Banjir di Sumatera dan Refleksi Etika dalam Pendidikan Kimia
Banjir besar yang berulang di berbagai wilayah Sumatera dalam beberapa tahun terakhir sering dipahami sebagai bencana alam yang datang begitu saja. Namun, jika dilihat lebih cermat, banjir tersebut merupakan hasil dari proses ekologis yang berlangsung dalam jangka panjang. Perubahan tutupan hutan, karakteristik tanah, dan aliran air membentuk kondisi yang secara perlahan meningkatkan risiko banjir. Dalam situasi ini, masyarakat yang terdampak bukanlah penyebab, melainkan pihak yang paling merasakan dampaknya.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa perubahan pada wilayah hulu sungai memengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air. Ketika lapisan tanah yang kaya bahan organik berkurang, air hujan lebih mudah mengalir di permukaan dan meningkatkan debit sungai secara tiba-tiba. Proses ini tidak terjadi secara instan, tetapi melalui akumulasi keputusan dan praktik pengelolaan ruang dalam waktu lama. Oleh karena itu, banjir lebih tepat dipahami sebagai persoalan sistemik, bukan sebagai akibat dari perilaku masyarakat sehari-hari.
Dalam konteks inilah pendidikan kimia memiliki peran reflektif yang penting. Banyak konsep dasar dalam kimia lingkungan dan kimia tanah seperti interaksi air dengan mineral, peran bahan organik tanah, dan perubahan komposisi kimia air, sebenarnya sangat relevan untuk memahami fenomena banjir. Namun, dalam praktik pendidikan yang umum, konsep-konsep tersebut sering diajarkan secara abstrak dan terpisah dari realitas sosial dan ekologis. Akibatnya, ilmu kimia terasa jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakat.Pendidikan kimia yang lebih kontekstual dapat membantu mahasiswa melihat keterkaitan antara konsep ilmiah dan proses lingkungan yang kompleks. Mahasiswa tidak hanya diajak memahami bagaimana suatu proses kimia berlangsung, tetapi juga bagaimana proses tersebut berinteraksi dengan sistem alam dalam jangka panjang. Dengan pendekatan ini, banjir dipahami sebagai hasil dari hubungan yang saling terkait antara tanah, air, dan aktivitas manusia dalam skala besar, bukan sebagai kesalahan kelompok tertentu.
Dari sudut pandang etika sains, banjir di Sumatera juga mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah sepenuhnya netral. Pengetahuan tentang hubungan antara tutupan hutan, sifat tanah, dan siklus hidrologi telah lama berkembang. Tantangannya bukan terletak pada ketiadaan ilmu, melainkan pada bagaimana ilmu tersebut dipahami, diajarkan, dan digunakan dalam pengambilan keputusan. Pendidikan kimia berperan dalam membentuk cara berpikir ilmiah yang tidak memisahkan pengetahuan dari konsekuensinya.
Etika dalam pendidikan kimia juga tercermin dalam sikap terhadap ketidakpastian dan keterbatasan ilmu. Banjir merupakan fenomena yang dipengaruhi banyak faktor dan tidak dapat dijelaskan secara linier. Oleh karena itu, pendidikan kimia yang bertanggung jawab perlu membiasakan mahasiswa untuk berpikir sistemik, mengakui keterbatasan model dan data, serta memahami bahwa solusi terhadap persoalan lingkungan bersifat bertahap dan jangka panjang.
Pada akhirnya, banjir di Sumatera menjadi cermin bagi pendidikan kimia untuk merefleksikan kembali perannya. Pendidikan kimia tidak hanya bertujuan menghasilkan lulusan yang menguasai konsep dan teknik, tetapi juga individu yang mampu memandang sains sebagai bagian dari kehidupan sosial dan ekologis. Dengan cara pandang ini, pendidikan kimia berkontribusi pada pembentukan kesadaran etis dalam menghadapi tantangan lingkungan, tanpa menyederhanakan persoalan atau menyalahkan pihak yang paling terdampak.