggan, dan masih banyak lagi yang lain. Dimensi material perangkat budaya ekonomi ini antara lain berbagai peralatan yang digunakan dalam melakukan kegiatan ekonomi, seperti sepeda motor, helm, jaket, dan hp yang digunakan oleh pengemudi ojek online; cangkul; dan bajak yang digunakan untuk mengolah sawah;becak;andong; bentor;dan taxi yang digunakan oleh para pengemudinya untuk membawa penumpang;buah-buahan. Sayur-sayuran dan hasil bumi yang dijual oleh para petani di pasar; peralatan baku, timbangan, yang dipakai oleh para penjual buah dan sebagainya.
(5) Unsur perangkat kesehatan mengatasi masalah reproduksi biologis memiliki dimensi pengetahuan mengenai tubuh manusia serta kondisi sehat dan sakitnya. Dimensi kebahasaan berupa istilah atau nama mengenai bagian-bagian tubuh manusia, nama berbagai kondisi tubuh jika sehat dan sakit, nama berbagai jenis rauan untuk menjaga Kesehatan atau menyembuhkan sakit, istilah berbagai cara untuk mempertahankan kebugaran tubuh atau untuk mengobati. Dimensi perilaku berupa perilaku menjaga Kesehatan seperti berolahraga, menghindari mengkonsumsi makanan tertentu, mengkonsumsi jenis makanan tertentu secara rutin, berbagai perilaku mengobati dan melakukan tindakan tertentu terhadap bagian tubuh yang sakit. Dimensi material berupa makanan, minuman, peralatan untuk mendapatkan atau membuatnya.
(6) Unsur perangkat religi mengatasi masalah ketidakberdayaan memiliki dimensi pengetahuan berupa pandangan, kepercayaan, mengenai sebuah dunia selain dunia manusia. Dunia ini tidak tampak, tetapi dipercayai adanya. Dimensi kebahasaan berupa istilah, kata-kata, nama, ajaran, dan wacana mengenai makhluk-makhluk ghaib dengan berbagai kemampuan dan perilaku mereka, penggambaran mengenai keadaan di dunia ghaib tersebut, relasi mereka dengan manusia, serta berbagai doa dan mantra yang dilantunkan ketika manusia berupaya membangun relasi dengan makhluk-makhluk di situ. Dimensi perilaku berupa ritual-ritual keagamaan, dan dimensi material berupa aspek fisik dan material dari perangkat keagamaan misalnya masjid, mushola, langar, surau yang merupakan tempat-tempat untuk melakukan sholat secara bersama.
(7) Unsur perangkat pelestarian mengatasi masalah kehilangan/kepunahan memiliki dimensi pengetahuan tentang cara melestarikan atau mengawetkan. Dimensi kebahasaan berupa kata-kata, istilah, ungkapan yang digunakan dalam proses melestarikan, mengawetkan, atau menyimpan unsur-unsur budaya tertentu. Dimensi perilaku berupa berbagai aktivitas atau kegiatan membuat p;erlatan atau bahan untuk menyimpan barang. Pendeknya segala unsur simbolik yang berfungsi untuk memyimpan atau melestarikan keberadaan suatu unsur budaya pada waktu dan ruang tertentu. DImensi material berupa berbagai tempat untuk menyimpan dan berbagai sarana untuk membuat sesuatu menjadi tetap ada.
(8) Unsur perangkat transportasi mengatasi masalah pemindahan tempat memiliki dimensi pengetahuan berupa gagasan-gagasan, pemikiran, pengetahuan tentang pembuatan alat transportasi, tentang pembuatan sarana transportasi, tentang cara memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain dan sebagainya. Dimensi kebahasaan yakni berbagai istilah, nama, ungkapan, yang digunakan dalam kegiatan yang berkenaan dengan transportasi, berbagai istilah untuk aktivitas transportasi. Dimensi perilaku berupa kegiatan untuk membuat peralatan transportasi, membuat sarana untuk alat transportasi, mengepak dan mengirim berbagai barang. Memindah manusia dari satu tempat ke tempat yang lain, mengatur jadwal perjalanan mereka, memesan kendaraan untuk pemindahan tersebut, dan sebagainya, semuanya termasuk dalam kegiatan perangkat simbolik transportasi. Dimensi material berupa alat transportasi yang dapat membuat manusia berpindah tempat lebih cepat dan lebih nyaman. Berbagai macam kendaraan diciptakan oleh manusia seperti sepeda, sepeda motor, mobil, kereta api, pesawat terbang, dan sebagainya. Ini semua merupakan wujud material atau fisik dari perangkat transportasi.
(9) Unsur perangkat permainan mengatasi masalah kebosanan memiliki dimensi pengetahuan berupa pandangan, pengetahuan, nilai, norma dan aturan, berkenaan dengan berbagai bentuk permainan yang ada. Dimensi kebahasaan berupa istilah, nama, atau ungkapan-ungkapan yang berkenaan dengan kegiatan hiburan. Dimensi perilaku berupa kegiatan bermain itu sendiri. Dimensi material dari perangkat permainan ini sekarang sudah banyak sekali dan seringkali memerlukan teknologi yang sangat canggih untuk membuatnya. Biasanya semakin canggih peralatan yang digunakan untuk bermain, semakin canggih pula fasilitas pendukung permainan tersebut, sebagaimana terlihat pada permainan balap mobil, balap motor, dan balap perahu.
(10) Unsur perangkat kesenian mengatasi masalah ekspresi perasaan memiliki dimensi pengetahuan tentang apa yang dapat dianggap indah dan tidak indah, simbol-simbol apa yang dapat mengekspresikan perasaan tertentu. Dimensi kebahasaan meliputi istilah yang ada dalam berbagai aktivitas dan perangkat ekspresi seperti tari-menari, Lukis-melukis, pahat-memahat, ukir-mengukir, bermusik, dan sebagainya. Dimensi perilaku dari perangkat simbolik ini misalnya adalah berbagai perilaku memainkan alat musik, seperti misalnya memukul, meniup, menggesek, memetik, atau perilaku belajar memainkan alat musik, perilaku menyajikan gerak tertentu, perilaku membuat sebuah sketsa sebuah bangunan bersejarah, perilaku memahat kayu untuk mewujudkan bentuk tertentu, perilaku merekam sebuah tarian untuk mengiringi sebuah lagu, perilaku merekam suara gitar, atau cello, atau gamelan, untuk mengiringi sebuah tarian dan sebagainya. Dimensi material berupa berbagai peralatan, benda atau material yang dapat digunakan untuk menyatakan perasaan dan gagasan, seperti bunyi (berupa suara, musik), gerak (berupa tari), garis dan warna (berupa lukisan, gambar, ukiran), suara (berupa nyanyian, senandung), film (film, foto), dan sebagainya. Wujud material ini ketika digunakan untuk mengekspresikan akan menjadi sebuah realitas yang lain lagi misalnya saja bunyi.
Pada bagian penutup, Ahimsa Putra menegaskan bahwa pandangan mengenai kebudayaan ini diisebut sebagai sebuah model yang didasarkan pada asumsi filsofis yang jelas dan kuat tentang manusia yaitu manusia sebagai animal symbolicum. Kebudayaan sebagai perangkat simbol ditelaah lebih teliti wujud-wujud empiris atau realitas ontologis, sehingga diperoleh empat wujud atau empat dimensi kebudayaan, yaitu dimensi material, dimensi behavioral, dimensi lingual, dan dimensi ideational. Dengan empat dimensi tersebut, kita dapat membangun model kebudayaan berupa segitiga dengan sebuah titik tengah. Tiga titik segitiga merepresentasikan tiga dimensi kebudayaan yang berhubungan satu sama lainnamun tidak langsung karena itu digambarkan dengan garis-garis putus, namun ketiga titik tersebut terhubung secara langsung dengan dimensi kebudayaan, yang merupakan titik Tengah, dan merepresentasikan pusat dari kebudayaan. Bahasa di sni dianggap sebagau unsur budaya yang sangat menentukan proses terbentuknya dan pembentukan kebudayaan. Kebudayaan kemudian dapat dirinci menjadi sepuluh unsur budaya yang relative universal, dengan kriteria yang jelas, yaitu fungsinya. Dengan memandang kebudayaan sebagai sutau gejala empiris yang memiliki empat dimensi yang juga terbangun dari sepuluh unsur budaya universal, maka diperoleh model kebudayaan yang lebih sistematis dan sekaligus menjadi fenomena yang relatif mudah dipelajari dengan menggunakan metode-metode yang ada.
Ahimsa Putra pun menegaskan bahwa model kebudayaan yang ditawarkan lebih tepat digunakan untuk studi makro kebudayaan atau studi komparatif tentang kebudayaan, dengan rentang waktu yang cukup Panjang. Model tersebut dapat mengajak peneliti untuk lebih menaruh perhatian pada relasi-relasi dinamis antarunsur kebudayaan.
B. Teori/Pandangan yang Muncul
Tulisan ini lebih memperjelas terkait dengan konsep kebudayaan oleh Ahimsa Putra. Namun, konsep beliau merespon pandangan dari Bapak Antropologi Indonesia Koentjaraningrat, karena pandangan beliaulah yang paling populer di kalangan awam terpelajar damn ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Ahimsa Putra menemukan sejumlah kekurangan pada pandangan Koentjaraningrat terutama pada 7 unsur-unsur kebudayaan Koentjaraningrat, sehingga Ahimsa Putra memberikan pandangan terkait dimensi (wujud) dan unsur kebudayaan untuk meluruskan kembali unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Adapun pandangan yang muncul terkait dimensi dan unsur kebudayaan menurut Ahimsa-Putra bahwa dimensi kebudayaan memiliki (1) Dimensi fisik/material (Material Dimension of Culture); (2) Dimensi Perilaku (Behavioral of Culture); (3) Dimensi kebahasaan (Lingual Dimension of Culture; (4) Dimensi Pengetahuan (Ideational Dimension of Culture). Selain dimensi, Ahimsa Putra juga menguraikan unsur kebudayaan menjadi 10 unsur yakni () Unsur Perangkat Komunikasi: mengatasi masalah hubungan antar individu;; (2) Unsur Perangkat Klasifikasi: mengatasi masalah ketertataan (orderlyness); (3) Unsur Perangkat Organisasi: mengatasi masalah kerja sama dan reproduksi sosial; (4) Unsur Perangkat Ekonomi: mengatasi masalah kelangkaan pangan dan sandang; (5) Unsur Perangkat Kesehatan: mengatasi masalah reproduksi biologis; (6) Unsur Perangkat Kepercayaan: mengatasi masalah ketidakberdayaan; (7) Unsur Perangkat Pelestarian: mengatasi masalah kehilangan/kepunahan; (8) Unsur Perangkat Transportasi: mengatasi masalah pemindahan tempat; (9) Unsur Perangkat Permainan (Hiburan): mengatasi masalah kebosanan; (10) Unsur Perangkat Kesenian: mengatasi masalah ekspresi perasaan.
Pandangan selanjutnya berupa model kebudayaan yang didasarkan pada asumsi filosofis yang jelas dan kuat tentang manusia yaitu manusia sebagai animal symbolicum dari Ernst Cas-sirer (1945) sehingga dengan asumsi dasar ini dapat memandang kebudayaan sebagai perangkat simbol. Bagi Ahimsa Putra ini bukan pandangan yang baru dalam antropologi, karena Leslie White (1949) dan Clifford Geertz (1963) misalnya juga memiliki pandangan demikian. Namun, White dan Geertz dan ahli-ahli antropologi lainnya tidak menelusuri lebih lanjut implikasi penting dari pandangan tersebut, sehingga potensi teoretis dan praktis dari pandangan tersebut tidak mereka kembangkan. Oleh karena itu, Ahimsa Putra menaruh perhatian penuh pada pandangan kebudayaan melalui pendefinisian Kembali kebudayaan agar lebih dapat dengan jelas mengungkapkan seluk-beluk, pernik-pernik gejala kebudayaan serta dimensi dan unsur-unsur kebudayaan.
C. Tanggapan Kritis
1. Pujian-Kelebihan
Tulisan Ahimsa Putra dengan judul “Mendefinisikan Kembali Kebudayaan” memiliki kelebihan dalam penggunaan bahasa yang lugas sehingga mudah dipahami dengan jelas berkaitan dengan pandangan Ahimsa Putra terkait kebudayaan. Selain itu, Ahimsa Putra menjabarkan dengan detail konsep kebudayaan dengan memberikan gambaran awal terkait konsep kebudayaan Koentjaraningrat yang masih memiliki kekurangan. Pandangan Ahimsa Putra mengenai kebudayaan begitu utuh dan totalitas dalam menguraikan definisi budaya, dimensi (model), dan unsur kebudayaan. Setiap penjelasan disertai dengan contoh yang memudahkan pemahaman pembaca terkait dengan definisi budaya, dimensi serta unsur kebudayaan. Kesepuluh unsur budaya budaya dengan disertai empat dimensi secara jelas dan rinci dikemukakan oleh Ahimsa Putra, sehingga sangat tepat dipahami sebagai landasan dalam mempelajari dan melakukan penelitian terkait kebudayaan.
2. Kritik-Kekurangan
Pada intinya apa yang diuraikan Ahimsa-Putra dalam tulisan ini sudah sangat jelas, namun kekuranganya pada penjelasan beberapa istilah yang memiliki dua diksi yang kadang membuat pembaca kurang jelas dalam memahaminya sehingga terkesan kurang konsistenn dalam menggunakan istilah. Hal tersebut Nampak pada kata dimensi dan wujud sehingga kadang uraian menggunakan istilah dimensi kadang menggunakan istilah wujud. Kedua istilah tersebut memang memiliki kesamaan makna, namun sebagai pembaca kadang merasa sulit ketika memahami hal tersebut dalam beberapa uraian. Dalam sub bab misalnya a. Dimensi Fisik, namun uraian di bawwahnya menjelaskan bahwa wujud material atau fisik merupakan wujud yang paling nyata dari kebudayaan. Tentunya ada dua istilah yang menurut Ahimsa bermakna sama, namun saya sebagai pembaca merasa bahwa kedua istilah justru akan mengurangsi konsentrasi dalam memahami istilah tersebut. Kekurangan selanjutnya pada beberapa contoh berkaitan dengan unsur budaya lebih banyak menggunakan istilah Jawa, sehingga kadang saya sebagai orang Gorontalo merasa kurang memahami secara langsung, melainkan memahaminya dengan seksama dan membaca berulang-ulang. Salah satunya pada penjelasan unsur perangkat komunikasi mengatasi masalah hubungan antar individu yang memiliki aspek pengetahuan, pada orang Jawa misalnya, pengetahuan mengenai norma-norma dan aturan-aturan untuk berkomunikasi ini termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai aturan menggunakan bahasa Jawa krama inggil, krama madya, atau ngoko dalam berbicara dengan orang lain. Contoh ini membuat saya sebagai pembaca harus bertanya lagi sama teman yang di Jawa mengenai istilah krama inggil, krama madya atau ngako. Oleh karena itu, perlu kiranya istilah-istilah tersebut disertai contoh dalam bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. 2021. Mendefinisikan Kembali Kebudayaan“. Lembaran Antropologi Budaya. 2:2-25. Yogyakarta.