Gelombang Gravitasi: Cara Baru Melihat Alam Semesta
Tanggal 11 Februari 2016 menjadi hari bersejarah bagi dunia sains. Para ilmuwan dari LIGO (Laser Interferometer Gravitational-wave Observatory) mengumumkan sesuatu yang telah lama dicari: gelombang gravitasi benar-benar ada. Gelombang ini pertama kali terdeteksi pada September 2015, dan kabar itu mengguncang komunitas ilmiah di seluruh dunia.
Penemuan ini bukan sekadar prestasi teknologi, tetapi juga pembuktian langsung atas ramalan Albert Einstein dalam teori relativitas umumnya yang berusia lebih dari seratus tahun. Sejak itu, LIGO terus mencatat “riak” lain dari peristiwa kosmik besar,hingga pertengahan 2017, empat gelombang gravitasi telah berhasil dideteksi.
Atas keberhasilan monumental ini, Rainer Weiss, Barry C. Barish, dan Kip S. Thorne dianugerahi Hadiah Nobel Fisika 2017. Tapi sebenarnya, apa yang dimaksud dengan gelombang gravitasi, dan mengapa penemuannya begitu penting?
Apa Itu Gelombang Gravitasi?
Bayangkan kamu menjatuhkan batu ke dalam kolam air yang tenang. Permukaan air akan beriak. Nah, gelombang gravitasi adalah “riak” serupa, hanya saja terjadi bukan di air, melainkan di jaringan ruang dan waktu itu sendiri.
Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh Albert Einstein sekitar seratus tahun lalu. Dalam teori relativitas umum, massa dan energi membuat ruang-waktu menjadi melengkung. Semakin besar massanya, semakin kuat kelengkungannya. Jika benda-benda bermassa besar seperti dua lubang hitam saling bergerak dan berinteraksi, maka kelengkungan itu bergetar dan getaran itulah yang menyebar ke seluruh alam semesta sebagai gelombang gravitasi.

Namun, karena interaksi gravitasi sangat lemah dibandingkan dengan gaya lain (seperti elektromagnetik), riaknya pun amat sangat kecil bahkan jauh lebih halus dari jari-jari inti atom! Einstein sendiri pesimis, ia mengira gelombang gravitasi tidak akan pernah bisa dideteksi.
LIGO: Alat yang “Mendengar” Riak Alam Semesta
Meski tampak mustahil, para ilmuwan tidak menyerah. Mereka membangun detektor raksasa bernama LIGO, yang terdiri dari dua lengan berbentuk huruf “L” sepanjang 4 kilometer.
Cara kerjanya sangat presisi. Sinar laser dibagi dua dan dikirimkan ke masing-masing lengan. Di ujung setiap lengan, cermin memantulkan laser itu kembali. Dalam keadaan normal, kedua sinar bertemu dan saling meniadakan karena terjadi interferensi destruktif, sehingga tak ada sinar yang terdeteksi.

Namun, jika gelombang gravitasi melewati detektor, ruang-waktu di satu lengan akan memanjang, sementara di lengan yang lain memendek. Perbedaan yang sangat kecil ini mengubah fase kedua sinar laser sehingga sebagian cahaya muncul di layar detektor itulah tanda bahwa alam semesta baru saja beriak.
Riak dari Dua Lubang Hitam
Pada 14 September 2015, LIGO untuk pertama kalinya “mendengar” getaran ruang-waktu dari dua lubang hitam raksasa yang bergabung di jarak 1,3 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Lubang hitam pertama memiliki massa 36 kali Matahari, dan yang kedua 29 kali Matahari. Ketika keduanya bergabung, terbentuk lubang hitam baru dengan massa 62 kali Matahari. Artinya, sekitar 3 kali massa Matahari berubah menjadi energi murni, terpancar ke seluruh penjuru kosmos dalam bentuk gelombang gravitasi.
Peristiwa itu berlangsung hanya sepersekian detik, namun riaknya masih bisa terasa hingga ke Bumi, dan LIGO berhasil mendeteksinya.
Mengapa Penemuan Ini Penting?
Selama ini, hampir semua pengetahuan kita tentang alam semesta berasal dari gelombang elektromagnetik (seperti cahaya, sinar-X, atau radio) dan neutrino. Tapi kedua jenis “pembawa pesan” ini hanya bisa datang dari benda-benda yang memancarkan energi. Lubang hitam, misalnya, tidak mengeluarkan cahaya sehingga selama ini ia seperti “gelap total” bagi mata ilmuwan.
Gelombang gravitasi membuka jendela baru. Ia membawa informasi langsung dari peristiwa yang tidak bisa kita lihat dengan teleskop mana pun: tabrakan lubang hitam, ledakan bintang masif, bahkan mungkin gema dari masa awal alam semesta.
Cahaya hanya bisa “menceritakan” kisah alam semesta mulai 380.000 tahun setelah Big Bang, saat foton akhirnya bisa bergerak bebas. Tapi gelombang gravitasi bisa membawa pesan dari 10 pangkat (-33) detik setelah Big Bang, masa yang dikenal sebagai periode inflasi, ketika alam semesta mengembang sangat cepat.
Dengan kata lain, deteksi gelombang gravitasi memungkinkan kita mengintip bab paling awal dari sejarah kosmos, yang selama ini tertutup rapat bagi ilmu pengetahuan.
Penemuan gelombang gravitasi bukan hanya pembenaran atas teori Einstein, tapi juga awal era baru dalam astronomi. Kini kita tidak hanya “melihat” alam semesta, tetapi juga “mendengarnya” melalui getaran ruang-waktu yang merambat dari peristiwa-peristiwa kosmik jauh di sana.
Jadi, setiap kali LIGO atau detektor serupa menangkap riak baru dari kedalaman ruang angkasa, kita seolah sedang mendengar detak jantung alam semesta.
Terima kasih, Einstein, karena seratus tahun lalu kau telah menulis musik yang kini akhirnya bisa kita dengar.
Bumi Datar? Justru Alam Semesta yang Datar
Beberapa tahun terakhir, perdebatan soal bentuk bumi kembali ramai. Di satu sisi, ada kelompok yang percaya bumi itu bulat, lengkap dengan penjelasan ilmiah yang sudah teruji. Di sisi lain, ada yang yakin bumi datar, menuduh sains sebagai alat untuk menutupi “kebenaran” bahwa bumi sebenarnya tidak bulat. Perdebatan ini sering kali tidak berujung pada pemahaman, melainkan pada saling ejek dan rusaknya hubungan antarindividu.
Tulisan ini tidak akan menambah panjang perdebatan itu. Kita akan melangkah lebih jauh—bukan membahas bentuk bumi, melainkan bentuk alam semesta tempat bumi berada.
Seperti Apa Bentuk Alam Semesta?
Pertanyaan ini sudah lama menjadi teka-teki besar bagi para fisikawan dan kosmolog. Ada banyak teori yang mencoba menjawabnya, namun titik tolak yang paling kuat berasal dari teori relativitas umum Einstein.
Menurut Einstein, keberadaan materi dan energi dapat memengaruhi kelengkungan ruang dan waktu. Berdasarkan hal itu, bentuk alam semesta secara umum bisa dibagi menjadi tiga kemungkinan besar:

Alam semesta tertutup (kurvatur positif)
Bayangkan permukaan bola raksasa. Jika kamu berjalan lurus di atas bola itu tanpa berhenti, kamu akan kembali ke titik awal tanpa pernah menemukan “ujung”. Begitulah gambaran alam semesta tertutup.
Dalam model ini, alam semesta memiliki volume terbatas tetapi tidak memiliki batas tepi. Artinya, kamu tidak bisa “keluar” dari alam semesta, tapi kamu juga tak akan menemukan tepinya.
Kondisi ini terjadi bila kerapatan materi alam semesta lebih besar dari kerapatan kritis, yaitu nilai ambang yang menentukan apakah gravitasi cukup kuat untuk menghentikan ekspansi kosmik. Jika kerapatannya cukup besar, gravitasi akan memperlambat pengembangan alam semesta hingga akhirnya berhenti, lalu memulai fase penyusutan kembali. Pada akhirnya, seluruh materi bisa runtuh ke satu titik dalam peristiwa yang disebut “Big Crunch” kebalikan dari Big Bang.
Model ini memberi gambaran bahwa alam semesta bisa bersifat siklis: mengembang, menyusut, lalu “lahir kembali” dalam siklus tanpa akhir.
Alam semesta datar (kurvatur nol)
Dalam model datar, hukum geometri Euclid berlaku secara sempurna. Dua garis sejajar tidak akan pernah bertemu, dan jumlah sudut segitiga selalu 180 derajat.
Alam semesta datar terjadi bila kerapatan materi sama persis dengan kerapatan kritis. Gravitasi cukup kuat untuk memperlambat laju pengembangan, tapi tidak cukup kuat untuk menghentikannya. Akibatnya, alam semesta akan terus mengembang selamanya, namun dengan kecepatan yang semakin melambat seiring waktu.
Menariknya, model datar juga memungkinkan keberadaan energi gelap — bentuk energi misterius yang justru mempercepat ekspansi alam semesta. Jadi, meskipun alam semesta datar, ruang antargalaksi bisa terus melebar dengan kecepatan yang makin besar karena pengaruh energi gelap ini.
Para ilmuwan menganggap model ini sebagai yang paling “seimbang”: tidak kolaps, tapi juga tidak melejit tanpa kendali.
Alam semesta terbuka (kurvatur negatif)
Sekarang bayangkan bentuk pelana kuda. Permukaannya melengkung ke arah yang berlawanan di dua sisi. Inilah analogi untuk alam semesta terbuka atau berkurvatur negatif.
Dalam kondisi ini, dua garis sejajar yang bergerak dalam arah sama akan semakin menjauh seiring waktu. Alam semesta jenis ini muncul bila kerapatan materi lebih kecil dari kerapatan kritis, artinya gravitasi tidak cukup kuat untuk menahan laju pengembangannya.
Akibatnya, alam semesta terbuka akan terus mengembang tanpa batas dan tidak pernah berhenti. Galaksi-galaksi akan semakin menjauh satu sama lain, bintang-bintang padam, dan alam semesta perlahan memasuki “kematian panas” (heat death) — keadaan di mana energi merata di seluruh ruang dan tidak ada lagi proses fisik yang berarti.
Jadi, Alam Semesta Kita yang Mana?
Jawabannya datang dari data pengamatan. Pada tahun 2011, misi Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) memberikan hasil menakjubkan: kerapatan materi alam semesta ternyata hampir persis sama dengan kerapatan kritis, dengan margin kesalahan hanya 0,4%. Artinya, secara ilmiah, alam semesta kita datar.
Maka, jika ada yang bertanya, “Apakah bumi datar?” Kita bisa tersenyum dan menjawab, “Tidak, bukan bumi yang datar. Justru alam semestalah yang datar.”