Menjadi Lebih Peka, Bukan Sekadar Lebih Pintar
Beberapa waktu terakhir, saya sering menjumpai mahasiswa yang secara akademik mengesankan. Mereka cepat memahami materi, mampu bekerja mandiri, dan sering kali mengerjakan tugas yang melampaui ekspektasi. Namun ketika situasi menuntut mereka membaca perasaan orang lain, memahami dinamika kelompok, atau sekadar merespons suasana dengan bijak, tiba-tiba kepandaian itu seperti tidak banyak membantu.Bukan karena mereka kurang cerdas, tetapi karena sejak kecil sistem pendidikan kita lebih sering diarahkan untuk menjadi pintar, bukan menjadi peka.
Kita tumbuh dalam budaya yang menempatkan prestasi sebagai tolok ukur utama keberhasilan: nilai tinggi, sekolah unggulan, prodi favorit dan tekanan untuk selalu berada di depan. Di tengah semua itu, kemampuan untuk merasakan, mengenali diri sendiri, menghargai orang lain, dan memahami konteks sosial sering kali tidak mendapatkan ruang yang sama.Padahal, kepekaan adalah hal yang kita butuhkan ketika hidup tidak berjalan seperti rumus di buku. Ketika bekerja dengan orang lain. Ketika berbeda pendapat. Ketika menghadapi situasi yang lebih memerlukan hati daripada logika.
Di dunia pendidikan, saya semakin yakin bahwa tugas kita bukan hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membimbing manusia untuk mengenali dirinya untuk membuat keputusan menjadi lebih bijak, hubungan menjadi lebih hangat, dan hidup menjadi lebih penuh makna.
Karena pada akhirnya, menjadi pandai bisa membuka banyak pintu, tetapi menjadi peka membuat kita tahu bagaimana melangkah dengan benar.
Dan mungkin, itu yang sedang dibutuhkan hari ini: menjadi lebih peka, bukan sekadar lebih pintar.