UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF
UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF
Dr. Arwildayanto, M.Pd
(Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo)
Perubahan variasi soal bukti ketidakjujuran panitia lokal yang massif
Setiap kali hajatan ujian nasional (UN) berlangsung, saat itu pula sikap pro dan kontra masyarakat menguak kepermukaan, termasuk ujian nasional tahun 2013 ini. Ketika Panitia Nasional UN menerapkan model soal yang terdapat 20 variasi untuk setiap kelas, memberikan signal memang selama ini pelaksanaan UN belum dilandasi sikap yang jujur, baik dilakukan oleh guru maupun pengawas, sehingga memerlukan perubahan bentuk soal yang radikal seperti ini. Mestinya perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara UN merasa malu bahwa selama ini memang terdapat kebobrokan perilaku kolektif dalam lingkaran ketidakjujuran. Ironinya, perguruan tinggi dan sekolah tidak pernah koreksi dan intropeksi diri, apakah event nasional yang diselenggarakannya sudah jujur—sehingga perubahan model soal seperti ini diberlakukan yang berarti memukul dan menyiram muka aktor pendidikan di tingkat sekolah dan perguruan tinggi yang sering terlibat dalam pengawasan.
Justru yang sering muncul di benak penyelenggara dan pengawas UN adalah kegiatan UN merupakan agenda rutin yang menjadi rezeki tambahan bagi mereka yang terlibat dalam kepanitian dan kepengawasannya. Sehingga sikap kritis perguruan tinggi semakin mandul melihat manajemen UN tersebut. Mestinya dari tahun ke tahun penyelenggaraan UNG semakin baik, bukan seperti yang terjadi tahun 2013 ini, dimana ada 11 provinsi (termasuk provinsi Gorontalo) terpaksa ditunda pelaksanaan UN, karena distribusi soal UN belum tuntas. Hal-hal substantive seperti ini mestinya tidak perlu terjadi jika panitia UN terus belajar dari proses UN sebelumnya.
UN project minded versus pemetaan mutu pendidikan.
Terdapatnya berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan UN secara berulang dalam motif yang berbeda tiap tahunnya memberikan indikasi bahwa UN itu porsi “project minded” lebih besar ketimbang untuk pemetaan mutu pendidikan. Sehingga perlu evaluasi menyeluruh dari berbagai aspek, diantaranya tujuan maupun penyelenggaraannya diikuti rencana tindak lanjut (RTL) dalam bentuk program di setiap sekolah. Selama ini belum kelihatan hasil ujian nasional dijadikan referensi dalam membuat program pembelajaran remedial maupun akselarasi. Sekolah yang mendapat skor ujian nasional rendah tidak mendapatkan intervensi program, sekaligus sekolah yang nilainya bagus juga tidak mendapatkan program akselarasi sehingga skor-skor ujian nasional hanya menjadi prestise sekolah termasuk pejabat di daerah.
Indikasi “project minded”, kelihatan dari besarnya dana yang dikucurkan untuk penyelenggaraannya dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 yang lalu kemendikbud alokasi anggaran 600 milyar, boleh jadi tahun 2013 ini mendekati angka 650 milyar. Peningkatan anggaran UN terutama untuk membayar honor panitia. Mulai dari pengawasan pendistribusian naskah ujian, hingga honor untuk pengawas UN tingkat sekolah. Ini menunjukkan project Ujian Nasional bisa dinikmati banyak pihak (tidak masalah, asalkan nilai manfaatnya sebanding dengan uang Negara yang dikeluarkan).
UN bukti “residu power” tidak efektif
Yang lebih menarik untuk dikritisi dari pelaksanaan UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kalau di lihat dari pasal 57-59 Undang-undang tersebut, hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya belum tentu dengan model UN (Mohd Haramen,12/4/13).
Terus dimana pemerintah memiliki landasan yuridis melaksanakan UN, tidak lain dihadirkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan UN dari SD hingga SMA. PP inilah yang menjadi dasar digelarnya UN. Terus jika kita hubungkan dengan semangat otonomi daerah dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, apakah UN ini sinergi dengan implementasi desentralisasi pendidikan?.
Semangat otonomi daerah merupakan salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, kelihatan sekali ketika urusan pendidikan di serahkan ke daerah, melalui kebijakan desentralisasi pendidikan namun disisi lain persoalan evaluasinya masih belum dilepas. Sehingga pemerintah pusat pun masih tergoda untuk mengelolanya. Ini menunjukkan proses UN menjadi persoalan yang seksi untuk dilirik. Sekaligus persoalan UN menujukkan implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah masih belum menemukan ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25). Kita berharap desentralisasi pendidikan tidak berhenti dalam penyelenggaraanya semata, sekaligus dalam urusan evaluasi mesti diserahkan ke daerah. Sehingga ketidakpercayaan pemerintah pusat bisa dieliminir dengan memberikan kewenangan dalam melaksanakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh provinsi masing-masing (provinsi bukahkah wakil pemerintah pusat di daerah). (Dipublikasikan pada harian umum Gorontalo Post, Rabu 17 April 2013).
Manajemen Adat Bersendikan Syara’-Syara’ Bersendikan Kitabullah Menjadi Perilaku Pendidik dalam Kontelasi Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal
MANAJEMEN ADAT BERSENDIKAN SYARA’-SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH MENJADI PERILAKU PENDIDIK DALAM KONTELASI PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL
Oleh Dr. Arwildayanto, M.Pd
(Dosen Manajemen Pendidikan FIP UNG)
Pendahuluan
Memasuki usia ke-50 Tahun Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menghadirkan pemikiran-pemikiran segenap aktor pendidik dan tenaga kependidikan sebagai kontribusi dan baktinya untuk Indonesia. Sebagai warga UNG saya merespon permintaan tulisan oleh panitia penyusunan buku 50 Tahun UNG dengan tema “Memuliakan Ilmu untuk Mencerdaskan Bangsa”. Tema ini memberikan inspirasi dan daya dorong agar pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di UNG maupun yang dihasilkan memiliki karakter dan berkontribusi dalam menyebarkan virus-virus kebaikan, serta turut serta dalam pewarisan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Gorontalo yang kental dengan nilai-nilai dan tradisi keislaman yang bersumber Al-Qur’an dan Hadits. Nilai-nilai dan tradisi hulandhalo community itu kita kenal dengan Adati hulo-hulo’a to sara’a, Sara’a hulo-hulo’a to kitabi” atau adat bersendikan syara’-syara bersendikan kitabullah (ABS-SBK) sebagai kekayaan dan keanekaragaman yang perlu terus di jaga.dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
University Culture Responsibility dalam Pewarisan ABS-SBK
Usaha pewarisan nilai-nilai ABS-SBK oleh UNG menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi tridharma perguruan tinggi, sekaligus bentuk nyata dari “university cultur responsibility (UCR)”. Mestinya, pendidik dan tenaga kependidikan turut menjadi penggiat dan melakoni pewarisan nilai-nilai ABS-SBK dalam aktivitasnya di kampus maupun di lingkungan masyarakat.
Mengelaborasi nilai-nilai “ABS-SBK” menjadi seksi untuk dipublikasikan karena pertama, menjadi filosofi hidup dua komunitas besar di Indonesia yakni Gorontalo dan Minangkabau, kedua komunitas Hulondhalo dan Minangkabau terkenal di seanteroa Nusantara sebagai entitas yang “distingtif”. yakni memiliki karakternya yang khas yakni pelestarian dan pengamalan kaidah Islam yang di pandang sangat kuat baik di masa lampau maupun kontemporer, ketiga pada saat yang sama masyarakat Gorontalo dan Minangkabau juga cenderung cair, karena komunitasnya yang relative terbuka, eksvolutif, berbeda dengan kebudayaan suku Jawa yang cenderung “involutif” (Azyumardi Azra, 2012;5). Karena itu, kedua komunitas ini (Minangkabau dan Gorontalo) cenderug sangat terbuka bagi budaya luar, dengan mengorbankan budayanya sendiri, yang lebih lama menjadi distingsinya. Misalnya generasi muda Minangkabau dan Gorontalo sama-sama semakin tidak memahami nilai-nilai yang ada dalam ABS-SBK, sekaligus generasi tua pun tidak ada upaya untuk melakukan pewarisan (terjadi kealfaan) dalam melestarikan nilai-nilai ABS-SBK. Untuk itu warga UNG, termasuk pemangku kepentingan lainnya diharapkan turut serta melakoni pewarisan nilai-nilai ABS-SBK di Gorontalo.
Penulis menyakini bahwa kehadiran pemikiran dan riset tentang ABS-SBK oleh civitas UNG turut mewarnai nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan kerja para pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di kampus UNG. Untuk itu, tulisan ini mencoba menginisiasi para cendikiawan, peneliti, pendidik yang ada di UNG untuk menjadikan konsep ABS-SBK menjadi tema diskursus, opini dan kajian yang bisa disuplay untuk masyarakat lokal dalam pewarisan nilai-nilai budaya lokal. Karena ada kekuatiran isu, dan kajian ABS-SBK akan hilang oleh arus globalisasi budaya asing masuk ke Gorontalo.
Hadirnya ABS-SBK di Jazeerah Hulondhalo
Diskursus tentang ABS-SBK di Jazeraah Hulondhalo masih menjadi barang langkah, sulit mencari literature maupun forum ilmiah yang bisa dijadikan referensi. Sehingga eksistensi UNG dalam melaksanakan konsepsi UCR bisa dipercepat dengan melakukan kajian tentang ABS-SBK dalam kontelasi pewarisan budaya lokal.
Di atas penulis menjelaskan bahwa komunitas Hulandhalo tidak jauh berbeda dengan komunitas Minangkabau, dimana di lihat dari gejala kebudayaan Hulandhalo termasuk yang eksvolutif, hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah budaya, sosial dan keagamaan suku bangsa. Sejak ekspansi peradaban Islam yang menemukan momentumnya, mulai abad ke-16, Islam adalah sesuatu yang datang dari luar, penerimaannya masuk secara bertahap, sebaliknya adat berasal dari tradisi lokal yang sudah dahulu masuk ke pusaran kerajaan-kerajaan yang ada jazeerah Hulandhalo Yang lebih dikenal dengan sebutan “Pohala’a”. Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala’a, yakni Gorontalo , Limboto, Suwawa, Boalemo dan Atinggola. Kelima kerajaan ini memberikan kontribusi terterimanya filosofi ABS-SBK dalam masyarakat.
Bagaimanapun Islam bertransformasi dengan budaya Gorontalo sekaligus keniscayaan bagi kaum adat untuk menerima Islam, yang kemudian ditempatkan sejajar, Adat Bersendikan Syara’-Syara’ Bersendikan Adat sebuah proses transformasi kaum agama di dalam komunitas Hulandhalo tidak lagi terbendung dalam kesetaraan. Dinamika pembaharuan internal dalam komunitas Gorontalo yang lebih berorientasi Islam—persisnya antara nilai tasawuf yang masuk melalui kelompok Nahdiyin Muhammdiyah Ulama dari Jawa Tondano, serta kehadiran Tuanku Imam Bonjol yang diasingkan Belanda di kawasan Sulawesi Utara tidak jauh dari komunitas Hulondhalo turut memberikan akselarasi penempatan Islam di atas adat, seperti tercermin dari filosofi masyarakat Gorontalo “Adat Bersendikan Syara’-Syara’ Bersendikan Kitabullah (ABS-SBK), menurut Azra (2012;6) penempatan agama ini bisa menjadi simbolisme, ketundukkan adat di bawah hegemoni agama. Analisis ini mudahan memancing banyak tulisan yang sejenis muncul dari penggiat budaya di Gorontalo.
Akulturasi ABS-SBK ke seluruh nilai-nilai dan konsep adat Hulondhalo tidak diterima secara logika, namun di dalamnya terkandung dan terselubung filosofi yang mendalam dan bermakna, salah satunya adalah filosofi adat bersendikan syara’—syara’ bersendikan kitabullah (ABS-SBK) yang merupakan suatu filosofi hidup komunitas Hulondhalo. Memahami ABS-SBK merupakan pedoman untuk melakukan segala pekerjaan yang dibuat sekaligus sebagai pedoman hidup masyarakat Gorontalo menurut adat dan syara’ yang bersendikan pada ajaran Agama Islam, dan ajaran Islam itu lagi bersendikan pada Kitab Allah Swt, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. ABS-SBK dalam masyarakat Gorontalo memiliki dasar yang sangat kuat untuk mengikat dalam rangka mewujudkan aktivitas seseorang dan masyarakat apabila dia berhubungan dengan kelompok lain melalui kehidupan sehari-harinya. (Jamna, 2004;36)
Navis (1989;88) menjelaskan ABS-SBK meletakkan Islam sebagai sumber utama dalam pandangan hidup orang. Hakimy (1994;23) memahami bahwa Agama Islam menyempurnakan adatnya, karena ada titik persamaan dari pokok-pokok ajarannya yang sifatnya “menyandi” ajaran adat dengan ajaran iman dan syari’at. Artinya adat Hulondhalo dengan agama Islam mempunyai maksud dan ide yang sama dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat.
Amir MS (2003;120) menyatakan dalam kehidupan masyarakat dengan corak, hukum Islam seringkali bertemu dengan sistem hukum yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat Gorontalo. Selama ini tidak ada pertentangan antara kebiasan masyarakat dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan tegas dalam hukum Islam.
Berkaitan dengan adat kebiasaan ini, dalam Islam terdapat kaidah yang berbunyi “Al-Adat Mukammah”, artinya “adat kebiasaan itu dapat diterapkan sebagai landasan hukum (Sumber Al-Qur’an). Kaidah ini jelas hukum Islam tidak menganut sistem yang tertutup, menyebabkan kekakuan, statis, serta tidak memiliki dinamika. Disamping itu, juga tidak menganut sistem terbuka secara mutlak yang mengakibatkan hilangnya identitas sebagai hukum Islam. Dengan demikian dimungkinkan aturan dan hukum diterima oleh ajaran Islam, dengan sendirinya Islam segera dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam pertemuan kedua jenis hukum ini dalam masyarakat sepanjang sesuai dan serasi, maka tidak menimbulkan masalah. Namun dalam hal yang kurang seiring dan sejalan, dengan sendirinya memerlukan proses penyesuaian yang kadangkala bisa menimbulkan konflik dalam masyarakat adat itu sendiri. Sejarah sudah membuktikan bahwa pergumulan kedua hukum ini, hukum adat dan hukum Islam di Gorontalo tampaknya akan selalu berlangsung sepanjang zaman. Hal ini dibuktikan bahwa sampai hari ini filosofi ABS-SBK tetap eksis dan kokoh.
Dokrinasi nilai-nilai ABS-SBK sebagai perilaku kolektif
Akulturasi budaya hulondhalo dan nilai-nilai keislaman bisa dilihat dari proses budaya, diantaranya “walima” untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw diikuti juga pembacaan Al-Qur’an sampai pagi (dikili), pemasangan lampu memasuki hari ke-27 tiap bulan ramadhan. Bagi warga Nahdliyin yang ditimpa musibah kematian tradisi yang masih kuat itu, antara lain melaksanakan pengajian hari ke-7 dengan menyiapkan makanan dan membagikan rezeki bagi yang hadir.
Begitu juga sebagian besar prosesi adat di Gorontalo bernuansakan keislaman ini sebagian sudah mulai ditinggalkan generasi muda Gorontalo, sekaligus perlu peningkatan dan penajaman konsep ABS-SBK sebagai perilaku komunitas Hulondhalo yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Eksekusi filosofi ABS-SBK di perguruan tinggi perlu dikelola (dimenej) dalam pewarisannya sehingga menjadi collective behavior.
Hal ini tentunya diawali dari proses penanaman nilai dilakukan oleh Rektor (top leader) dengan pola kepemimpinan yang tidak pernah bosan-bosannya menyampaikan nilai kerja pada level makrifatullah (Arwildayanto, 2012;3). Adapun nilai-nilai yang relevan untuk digali dalam dunia pendidikan, diantaranya tentang keimanan, persatuan, menuntut ilmu, akhlah, penghormatan kepada kedua orang tua, kerja sebagai ibadah, dan berkenaan dengan hutang. Semua perilaku ABS-SBK itu sudah diatur dalam Al-qur’an dan Hadits baik secara implicit maupun eksplisit. Misalnya tentang keimanan, bisa dipahami Al-qur;an (3:19) artinya sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Mestinya penanamannya nilai keislaman itu, tidak cukup dalam prosesi Bai’at, diikuti siraman rohani keislaman secara terus menurus, diikuti dengan fatwa adat bahwa jika ada yang murtad, implikasi budayanya yang bersangkutan mesti keluar dari komunitas Hulondhalo, sekaligus tidak berhak menggunakan nama keluarga. Di daerah Minangkabau dijalankan secara tegas bahwa orang Minang adalah orang Islam, jika tidak Islam, maka tidak berhak menggunakan property budaya Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari. Penanaman keyakinan dalam ABS-SBK ini diikuti juga menyemarakan semangat kembali ke mesjib, sebagai medium edukasi, membangun silaturahmi, dan dakwah. Kehadiran mesjid kampus (saat ini masuk kategori renovasi), mushalla di masing-masing fakultas sebagai embrio semangat keislaman itu menjadi perilaku. Kalau perlu kegiatan perkuliahan yang ditengah-tengahnya ada suara panggilan adzan, maka dibiasakan untuk dihentikan sampai prosesi adzannya selesai. Perilaku ini mencerminkan kearifan dan penghormatan akan suara panggilan shalat, sekaligus berusaha melaksanakan shalatnya secara berjama’ah.
Relevansi Nilai-nilai ABS-SBK, Memuliakan Ilmu untuk Mencerdaskan Bangsa
Menggali Nilai-nilai ABS-SBK yang relevan dengan tugas pendidik dan tenaga kependidikan, salah satunya adalah komitmen dan usaha memuliakan ilmu untuk mencerdaskan bangsa menjadi tema sentral peringatan 50 Tahun UNG. Memuliakan ilmu untuk mencerdaskan bangsa menjadi relevan dalam meninggikan derajat bagi seseorang, suatu kaum ataupun bangsa yang memiliki peradaban keilmuan. Hal ini dipertegas dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah artinya “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka ilmunya itu Allah mempermudah jalan ke Surga”.
Untuk mengaktualisasikan cita-cita menuju surga Allah Swt, dalam aktivitasnya seorang pendidik dan tenaga kependidikan mestinya bekerja penuh keikhlasan, dan menjadikan nilai-nilai kerjanya itu sebagai ibadah dalam kapasitasnya mencerdaskan bangsa. Hal ini relevan dengan isi Al-qur’an surat Al-Jumuah (62:10), sebagai berikut :
??????? ???????? ?????????? ???????????? ??? ????????? ??????????? ??? ?????? ??????? ??????????? ??????? ???????? ???????????? ???????????
Artinya : Apabila telah ditunaikan Shalat, maka betebaranlah kamu dimuka bumi mencari karunia Allah, dan ingatkanlah Allah sebanyak banyaknya agar kamu beruntung
Pesan religious ini memberikan isyarat bahwa setiap pendidik dan tenaga kependidikan di UNG ini memahami kerja merupakan ibadah kepada Allah sebagai manifestasi kehidupan manusia untuk menunjukkan ketaatan pada Allah SWT yang menciptakan alam dan segenap isinya. Sehingga usaha memuliakan ilmu mencerdaskan bangsa pada hakekatnya seorang pendidik dan tenaga kependidikan sembari beribah sesuai dengan kapasitasnya.
Dalam manajemen ABS-SBK sebagai enkulturasi nilai-nilai lokal mesti diikuti manajemen konflik bagi semua pemangku kepentingan. Membaca kritikan Mahyudn Damis (18/05/2010) tentang falsafah ABS-SBK apakah menjadi local genius, kapan menjadi kesepakatan tokoh adat, dimulai dari kerajaan eato atau mana? Kritikan Damis boleh di pandang sebagai proses edukasi bertujuan mendapatkan informasi holistik. Semua prasangka dan pesimisme tadi mesti tidak berakhir dengan menurunnya komitmen implementasi ABS-SBK menjadi filosofi masyarakat Gorontalo yang sudah tumbuh dari collective awardness. UNG mesti ambil bagian dalam menumbuhkan “spirit de corps”, sosialisasi ABS-SBK semakin kencang, membumi seiring derasnya arus globalisasi yang merusak peradaban lokal.
Penutup
Manajemen ABS-SBK dalam enkulturasi nilai-nilai budaya lokal di mulai dari inventarisasi budaya, memaksimal peran kampus, civitas dalam mewarnai sosialisasi dan implementasi ABS-SBK sebagai kekayaan budaya lokal yang mesti diwarisi ke generasi berikutnya. Peran dan kontribusi UNG merupakan perwujudan university culture responsibility (UCR) yang eksis di tengah komunitas Hulondhalo.
Referensi
Al-Qur’an dan Hadits.
Amir, MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Arwildayanto (2011), Budaya Kerja Dosen (studi Kualitatif di Universitas Negeri Padang), Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Azyumardi Azra, (2013), Konsolidasi Kultural Suku Bangsa Minangkabau; Aktualisasi ABS-SBK di Tengah Tantangan Lokal, Nasional dan Global; Gebu Minang: Jakarta.
MANAJEMEN KEUANGAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Oleh : Arwildayanto, M.Pd
(Dosen Manajemen Pendidikan FIP UNG)
Potret Organisasi Kemahasiswaan
Organisasi kemahasiswaan di Perguruan Tinggi merupakan wahana pengembangan diri mahasiswa yang diharapkan dapat menampung kebutuhan, menyalurkan minat dan kegemaran, meningkatkan kesejahteraan, dan sekaligus menjadi wadah peningkatan kegiatan penalaran dan keilmuan serta arah profesi mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan juga merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan dan peningkatan kecendikiawanan serta integrasi kepribadian manusia Indonesia yang cerdas sebagai perwujudan pencapaian tujuan pendidikan yaitu, (a) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, (b) mengembangkan dan penyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan Nasional. Organisasi kemahasiswaan diarahkan dan dikembangkan agar mahasiswa mempunyai jiwa penuh pengabdian dan kemandirian serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan Universitas, bangsa dan negara berdasarkan atas tata kehidupan yang ilmiah.
Universitas Negeri Gorontalo (UNG) sebagai salah satu Perguruan Tinggi di Indonesia juga melakukan pengembangan pribadi dan pengembangan wawasan mahasiswanya melalui kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler yang antara lain meliputi pengembangan penalaran/keilmuan, minat dan kegemaran, kesejahteraan, Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dan Bakti Sosial (Bakso) yang dilaksanakan sejak tanggal 3 s/d 5 Juli 2009 di Desa Bongo Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo.
Mengingat para mahasiswa merupakan bagian dari civitas akademika dan dalam usia dewasa muda, maka organisasi kemahasiswaan tersebut dikembangkan dengan berpedoman kepada prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa di bawah bimbingan dan koordinasi serta tanggung jawab antara pimpinan Perguruan Tinggi dan Mahasiswa sebagai pelaksana kegiatan.
Berangkat dari prinsip tersebut di atas, maka dipandang perlu dilakukan suatu pembinaan bagaimana melakukan manajemen keuangan organisasi kemahasiswaan tersebut.
Kita pahami bersama terkait pentingnya laporan pertanggung jawaban keuangan bagi setiap organisasi kemahasiswaan. Kita sebagai mahasiswa selama ini menuntut kepada pihak rektorat atau pihak lainnya yang ada di luar kampus untuk mengeluarkan laporan keuangan yang telah di audit, namun apakah kita sendiri telah melakukanny?.
Buktikan bahwa kita sebagai mahasiswa tidak haya dapat menuntut namun juga dapat membuktikan bahwa kita sanggup mengeluarkan laporan keuangan yang teraudit.
Mari sama–sama kita jadikan ini semua merupakan bagian dari proses pembelajaran, sebelum nantinya kita memasuki dunia yang sebenarnnya yaitu dunia pasca kampus.
Urgensi Badan Audit Kemahasiswaan di Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo.
Saya pada kesempatan ini mengusulkan beberapa pikiran segar, namun bagi Universitas Indonesia sudah menjadi bagian dari dinamika dunia kemahasiswaan. Universitas Indonesia sudah memiliki Badan Audit Kemahasiswaan, barangkali tidak salahnya kita mengikuti gerak langkah mereka dengan membentuk lembaga Badan Audit Kemahasiswaan yang disingkat dengan BAK di Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo. Kebutuhan akan kehadiran BAK UNG ini semakin menjadi kebutuhan mendesak, hal ini terkait dengan berbagai fenomena yang kurang sehat dalam organisasi kemahasiswaan itu sendiri serta dengan adanya status baru UNG menjadi Badan Layanan Usaha menuntut keberadaan organisasi ini semakin penting.
Pada prinsipnya, BAK UNG merupakan lembaga yang bertugas untuk melaksanakan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan organisasi kemahasiswaan di setiap organisasi kemahasiswa yang ada di UNG. Namun pada dasarnya, BAK UNG memiliki peran yang lebih besar lagi, yaitu berupaya dalam menanamkan praktik tata kelola organisasi yang baik ke dalam organisasi kemahasiswaan yang ada di UNG.
Salah satu prinsip dasar dalam mencapai tata kelola organisasi yang baik adalah transparansi dan akuntabilitas. Pengurus organisasi kemahasiswaan harus bersikap transparan dan akuntabel dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasi kemahasiwaan kepada seluruh mahasiswa selaku pemilik kepentingan utama, dalam hal ini termasuk pengelolaan keuangan organisasi.
BAK UNG yang akan kita lahirkan itu nantinya perlu mempersiapkan Standar Akuntansi lembaga kemahasiswaan, sekaligus Pedoman Pelaporan Keuangan Organisasi Kemahasiswaan. Pedoman pelaporan ini nanti menjadi pedoman bagi seluruh organisasi kemahasiswaan di UNG dalam menyajikan laporan keuangannya. Penerapan pedoman ini nantinya akan selalu dipantau dan akan selalu dikembangkan agar selalu dapat memenuhi perkembangan kebutuhan organisasi kemahasiswaan seiring dinamika yang terjadi dalam dunia kemahasiswaan. Untuk menjaga independensi dan profesionalisme kerja BAK, maka perlu juga dibuatkan kode etik yang berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota BAK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BAK itu sendiri.
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini disampaikan, dengan harapan kita semua memiliki niat yang sama untuk membangun organisasi kemahasiswaan secara kuat, transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan yang didapatkan dari berbagai pihak.
Gorontalo, 4 Juli 2009
Arwildayanto, M.Pd
Lampiran 1
FORMAT LAPORAN PERTANGGUNG JAWABAN
Materi Penulisan
1. PENDAHULUAN
Berupa kata pengantar dari ketua atau pengurus organisasi
2. KONDISI OBJEKTIF ORGANISASI
Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi kegiatan organisasi
a. Faktor Internal
b. Faktor Eksternal
3. KEBIJAKAN ORGANISASI
Berdasarkan kondisi objektif organisasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal, pengurus menjelaskan kebijakan yang diambil sebagai program kegiatan organisasi.
4. PELAKSANAAN PROGRAM KERJA (Realisasi Program Kerja)
Melampirkan program kegiatan organisasi (yang terlaksana maupun tidak). Termasuk kegiatan dari masing-masing seksi / divisi / komisi atau lampiran LPJ dari unit-unit kegiatan dibawah koordinasi organisasi yang bersangkutan (BSO = Badan Semi Otonom) dan kepanitian yang dibentuk organisasi.
5. KENDALA ORGANISASI
Menjelaskan kendala yang dialami pengurus ketika mengadakan kegiatan atau menjelaskan perihal kegiatan yang tidak dapat terlaksana sesuai dengan kondisi objektif organisasi.
6. KESIMPULAN
Merupakan kesimpulan dari laporan pertanggung jawaban pengurus, (biasanya pengurus akan sedikit merendah dan berharap agar laporan tersebut diterima).
7. PENUTUP
Ucapan terimakasih yang ditujukan bagi fihak-fihak yang selama ini membantu/berperan serta dalam kegiatan serta fihak-fihak yang membantu penyusunan LPJ tersebut. LPJ ditutup dengan tanggal pembuatan LPJ dan ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris organisasi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daftar Kegiatan
Laporan Keuangan (Pembukuan)Surat Masuk dan Surat keluarProposal Masuk dan Proposal keluarInventarisasi Organisasi
MANAGING THE SCHOOL GENERASI EMAS PENDIDIKAN (Perluasan Akses Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Universal sebagai alternatif strategik di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah)
MANAGING THE SCHOOL GENERASI EMAS PENDIDIKAN
(Perluasan Akses Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Universal sebagai alternatif strategik di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah)
Oleh Dr. Arwildayanto, M.Pd*
Potret Harapan Publik tentang Generasi Emas Pendididkan
Pertama, saya bersyukur atas kesempatan yang berharga ini bisa memberikan pokok-pokok pikiran berkenaan dengan tema sentral yang dibahas “Akselarasi Peningkatan Mutu Pendidikan Menuju Bangkitnya Generasi Emas Indonesia di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah. Tema ini menjadi isu yang sangat relevan, teranyer untuk dielaborasi dalam forum ilmiah ini. Karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengambil tema besarnya dalam peringatan hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012 yang lalu yaitu “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan sambutannya untuk bertekad menjadikan tahun 2012 sebagai tahun menanam (generasi emas), dan investasi,”. Hal ini sejalan dengan harapan publik terhadap Kemendikbud untuk mampu mempersiapkan generasi emas Indonesia pada peringatan 100 tahun Indonesia merdeka (2045) mendatang
Hal menjadi sebuah kewajaran munculnya harapan besar ini didukung potensi sumber daya manusia Indonesia. Tahun 2010-2035 Indonesia memasuki periode bonus demografi, di mana usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua. Tentunya pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 kita harus melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kita harus menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan tinggi. Tentu perluasan akses tersebut harus diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan, sekalipun kita semua memahami bahwa pendidikan itu adalah sistem rekayasa sosial terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan, keharkatan dan kemartabatan
Kenapa periode 2010-2035 sebagai periode bonusi demografi? tentunya kita melirik dari report Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 dimana jumlah penduduk Indonesia usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Dalam data itu terlihat, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Di Proyeksi pada tahun 2045, mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54.
Begitu pula yang terjadi di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Buol, dari pemetaan kependudukan (mapping demografi) tergambar dengan jelas bahwa periode 2010-2035 sebagai bonus demografi berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulteng menunjukkan bahwa anak usia 0-12 berjumlah sebanyak 485.528 orang, anak berusia 13-19 tahun sebanyak 271.998 orang dan anak berusia 19-24 tahun sebanyak 260.293 orang. Di proyeksikan pada ulang tahun Kemerdekaan Indonesia 2045 Kab. Buol akan memiliki masyarakat produktif (generasi emas Indonesia) berusia 35-54 tahun sebanyak 1.027.819 artinya komposisinya mencapai ± 60% lebih banyak dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada.
Jika pemerintah daerah tidak menyiapkan kebijakan dan program-program pengembangan SDM yang ada, maka bisa jadi bonus kependudukan (deviden demografi) bisa mengarah sebaliknya menjadi bencana demografi (demographic disaster). Potensi yang dimiliki Kabupaten Buol, dengan luas wilayah 3,507 km² yang menyimpan potensi kekayaan alam berupa potensi tambang, energi, antara lain batu bara, batu pasir halus sampai kasar, tambang emas, pasir kuarsa, kaolin, gypsum, lempung, tanah liat, biji besi dan minyak bumi menjadi persoalan yang pelik jika tidak didukung generasi emas Kabupaten Buol.
Untuk itu kita mencoba memberikan spirit terbarukan agar pemerintah kabupaten Buol menyiapkan grand design pendidikan, sekaligus political will berbasiskan anggaran (Budgeting) yang memadai untuk memberikan aksesibilitas bagi anak didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara memadai, berkualitas mulai dari jenjang Pendidikan anak Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah sampai pada jenjang Pendidikan Tinggi. Penyediaan aksesibilitas pendidikan ini memberikan signal bahwa eksistensi “managing school” di Kabupaten Buol menjadi sesuatu yang urgen menghadirkan generasi emas pendidikan pada setiap jenjang dan tingkatan pendidikan. Dimana pengelola lembaga pendidikan (managing school) diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing agar terbentuk generasi emas Indonesia yang cerdas komprehensif, ditandai dengan generasi Indonesia yang produktif, inovatif, damai dalam interaksi sosialnya, sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul (Muhammad Nuh, 2012).
Menyiapkan generasi 2045 sebagai generasi emas, Pemerintah Kabupaten dan perangkat pelaksana pendidikan tetap menjadikan proses pendidikan untuk semua (education for all) sebagai jalan utama dan menjadikan pekerjaan yang perlu dituntaskan. Sekaligus bukan hanya sekadar pemerataan, tetapi juga peningkatan kualitas. Mulai dari gerakan pendidikan anak usia dini, penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, penyiapan pendidikan menengah universal (PMU), dan perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan melalui pendirian perguruan tinggi negeri serta memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi untuk tetapi berkemampuan akademik untuk mendapatkan layanan pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebagaimana dijelaskan dibawah ini.
Aksesibilitas pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pemerintah Kabupaten Buol mesti melakukan lompatan tradisi dan mindset dalam memandang Pendidikan Anak Usia Dini sebagai bagian dari pendidikan secara holistik. Adapun program dan gerakan PAUD-isasi, peningkatan kualitas PAUD tidak bisa dielakkan, jika tidak ingin melihat dan menyaksikan terjadinya lose generation di Buol tahun 2045 nanti.
Pemerintah Kabupaten juga perlu melakukan intervensi anggaran untuk menggenjot program PAUD memberikan bantuan rintisan, alat permainan edukasi, dan serangkaian program yang telah disiapkan berhubungan dengan PAUD. Sehingga pada 2045, saat peringatan ulang tahun Indonesiayang ke-100, terciptalah generasi muda Kabupaten Buol yang kamil dan paripurna.
Bagaimana mencapai itu? Esensinya terletak pada pemerintah, masyarakat dan orang tua yang semua peran itu di lakoni oleh managing school. Seorang managing school ditingkat PAUD mestinya memandang bahwa usia dini merupakan periode fundamental bagi perkembangan individu untuk usia berikutnya. Usia dini menjadi masa yang sangat berharga membentuk periode kehidupan manusia, seperti jelaskan Frobel (dalam Roopnaire and Johnson, 1993) memandang usia disini sebagai “a noble and malleable phase of human life”. Di usia dini seorang anak memiliki masa keemasan (the golden age). Dimana pada periode ini perkembangan fisik dan mental seorang anak akan sangat menentukan kualitas kecerdasan, kesehatan, dan kematangan emosional di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan hasil riset yang merekomendasikan bahwa perkembangan kecerdasan terjadi sangat pesat pada awal tahun kehidupan,yakni sekitar 50% dari kecerdasan orang dewasa terjadi ketika anak berumur 4 tahun, dan 80% telah terjadi ketika anak berumur 8 tahun, (Fasli Jalal, 2000). Goleman (1995) juga mengkaji bahwa periode ketiga atau ke empat tahun pertama anak didik merupakan periode yang subur bagi perkembangan kecerdasan emosi.
Penjelasan ini memberikan makna bahwa pada jenjang PAUD ini pemerintah Kabupaten Buol diharapkan dapat memberikan support berupa penyediaan lembaga PAUD yang memadai, penyediaan gizi dan asupan makanan yang sehat bagi anak, memberikan kesadaran akan pentingnya lembaga PAUD sebagai instrumen pendidikan untuk menyiapkan generasi emas Indonesia
Aksesibilitas pendidikan dasar dan Menengah
Sudah menjadi kewajiban negara (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar yang dikenal dengan program wajib belajar 9 tahun sebagaimana diatur dalamUndang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dimana pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk menyiapkan generasi emasi Indonesia tahun 2045 tentunya program Wajar 9 Tahun sudah tentu harus di update mencapai jenjang yang lebih tinggi setingkat dengan sekolah menengah umum maupun kejuruan. Pemerintah mesti mendorong terselenggaranya Pendidikan Menengah Universal (PMU) untuk menghadirkan generasi emas Indonesia. Ada tiga alasan perlunya PMU diimplementasikan. Pertama, berkait dengan keberhasilan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan wajib belajar (wajar) 9 tahun. Harus diakui, keberhasilan itu tidak menghentikan upaya di dalam meningkatkan kualitas yang harus dilakukan terus menerus, tak kenal henti. Keberhasilan wajar 9 tahun memiliki konsekuensi logis untuk memberikan akses bagi mereka yang telah lulus di jenjang pendidikan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Ini sesuatu yang wajar dilakukan, karena ditinjau dari segi kesiapan mental maupun keterampilan para lulusan sekolah menengah pertama (SMP) untuk memasuki dunia kerja, belumlah memadai.
Ditilik dari usia, para lulusan SMP juga masih dikategorikan anak-anak, yang tidak boleh memasuki dunia kerja, sebagai mana diatur UU ketenagakerjaan. Kedua, berkait dengan bonus demografi, yang merupakan periode emas untuk mempersiapkan generasi baru dalam memasuki tahun 2045, tahun ketika Indonesia memasuki usia satu abad kemerdekaannya. Sungguh sayang, jika pada periode emas ini tidak dilakukan investasi SDM secara besar-besaran. Jika periode ini dilewatkan begitu saja, maka bisa jadi bukan bonus demografi yang diraih, tapi bencana demografi.
Ketiga, adanya komitmen pemerintah di dalam menganggarkan minimal 20 % dari APBN dan APBD untuk pendidikan. Dengan tiga modalitas ini, maka tepat jika rintisan PMU tahun ini sudah mesti dilaksanakan bahkan kalau kita melirik hasil riset yang dilakukan Bank Dunia (World Bank) dan Global competitiveness Report 2010-2011 yang menyimpulkan data bahwa terdapat korelasi positif yang sangat tinggi antara lama bersekolah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan koefisien korelasi r = 0,99. Fakta ini memberikan dukungan bahwa bahwa untuk pelaksanaan PMU menurut laporan statistik World Bank 2011 berkolerasi positif dengan peningkatan indek pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI).
Ketiga alasan di atas semakin mempertegas bahwa jika Kabupaten Buol mau lebih maju dan bergerak lebih progresif tingkat pendidikan wajib belajarnya sudah mesti merangkah naik pada jenjang SMA dan SMK. Konsekuensinya pemerintah Kabupaten Buol perlu melakukan pembangunan infrastruktur dan penyiapan sumber daya manusia, rehabilitasi sekolah dan pembangunan ruang kelas baru dilakukan secara besar-besaran, serta intervensi khusus untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) siswa SMA/sederajat dan pendidikan menengah universal. Kebijakan ini akhirnya akan melahirkan generasi emas pendidikan minimal masyarakat Buol memiliki jenjang pendidikan minimal setara dengan SMA/SMK. Ini sebuah tantangan menuju generasi emas yang bisa diwujudkan dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang produktif dan inovatif, kreatif, yang diperoleh dari pengalaman menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Kita berharap melalui campur tangan pemerintah kabupaten Buol upaya percepatan dan peningkatan akses pendidikan pada level SMA dan SMK bisa ditargetkan pada tahun 2020, dimana APK SMA/sederajat dapat mencapai 97%.
Disamping itu peningkatan APK perguruan tinggi juga dilakukan dengan meningkatan akses, memastikan keterjangkauan, dan memastikan ketersediaan. “Pendidikan tinggi yang berkualitas dan berdaya saing,” Jadi kehadiran tim Program Pascasarana Universitas Negeri Gorontalo disini dalam rangka itu, agar harapan Kabupaten Buol melahirkan generasi emas pendidikan yang cerdas komprehensif, antara lain produktif, inovatif, damai dalam interaksi sosialnya, sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul bisa diwujudkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Barangkali kita masih segar dalam ingatan kita pesan Menteri pendidikan dan Kebudayaan tentang Generasi Emas Indonesia, "Semai dan tanamlah biji dari tumbuhan yang kamu miliki meski pun kamu tahu esok akan mati" dan "Siapa yang menanam, dia yang akan memetik". Oleh karena kepada pemerintah Kabupatan Buol digenggaman kekuasaan dan diskresi yang dimilikinya kita mendorong dan mengajak, marilah kita berlomba-lomba menanam kebaikan. Insya Allah kita dan anak cucu kita akan memperoleh kebaikan itu (Muh. Nuh; 2012).
* Dosen Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo
KEPEMIMPINAN "NUDGE "DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA DOSEN (Studi Kualitatif di Universitas Negeri Padang)
KEPEMIMPINAN “NUDGE”
DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA DOSEN
(Studi Kualitatif di Universitas Negeri Padang)
Arwildayanto*
Abstract : The challenges in higher education nowadays are very complex, due to the ever quality and academic culture and the increasing stakeholders demands for quality in higher education. To overcome these challenges, lecturers’ work culture has to be set up in university. This qualitative study described lecturers’ work culture and its settings in Padang State University. The data was collected by observation, interview, and documentation. The validity of the data was examined by using triangulation technique. The data was analyzed by using inductive technique. The research found that lecturers’ work culture in Padang State University were built by supportive leadership nudge style in implementing quality qulture.
Keywords : value, leadership nudge, higher education and work culture
PENDAHULUAN
Keberhasilan di era globalisasi, menurut Soehendro (1996;1) ditentukan oleh produktivitas, efisiensi dalam bekerja. Modal penggeraknya sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang dihasilkan dari perguruan tinggi terbaik. Keberhasilan perguruan tinggi dalam menghasilkan SDM berkualitas dapat dilakukan bila dosennya memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, tingkah laku baik, handal, profesional guna mendorong terlaksananya fungsi tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan & pengajaran, penelitian serta pengabdian pada masyarakat. Dalam bahasa sederhana rektor Universitas Negeri Gorontalo Syamsu Qamar Badu (6/4/2011) bahwa dirinya tidak akan bosan-bosanya menyampaikan salah satu program kerja selama kepemimpinannya adalah perguruan tinggi yang dipimpinnya menjamin terselenggaranya atmosfer akademik sebagai agent of change yang akan membawa masyarakat ke arah yang lebih maju melalui kegiatan ilmiah, pusat kebudayaan, maupun peningkatan soft skill yang dimiliki dosen yang dipimpinnya.
Konsekuensinya perguruan tinggi dituntut untuk membangun budaya akademik dan etika keilmuan sehingga memberi pencerahan (aufklarung) pada masyarakat kampus. Untuk mencapai itu dosen perlu dibina melalui pengembangan budaya kerja sebagai satu peluang untuk membangun human resource development melalui penanaman nilai (value), keyakinan (belief), norma, pandangan, kebiasaan dan kepemimpinan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku yang diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan yang sedang berjalan dan akan datang (Triguna, 1999;v).
Budaya kerja dosen akan menjadi kenyataan, jika dilakukan pembinaan oleh pimpinan tanpa henti selama kepemimpinannya yang diikuti dengan penyempurnaan & perbaikan perilaku. Pengembangan budaya kerja dosen berhasil bila disertai upaya mengoptimalkan perilaku positif dan meminimunkan perilaku negatif. (Prawirosentono, 1999; 320).
Bahkan, Kasali (2010;xxxi) menyatakan pengembangan budaya kerja dosen, meng-isyaratkan pimpinan kampus untuk terus melakukan perubahan yang mencerminkan tuntutan baru dalam masyarakat karena dari situlah elite bangsa dihasilkan. Kalau dunia usaha berubah, melakukan pembenahan budaya kerja tapi dunia pendidikan jalan di tempat maka celaka suatu Negara. Untuk itu reformasi budaya kerja di perguruan tinggi perlu dilakukan pimpinannya. Karena pimpinan perguruan tinggi tidak cukup melakukan perubahan dan pengembangan struktural saja. Oleh sebab itu pembinaan kultural civitas akademika oleh pimpinan penting dilakukan agar mereka bekerja dengan nilai-nilai baru yang cocok dengan tuntutan zaman.
Wirawan (2004;2) secara operasional menyatakan peningkatan mutu kerja dosen harus dilakukan dengan pendekatan baru yaitu pendekatan kultural. Asumsinya selama ini upaya pengembangan kinerja aparatur pemerintah melalui pendekatan perilaku (behavioral), berupa reward (tanda jasa, promosi jabatan, insentif financial pengadaan rumah dinas, kendaraan dinas, maupun punishment (mutasi, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat dan jabatan) ternyata belum memberikan hasil yang memadai. Maka pimpinan perlu melakukan intervensi budaya, dengan harapan perubahan perilaku kerja dosen pada gilirannya mampu meningkatkan kinerja institusi.
Harapan yang sama dijelaskan Feisal Tamin mantan MENPAN-RI yang menyatakan bahwa semua aparatur Negara, termasuk dosen untuk memiliki budaya kerja demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan secara baik dan benar. Hal ini tertuang dalam SK No. 04 tahun 1991 tentang Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja dan SK No. 25/ Kep/M. PAN/4/2002 tanggal 25 April 2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja bertujuan menumbuhkembangkan etos kerja, tanggung jawab moral dan guna meningkatkan produktivitas serta kinerja pelayanan kepada stakeholders. (http:// www.sinar harapan.co.id).
Pengembangan budaya kerja dosen menjadi penting dilakukan. Hal ini didukung laporan penelitian HRD Indonesia yang menyimpulkan bahwa budaya kerja menyumbang 70% terhadap keberhasilan kerja institusi (http://www.hrd-indo.com). Budaya kerja dosen berperan sebagai katalisator & inhibitor proses kerja perguruan tinggi. Budaya kerja dosen merupakan strategi bagi setiap perguruan tinggi yang ingin survive dan unggul di arena nasional maupun global, untuk itu dalam kepemimpinan rektor perlu memiliki komitmen menjadikan perguruan tinggi yang dimpinnya menjadi world class University (WCU). Untuk itu penelitian tentang peran kepemimpinan rektor dalam pengembangan budaya kerja dosen menjadi relevan, agar komitmennya menjadi realitas.
Fokus Penelitian, menilik pada hal-hal yang diungkapkan sebelumnya, pemahaman tentatif tentang budaya kerja dosen memberikan pemaknaan yang mendalam dari masing-masing pribadi dosen terkait dengan norma, sikap, perilaku, kebiasaan, cara pandang, filosofi kerja, tradisi, prinsip, komitmen kerja, sistem politik, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem budaya masyarakat setempat, sistem administrasi, kepemimpinan rektor, sosialisasi kerja kelompok kerja, dan karakteristik institusi sebagai fakta sosial maka berlaku sebutan bagi dosen sebagai komunitas ilmiah, cendikiawan, ilmuwan, terpelajar yang memiliki kesadaran luar biasa dan mempunyai pengetahuan yang bisa diandalkan untuk menampilkan perilaku kerja yang terbaik dan prestasi gemilang di bidang pendidikan pengajaran, pengabdian pada masyarakat dan penelitian yang dikenal dengan pandangan etik.
Sedangkan sebagai sebuah fakta kultural semestinya dosen bekerja dalam pandangan emik berusaha melihat bagaimana dirinya memandang dan memaknai budaya kerja yang ditampilkan sendiri. Pandangan kedua ini bersifat interpretif atau fenomenologis, dimana dosen adalah subjek sekaligus aktor yang juga memiliki hasrat, harapan dan kehidupan sendiri yang unik. Interpretif seperti ini dibutuhkan untuk mengimbangi persepsi sebelumnya yang objektif melihat dosen sebagai manusia biasa sekaligus anggota entitas dari salah satu kelompok masyarakat, yang memiliki nilai (value), pengetahuan (knowledge) dan pengalaman hidup (experience) yang mereka rasakan dan alami sendiri-sendiri. Kehadiran budaya kerja bagi dosen dalam kegiatan grand tour teramati kehadiran pimpinan visioner, memiliki keteladanan, tidak bosan-bosan menyampaikan program kerja yang ingin dicapai (nudge), dan doktrinasi nilai-nilai institusi oleh pimpinan yang sedang berkuasa memberikan warna budaya kerja dosen.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan fokus penelitian ini dengan mengajukan pertanyaan bagaimana kepemimpinan rektor dalam pengembangan budaya kerja dosen?
Tujuan dan dan manfaat penelitian, untuk mendeskripsikan, antara lain; (1) kepemimpinan rektor dalam mendoktrin budaya kerja dosen, (2) manajemen konflik rektor dalam pengembangan budaya kerja dosen. Adapun manfaat penelitian ini dilakukan dapat berupa : (1) memberikan kontribusi pada pimpinan PTN/PTS dalam dalam pengembangan budaya kerja dosen yang dipimpinnya. (2) mendorong peneliti menemukan teori-teori baru berkaitan dengan kepemimpinan rektor dalam pengembangan budaya kerja dosen, dan (3) mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang manajemen pendidikan tinggi sebagai instrumen penting dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
ACUAN TEORITIK
Budaya Kerja. Budaya kerja merupakan sikap, ketaatan, kepatuhan, terhadap norma, etika, yang menjadi aturan dalam melaksanakan tugas baik fisik maupun mental menghasilkan barang/jasa dalam suatu institusi. Budaya kerja, tampaknya tidak dapat dipisahkan dengan budaya organisasi, budaya korporat. Budaya kerja menjadi nilai dominan dalam institusi dan menjadi acuan filosofi kerja. Silalahi menggambarkan terminologi budaya kerja dalam gambar 1:
Gambar.1 Bangunan budaya organisasi, budaya perusahaan dan budaya kerja. diadaptasi dari pikiran Silalahi (2004;37)
Ndraha (1999;80-81) menyatakan budaya kerja sebagai pikiran dasar yang dapat di manfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang ditampilkan dalam dua bentuk, a) sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai-santai, b) perilaku pada waktu bekerja, rajin berdedikasi bertanggungjawab, teliti, cermat, kemauan kuat untuk belajar, suka membantu sesama. Adapun sasaran budaya kerja adalah mempertahankan nilai dan tingkah laku positif pribadi yang ada dan menerima serta menyesuaikan nilai positif organisasi yang baik performance “world class operator activity” (http://www.geocities.com).
Budaya kerja menjadi falsafah hidup pekerja yang didasari nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, kehidupan suatu kelompok masyarakatinstitusi kerja, tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, dan tindakan terwujud sebagai kerja (Triguno (1999;3). Keputusan MENPAN No 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara (PPBKAN) mempertegas budaya kerja penting untuk menumbuhkembangkan etos kerja, tanggung jawab moral guna meningkatkan produktivitas serta kinerja dalam memberikan pelayanan kepada stakeholder institusi pemerintah termasuk di perguruan tinggi negeri (Tim penyusun bahan Diklat Prajabatan Golongan III, 2009;3).
Sumber budaya kerja terdiri dari values, belief, dan knowledge menjadi kekuatan pendorong kerja dan perilaku (behavior) menghasilkan wujud kerja untuk selalu bekerja secara baik sesuai tuntutan zaman dan institusinya. Perwujudan budaya kerja berkaitan dengan nilai-nilai institusional, personal, maupun nilai komunal (lingkungan masyarakat setempat). Linda dan Eyre (1999;14) menyatakan nilai budaya kerja yang bisa diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu perilaku yang berdampak positif baik bagi yang menjalankan maupun yang berhubungan dengan dirinya untuk mendapatkan jasa layanan serta produk dari pekerjaanya.Begitu jugaSubianto (2000;16-17) menyatakan nilai budaya kerja dalam pribadi, kelompok kerja tidak bisa di determinasi dalam dua kontrasi yang benar dan salah. Nilai budaya kerja individu berbeda-beda harus dipandang sebagai khasanah hidup yang beraneka ragam, nilai budaya kerja harus dijunjung tinggi.
Penampilan budaya kerja diduga dipengaruhi motif kepentingan lingkungan yang timbul secara spontan. Bisa juga respon terhadap lingkungan muncul karena ikut-ikutan, terhanyut bersama lingkungan, sehingga menjadi komoditas (daya tarik) yang bisa dikemas sedemikian rupa, bisa berupa warna pakaian yang digunakan waktu kerja, aroma parfum, tampilan sisir rambut, lipstick, make up, dan property lainnya selama melaksanakan pekerjaan. Wirawan (2004) mengidentikasi tujuhbelas perilaku budaya kerja, 1) komitmen terhadap visi, misi institusi, tujuan, konsistens dalam pelaksanaan kebijakan peraturan, 2) wewenang dan tanggungjawab, 3) keikhlasan dan kejujuran, 4) integritas dan profesionalisme, 5) kreativitas dan kepekaan (sensitivitas) terhadap lingkungan kerja, 6) kepemimpinan dan keteladanan, 7) kebersamaan dan dinamika kelompok/organisasi, 8). ketepatan (keakurasian) dan ke-cepatan, 9) rasionalisasi dan emosi, 10) keteguhan dan ketegasan, 11) disiplin dan keteraturan bekerja, 12) keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan/konflik, 13) dedikasi & loyalitas dan 14) semangat dan motivasi, 15) ketekunan dan kesabaran, 16) keadilan dan keterbukaan, 17) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melaksanakan kerja. (http://www. neumann.f20. 0rg/sarlito/b_kerja.htm)
Kepemimpinan dalam Pengembangan Budaya Kerja. Kotter dan Heskett (1992;141-142) menyatakan pengembangan budaya kerja harus dilakukan pimpinan puncak. Karena kepemimpinannya cenderung memberikan daya dorong bagi bawahan melakukan apa yang dibutuhkan institusi untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, menghadapi persaingan yang kompetitif. Faktor kepemimpinan puncak menjadi sangat strategis dan menentukan, bahkan kalau mau jujur merupakan faktor yang paling krusial dalam keseluruhan pengembangan budaya kerja. Tanpa dikomandai pimpinan puncak yang visioner & kredibel, niscaya transformasi budaya kerja sulit terwujud sesuai dengan yang direncanakan.Sosialisasi pada stakeholders institusi kerja sangat strategis karena dapat membentuk opini yang berdampak positif terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu “memaksa” perubahan sikap & perilaku kerja civitas akademika perguruan tinggi.
Soenarjo (2005;2) menyatakan budaya kerja dapat terlaksana dengan baik, sesuai dengan harapan bila diawali dengan komitmen pimpinan puncak dan diikuti bawahan, sehingga seluruh civitas akademika perguruan tinggi melaksanakan budaya kerja dengan sepenuh hati.Pengembangan budaya kerja oleh pimpinan puncak harus mengutamakan aspek “achievement dan teamwork” tujuannya meningkatkan kepuasan pekerja, customers dan kinerja institusi keunggulan bersaing dengan institusi lain. Usaha itu berawal dari pembinaan visi, misi, dan nilai yang terdapat di dalam institusi, perilaku, sistem pengembangan sumber daya, dan kepemimpinan melakukan komunikasi secara intensif, komitmen yang kuat untuk mengembangkan budaya kerja.
Pengembangan budaya kerja oleh pimpinan perguruan tinggi, menurut Manan (1999;5) dilakukan berupa a) berorientasi pada hasil kerja, b) komitmem untuk melakukan perbaikan terus-menerus, c) menekankan pentingnya kualitas kerja, d) fokus manajemen perlu dirubah ke arah pemenuhan kebetuhan pasar, proaktif, melihat ke depan, hari ini lebih baik dari kemaren, mendapatkan ide-ide dan cara baru, dukungan kuat untuk bekerjasama, e) nilai-nilai organisasipun ikut dirubah ke arah yang bisa dimengerti dengan jelas sesuai dengan strategi cita-cita institusi, f) kenaikan pangkat dan imbalan atas prestasi kerja, responsibility, accountability, loyalitas tinggi, kemauan untuk hal-hal baru, mengedepankan nilai universal.
METODOLOGO PENELITIAN
Penelitian di laksanakan di UNP dengan objek penelitian dosen. Nasution (1988;32) menjelaskan subjek atau informan penelitian adalah sumber yang dapat memberi informasi, berupa peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi. Informan yang dapat diwawancarai dipilih secara purposive bertalian dengan tujuan penelitian. Bogdan dan Biklen (1998;66-67) menyatakan informan terpilih diminta menunjuk orang lain (snowball sampling) sampai taraf redudancy ketuntasan atau kejenuhan. Informan kunci yakni : rektor, pimpinan lainnya yang diambil secara purposive.
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian sebagai instrumen kunci, frekuensi kehadiran disesuaikan dengan kebutuhan, studi pendahuluan, pengumpulan data, dan pemeriksaan data.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Kirk dan Miller (1986;9) memandang metode ini cocok bagi ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam komunitasnya. Penggunaan metodologi kualitatif menggiring peneliti melihat fenomena nyata di lingkungan penelitian dilakukan dan berusaha memahami serta memberikan makna terhadap rangkaian peristiwa yang dilihat.
Pendekatan penelitian yang mengungkap berbagai persoalan pendidikan, sosiologi, budaya dan manajemen pendidikan menekankan metode penghayatan (verstehen). Oleh sebab itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif menggunakan pendekatan fenomenologis. Hasri (2004;73) menjelaskan beberapa alasan, pendekatan fenomenologis digunakan, 1) data penelitian ini adalah data laten, artinya fakta dan data yang nampak dipermukaan maupun yang tidak nampak, termasuk pola perilaku kerja yang ditampilkan dosen sebagai aktor yang diteliti hanyalah fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku, dan masih memerlukan pemahaman dan pemaknaan agar dapat dijelaskan apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran atau pengetahuan pelaku itu sendiri, 2) ditinjau dari kedalamannya penelitian ini mengungkapkan perilaku kolektif dosen, sebagai aktor utama yang diteliti, 3). Pendekatan femenologis berusaha menemukan hakekat makna budaya kerja yang dilakukan dosen yang nantinya dihubungkan dengan teori yang berkembang relevan.
Data penelitian adalah informasi yang berkaitan dengan fokus masalah yang diteliti. Sumber data ini terdiri dari dari apa saja, dan siapa saja yang dapat memberi informasi tentang fokus masalah yang bersifat snowball sampling. Glesne (1999;60) menjelaskan beberapa sumber data dalam penelitian kualitatif collaborators, interviewing, video and photographs, participant observer’s, documents. Yin (1984;79) menambahkan sumber data yang digunakan, documents, files, physical artifact.
Prosedur pengumpulan data berdasarkan instrumen yang dilakukan oleh peneliti sendiri. Prosedurnya tidak bersifat permanen, berkembang sesuai dengan kondisi di lapangan (snow-ball sampling). Peneliti menentukan sumber informan kunci (key informan), setelah melakukan pendalaman informasi, bisa saja informannya bertambah sesuai dengan fokus penelitian. Prosedur pengumpulan dan perekaman data penelitian dilakukan a) observasi berperanserta, b) wawancara, c) dokumentasi
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber. Dalam menganalisis data peneliti menggunakan teknik analisis data yang dianjurkan Miles dan Huberman (1989;23) yaitu model interaktif. Analisis data terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi data.
Gambar 2 Analisis Data: Model Interaktif (Miles dan Huberman).
Reduksi data dijadikan proses analisis mempertegas, memperpendek serta membuat fokus penelitian dan membuang informasi yang tidak penting, sehingga dapat mengambil suatu kesimpulan. Analisis data selanjutnya penarikan kesimpulan lewat analisis justifikasi makna yang timbul dari data yang telah diuji vailiditasnya. Kesimpulan diverifikasi agar lebih teliti dalam melakukan verifikasi data, Lincoln dan Guba (1982;300), menyarankan beberapa langkah 1) keterpercayaan/credibility, 2) keteralihan/transferability, 3) per-tanggungjawaban/dependability), 4) kepastian atau objektif (confirmability).
TEMUAN PENELITIAN
Ada beberapa temuan penelitian tentang kepemimpinan nudge dalam pengembangan budaya kerja dosen Universitas Negeri Padang, sebagai berikut :
Budaya kerja ditanamkan melalui rekruitmen dosen dengan sistem terbuka dan kaderisasi masih menjadi budaya (tradisi). Nilai-nilai yang ditanamkan dalam rekruitmen dosen, antara lain loyalitas, kebersamaan dan kepatuhan. Penanaman nilai ini dilakukan dalam rangka menjaga kesesuaian (match) nilai pimpinan puncak, rektor sampai ketua jurusan, maka penanaman nilai budaya kerja sudah mulai dilakukan.Dosen yang di terima, diberikan pembinaan nilai-nilai budaya kerja melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat Prajab). Nilai yang dikembangkan dalam kegiatan Diklat Prajab bagi dosen adalah wawasan pengetahuan dan keterampilan dalam penerapan prinsip-prinsip budaya kerja sebagai aparatur Negara. Pelatihan lanjutan yang diberikan kepada dosen bersifat “adhoc” berupa Diklat Budaya Mutu, Diklat ISO dan lain-lainnya. Semua ini bertujuan dalam rangka mengembangkan budaya kerja dosen.Pembinaan dosen yang dilakukan pimpinan universitas dapat terdiri dari berbagai kegiatan, antara lain melalui pertemuan rapat pimpinan maupun rapat dengan dosen, forum ilmiah, kegiatan keagamaan serta berbagai interaksi informal, sebagaimana dirangkum dalam tabel 1 di bawah ini
Tabel 1: Penanaman Nilai Dosen oleh Pimpinan di Perguruan Tinggi
Metode
Waktu
Pimpinan Perguruan Tinggi
Rekruitmen Dosen
Penerimaan kandidat dosen
Pimpinan Jurusan, Dekan dan Universitas
Rapat Pimpinan
Terjadwal dan Insidentil
Pimpinan Universitas
Forum Ilmiah dan keagamaan
Pengukuhan guru besar dan buka puasa bersama
Pimpinan Universitas
Interaksi Informal
Insidentil
Pimpinan Universitas, Dekan dan Ketua Jurusan
Kepemimpinan rektor berperan dalam mewujudkan dan mensosialisasikan budaya kerja dosen yang dipimpinnya. Ada empat aktivitas yang dilakukan, antara lain a) forum ilmiah, b) kegiatan keagamaan, c) rapat pimpinan, dan d) interaksi sehari-hari. Nilai-nilai disampaikan disesuaikan dengan moment kejadian, diantaranya adalah mutu keilmuan dosen ditandai dengan produktivitas kerja, kejujuran akademik, tanggungjawab sebagai pendidik dan pengajar di perguruan tinggi yang dipimpinnya, sebagaimana dirangkum dalam tabel 2.
Tabel 2 : Aktivitas Rektor dalam Budaya Kerja
Aktivitas Rektor
Waktu
Pesan Nilai kerja
Forum Ilmiah
Pengukuhan guru besar
Mutu keilmuan/kerja ditandai dengan produktivitas menulis
Rapat Pimpinan
Insidentil
Kejujuran Akademik, Tanggungjawab
Acara Keagamaan
Bulan Ramadhan
Kerja adalah ibadah
Interaksi informal
Sehari-hari
Melayani setulus hati
Dari penelitian yang dilaksanakan, dapat dikemukakan beberapa proposisi tentang peran kepemimpinan rektor dalam perwujudan budaya kerja dosen yang dipimpinnya, a) kepemimpinan rektor memiliki peran untuk mendoktrin, membina dan menanamkan nilai, prinsip budaya kerja, b) peran kepemimpinan rektor dalam mendoktrin budaya kerja dosen bisa didelegasi pada ketua jurusan terutama dalam proses rekruitmen dosen, c) kepemimpinan rektor yang tidak bosan-bosan mengingatkan dosen untuk serius meningkatkan budaya kerjanya yang tertera dalam amanat Tridharma perguruan tinggi yakni mengajar, menulis, meneliti dan mengabdi pada masayarakat, dikenal dengan kepemimpinn “nudge”.
PEMBAHASAN
Nilai, pemaknaan kerja sebagai landasan budaya kerja dosen
Temuan penelitian mengungkapkan nilai kerja yang dimiliki masing-masing dosen UNP beranekaragam, sesuai dengan persepsi dan pemaknaan (meaning) yang ada dalam pikiran (mindset) masing-masing dosen. Nilai-nilai kerja yang menjadi dasar memilih profesi dosen terungkap dari nilai yang sederhana sampai hal-hal yang mulia. Keanekaragaman nilai kerja yang dimiliki dosen sudah ada sebelum yang bersangkutan menjadi dosen UNP. Kesimpulan ini didukung oleh proposisi (P.1) Nilai-nilai yang mendorong seseorang memilih pekerjan menjadi dosen beranekaragam mulai mengharapkan penghasilan sampai bernilaikan ibadah.
Pilihan nilai kerja yang dipilih masing-masing dosen, menurut Schwartz (1987;550-562) bisa muncul karena adanya minat kolektif (benevolence, tradition, conformity) atau adanya prioritas personal (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau dorongan kedua-duanya (universalism, security). Nilai kerja yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya “diinginkan”, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan dosen mempengaruhi pemilihan perilaku kerja yang tersusun berdasarkan derajat kepentingannya (Danandjaja, 1985;87).
Sumber nilai kerja dosen UNP yang beranekaragam tertanam sebelum menjadi dosen teramati dilakukan oleh banyak pihak, sebagaimana didukung proposisi (P.2) Sebelum menjadi dosen, banyak pihak yang berkontribusi dalam penanaman nilai kerja antara lain orang tua, tokoh identifikasi dan tokoh agama/ tokoh masyarakat lainnya.
Sejalan dengan temuan penelitian, Feather (1994;183-189) menjelaskan nilai kerja individu biasanya mengacu pada kelompok sosial dominan yang memiliki nilai tertentu, misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja atau melalui pengalaman pribadi yang unik.
Salvatore (1989;1989;63) juga menjelaskan berbagai potensi kekuatan nilai terbentuk pada seseorang terdiri faktor sosial, budaya, agama, keluarga, & keturunan. Peneliti memodifikasi faktor di atas yang turut mewarnai nilai kerja dosen, bisa dilihat pada gambar 2
Gambar 3. Kekuatan-kekuatan yang Mewarnai Nilai Kerja Dosen
Seorang manajer pendidikan tinggi mesti memahami dosen yang dipimpinnya memiliki nilai-nilai kerja seperti apa?. Sergiovanni & Corbally (1989;16) menyatakan bahwa teori perspektif kultural relevan dengan pembentukan nilai-nilai budaya kerja dosen. Institusi perguruan tinggi harus dilihat sebagai kegiatan yang mempunyai perspektif ganda (a multiple-perspective activity), diantaranya dipandang sebagai hasil kebudayaan sekaligus berperan melaksanakan kegiatan/tugas administratif.
Untuk itu, institusi kerja dipandang dari aspek kultural perlu memberikan tekanan pada hal-hal unik menggunakan pendekatan dari bawah (grass-roots approach). UNP secara natural telah melakukan penekanan kultural dengan memberikan otonomi pada pimpinan jurusan sebagai struktur organisasi yang terendah berperan lebih dalam pembentukan budaya kerja pada calon dosen yang akan diterimanya.
Proses tertanamnya nilai-nilai kerja dosen UNP berlangsung dalam waktu yang tidak singkat. Sejak dini, sampai menjadi dosen banyak pihak yang berkontribusi mengintrodusir nilai kerja dengan latar tempat yang bervariasi. Kesimpulan ini didukung proposisi (P.3) Proses penanaman nilai kerja berlangsung dalam waktu yang cukup panjang. Dalam perspektif kultural dosen memahami nilai-nilai kerjanya tidak dapat lepas dari situasi unik instititusi kerja yang menjadi bagian keyakinan masing-masing dosen sebagai pribadi dalam interelasi kolegial.
Richard L. Daft dalam Kasali (1999;12) menyatakan budaya kerja institusi merupakan penerapan nilai-nilai komunitas yang terikat kerja dengan intitusi. Budaya kerja institusi dibangun dalam dua lapisan, pertama lapisan yang mudah dilihat seringkali dianggap mewakili budaya institusi secara menyeluruh dikenal dengan visible artifact, terdiri dari cara dosen berperilaku, berbicara, simbol-simbol yang digunakan dalam keseharian. Sedangkan lapisan kedua nilai, filosofi, asumsi, dasar, kepercayaan dan prinsip kerja orang yang ada di dalamnya. Lapisan kedua inilah mewarnai budaya kerja dosen menjadi beranekaragam.
Keragamanan nilai kerja ini memberikan pemahaman ada sebagian dari nilai tersebut belum memadai untuk menekuni profesi dosen, untuk itu diperlukan pengawasan & pembinaan kerja dosen. Kesimpulan ini di dukung proposisi (P.4) Kerja dosen diawasi secara proporsional dan profesional karena substansi kerja mereka masih beranekaragam.
Ansharullah (1996;60) merekomendasikan syarat-syarat seseorang menjadi dosen; a) berminat karena menghargai pekerjaan dosen, b) memutuskan menjadi dosen atas kemauan mengembangkan diri, c) kepuasaan menjadi dosen bukan semata-mata karena faktor finansial, melainkan memperoleh hasil kerja yang baik, pergaulan harmoni dengan stakeholder perguruan tinggi. Persyaratan kemampuan dan nilai yang dimiliki dosen dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam melaksanakan pekerjaan, seperti dalam sebuah model metodologis di-kembangkan J.M. Soebijanta dalam Ndraha (1997;18) sebagai berikut
Nilai Sikap Tingkah Laku
Gambar 4 Nilai sebagai variabel bebas dalam model metodologis
Untuk itu, peran kepemimpinan rektor dalam pembentukan budaya kerja dosen didistribusikan melalui pendelegasian wewenang pada pimpinan bawah (lower management) yang diwakili oleh pimpinan jurusan/program studi. Penanaman nilai utama dalam bekerja yang dijadikan pegangan dalam merekrut dosen baru di UNP, didukung proposisi (P.5) Nilai kerja terbentuk atas peran pimpinan puncak sebagai pemegang otoritas sebagian perannya didelegasikan pada pimpinan jurusan, dalam rekruitmen.
Proses penanaman nilai-nilai kerja itu dikenal dengan proses sosialisasi, yang merupakan suatu kegiatan pimpinan jurusan/program studi mengadaptasi para calon dosen baru dengan budaya kerja institusi yang akan diberlakukan. Goldhar dan Barnet dalam Mulyono (2003;23) menjelaskan proses sosialisasi terdiri dari tiga tahap, antara lain kedatangan, perjumpaan dan metamorphosis menghasilkan komitmen yang memiliki nilai-nilai loyalitas, kepatuhan dan keber-samaan.
Teknik penanaman budaya kerja dosen baru, nilai-nilai yang ditanamkan oleh pimpinan jurusan menurut Ndraha (1999;83) bisa dilakukan melalui kegiatan didaktik-metodik pembinaan, pengarahan, pelatihan, dan brainwashing. Di UNP nilai-nilai kerja yang ditanamkan kepada calon dosen dalam rangka membentuk identitas dan peningkatan produktivitas kerja. Kesimpulan ini didukung oleh proposisi (P.6) proses rekruitmen dosen merupakan kesempatan sangat penting menanamkan nilai kerja menjadi dosen berupa keber-samaan, kepatuhan dan loyalitas.
Untuk mendukung hal itu disosialisasikan suatu pemahaman bersama semua pimpinan jurusan memiliki kewenangan yang sama dalam rekruitmen dosen sebagai “entry point” dalam pembentukan nilai bagi dosen baru, sebagai mana proposisi (P.7) calon dosen yang diterima atau tidak, kewenangan akhir ada sama pimpinan jurusan dan berlaku untuk sama. Nilai itu, berfungsi sebagai dasar membuat judgment baik dan buruknya perilaku kerja yang ditampilkan dosen dan menjadi nilai penggerak (value driven) bagi institusi. Disamping itu, nilai juga menduduki tempat yang penting dalam aktivitas kerja dosen dimana nilai berperan sebagai pendorong, pedoman dalam bekerja (Ambroise, 2000;20).
Pimpinan jurusan yang melaksanakan sosialisasi nilai-nilai kerja institusi umumnya berada dalam kelompok koalisi. Proses ini sejalan dengan penamanan nilai kerja dengan model “Cagliardi” melalui 1) nilai-nilai dasar dari koalisi dominan (basic values of the dominant coalition), 2) strategi primer (the primary strategy) dan 3) strategi sekunder atau secondary strategies (Munandar, 2001;265-266).
Lebih lanjut strategi primer dari koalisi dominan adalah mempertahankan jati diri (identitas) budaya kerja, dengan cara menyebarluaskan nilai-nilai dominan berupa kepatuhan, loyalitas dan kebersamaan pada banyak dosen yang dipimpinnya. Sejauh ini strategi primer berhasil dilaksanakan di kepemimpinan rektor UNP. Terbukti mampu mempertahankan kekuasaan dan kendalinya sampai periode kedua. Strategi primer ini didukung perangkat value, rasionalitas dan pembenaran dari kebijakan, praktek dan keputusan pimpinan institusi yang penting seperti promosi dosen untuk jabatan struktural. Strategi primer diimplementasikan dengan menterjemahkan nilai-nilai dari koalisi dominan ke dalam praktek, kebijakan dan produk layanan jasa yang diberikan kepada stakeholders UNP.
Pencerahan tentang cara-cara bersaing, orientasi kerja, dan pandangan tentang kendali atau control dosen merupakan strategi sekunder. Contohnya, strategi ekspresif menyalami dosen, mengucapkan salam dan bertanya keadaannya juga turut membangun kekuatan nilai koalisi dominan yang sedang berkuasa. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan teoritik berikut ini:
Nilai budaya kerja dosen mengukuhkan hubungan internal institusi dan mendorong dosen bekerja lebih efektif dan professional, dimaknai sebagai suatu keunggulan dan strategi institusi.Nilai kerja dapat ditanamkan sejak dini kepada dosen melalui sosialisasi, pembinaan dan pengkaderan.Pembentukan nilai kerja dosen sejalan dengan teori perspektif kultural yang memandang perguruan tinggi sebagai hasil kebudayaan dan pelaksana administratif kegiatan tridharma perguruan tinggi, menekankan perlunya grass-roots approach dengan memberikan kewenangan pada struktur organisasi terendah yakni jurusan dan program studi.Penanaman budaya kerja dosen UNP mengadopsi model Cagliardi dengan memberikan otonomi pada jurusan terbukti cocok dalam menanamkan budaya kerja yang solid, loyal, dan setia.
Peran Kepemimpinan Rektor dalam Pembinaan Budaya Kerja Dosen UNP
Peran kepemimpinan rektor UNP sangat strategis dalam menamankan nilai-nilai, tradisi kerja dosen. Nilai-nilai yang ditanamkan, nilai kebersamaan, kepatuhan dan loyalitas, sebagai didukung proposisi (P.8)kepemimpinan puncak memiliki peran untuk mewujudkan, membina, menanamkan nilai, prinsip budaya kerja.
Membudayakan nilai-nilai kerja dosen maupun mensosialisasikan visi misi UNP oleh rektor tidak cukup dengan kata-kata, apalagi komando yang bersifat memerintah. Rektor harus berpikir bahwa bekerja dan hidup dalam suasana keterbukaan dan kebersamaan dengan orang-orang yang di pimpinnya yang berada dalam kelompok komunitas cerdas, kritis dan berpengetahuan tidak bisa dengan kata-kata saja. Mereka perlu diberi kesempatan untuk menyaksikan apa yang dikerjakan rektor dan apa cita-cita ke depan yang akan dicapai institusinya. Kesaksian itu pada saatnya mempengaruhi cara berpikir, perasaan dan perilaku dosen yang dipimpinnya, sehingga masing-masing secara sadar bisa mengambil keputusan mengubah perilakunya untuk bekerja maksimal dan berkualitas.
Kuncinya perubahan budaya kerja perlu dikelola agar berjalan dengan baik sekaligus didukung pimpinan menerapkan keadilan (eguity) dalam memberikan perlakuan kepada semua dosen. Gibson dan Donelly memandang bahwa seseorang dalam bekerja terpengaruh dengan situasi seperti penghasilan yang berimbang dengan penghasilan rekan kerjanya (Luthan, 2006; 290).
Sujak (1990;370) merekomendasikan bahwa untuk mendorong perubahan budaya yang positif dalam institusi, pekerjaan harus didasarkan pada pola: 1) prestasi kerja adalah segala-galanya, 2) tidak ada pemisahan dosen dalam kelompok yang berpredikat senior, 3) ketidakhadiran, kelambanan, sikap malas tidak akan ditolerir, 4) target nyata yang membanggakan harus mereka hasilkan. Dalam hal ini pimpinan puncak mesti bersikap adil terapkan aturan, kebijakan yang dibuat, supaya tidak memunculkan konflik.
Selanjutnya penjelasan di atas dihipotesiskan bahwa pimpinan puncak memegang peranan penting dalam pembinaan nilai, tradisi dan kebiasaan kerja dosen. Untuk mewujudkan itu nilai perlu dijadikan sebagai alat manajemen strategik (strategic management) institusi pendidikan. Cara praktis, nilai disosialisasikan kepada segenap dosen yang bekerja di UNP terutama dimulai dari dosen yang mendukung kepemimpinannya. Mulyadi dan Setyawan (2000;12) menyatakan strategi dalam konsep manajemen adalah cara yang dipilih oleh pimpinan puncak untuk mewujudkan hasil kerja dosen yang sesuai dengan visi, misi dan tujuan institusi. Proses pembinaan nilai kerja dosen didukung proposisi (P.9) dosen yang mempunyai nilai loyalitas, kebersamaan, dan kepatuhan di angkat menjadi pejabat dan diberikan fasilitas.
Peran lain yang dilakukan rektor dalam pembinaan nilai-nilai budaya kerja adalah mengingatkan dosen yang dipimpinnya secara berulang-ulang dalam berbagai kesempatan dan forum yang relevan, agar ada kesadaran dan keikhlasan dosen untuk berubah cara kerjanya ke arah yang lebih baik. Motivasinya adalah hari ini lebih baik dari kemaren, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Kegigihan dan kemauan rektor dalam memberikan pembinaan kerja pada dosennya, dukung oleh proposisi (P.10) kepemimpinan puncak tidak bosan-bosan mengingatkan supaya dosen serius meningkatkan kerja, mengajar, menulis, meneliti dan mengabdi. Pendekatan yang dilakukan pimpinan puncak UNP disebut memimpin dengan “Nudge”.
Istilah nudge memang belum populer di kalangan akademisi. Karena manajemen nudge pertama kali dipopulerkan oleh Cheef Executive Officer (CEO) Walt Disney, Michael Eisner. Menurutnya, manajemen nudge adalah salah satu peran yang bisa dilakukan pimpinan puncak. Nudge dalam kamus Webster dan Oxford diartikan sentuhan (dorongan) lembut dari pimpinan puncak dengan bantuan fisik untuk menarik perhatian dan membangun empati dosen yang dipimpin (Fahmi Mu’thi, 2000;27) Eisner memaknai “nudge” sebagai aktivitas pimpinan puncak mengingatkan orang yang dipimpinnya berulang-ulang akan suatu gagasan, program, ide dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan, sampai gagasan melekat di kepala orang yang dipimpinya dan akhirnya menjadi kenyataan. Penulis menilai, ini penting dilakukan oleh manajer pendidikan tinggi untuk menjelaskan berbagai gagasan, program, nilai kerja yang baik agar mereka yang dipimpin tidak mudah melupakan. Caranya, mengingatkan dan me-nanyakan berulang-ulang apa yang ingin dicapai pimpinan (Nudging).
Kepemimpinan Nudging rektor UNP menjadi kunci sukses terpilihnya periode kedua. Hal ini didukung pernyataan mantan dosen UNP yang menjelaskan bahwa rektor UNP sering kali bertemu dan menyampaikan pesan-pesan moral untuk rajin menulis, meneliti bahkan bertanya apa kesulitan yang dihadapi. Inilah yang memunculkan energi simpati dan menjadi daya gerak melakukan kerja lebih baik.
Kepemimpinan nudging yang diperankan pimpinan puncak UNP selaras dengan filosofi “tungku tiga sejarangan”, yang memiliki makna kepemimpinan partisipatif. Dimana keputusan, program kerja dan kegiatan institusi tidak hanya diputuskan oleh seorang rektor melainkan melibatkan elemen pembantu lainnya. Realisasi filosofi “tungku tiga sejarangan” teramati dari tidak adanya PR dan staf yang diganti selama kepemimpinannya maupun yang mengundurkan. indikasi kepemimpinan partisipatif di kalangan pimpinan puncak terjaga dan solid sehingga tidak mudah digembosi maupun dimasuki kekuatan yang tidak menyenangi kepemimpinannya. Ini terbukti kepemimpinan rektor UNP periode kedua terpilih kembali. Padahal penunjukkan pembantu rektor pada pemilihan pertama menimbulkan kontroversi dan konflik luar biasa hebat.
Kepemimpinan nudging rektor UNP mempunyai makna yang lebih dalam bukan hanya membangun tim kerja yang solid, melainkan dalam rangka merealisasikan misi institusi. Usaha rektor menanamkan kerja jadi dosen bernilaikan ibadah memberikan suatu keunikan nilai yang transcendental. Karena dari kontek religius, mengikuti pesan-pesan pimpinan adalah suatu kewajiban bagi orang yang dipimpin, sebagai-mana disebutkan dalam Al-qur’an, Surat An-Nisa’ ayat 59 :
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ Ø¢ÙŽÙ…ÙŽÙ†Ùوا Ø£ÙŽØ·ÙيعÙوا اللَّهَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ·ÙيعÙوا الرَّسÙولَ ÙˆÙŽØ£ÙولÙÙŠ الْأَمْر٠مÙنْكÙمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”
Makna yang terkandung dalam ayat di atas adalah taat kepada pemimpin merupakan implikasi dari nilai-nilai kerja yang berlandaskan tauhid dan mengharapkan amal ibadah dari Allah SWT.
Uraian di atas dapat diambil kesimpulan teoritik berkenaan peran kepemimpinan rektor dalam pembinaan budaya kerja dosen :
Kepemimpinan rektor memegang peran strategis dalam pembinaan dan sosialisasi budaya kerja dosen yang dipimpinnya.Keanekaragaman nilai kerja dosen memerlukan intervensi, control dari pimpinan puncak sekaligus pembinaan nilai-nilai kerja yang diyakini & menjadi acuan institusi.Rektor berperan sebagai pengembang, pembaharu budaya kerja dosen yang dipimpinnya, untuk itu kebijakan dan keputusan yang diambilnya memiliki nilai-nilai keadilan (eguity) serta berperilaku sama dengan apa dikatakannya (pemimpin yang jujur)Kepemimpinan “nudge” selaras dengan makna tungku tiga sejarangan bisa diterapkan dalam usaha mewujudkan dan menanamkan nilai-nilai budaya kerja kepada dosen dalam meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi untuk mensupport kepemimpinan puncak dalam menjalankan visi, misi & program kerja institusi
Budaya Kerja dalam Konteks Manajemen Pendidikan Tinggi
Budaya kerja dosen, terdiri dari nilai, sikap dan kebiasaan yang beraneka ragam dalam konteks manajemen pendidikan tinggi relevan untuk dipahami. Pertama, disadari dosen bekerja dengan berbagai property budaya yang melekat dalam dirinya tidaklah sama. Hal ini juga melahirkan “keBhinnekaan Tunggal Ika”. Manajemen pendidikan tinggi sebagai kegiatan pembagian pekerjaan dan pengkoordinasian SDM yang terlibat dalam kegiatan tridharma perguruan tinggi, mau tidak mau bukan saja memperhatikan psyche dosen yang dikelola terhadap tugas yang diembannya dan lingkungan kerja, namun perlu memberikan kesadaran (awardness) akan budaya dosen yang ditampilkannya.
Usaha pencapaian tujuan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, penyediaan teknologi dan segi-segi teknis manajemen saja tidak cukup. Manajemen pendidikan tinggi dewasa ini justru perlu melakukan terobosan yang spektakuler dan luar biasa melalui pendekatan humanistik dan kultural, karena ini dianggap yang terbaik demi mencapai efisiensi yang lebih tinggi. Disamping itu pendekatan ini akan lebih terlibat dalam usaha menyesuaikan trust, value system yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, motivasi ekonomi, dan sosial dari pada dosen yang dikelola.
Dosen dalam melaksanakan pencapaian tujuan tridharma perguru-an tinggi makin lama makin banyak perbedaan, baiki sudut pandang, teknis & nilai yang mewarnai jalan pikirannya. Oleh Drucker (1998;46) profesi dosen sebagai miniatur bentuk masyarakat new pluralism.
Suatu resep yang realistis untuk diterapkan dalam perwujudan budaya kerja dalam kontek manajemen pendidikan tinggi adalah melaksanakan “trial and error” dan dan analisis mendalam terhadap budaya kerja dosen yang dikelola. Semuanya ditentukan oleh situasi total-objektif yang terdiri dari unsur personal, pimpinan puncak, dosen, dinamika kerja, kelompok kerja, teknologi yang dipergunakan, daerah asal, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, bahasa, kehidupan sosial lainnya. Ini berarti tidak akan ada dua perguruan tinggi yang dapat dikelola menurut resep yang sama, karena disebabkan situasi total-obyektif yang berbeda-beda merupakan resultante dari vector-vektor dan gaya serta pengaruh masing-masing dosen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan yang disajikan dapat disimpulkan, Pertama, terbentuknya nilai budaya kerja mendorong dosen bekerja lebih produktif, efektif dan professional. Penanamannya dilakukan sejak proses rekruitmen, dan dilanjutkan pembinaan dengan mempertimbangkan aspek kogniitif, afektif dan psikomotor agar terdapat keseimbangan jasmani dan rohani dalam penampilan kerja dosen, Kedua, kepemimpinan puncak memegang peran strategis dalam pembentukan dan sosialisasi budaya kerja. Sekaligus membentuk unit kerja yang bertugas khusus menanamkan nilai-nilai institusi yang mesti dimiliki setiap dosen membentuk identitas institusi yang dikenal dengan kepemimpinan nudge, Ketiga, Mutu kerja dosen sebagai salah satu wujud dari penampilan kerja dosen bisa dilaksanakan apabila didukung oleh semua komponen (elemen) perguruan tinggi baik yang tampak (tangible) maupun yang tidak tampak (intangible), antara lain nilai-nilai kerja yang dimiliki masing-masing dosen, filosofi kerja institusi, visi, misi, rencana strategic (renstra), tanggungjawab dosen dan pimpinan puncak UNP yang mendukung terbentuknya budaya kerja dosen dengan menanamkan nilai-nilai, kebersamaan, loyalitas kepatuhan, prestasi kerja, kesadaran budaya, dan belajar pada alam sepanjang waktu, Keempat secara komprehensif penelitian ini menemukan Grand Theory budaya kerja dosen UNP tumbuh dan berkembang dari kepemimpinan nudge yang ditampilkan.
Saran-Saran
Saran-saran yang relevan untuk disampaikan, Pertama, pembinaan budaya kerja dosen perlu ditingkatkan dan diorganisir secara baik dan terstruktur dalam rangka meningkatkan hasil kerja dosen. Kedua, Membangun budaya kerja dosen, sama saja dengan mengembangkan kepribadian setiap dosen dalam bersikap positif, professional terhadap pekerjaannya dengan menampilkan kepemimpinan nudge oleh rektor.
Daftar Kepustakaan
Ambroise, Yvon. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: PT Gramedia, 2000.
Anon. Peningkatan Kinerja Pegawai dan Dosen di Perguruan Tinggi, http://www.scribd.com/ doc./peningkatan-kinerja-pegawai-dan-dosen-di-perguruan-tinggi, Diakses tanggal 10 Februari 2005.
Ansharullah, A. dan kawan-kawan, Pentingnya pengembangan dosen dalam meningkatkan proses belajar mengajar di perguruan tinggi, presented in a seminar and workshop entitled; Improving Teaching and Learning in Higher Education; Indonesian-Australia Experience, Malang: Brawijaya University, 16-18 January 1996.
Bogdan, R., dan Biklen, S.K. Qualitative Research for Education and Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, 1998.
Bogdan, Robert and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods; The Search for Meaning, (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1984
Depdikbud RI. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: Dirjend Dikti Depdikbud RI, 1999
Drucker, Peter F. Technology Management and Society, London: Panbooks, 1998.
Feather, N. T. Dalam Lonner, Walter J.; Malpass, Roy S. (Ed.), Psychology and Culture, Massachusetts: Allyn & Bacon, 1994.
Glesne, Corrine and Alan Peshkin. Becoming Qualitative Researchs; An Introduction, New York: Wesley Longman, Inc., 1999
Hasri, Salfen, Manajemen Pendidikan; Pendekatan Nilai dan Budaya Organisasi, Makasar: Yayasan Pendidikan Makasar, 2004.
Indonesia, HRD. Workplace Culture Special, 2005 http://www.hrd-indo.com/ why.htm. Diakses tanggal 17 Februari 2005.
Kasali, Rhenal, Change; Tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga (manajemen perubahan dan manajemen Harapan), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2010.
Kotter, John P. and James L. Hesket. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press, 1992.
Lincoln, Yvonna S. and Egon G. Guba. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publication, 1982.
Linda dan Richard Eyre. Mengajarkan Nilai-nilai kepada Anak, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Manan, Imran. (a) Dasar-dasar Budaya Pendidikan, Jakarta: P2LPTK, 1989.
--------------------, (b) Pengembangan Budaya Kerja di Lembaga Persekolahan, Padang: Makalah disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Manajemen Pendidikan di IKIP Padang, 1995.
--------------------, (c) Peranan Tungku tigo Sajarangan dalam Era Globalisasi, Padang: Makalah disampaikan pada Simposium dan Lokakarya Internasional II Globalisasi dan Kebudayaan Lokal; Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru, tanggal 18-21 Juli 2001 di Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, 2001.
Miles, Matthew B. and A. Michael Huberman. (a) Qualitative Data Analysis; A sourcebook of New Methods, Beverly Hill, California: Sage Publications, Inc.1985.
Mulyadi dan Setyawan J. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media, 2000.
Munandar, Ashar Sunyoto. Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2001.
Mu’thi, Fahmi. Memimpin dengan “Nudge”, Jakarta: Majalah Manajemen, Bagi Manajer dan Eksekutif, 2000.
Ndraha, Taliziduhu. (a) Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
----------------------------, (b) Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Prawirosentono, Suyadi. Manajemen Sumber Daya Manusia Kebijakan Kinerja Karyawan; Kita Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdangan Bebas, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999
Schwart, S.H., and W. Bilsky. Toward A Universal Psychological Structure of Human Values. Journal of Personality and Social Psychology. No. 53, 1987.
Sergiovanni, T.J., and J.E. Corbally. Leadership and Organizational Culture, Urbana: University of Illionis Press. 1989.
Soehendro, Bambang. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang, Jakarta: Depdikbud Dirjend Dikti, 1996.
Soenarjo. Komitmen Pemimpin,Awal Keberhasilan Budaya Kerja, 2005 http://www.d-infokom-jatim.gi.id/news. php?id= 2494, Diakses tanggal 4 Maret 2005.
Subianto, Djarot. Budaya Kerja Era Digital, Jakarta: PPM Lembaga Manajemen, 2000.
Sujak, Abi. Kepemimpinan Manajer; Eksistensinya dalam Perilaku Organisasi,, Jakarta: Rajawali Pers, 1990
Tamin, Faisal. (a) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/VI/PAN/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, (http://www.pu.go.id/itjend/hukum/ kmpan 25-02.html). diakses tanggal 15 Januari 2004
---------------------, (b) Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara, 2004 (Error! Hyperlink reference not valid.). diakses tanggal 15 Januari 2004
Tim Penyempurnaan Bahan Diklat Prajabatan Golongan III, Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, Jakarta: Pusdiklat Pegawai Depdiknas RI, 2009.
Triguno. Budaya Kerja; Menciptakan Lingkungan yang kondusif untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta: Golden Terayon Press, 1999
Wirawan, Sarlito. (a) Budaya Kerja PNS, 2004 http://www.visi-online.com/ visimag. php? art. id=37. diakses tanggal 16 November 2004.
-----------------------, (b) Pembangunan Kebudayaan Kerja Aparatur Negara; Suatu Kajian Psiko Sosial bagian ke-1, 2005 http://neumann.f20.org/ sarlito/ b-kerja2. htm. diakses tanggal 16 November 2004.
Yin, Robert K. Case Study Research Design and methods, (London: Sage Publication Beverly Hill, 1984.
* Jurusan Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo (Alamat: Jurusan Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo; email arwildayanto@yahoo.co.id).