Sains Dibalik Kecerdasan Akal Imitasi

Artificial Intelligence (AI), diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan beberapa istilah, yaitu kecerdasan buatan, kecerdasan artifisial. Belakangan ada yang menerjemahkannya dengan Akal Imitasi, biar akronimnya selaras dengan bahasa asalnya, AI. Dalam artikel ini saya menggunakan istilah yang terakhir, akal imitasi.
Perkembangan teknologi AI telah merevolusi banyak bidang, mulai dari kesehatan hingga pendidikan, dan dari pertahanan hingga aplikasi komersial, baik sipil maupun militer. AI bekerja dengan dua langkah yaitu (1) meniru pola dari data yang diberikan; (2) belajar dari pola tersebut melalui pemrosesan komputer berkecepatan tinggi. Bisa dikatakan, AI dilatih dengan menganalisis data dalam jumlah sangat besar (big data) seperti gambar, teks, atau angka menggunakan algoritma khusus yang dijalankan di komputer super cepat.
Kebanyakan (kita) pengguna AI tidak menyadari jika AI lahir dari perpaduan berbagai ilmu pengetahuan (sains). AI tidak ajaib. Menurut Golec (2025), secara umum AI dibangun di atas tiga ilmu dasar:
- Statistik. AI menggunakan ilmu hitung peluang dan data untuk menemukan pola tersembunyi. Contohnya, saat mengelompokkan pelanggan berdasarkan kebiasaan belanja (clustering). Juga Memprediksi cuaca besok dari data historis (time series). Atau memisahkan email spam dari pesan penting dengan teorema Bayes. Statistik juga membantu AI menghindari kesalahan dengan menyeimbangkan "terlalu kaku" vs "terlalu gegabah" dalam mengambil keputusan.
- Neurosains (Ilmu Saraf). AI meniru cara kerja otak manusia. Contohnya: Jaringan saraf tiruan (artificial neural network) dirancang menyerupai sel-sel otak yang saling terhubung. Contoh lain adalah Teknologi pengenalan wajah di ponsel yang kita miliki. Itu terinspirasi dari cara mata dan otak memproses gambar (Convolutional Neural Network).
- Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Ini adalah "otak" AI yang paling canggih. Ia bekerja dengan lapisan-lapisan analisis (seperti menyaring informasi bertahap) untuk memahami data rumit (foto, video, atau percakapan). Contoh aplikasinya yang banyak digunakan hari ini: ChatGPT , aplikasi diagnosa penyakit dari foto sinar-X, fitur pengenal wajah di media sosial.
Meski AI hebat dan cerdas, semua kendalinya ada di tangan manusia (baca: pengguna)!
Mengenal Kemoinformatika

SEJARAH
Pada pertengahan tahun 1990-an, terjadi perdebatan terkait penamaan salah satu disiplin ilmu yang baru muncul, yaitu aplikasi komputer dalam bidang kimia. Meskipun saat itu telah ada perhimpunan kemometri (chemometrics), juga terdapat jurnal dengan terminologi ini, yaitu Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems dan Journal of Chemometrics. Disisi lain, meskipun tidak ada perkumpulan kimia komputer (Computer Chemistry) atau nama jurnal yang mengandung istilah “Computer Chemistry” saat itu, istilah ini (Kimia Komputer atau Computer Chemistry) cukup banyak digunakan oleh ahli kimia yang riset utamanya fokus pada pengembangan sistem pengambilan basis data kimia (development of chemical database retrieval systems) dan sistem pakar kimia (chemical expert systems). Selain itu, terdapat lembaga dengan istilah “Computer Chemistry” dalam penamaannya, diantaranya Computer-Chemistry-Center yang berbasis di Erlangen, Jerman. Terdapat dua buku dengan judul Computer Chemistry yakni yang ditulis oleh Mario Marsili pada 1989. Buku ini mengulas metode dan filosofi bagaimana komputer dapat diperintah untuk memahami fakta-fakta, persamaan dan aturan-aturan kimia. Buku kedua adalah Computer Chemistry (Topics in Current Chemistry), book chapter yang ditulis oleh sekelompok ilmuwan pada 1993.
Perdebatan belum berakhir. Ilmuwan terbagi menjadi dua kubu. Yang pertama menghendaki ilmu baru ini diberi nama kemometri (Chemometrics), kubu lainnya menginginkan nama Kimia Komputer (Computer Chemistry). Alhasil kedua nama ini tidak diterima dikalangan ilmuwan yang menggeluti bidang ini hingga pada 1998 Dr. Frank Brown memperkenalkan istilah cheminformatics dalam Annual Reports of Medicinal Chemistry pada artikel yang berjudul, “Chemoinformatics: What is it and How does it Impact Drug Discovery”. Publikasi Prof. Johann Gaisteger dkk. yang berjudul Handbook of Chemoinformatics: From Data to Knowledge pada 2003 menandai istilah ini (chemoinformatics) menjadi standar secara de facto untuk aplikasi teknologi komputer dan informatika dalam bidang kimia.
DEFINISI
Dr. Frank Brown memberikan definisi chemoinformatics sebagai ilmu pemanfaatan manajemen dan teknologi informasi yang telah menjadi bagian penting dari proses penemuan obat. Ilmu ini merupakan penggabungan sumber daya informasi untuk mengubah data menjadi informasi dan informasi menjadi pengetahuan dengan tujuan mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih cepat di bidang identifikasi dan pengorganisasian molekul obat.
Definisi lebih luas dijelaskan oleh Gasteiger dan Engel, yakni penerapan metode informatika untuk memecahkan masalah-masalah kimia.
Dalam pertemuan American chemical Society pada Agustus 1999, G. Paris mendefinisikan chemoinformatics sebagai istilah umum yang mencakup perancangan, pembuatan, pengorganisasian, pengelolaan, pengambilan, analisis, penyebaran, visualisasi, dan penggunaan informasi kimia.
Jika kita menelusuri literatur terkait bidang ini, maka kita akan menemukan tiga istilah yang berbeda yang maknanya sama, yaitu cheminformatics, chemoinformatics dan chem(o)informatics. Berikut saya sertakan tangkapan layar dari database sciendirect tentang ketiga istilah di atas.

Di Indonesia, istilah ini diterjemahkan dengan kemoinformatika meskipun secara baku belum dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Seperti di Prodi Kimia UGM, salah satu mata kuliah pilihannya adalah Kemoinformatika. Saya juga menemukan beberapa artikel yang terbit di jurnal berbahasa indonesia menggunakan istilah ini.[]
Berkembangnya 'data besar' (big data) saat ini mendorong penemuan baru dalam bidang kimia semakin cepat. Tidak hanya big data molekul obat untuk drug discovery, tetapi juga big data matarial maju seperti yang telah dilakukan oleh meta dengan Open Molecular Crystals 2025 (OMC25) yang menyediakan dataset hasil perhitungan kimia quantum. Juga microsoft dengan skala-nya. Hal ini menunjukkan penting untuk memahami/mengusai kemoinformatika di era sekarang.
REFERENSI:
- Engel, Thomas. "Basic overview of chemoinformatics." Journal of chemical information and modeling 46.6 (2006): 2267-2277.
- Chen, William Lingran. "Chemoinformatics: past, present, and future." Journal of Chemical Information and Modeling 46.6 (2006): 2230-2255.
- https://www.warr.com/warrzone2000.html
Era Big Data Kimia

Ilmu kimia telah mengalami pergeseran paradigma khususnya yang berkaitan dengan data. Berkembangnya 'data besar' (big data) saat ini mendorong penemuan baru dalam bidang kimia semakin cepat. Meskipun era modern big data masih dalam tahap awal, data telah memainkan peran integral dalam sejarah perkembangan ilmu kimia. Sejak lama, para ahli kimia telah memprioritaskan dokumentasi dan berbagi ilmu pengetahuan melalui penyajian data, dimulai dari pembentukan komunitas kimia, lalu berkembang ke jurnal dan terbitan berkala yang terorganisir dengan baik menggunakan sistem kartu indeks (card index system).
Pada awal abad ke-19, para ahli kimia menyadari nilai dari data kimia yang dikompilasi, sehingga lahirlah katalog-katalog kimia seperti Beilstein Handbook of Organic Chemistry dan Gmelin Handbook of Inorganic Chemistry. Data ini memungkinkan para ahli kimia untuk belajar dan membangun pengetahuan berdasarkan pencapaian para ahli sebelumnya.
Pada abad berikutnya, katalog yang lebih terstandarisasi mulai bermunculan, seperti Chemical Rubber Company (CRC) Handbook dan International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) Color Books.
Pada pertengahan abad ke-20, dengan hadirnya komputer, para ahli kimia mulai mengumpulkan data struktur dan sifat kimia dalam format elektronik. Bahkan, para ahli kimia termasuk yang pertama memanfaatkan komputer untuk penyimpanan dan pencarian literatur ilmiah, mengembangkan berbagai struktur data dan teknik pencarian melalui Chemical Abstracts Service (CAS).
Meskipun istilah "cheminformatics" baru lahir pada 1998, penggunaan teknik informatika dan data kimia untuk menyelesaikan permasalahan dalam bidang kimia sudah dimulai sejak data elektronik mulai tersedia. Karya awal yang memanfaatkan data ini menunjukkan kepada dunia kimia dan ilmu pengetahuan pada umumnya betapa pentingnya ketersediaan data dalam mendorong kemajuan sains. Cheminformatics, terutama dalam bidang penemuan obat (drug discovery), menjadi pelopor dalam penggunaan Quantitative Structure Activity Relationships (QSAR), yang kemudian berkembang ke prediksi sifat berbasis machine learning (ML).
Saat ini, pentingnya data dalam kimia semakin meningkat seiring dengan ekspansi eksponensial dalam menghasilkan data kimia baru. Kekuatan komputasi yang lebih besar memungkinkan simulasi berkecepatan tinggi (high-throughput simulations), algoritma yang lebih canggih mendukung model generatif untuk merancang struktur kimia baru, dan berkembangnya laboratorium otomatis (self-driving laboratories) memungkinkan pembuatan data eksperimen berkecepatan tinggi dalam skala besar.
Ratusan basis data kimia kini telah tersedia, mulai dari basis data khusus bidang tertentu berskala menengah hingga repositori besar seperti PubChem, Cambridge Structural Database, Protein Data Bank, Materials Data Facility, Spectral Database for Organic Compounds (SDBS), Crystallography Open Database dan NOMAD.
Akses terhadap data kimia juga semakin luas. Sebagian besar basis data kini tersedia secara daring, termasuk repositori besar seperti SciFinder (yang dirilis oleh CAS) dan Reaxys (yang mencakup data Gmelin dan Beilstein), serta metadata hampir seluruh literatur kimia yang tersedia melalui platform seperti Web of Science. Bahkan Gold Book, versi modern IUPAC dari Color Books, kini dapat diakses secara online.
Meskipun akses ke data tersebut belum sepenuhnya gratis dan merata, data ini memiliki potensi besar untuk menginformasikan dan mengarahkan penelitian lintas disiplin ilmu. Aplikasi berbasis data yang sudah ada mencakup mulai dari prediksi sifat material, perancangan obat secara de novo, hingga sintesis otomatis dengan robot. Keberhasilan dalam bidang komputasi telah mendorong upaya untuk mengintegrasikan pendekatan berbasis data ke dalam kimia eksperimental secara lebih luas.
Sulit membayangkan kemajuan kimia tanpa keberadaan gudang data kimia yang krusial ini.
Sumber: Promises and Perils of Big Data: Philosophical Constraints on Chemical Ontologies
Blogroll
- Masih Kosong