LABEL : fisika

Pada tahun 1929, melalui teleskopnya yang diarahkan ke langit malam, Edwin Hubble menemukan sesuatu yang mengubah cara kita memahami alam semesta. Cahaya-cahaya yang dipancarkan oleh bintang/galaksi-galaksi jauh tampak bergeser ke arah merah (redshift) suatu tanda bahwa panjang gelombangnya memanjang. Dengan memanfaatkan prinsip efek Doppler, pergeseran merah ini berarti satu hal: bintang-bintang, galaksi-galaksi itu sedang bergerak menjauh satu sama lain. Kesimpulan sederhana dari data yang luar biasa ini adalah bahwa alam semesta tidak diam, tetapi sedang mengembang. mirip seperti balon yang kita beri tanda titik-titik ketika kita tiup, titik-titik itu akan bergerak saling menjauh seiring dengan pengembangan volume balon. seperti itulah alam semesta kita.

Temuan ini terasa cukup aneh. Jika kita melihat skala besar alam semesta, gaya yang paling berperan sangat dominan adalah gravitasi. Gravitasi menarik bintang ke bintang, galaksi ke galaksi, dan gugus galaksi ke gugus galaksi. Dengan dominasi gaya tarik-menarik ini, seharusnya alam semesta perlahan-lahan menyusut, bukan justru melebar. Lantas, mengapa alam semesta melakukan kebalikannya, alam semesta mengembang?

Para fisikawan kemudian sampai pada sebuah gagasan: ada sesuatu dalam ruang itu sendiri yang memberikan tekanan negatif, sesuatu yang mampu “mendorong” ruang untuk mengembang dan menahan gravitasi. Sesuatu yang kemudian  dinamai energi gelap (Dark Energy), disebut gelap karena ilmuwan betul-betul gelap (tidak paham) pada energi ini, sebuah entitas misterius yang kita tahu bekerja, tetapi tidak tahu apa wujudnya.

Sumber energi gelap hingga kini masih menyisakan teka-teki besar di fisika. Salah satu kandidat penjelasan paling sederhana datang dari gagasan lama: konstanta kosmologi yang diperkenalkan Albert Einstein pada tahun 1917 dalam teori relativitas umum. Einstein memasukkan konstanta ini untuk menjaga model alam semesta statik (tidak mengembang, tidak menyusut) yang ia yakini saat itu. Konstanta yang memberikan tekanan negatif untuk menyeimbangkan gravitasi. entitas yang kemudian Einstein membuangnya, namun ketika Hubble menemukan bahwa alam semesta ternyata mengembang, konstanta itu kembali dipakai untuk menjelaskan energi gelap. Konstanta kosmologi itu dianggap sebagai “kesalahan terbesar” Einstein.

Ironisnya, konstanta yang dianggap keliru itu kini bangkit lagi sebagai kandidat kuat penyebab energi gelap. Namun para ilmuwan tidak berhenti pada satu kemungkinan. Jika energi gelap bukan berasal dari konstanta kosmologi, mungkin ia muncul dari modifikasi terhadap persamaan Einstein. Dari sinilah lahir berbagai model alternatif: Quintessence, k-essence, Perfect Fluid Models, Scalar–Tensor Models, F(R) Gravity, Braneworld Models, dan masih banyak lagi. Setiap model menawarkan mekanisme yang berbeda untuk menghasilkan tekanan negatif di alam semesta.

Pertanyaannya, manakah yang benar? Hingga kini belum ada jawaban final, kita masih menunggu data observasi yang lebih kuat untuk dapat menunjukkan model mana yang lebih akurat.

Sedikit demi sedikit pemahaman terhadap energi gelap mendapat titik terang. Pada tahun 1998 ketika Supernova Cosmology Project mengamati supernova Tipe Ia. Dari data mereka terlihat bahwa alam semesta tidak hanya mengembang, tetapi mengembang semakin cepat dari waktu ke waktu. Percepatan ini merupakan bukti kuat bahwa energi gelap benar-benar memainkan peran dominan dalam evolusi alam semesta.

Penguatan selanjutnya hadir dari satelit Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) pada tahun 2011. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sekitar 68% isi alam semesta adalah energi gelap, 27% adalah materi gelap, sedangkan seluruh materi yang dapat kita amati, planet, bintang, galaksi, dan segala sesuatu yang memancarkan cahaya, hanya menyusun 5% saja dari total komposisi alam semesta.

Fakta ini menempatkan kita pada perspektif yang sangat menarik sekaligus membuat kita semakin rendah hati. Apa yang selama ini kita pelajari, apa yang kita lihat, dan apa yang kita pahami tentang alam semesta sebenarnya hanyalah 5%, sepotong kecil dari keseluruhan isi alam semesta. Sebagian besar alam semesta justru disusun oleh komponen-komponen yang tidak dapat kita lihat secara langsung tetapi sangat dominan mempengaruhi dinamika alam, dari gerak galaksi hingga percepatan pengembangan ruang-waktu, dan tentu menentukan masa depan alam semesta kita.

Dengan demikian, semakin jauh kita menyelidiki, semakin jelas bahwa misteri alam semesta masih jauh dari terpecahkan. Energi gelap dan materi gelap bukan sekadar “pengisi ruang”, melainkan aktor utama yang menentukan masa depan alam semesta. Dan mungkin di sinilah pelajaran terbesar dari kosmologi: bahwa pengetahuan manusia baru menyentuh permukaannya saja. Masih banyak lapisan-lapisan ilmu yang menunggu untuk ditemukan dan justru di situlah letak keindahan pencarian ilmiah.

 

Berikut beberapa artikel penulis yang sempat kami tulis terkait model energi gelap ini:

Gelombang Gravitasi: Cara Baru Melihat Alam Semesta

29 October 2025 10:07:42 Dibaca : 19

Tanggal 11 Februari 2016 menjadi hari bersejarah bagi dunia sains. Para ilmuwan dari LIGO (Laser Interferometer Gravitational-wave Observatory) mengumumkan sesuatu yang telah lama dicari: gelombang gravitasi benar-benar ada. Gelombang ini pertama kali terdeteksi pada September 2015, dan kabar itu mengguncang komunitas ilmiah di seluruh dunia.

Penemuan ini bukan sekadar prestasi teknologi, tetapi juga pembuktian langsung atas ramalan Albert Einstein dalam teori relativitas umumnya yang berusia lebih dari seratus tahun. Sejak itu, LIGO terus mencatat “riak” lain dari peristiwa kosmik besar,hingga pertengahan 2017, empat gelombang gravitasi telah berhasil dideteksi.

Atas keberhasilan monumental ini, Rainer Weiss, Barry C. Barish, dan Kip S. Thorne dianugerahi Hadiah Nobel Fisika 2017. Tapi sebenarnya, apa yang dimaksud dengan gelombang gravitasi, dan mengapa penemuannya begitu penting?

Apa Itu Gelombang Gravitasi?

Bayangkan kamu menjatuhkan batu ke dalam kolam air yang tenang. Permukaan air akan beriak. Nah, gelombang gravitasi adalah “riak” serupa, hanya saja terjadi bukan di air, melainkan di jaringan ruang dan waktu itu sendiri.

Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh Albert Einstein sekitar seratus tahun lalu. Dalam teori relativitas umum, massa dan energi membuat ruang-waktu menjadi melengkung. Semakin besar massanya, semakin kuat kelengkungannya. Jika benda-benda bermassa besar seperti dua lubang hitam saling bergerak dan berinteraksi, maka kelengkungan itu bergetar dan getaran itulah yang menyebar ke seluruh alam semesta sebagai gelombang gravitasi.

Namun, karena interaksi gravitasi sangat lemah dibandingkan dengan gaya lain (seperti elektromagnetik), riaknya pun amat sangat kecil bahkan jauh lebih halus dari jari-jari inti atom! Einstein sendiri pesimis, ia mengira gelombang gravitasi tidak akan pernah bisa dideteksi.

LIGO: Alat yang “Mendengar” Riak Alam Semesta

Meski tampak mustahil, para ilmuwan tidak menyerah. Mereka membangun detektor raksasa bernama LIGO, yang terdiri dari dua lengan berbentuk huruf “L” sepanjang 4 kilometer.

Cara kerjanya sangat presisi. Sinar laser dibagi dua dan dikirimkan ke masing-masing lengan. Di ujung setiap lengan, cermin memantulkan laser itu kembali. Dalam keadaan normal, kedua sinar bertemu dan saling meniadakan karena terjadi interferensi destruktif, sehingga tak ada sinar yang terdeteksi.

Namun, jika gelombang gravitasi melewati detektor, ruang-waktu di satu lengan akan memanjang, sementara di lengan yang lain memendek. Perbedaan yang sangat kecil ini mengubah fase kedua sinar laser sehingga sebagian cahaya muncul di layar detektor itulah tanda bahwa alam semesta baru saja beriak.

Riak dari Dua Lubang Hitam

Pada 14 September 2015, LIGO untuk pertama kalinya “mendengar” getaran ruang-waktu dari dua lubang hitam raksasa yang bergabung di jarak 1,3 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Lubang hitam pertama memiliki massa 36 kali Matahari, dan yang kedua 29 kali Matahari. Ketika keduanya bergabung, terbentuk lubang hitam baru dengan massa 62 kali Matahari. Artinya, sekitar 3 kali massa Matahari berubah menjadi energi murni, terpancar ke seluruh penjuru kosmos dalam bentuk gelombang gravitasi.

Peristiwa itu berlangsung hanya sepersekian detik, namun riaknya masih bisa terasa hingga ke Bumi, dan LIGO berhasil mendeteksinya.

Mengapa Penemuan Ini Penting?

Selama ini, hampir semua pengetahuan kita tentang alam semesta berasal dari gelombang elektromagnetik (seperti cahaya, sinar-X, atau radio) dan neutrino. Tapi kedua jenis “pembawa pesan” ini hanya bisa datang dari benda-benda yang memancarkan energi. Lubang hitam, misalnya, tidak mengeluarkan cahaya sehingga selama ini ia seperti “gelap total” bagi mata ilmuwan.

Gelombang gravitasi membuka jendela baru. Ia membawa informasi langsung dari peristiwa yang tidak bisa kita lihat dengan teleskop mana pun: tabrakan lubang hitam, ledakan bintang masif, bahkan mungkin gema dari masa awal alam semesta.

Cahaya hanya bisa “menceritakan” kisah alam semesta mulai 380.000 tahun setelah Big Bang, saat foton akhirnya bisa bergerak bebas. Tapi gelombang gravitasi bisa membawa pesan dari 10 pangkat (-33) detik setelah Big Bang, masa yang dikenal sebagai periode inflasi, ketika alam semesta mengembang sangat cepat.

Dengan kata lain, deteksi gelombang gravitasi memungkinkan kita mengintip bab paling awal dari sejarah kosmos, yang selama ini tertutup rapat bagi ilmu pengetahuan.

Penemuan gelombang gravitasi bukan hanya pembenaran atas teori Einstein, tapi juga awal era baru dalam astronomi. Kini kita tidak hanya “melihat” alam semesta, tetapi juga “mendengarnya” melalui getaran ruang-waktu yang merambat dari peristiwa-peristiwa kosmik jauh di sana.

Jadi, setiap kali LIGO atau detektor serupa menangkap riak baru dari kedalaman ruang angkasa, kita seolah sedang mendengar detak jantung alam semesta.

Terima kasih, Einstein, karena seratus tahun lalu kau telah menulis musik yang kini akhirnya bisa kita dengar.

Bumi Datar? Justru Alam Semesta yang Datar

29 October 2025 09:29:08 Dibaca : 15

Beberapa tahun terakhir, perdebatan soal bentuk bumi kembali ramai. Di satu sisi, ada kelompok yang percaya bumi itu bulat, lengkap dengan penjelasan ilmiah yang sudah teruji. Di sisi lain, ada yang yakin bumi datar, menuduh sains sebagai alat untuk menutupi “kebenaran” bahwa bumi sebenarnya tidak bulat. Perdebatan ini sering kali tidak berujung pada pemahaman, melainkan pada saling ejek dan rusaknya hubungan antarindividu.

Tulisan ini tidak akan menambah panjang perdebatan itu. Kita akan melangkah lebih jauh—bukan membahas bentuk bumi, melainkan bentuk alam semesta tempat bumi berada.

Seperti Apa Bentuk Alam Semesta?

Pertanyaan ini sudah lama menjadi teka-teki besar bagi para fisikawan dan kosmolog. Ada banyak teori yang mencoba menjawabnya, namun titik tolak yang paling kuat berasal dari teori relativitas umum Einstein.

Menurut Einstein, keberadaan materi dan energi dapat memengaruhi kelengkungan ruang dan waktu. Berdasarkan hal itu, bentuk alam semesta secara umum bisa dibagi menjadi tiga kemungkinan besar:

Alam semesta tertutup (kurvatur positif)

Bayangkan permukaan bola raksasa. Jika kamu berjalan lurus di atas bola itu tanpa berhenti, kamu akan kembali ke titik awal tanpa pernah menemukan “ujung”. Begitulah gambaran alam semesta tertutup.

Dalam model ini, alam semesta memiliki volume terbatas tetapi tidak memiliki batas tepi. Artinya, kamu tidak bisa “keluar” dari alam semesta, tapi kamu juga tak akan menemukan tepinya.

Kondisi ini terjadi bila kerapatan materi alam semesta lebih besar dari kerapatan kritis, yaitu nilai ambang yang menentukan apakah gravitasi cukup kuat untuk menghentikan ekspansi kosmik. Jika kerapatannya cukup besar, gravitasi akan memperlambat pengembangan alam semesta hingga akhirnya berhenti, lalu memulai fase penyusutan kembali. Pada akhirnya, seluruh materi bisa runtuh ke satu titik dalam peristiwa yang disebut “Big Crunch”  kebalikan dari Big Bang.

Model ini memberi gambaran bahwa alam semesta bisa bersifat siklis: mengembang, menyusut, lalu “lahir kembali” dalam siklus tanpa akhir.

Alam semesta datar (kurvatur nol)

Dalam model datar, hukum geometri Euclid berlaku secara sempurna. Dua garis sejajar tidak akan pernah bertemu, dan jumlah sudut segitiga selalu 180 derajat.

Alam semesta datar terjadi bila kerapatan materi sama persis dengan kerapatan kritis. Gravitasi cukup kuat untuk memperlambat laju pengembangan, tapi tidak cukup kuat untuk menghentikannya. Akibatnya, alam semesta akan terus mengembang selamanya, namun dengan kecepatan yang semakin melambat seiring waktu.

Menariknya, model datar juga memungkinkan keberadaan energi gelap — bentuk energi misterius yang justru mempercepat ekspansi alam semesta. Jadi, meskipun alam semesta datar, ruang antargalaksi bisa terus melebar dengan kecepatan yang makin besar karena pengaruh energi gelap ini.

Para ilmuwan menganggap model ini sebagai yang paling “seimbang”: tidak kolaps, tapi juga tidak melejit tanpa kendali.

Alam semesta terbuka (kurvatur negatif)

Sekarang bayangkan bentuk pelana kuda. Permukaannya melengkung ke arah yang berlawanan di dua sisi. Inilah analogi untuk alam semesta terbuka atau berkurvatur negatif.

Dalam kondisi ini, dua garis sejajar yang bergerak dalam arah sama akan semakin menjauh seiring waktu. Alam semesta jenis ini muncul bila kerapatan materi lebih kecil dari kerapatan kritis, artinya gravitasi tidak cukup kuat untuk menahan laju pengembangannya.

Akibatnya, alam semesta terbuka akan terus mengembang tanpa batas dan tidak pernah berhenti. Galaksi-galaksi akan semakin menjauh satu sama lain, bintang-bintang padam, dan alam semesta perlahan memasuki “kematian panas” (heat death) — keadaan di mana energi merata di seluruh ruang dan tidak ada lagi proses fisik yang berarti.

Jadi, Alam Semesta Kita yang Mana?

Jawabannya datang dari data pengamatan. Pada tahun 2011, misi Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) memberikan hasil menakjubkan: kerapatan materi alam semesta ternyata hampir persis sama dengan kerapatan kritis, dengan margin kesalahan hanya 0,4%. Artinya, secara ilmiah, alam semesta kita datar.

Maka, jika ada yang bertanya, “Apakah bumi datar?” Kita bisa tersenyum dan menjawab, “Tidak, bukan bumi yang datar. Justru alam semestalah yang datar.”

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong