Mendidik Manusia itu Subversif

05 May 2025 23:49:47 Dibaca : 34

"Mendidik manusia itu bukan cuma bikin pintar, tapi juga bikin waras"

Rezkiawan Tantawi--Pengajar Jurusan Manajemen FEB UNG

Sering kali orang bicara “pembangunan SDM” dengan gaya seminar ber-AC, pakai pointer laser dan grafik PowerPoint berslide-slide. Tapi mari kita tanya jujur: sudahkah kita benar-benar mendidik manusia, atau cuma menginstal keterampilan supaya mereka bisa kerja dan bayar cicilan?

Manusia bukan printer. Tidak bisa cuma dikasih input lalu keluar hasil rapi. Mendidik manusia itu lebih ada dramanya, ada baunya, kadang disundul juga. Tapi justru di situlah letak investasi paling strategis dalam membangun. Manusia!!!! Bukan gedung. Bukan jembatan. Apalagi patung.

Mendidik Itu Mengasah, Bukan Mengisi

Manusia bukan botol kosong yang harus diisi pengetahuan. Manusia ibarat kompor, perlu disulut, dijaga apinya, biar bisa masak ide-ide segar. Sayangnya, manusia sering kali dididik layaknya fotokopi: semua seragam, semua lulus, semua bingung mau ngapain setelahnya.

Organisasi juga Bukan Mesin, Tapi Taman

Bayangkan organisasi sebagai taman. Kalau yang kita tanam cuma satu jenis pohon (misalnya, cuma jago Excel semua), taman itu rapuh. Sekali hama datang, habis sudah. Tapi kalau kita tanam berbagai macam (yang jago writing,yang aktif speaking, yang bisa public relation) maka organisasi jadi resilien. Investasi dalam pendidikan manusia harus memupuk keragaman kapasitas, bukan hanya kepintaran semata.

Investasi SDM harus mengarah pada pembangkitan daya pikir dan empati. Kenapa empati? Karena organisasi itu bukan spreadsheet. Mereka hidup, dinamis, dan penuh gesekan. Dan hanya manusia-manusia waras yang bisa memeluk konflik dan mengubahnya jadi inovasi.

Infrastruktur juga penting, tapi manusia yang tahu cara berpikir strategis dan punya kompas moral yang sehat jauh lebih langka daripada beton dan aspal.

Mendidik manusia itu berarti menantang sistem yang ingin segalanya cepat, instan, dan bisa dikuantifikasi. Tapi investasi paling berani memang tidak selalu kelihatan hasilnya hari ini. Sama seperti menanam pohon, kita tanam sekarang, cucu kita panen nanti. Tapi kalau tidak kita mulai sekarang, ya siap-siap saja panen kekosongan.

Carut Marut Hubungan Industrial: Solusi Instan, Masalah Berulang

Rezkiawan Tantawi

Pengajar di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

“PHK seolah sudah menjadi solusi default. Daya beli masyarakat turun, produksi diturunkan, lalu buruh dirumahkan”

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menghantam Indonesia bukan lagi sekadar badai sesaat, melainkan telah menjelma menjadi musim yang tak kunjung reda. Kemnaker merilis dari 77 ribu orang di 2014 hingga menyentuh angka fantastis 80 ribu orang pada 2024, tren ini mencerminkan betapa rapuhnya struktur ketenagakerjaan nasional di tengah dinamika global maupun domestik. Kondisi ini semakin parah sejak pandemi Covid-19 menyerang, lalu perlahan mereda, namun tidak pernah kembali ke titik stabil. Tahun 2024, meski pandemi sudah berlalu, PHK justru kembali melonjak.

Penyebabnya bukan semata urusan pasar atau pandemi, tapi juga hasil racikan kebijakan yang "katanya" pro-investasi, namun malah menyingkirkan pekerja. Alih-alih memperkuat industri dalam negeri, pemerintah justru terlalu asyik memoles undangan bagi investor baru, tanpa cukup perhatian pada pelaku industri lama yang sudah berjasa menopang ekonomi bertahun-tahun. Kebijakan impor yang terlalu longgar membuat produk lokal terkapar tak berdaya. Ditambah dengan keterlambatan investasi pada mesin dan teknologi, industri kita tertinggal, tak kompetitif di mata global, apalagi domestik.

Tahun 2025 pun tidak memberi harapan lebih cerah justru makin pelik dengan politik dalam negeri yang tak menentu. Alokasi anggaran yang lebih fokus pada program populis seperti makanan bergizi gratis, sambil menyampingkan stabilitas ketenagakerjaan (anak kenyang, orang tua kehilangan pekerjaan). Ancaman baru berupa kenaikan PPN, pengurangan subsidi, dan naiknya premi BPJS akan makin menekan biaya operasional perusahaan. Dan seperti biasa, solusi tercepat dan termurah dari mereka yang duduk di ruang rapat adalah: PHK. Kondisi hubungan industrial pun semakin kompleks dengan adanya tekanan eksternal dari globalisasi. Kebijakan resiprokal tarif oleh Amerika Serikat turut menekan ekspor Indonesia.

PHK bukan hanya masalah statistik. Di balik angka-angka tersebut, terdapat kehidupan yang berubah, keluarga yang terpuruk, dan masa depan yang terancam. Ironisnya, sebagian besar PHK terjadi pada sektor-sektor padat karya seperti industri pengolahan, jasa, dan pertanian, sektor yang selama ini menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja terbesar.

PHK seolah sudah menjadi solusi default. Daya beli masyarakat turun, produksi diturunkan, lalu buruh dirumahkan. Apakah ini pola yang akan terus terjadi?

Jika kita menengok ke sejarah dan praktik internasional, kita akan menemukan pola hubungan industrial yang lebih adaptif. Hu, X., et al (2024) dalam studinya menyebutkan bahwa hubungan industrial tidak hanya bergantung pada sistem tripartite (pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja), tetapi juga melibatkan aktor internasional (LSM global, organisasi hak asasi manusia, lembaga donor, perusahaan multinasional) yang membawa "senjata" berupa otoritas politik, pengaruh ekonomi, mobilisasi publik, dan pelatihan profesional sebagai alat tawar-menawar dalam membentuk sistem hubungan kerja yang lebih berkeadilan. Ini untuk memastikan bahwa efisiensi tidak dilakukan dengan mengorbankan hak-hak pekerja. Sayangnya, paradigma ini belum sepenuhnya diadopsi secara serius dalam lanskap industri Indonesia saat ini.

Mengapa PHK selalu menjadi "solusi default" yang terus diulang dari tahun ke tahun? bukan karena tidak ada alternatif, tapi karena sistem tidak dibangun untuk menciptakan alternatif tersebut. Tidak ada mekanisme check and balance yang kuat dari aktor eksternal. Tidak ada dorongan internasional untuk menciptakan praktik industri yang berkelanjutan dan berkeadilan. Akibatnya, kebijakan seperti PP No. 35 Tahun 2021 justru mempercepat proses penghilangan pekerja tetap dengan dalih efisiensi.

Dalam perspektif yang berbeda, logika manajerial menekankan efisiensi jangka pendek jika terjadi tekanan pasar, menjadikan pengurangan tenaga kerja sebagai langkah yang cepat, terukur, dan langsung terlihat dampaknya dalam laporan keuangan. Pun demikian dalam pemikiran manajemen konvensional, keberhasilan sering kali diukur dari peningkatan laba, efisiensi biaya, dan respons cepat terhadap tekanan eksternal, sehingga PHK tampak sebagai pilihan yang rasional dan pragmatis.

Ini mencerminkan ketegangan antara logika pasar dan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendekatan ini menunjukkan kurangnya visi jangka panjang dan lemahnya pemahaman manajerial terhadap pentingnya aset manusia sebagai sumber daya strategis. Di sinilah letak kegagalan manajemen dalam menginternalisasi prinsip keberlanjutan dan keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial. Jadi, jawaban atas pertanyaan di atas bukan hanya karena alasan ekonomis, tetapi juga karena kelemahan dalam sistem manajerial dan kelembagaan yang belum mampu membentuk kultur perusahaan yang berkomitmen pada kesejahteraan pekerja secara jangka panjang.

Ironinya, pemerintah kita justru lebih sibuk membangun narasi pertumbuhan ekonomi lewat karpet merah investasi, tetapi lupa merawat pondasi industrinya sendiri. Pelaku lama dibiarkan mati pelan-pelan oleh derasnya arus impor dan stagnasi teknologi, lalu disalahkan ketika tak lagi mampu bersaing. Dan ketika mereka tak mampu bertahan, buruhlah yang menjadi korban pertama. Sementara itu, bantuan seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya sebatas "plester penahan luka" yang tidak pernah menyentuh sumber penyakitnya.

Kemitraan untuk Masa Depan: Mengatasi Stunting Melalui Pendekatan Kolaboratif

Rezkiawan Tantawi, S.E., M.M

Technical Team SDGs Center UNG pada Program MSP-GIZ & Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

 

Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan serius bagi pembangunan di Indonesia, termasuk di Kabupaten Gorontalo. Stunting, yang mengacu pada kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas sumber daya manusia suatu daerah. Data menunjukkan bahwa angka stunting di Kabupaten Gorontalo terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, prevalensi stunting tercatat sebesar 28,3%. Angka ini meningkat menjadi 30,8% pada tahun 2022, dan terus melonjak hingga 34,7% pada tahun 2023. Kenaikan sebesar 3,9 poin persentase dari tahun 2022 ke 2023 mencerminkan percepatan dalam tren peningkatan stunting yang menjadi alarm bagi semua pihak.

Tingginya angka stunting ini tidak terlepas dari sejumlah faktor kompleks yang meliputi dimensi sosial, ekonomi, dan budaya. Salah satunya adalah angka pernikahan dini yang tinggi, yang berkontribusi pada risiko malnutrisi bagi ibu dan anak. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat tentang perilaku hidup sehat, pendapatan rumah tangga yang rendah, serta beban pengeluaran rumah tangga yang tinggi menjadi penyebab utama yang memperparah kondisi ini. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dari rumah tangga dengan pendapatan rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting karena keterbatasan akses terhadap makanan bergizi, layanan kesehatan, dan sanitasi yang layak. Oleh karena itu, penanganan masalah stunting memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Dalam konteks ini, pendekatan Multi-Stakeholder Partnerships (MSP) menjadi strategi yang relevan dan efektif. MSP adalah bentuk kemitraan yang melibatkan berbagai aktor, termasuk pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah (NGO), akademisi, sektor swasta, serta masyarakat. Tujuannya adalah untuk menggabungkan sumber daya, keahlian, dan jaringan dari setiap pihak untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, SDGs Center Universitas Negeri Gorontalo bersama GIZ telah memprakarsai sebuah proyek yang berfokus pada upaya kolaboratif untuk menurunkan risiko stunting di Kabupaten Gorontalo. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk mengidentifikasi dan menargetkan wilayah-wilayah dengan prevalensi stunting tinggi, tetapi juga untuk merancang intervensi berbasis data yang sesuai dengan kebutuhan lokal.

Pendekatan kolaboratif ini mencakup beberapa aspek penting. yakni mendorong pelibatan aktif pemerintah daerah, terutama organisasi perangkat daerah (OPD) yang terkait, untuk memastikan kebijakan dan program yang ada, selaras dengan upaya penurunan stunting. Peran OPD dalam menyediakan layanan dan pemilik program menjadi sangat krusial. Selain itu, keterlibatan NGO memungkinkan terjadinya inovasi dalam implementasi program di lapangan, seperti pemberian edukasi tentang gizi dan kesehatan ibu hamil, pengelolaan sanitasi, serta pemberdayaan ekonomi keluarga. Sedangkan, kolaborasi dengan akademisi seperti SDGs Center Universitas Negeri Gorontalo memungkinkan adanya kajian berbasis data yang menjadi dasar dalam merumuskan strategi intervensi yang efektif.

Kemitraan ini juga berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan ini melibatkan kader desa dan tokoh masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam menjaga kesehatan keluarga. Selain itu, proyek ini juga memperhatikan dimensi ekonomi dengan memberikan dukungan kepada rumah tangga miskin melalui program pelatihan keterampilan dan akses ke sumber daya ekonomi. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sekaligus meningkatkan pendapatan keluarga, sehingga mereka dapat menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.

Konteks global juga menunjukkan pentingnya pendekatan kolaboratif dalam mengatasi stunting. Studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti menegaskan bahwa intervensi berbasis komunitas dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mampu menurunkan prevalensi stunting secara signifikan. Di beberapa negara, seperti Bangladesh dan Rwanda, keberhasilan program penurunan stunting dicapai melalui penguatan kemitraan antara pemerintah, NGO, dan sektor swasta. Model kemitraan ini memberikan pelajaran berharga bahwa keterlibatan berbagai aktor dapat menciptakan dampak yang lebih besar dibandingkan jika hanya dilakukan oleh satu pihak.

Keberhasilan MSP bergantung pada koordinasi yang efektif dan komitmen antara semua pihak yang terlibat. Tanpa koordinasi yang baik, program kolaboratif dapat kehilangan arah dan fokus. Komitmen berguna untuk memastikan keberlanjutan program, bahwa upaya ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi dapat memberikan dampak jangka panjang. Dalam perspektif keberlanjutan, kemitraan ini juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yakni no one left behind. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai SDGs dalam setiap langkah program, Kabupaten Gorontalo dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam upaya mengatasi stunting melalui pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan.

Melalui artikel ini, penulis ingin menegaskan bahwa masalah stunting bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga isu pembangunan yang kompleks dan multidimensi. Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif seperti MSP menjadi solusi yang tepat untuk menghadapi tantangan ini. Dengan mengedepankan kemitraan, dan berorientasi pada keberlanjutan, kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di Kabupaten Gorontalo. Masa depan tanpa stunting adalah masa depan di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan produktif bagi bangsa.

Kita semua tahu bahwa pemuda memiliki potensi luar biasa. Pemuda adalah inovator, pemikir kreatif, dan kadang-kadang, penentu arah masa depan. Pemuda selalu menjadi tulang punggung perubahan dan inovasi dalam setiap generasi. Sejarah telah membuktikan bahwa dari tangan pemuda, gerakan-gerakan besar dan transformasi sosial-ekonomi lahir.

Indonesia, dengan populasi mudanya yang signifikan, bersiap untuk menuju Indonesia Emas 2045. Agar cita-cita ini terwujud, kompeten saja tidak cukup, tetapi juga inovatif, adaptif, dan berdaya saing tinggi di tengah revolusi digital dan perkembangan industri berbasis pengetahuan. Sumber Daya Manusia 5.0, tidak hanya menuntut penguasaan hard skills tetapi juga kemampuan berpikir kritis, komunikasi efektif, dan kolaboratif. Pemuda perlu mengintegrasikan teknologi dengan nilai-nilai sosial dan budaya lokal agar inovasi yang diciptakan tidak sekadar modern, tetapi relevan dengan konteks Indonesia. Ini adalah momentum penting untuk menciptakan pahlawan baru yang dapat berkontribusi pada pembangunan nasional.

Pemuda bisa menjadi agen perubahan yang mengubah wajah ekonomi kita. Namun, mari kita tidak berpura-pura bahwa semua ini mudah. Di tengah semua pencapaian dan inovasi, hari ini, pemuda kita berhadapan dengan tantangan besar. Mayoritas daerah di Indonesia masih mengalami kesenjangan infrastruktur dan akses pendidikan. Pemuda di kawasan pedesaan dan wilayah terpencil kerap terhambat dalam mengembangkan potensi karena terbatasnya fasilitas teknologi dan akses pendidikan tinggi. Hal ini berisiko menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam, yang pada akhirnya menghalangi Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal.

Padahal, harusnya Bonus demografi menjadi katalisator bagi pembangunan. Namun sebaliknya, tingginya pengangguran di kalangan pemuda, terutama lulusan pendidikan menengah ke atas, menjadikan bonus demografi justru sebagai ancaman. Ini menjadi isu kritis karena sektor-sektor ekonomi tradisional, seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan, tidak lagi menarik bagi generasi muda. Banyak pemuda lebih memilih bekerja di sektor industri dan jasa yang berkembang di perkotaan. Akibatnya, menambah beban kota dalam menyediakan lapangan kerja dan layanan publik yang pada akhirnya kebanyakan pemuda lari ke sektor informal dengan pendapatan rendah dan ketidakpastian karir.

Pemanfaatan bonus demografi di pedesaan memerlukan strategi terpadu yang mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan pemuda. Memperkuat sektor pertanian dan perikanan dengan inovasi teknologi serta mendorong berkembangnya industri kreatif dan UMKM di desa, ditambah pemberian pelatihan keterampilan dan program kewirausahaan bagi pemuda pedesaan sangat penting untuk mengatasi mismatch kompetensi. Pun begitu harus didukung investasi di sektor-sektor potensial di pedesaan agar dapat menyerap tenaga kerja muda.

Pemanfaatan ekonomi digital juga membuka peluang bagi pemuda pedesaan untuk terlibat dalam pasar kerja global. Dengan akses internet dan pelatihan digital yang memadai, mereka bisa menjadi pelaku usaha berbasis teknologi, tanpa harus bermigrasi ke kota. Inisiatif seperti desa digital dan program pemberdayaan pemuda desa dapat berperan besar dalam mendorong partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan ekonomi lokal.

Oleh karena itu, optimalisasi bonus demografi juga harus dipandang sebagai kesempatan untuk memperkuat peran pemuda desa, agar mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi disulap menjadi aktor perubahan yang memajukan daerah dan bangsa. Sebab Sumpah Pemuda bukan sekedar nostalgia sejarah, tetapi juga panggilan untuk bertindak di zaman ini.

Meretas Harapan Kepemimpinan Baru

05 October 2024 17:34:32 Dibaca : 239

Pemilihan kepala daerah, yang saat ini memasuki tahap kampanye, menghadirkan dinamika politik yang semakin kompleks. Salah satu aspek paling menarik dari kontestasi ini adalah meningkatnya jumlah pemilih pemula yang didominasi oleh Gen Z (1997-2012). Di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat, Gen Z membawa perspektif baru dalam demokrasi lokal, termasuk harapan yang berbeda terhadap kepemimpinan. Para calon kepala daerah, yang notabenenya adalah Generasi Baby Boomer (1946-1964), dihadapkan pada tantangan untuk memahami dan merespons karakteristik dan ekspektasi generasi ini. Di sini, penulis mencoba mengkaji garis besar teoritis tentang perilaku dan dinamika kepemimpinan, serta adaptasi politik menjadi penting dalam memahami lanskap politik baru yang terbentuk.

Karakteristik dan Ekspektasi Politik Gen Z

Generasi Z, adalah kelompok yang dibentuk oleh pengalaman sejarah dan sosial yang unik, yang membedakan mereka dari generasi sebelumnya. Gen Z tumbuh dalam era digital, yang membentuk cara mereka berinteraksi dengan dunia. Mereka adalah generasi yang sangat terhubung melalui internet dan media sosial, yang membuat mereka sangat peka terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, kesetaraan sosial, dan keberlanjutan. Dalam konteks ini, mereka lebih cenderung mendukung pemimpin yang tidak hanya memahami isu-isu ini, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi nyata.

Bahwa generasi muda, termasuk Gen Z, memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan partisipasi politik. Mereka lebih memilih terlibat dalam aksi langsung, seperti kampanye digital dan advokasi isu, ketimbang mengikuti jalur tradisional partai politik. Gen Z cenderung skeptis terhadap politisi yang dilihat hanya mengandalkan status quo dan sering kali mencari pemimpin yang bisa menghadirkan perubahan yang nyata dan relevan bagi kehidupan sehari-hari mereka.

Dari sisi perilaku, dalam memahami preferensi Gen Z. mereka cenderung mendasarkan pilihan pada kebijakan atau isu tertentu daripada loyalitas terhadap partai atau kandidat tertentu. Ini berbeda dengan generasi yang lebih tua, yang cenderung lebih setia pada identitas politik atau partai tertentu. Gen Z, dengan akses informasi yang luas melalui internet, seringkali lebih fokus pada rekam jejak, kejujuran, dan kemampuan kandidat untuk merespons isu-isu seperti teknologi, keberlanjutan lingkungan, serta kesetaraan sosial dan ekonomi.

Tantangan Kepemimpinan Gen Baby Boomer

Bagi generasi Baby Boomer yang mencalonkan diri, tantangan terbesar adalah bagaimana memahami dan merespons harapan serta tuntutan generasi yang jauh lebih muda. Berdasarkan teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard, kepemimpinan yang efektif harus mampu menyesuaikan gaya mereka dengan kebutuhan dan konteks pengikutnya. Dalam hal ini, Gen Z menuntut pemimpin yang tanggap terhadap perubahan dan terbuka terhadap gagasan baru.

Namun, tidak bisa diabaikan bahwa generasi Baby Boomer memiliki keunggulan dalam bentuk pengalaman dan kebijaksanaan. Teori kepemimpinan transformasional Bass & Avolio menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu menginspirasi pengikut mereka untuk mencapai lebih dari yang diharapkan melalui visi dan inovasi. Pemimpin transformatif yang berhasil adalah mereka yang mampu menghadirkan visi masa depan yang menarik, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam mencapai visi tersebut. Dalam konteks ini, calon kepala daerah harus mampu mengartikulasikan visi pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan relevan bagi generasi muda.

Gen Z menuntut transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas. Mereka tidak hanya ingin mendengar janji-janji politik, tetapi juga melihat tindakan nyata yang dapat mengubah kondisi sosial-ekonomi di daerah. Calon kepala daerah yang berusia lebih tua perlu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bertumpu pada pengalaman masa lalu, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang cepat. Pendekatan kepemimpinan berbasis kolaborasi dan dialog terbuka dengan pemilih muda menjadi kunci keberhasilan.

Meski jumlah pemilih dari generasi ini signifikan dan diprediksi akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil pemilu, belum ada kampanye yang secara khusus menargetkan atau melibatkan segmen ini secara mendalam. Ini menjadi pertanyaan besar, mengingat karakteristik Gen Z yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya dan memiliki pengaruh yang semakin besar dalam politik. Kampanye para calon kepala daerah di Gorontalo masih didominasi oleh pendekatan tradisional, seperti penyampaian visi-misi melalui media konvensional, pertemuan tatap muka, serta fokus pada program-program yang menyasar kelompok pemilih dewasa atau lansia. Sementara itu, kebutuhan, harapan, dan preferensi Gen Z belum tersampaikan secara eksplisit dalam strategi kampanye.

Kehadiran Gen Z sebagai pemilih pemula dalam pemilihan kepala daerah memberikan pesan yang jelas: kepemimpinan masa depan harus inklusif, adaptif, dan berorientasi pada inovasi. Gen Z, dengan idealisme dan semangat perubahan, mencari pemimpin yang mampu merespons tantangan zaman. Bagi para kandidat yang lebih tua, tantangan ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa pengalaman dan kebijaksanaan mereka masih relevan, namun harus dibarengi dengan keterbukaan terhadap gagasan baru.

Teori kepemimpinan adaptif Heifetz & Linsky menyatakan bahwa pemimpin harus mampu menghadapi perubahan dengan fleksibilitas dan ketangguhan. Dalam hal ini, calon kepala daerah yang mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi, serta memperlihatkan pemahaman terhadap isu-isu yang relevan bagi Gen Z, memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan hati pemilih muda. Menyeimbangkan antara pengalaman yang matang dan inovasi yang segar adalah tantangan yang harus diatasi oleh kandidat dalam kontestasi politik ini.

Pada akhirnya, Gen Z memiliki potensi besar untuk mengubah wajah politik lokal. Mereka bukan hanya pemilih pasif, tetapi agen perubahan yang aktif. Para calon kepala daerah perlu memahami bahwa melibatkan Gen Z bukan hanya soal menarik suara, tetapi juga membangun kepemimpinan yang relevan bagi masa depan daerah. Kepemimpinan yang mampu merespons dinamika ini akan menjadi kunci dalam mewujudkan daerah yang maju, inklusif, dan berkelanjutan.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong