Dalam Riset, Kedekatan Tidak Selalu Berarti Dukungan
Menyebarkan angket sering dianggap sebagai urusan teknis dalam penelitian. Buat instrumen, sebar tautan, tunggu respons. Selesai. Namun, di balik proses yang tampak sederhana itu, ada pengalaman emosional yang jarang dibicarakan.
Saya pernah berada pada situasi ketika harus meminta tolong teman dekat untuk membantu membagikan angket penelitian. Harapannya wajar: karena sudah saling mengenal, urusan berbagi tautan mestinya lebih mudah. Kenyataannya, respons yang datang justru biasa saja. Tidak diabaikan, tetapi juga tidak segera ditindaklanjuti. Kalimat “nanti ya” menjadi jawaban yang paling sering muncul.
Yang menarik, ketika angket yang sama dibagikan oleh rekan yang tidak terlalu dekat secara personal, respons justru lebih banyak. Tanpa sungkan, tanpa basa-basi. Angket diperlakukan sebagaimana mestinya: sebagai permintaan akademik yang perlu direspons.
Pengalaman ini perlahan menyadarkan saya bahwa kedekatan sosial tidak selalu berbanding lurus dengan dukungan praktis. Teman dekat sering kali berada dalam situasi yang kompleks seperti kesibukan, rasa sungkan, atau asumsi bahwa permintaan tersebut tidak mendesak. Sebaliknya, relasi yang lebih berjarak justru memungkinkan sikap yang lebih profesional dan langsung.
Bukan berarti teman dekat tidak peduli. Justru sering kali karena kedekatan itulah muncul kelonggaran yang berujung pada penundaan. Di sisi lain, jarak menghadirkan kejelasan: apa yang diminta, dan apa yang perlu dilakukan.
Dari pengalaman sederhana ini, saya belajar satu hal penting dalam dunia akademik: kedekatan emosional bukan selalu modal dalam riset. Kadang, ia justru menghadirkan harapan yang terlalu tinggi. Dan belajar menurunkan ekspektasi adalah bagian dari kedewasaan sebagai peneliti.
Pada akhirnya, data tetap terkumpul, penelitian tetap berjalan, dan kita pun belajar memahami dinamika manusia dengan lebih jernih, termasuk diri kita sendiri.