Bias Good Looking di Kampus

07 December 2025 09:19:53 Dibaca : 20 Kategori : Cerita Akademik

Mengapa Penampilan Lebih Diperhatikan daripada Kemampuan?

Ada hal menarik yang sering saya perhatikan di lingkungan kampus. Kita selalu menekankan pentingnya kemampuan, pemikiran kritis, dan kualitas akademik. Tetapi di bawah permukaan itu semua, ada mekanisme sosial lain yang berjalan pelan namun kuat: penampilan sering kali mendapat tempat khusus dalam penilaian kita terhadap orang lain.

Tidak ada yang mengakuinya secara terbuka, tetapi kita sering merasakannya.

Dalam banyak interaksi sehari-hari, seseorang yang dianggap “good looking” cenderung lebih cepat dipuji, lebih mudah diterima, bahkan lebih sering diberi ruang untuk tampil. Penampilan menjadi kesan pertama yang kadang menentukan bagaimana kita memandang mereka seterusnya, sebelum kemampuan mereka sempat ditunjukkan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Ia berulang, membentuk pola, dan pada akhirnya menjadi bias.

 

Ketika Visual Mendahului Kualitas.

Di ruang kelas, organisasi, atau kegiatan kampus lainnya, penampilan sering menjadi penilaian awal. Rasanya tidak adil, tapi itulah kecenderungan manusia: kita menilai dengan mata sebelum pikiran mengambil alih. Seseorang yang terlihat menarik dianggap lebih percaya diri, lebih kompeten, bahkan lebih cerdas. Padahal semua itu baru asumsi, belum tentu kenyataan. Bias semacam ini membuat sebagian mahasiswa merasa harus tampil “sempurna” agar diterima. Sementara yang lain merasa tertinggal, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak masuk kategori visual yang dihargai secara sosial.

Bias Sosial yang Membentuk Ketimpangan.

Masalahnya bukan pada individu yang menarik secara visual. Masalahnya adalah bias sosial yang kemudian terbentuk. Mereka yang good looking memiliki keuntungan tertentu: lebih mudah dipercaya, lebih cepat dikenal, lebih sering dianggap layak tampil di depan. Sebaliknya, mahasiswa lain perlu berusaha berkali-kali lipat untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya tidak kalah. Padahal kampus seharusnya memberi ruang yang adil, termasuk pada mereka yang mungkin tidak menonjol secara visual, tetapi memiliki kompetensi luar biasa.

Mengembalikan Kampus pada Ruhnya

Bias good looking memang manusiawi, tetapi bukan berarti tidak bisa disadari. Ketika kita menyadari adanya bias, kita mulai bisa mengimbanginya: memberi kesempatan lebih luas, tidak cepat mengambil asumsi, dan berfokus pada kemampuan yang sebenarnya. Kampus adalah ruang belajar. Ruang tumbuh. Ruang bagi gagasan, bukan hanya impresi visual.