PENDIDIKAN BERBASIS KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
PENDIDIKAN BERBASIS KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
Oleh Arwildayanto, S.Pd, M.Pd
Proses pendidikan yang ideal seharusnya mencerminkan kehidupan dan kondisi-kondisi sosial suatu masyarakat; karena program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, institusi sosial, hubungan sosial, yang semuanya akan memberikan arah bagi kemajuan dunia pendidikan.
Oleh karena itu aspek sosial sangat penting dalam pendidikan, terutama bagi pemerhati, sekaligus pelaku pendidikan (stakeholders pendidikan). Kajian tentang aspek sosial dalam pendidikan, menurut M.P. Hunt dalam bukunya “Foundation of Education”, bertujuan melihat dan memahami dimensi-dimensi sosial dalam kehidupan masyarakat, dimana mereka hidup dan untuk apa mereka hidup. Kajian tentang kehidupan sosial dalam masyarakat dikaji supaya kita mendapatkan memahami secara menyeluruh (utuh) dan komprehensif tentang aspek sosial serta hubungannya dengan pendidikan yang kita laksanakan
Adapun alasan lain pentingnya kajian sosial dalam pendidikan, adalah menghubungkan pengetahuan kita tentang masyarakat dengan pendidikan sebagai institusi. Kajian ini berguna untuk memelihara sinergitas dan pengembangan masyarakat sekaligus diharapkan kajian ini mampu menghubungkan pemahaman kita yang masih terpecah-pecah menjadi sesuatu yang utuh.
Selanjutnya para pendidik dapat memahami isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat, terutama menyangkut perubahan sosial (modernization development) sebagai bentuk kepedulian dan social control. Disamping itu masyarakat yang pluralistik, multikultural akan cepat memahami berbagai perubahan, agar orang tidak kehilangan pegangan dan arah kehidupan masa depan.
Perhatian pendidikan terhadap fenomena sosial menurut Talcot Parson dalam bukunya Toward a General Theory of Action (1962) menyatakan bahwa a social aspect having the three properties of collective goal, shared goals, and being a single system of interaction with boundaries defined by incumbency in the roles contituting the system, we be called a collectivity. The Action collectivity may be viewed as the action in concert of a plurality of individual actors”. Pemahaman Parson menunjukkan bahwa aspek sosial lebih terfokus pada dimensi kehidupan masyarakat, lembaga sosial dalam masyarakat, serta perbedaan dan peran individu dalam masyarakat. Aspek sosial (kemasyarakatan) merupakan bagian yang penting untuk digali dalam pendidikan, termasuk diperhatikan secara seksama supaya pendidikan tidak menjadi menara gading ditengah masyarakatnya dan melahirkan karakter bangsa berupa muncul kesalehan sosial yang lebih tinggi. Apalagi ditengah hiruk-pikuk bencana alam, ancaman luar neger berupa keamanan negara, perekonomian nasional. Semua fenomena sosial yang terjadi mesti dihadapi dengan meningkatkan kesalehan sosial melalui proses pendidikan yang terintegrasi dengan fenomena sosial yang sesungguhnya.
Kajian aspek sosial dalam pendidikan melahirkan berbagai istilah penting sebagai pencerminan dinamika masyarakat dari dahulu sampai sekarang. Dinamika itu mencerminkan adanya proses perubahan baik yang bersifat evolusioner maupun revolusioner yang terjadi terhadap berbagai unsur-unsur institusi sosial seperti pada sistem norma, personal, dan peralatan fisik. Kesemua aspek-aspek sosial tersebut memberikan peran pengendalian sosial, mendorong orang-orang tertentu untuk bereaksi menentang institusi tertentu (karena sudah usang) dan berusaha merumuskan pola perilaku baru, dan mengharmoniskan berbagai badan dalam konsfigurasi secara keseluruhan. Kajian aspek sosial dalam pendidikan akan mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat. Semua perubahan sosial yang terjadi memiliki tujuan antara lain jangka panjang, penemuan (discovery), penciptaan (invention), penanaman, dokrinasi dan diffusi. Untuk mencapai tujuan itu pendidikan harus mampu mengasah kemampuan kritis generasi muda, dan berupaya menghasilkan orang-orang yang berkemauan untuk merubah atau menciptakan pranata sosial baru yang lebih cocok dengan tuntutan zaman. Konsekuensi dari kemauan itu mengharuskan pendidikan membuka pintu untuk menuju ke dunia modern, dengan menekankan penting pendidikan dilakukan dalam kerangka mengelaborasi berbagai ilmu pengetahuan, melakukan penyesuian nilai-nilai (adjusted) dan sikap-sikap yang mendukung pembangunan, dan penguasaan berbagai keterampilan dalam menggunakan teknologi maju untuk mempercepat proses pembangunan sosial. Produk pendidikan ini berharap hadirnya pranata masyarakat yang menurut Daniel Bell disebut “post-industrial society” atau Information Society yang dipopulerkan oleh John Naisbitt dan Alvin Toffler.
Kehadiran masyarakat Information Society dengan mobilitas yang tinggi memiliki peradaban yang ditandai dengan penggunaan elektronika, komputer, robot, sinar laser, optik, komunikasi, jejaring sosial, energi alternatif, ilmu samudera dan manufaktur di angkasa luar, perekayasaan ekologis, dan pertaniaan ekosistem; semuanya merefleksikan loncatan kualitatif pengetahuan manusia yang sekarang sedang diterjemahkan ke dalam penerapan ekonomi sehari-hari. Perubahan kondisi sosial dalam masyarakat itu lebih dikenal sebagai Revolusi industri kedua atau Gelombang Ketiga Untuk mencapai cita-cita pembangunan menuju masyarakat modernis yang memiliki peradaban, Hagen dalam bukunya On The Theory of the Social Change, How Economic Growth Bagins. memberikan saran-saran supaya pengelolaan pendidikan harus mampu melahirkan manusia yang kreatif ditandai dengan kepribadian yang inovatif, terbuka terhadap pengalaman baru, imajinatif, percaya diri dan yakin pada penilaian sendiri, satisfaction to problem solving, kesadaran akan kewajiban dan tanggungjawab untuk berhasil, smart, proaktif, 7) punya persepsi bahwa dunia ini merupakan tantangan dan orang harus terus-menerus berusaha untuk mencapai keberhasilan.
Pendalaman teori di atas akan memperlihatkan suatu mata rantai hubungan antara struktur sosial dengan tingkah laku orang yang membentuk suatu kepribadian. Dengan kata lain pendidikan berpengaruh dalam membangun kepribadian dari generasi ke generasi berikutnya untuk memahami kondisi sosial masyarakatnya yang ada di lingkungannya. (Dosen Universitas Negeri Gorontalo)
Intervensi Budaya Kerja (Solusi Hadapi Lima Hari Kerja)
INTERVENSI BUDAYA KERJA (Solusi Hadapi Lima Hari Kerja)
Oleh : Arwildayanto
Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov), Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) se-Sumatera Barat menerapkan lima hari kerja menjadi momentum yang tepat dalam melaksanakan “budaya kerja”. Karena menerapkan kebijakan lima hari kerja itu tidak akan bakal sukses kalau tidak menyentuh “cultural values”. Oleh sebab itu perlu dilakukan intervensi kebudayaan dengan harapan berubah perilaku kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) mencapai suatu prestasi yang gemilang dan moralitas yang tinggi.
Dilingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat pada masa lampau dibawah kepemimpinan Gubernur Drs. H. Hasan Basri Durin kebijakan lima hari kerja sudah pernah disosialisasikan. Setelah dilakukan evaluasi ternyata sistem lima hari kerja waktu itu, tidak efektif. Hasil evaluasi ini memberikan penguatan diberlakukan kembali kebijakan dengan enam kerja dalam seminggu. Analisis kita menyimpulkan bahwa kegagalan lima hari kerja masa lalu lebih dominan disebabkan oleh kebijakan tersebut tidak menyentuh nila-nilai kultural (cultural values).
Kegagalan kebijakan lima hari kerja masa lampau ternyata menggunakan pendekatan birokratif (buerocratif approach) yang lebih berisfat top-down dan pendekatan perilaku (behavior approach) seperti pemberian ganjaran—memberi tanda jasa, promosi jabatan, berbagai insentif finansial/materi seperti rumah dinas, mobil dinas maupun hukuman (mutasi, penundaan kenaikan pangkat, DP3 yang jelek—tidak memberikan hasil). Pada masa lampau pendekatan birokratif ini tidak memberikan pencerahan (aufklarung) melainkan suatu intruktif yang mesti dilaksanakan. Sedangkan intruksi yang disampaikan pimpinan itu kadang tidak menjelaskan teknis pelaksanaan lima hari kerja secara detail. Pada akhirnya sistem lima hari kerja mengalami berbagai kendala seperti pulang tidak sesuai dengan jadwal kerja sampai jam 16.00 Wib, tidur dikantor, mushalla atau kantin, bahkan masih tingginya tingkat ketidakhadiran pegawai dalam menambah penghasilan, dan moralitas yang rendah serta akuntabilitas kerja yang rendah.
Sudah beberapa minggu pelaksanaan kebijakan lima hari kerja sudah berjalan. Kita masih melihat belum ada perubahan perilaku yang signifikan kearah perbaikan kerja apalagi mencapai prestasi kerja yang gemilang. Indikasi belum berubahnya perilaku kerja PNS terlihat dari unjuk kerja pegawai Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan banyak PNS yang pulang sebelum jam 16 WIB padahal masyarakat mau membayar pajak kendaraan bermotor. Di Kabupaten 50 Kota seperti dikatakan Sekreatris Daerah Kab 50 Kota Drs Bachtiar Bahar bahwa masih banyak PNS di sana yang tidak masuk kerja dan pulang terlalu cepat. Di Padang terlihatnya dari banyaknya PNS yang berpakaian dinas berbelanja di jam-jam kerja serta di berbagai Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat saat ini “unjuk kerja” PNS belum sesuai dengan harapan kebijakan lima hari kerja tersebut. Padahal dengan lima hari kerja itu akan ada 2 hari bagi PNS untuk menambah penghasilannya atau melakukan urusan keluarga atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Kita kuatir kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Provinsi Sumatera Barat H. Gamawan Fauzi, SH, MM dan diikuti oleh Bupati/Walikota se-Sumatera Barat tidak efektif serta tidak tersosialisasi dengan baik oleh segenap PNS yang ada di Sumatera Barat.
Untuk mencari jalan keluarnya agar kebijakan lima hari kerja yang dilaksanakan Pemprov dan Pemkot/Pemkab sukses, maka tidak salahnya dilakukan intervensi kebudayaan. Karena selama pendekatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah lebih sering menggunakan pendekatan birokrasi dan perilaku. Jarang sekali ranah kebudayaan menjadi perhatian. Kita banyak terjebak mendefenisikan kebudayaan sebagai seni (art), ritual, dan kebiasaan. Padahal ranah kebudayaan merupakan ruang privacy yang bersentuhan dengan values (nilai-nilai) yang diyakininya. Keberhasilan beberapa daerah melaksanakan perbaikan kerja dan meningkatkan prestasi kerja PNS dilingkungan kerjanya tidak luput dari upaya melaksanakan program budaya kerja, seperti keberhasilan Pemprov Jawa Timur, Pemprov Jawa Tengah dan Pemprov D.I. Yoygyakarta serta berbagai Pemerintah Kota Malang, Pemerintah Kota Madium, Pemerintah Kabupaten Bantul dan lainnya. Bahkan keberhasilan negara Malaysiapun keluar dari berbagai krisis karena pemerintahannya menerapkan budaya kerja cemerlang (BKM) sebagai bagian dari intervensi kebudayaan.
Urgensi Budaya Kerja
Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten se-Sumatera Barat hendaknya bisa mengambil pelajaran dari keberhasilan Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten yang ada di Indonesia dalam mengaplikasikan budaya kerja dalam membina PNS yang ada dilingkungan kerjanya. Hal ini sejalan dengan filosofi leluhur masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan “alam terkembang Jadikan Guru”.
Belajar dari keberhasilan Pemerintah Kota Madium yang dipimpin oleh Ahmad Ali (2003) dalam mensosialisasikan budaya kerja dilingkungan kerjanya menyatakan bahwa urgensi penerapan budaya kerja adalah untuk meningkatkatan kinerja aparatur pemerintah melalui pembinaan kerja yang etis, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jawab untuk mewujudkan pemerintah yang baik, clean government dan good government.
Hal senada juga dijelaskan Suprawoto Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Propinsi Jawa Timur (2004) mewakili Gubernur Jawa Timur dalam sambutan membuka acara Bimbingan Teknis (Bintek) Budaya Kerja dilingkungan Pemrov Jawa Timur menyatakan pentingnya budaya kerja bagi PNS untuk meningkatkan motivasi kerja yang tinggi, terampil dan berkepribadian, sehingga mampu mengembangkan prestasi dan menumbuhkembangkan rasa kesetiakawanan dan kerja keras serta berorientasi ke masa depan. Untuk mensosialisasikan budaya kerja bagi kalangan PNS sudah dikeluarkan SK No. 4 Tahun 20004 tentang Budaya Kerja PNS di Pemprov Jawa Timur. Kebijakan Gubernur Jawa Timur itu mengacu pada edaran Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Tanggal 25 April 2002 Nomor 25/Kep/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Dalam surat tersebut dijelaskan pentingnya budaya kerja untuk menumbuh-kembangkan etos kerja, tanggung jawab moral dan guna meningkatkan produktivitas serta kinerja dalam memberikan pelayanan kepada stakeholder institusi tempatnya bekerja. Pertanyaan kita sederhana model pembinaan kerja bagi PNS seperti apa diterapkan Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumatera Barat ? Kenapa SK Menpan tentang Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara tidak disosialisasikan dengan gencar kepada segenap PNS yang ada di Sumatera Barat? Strategi apa yang digalakkan mensukseskan kebijakan lima hari kerja?. Sebagai peneliti saya belum mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dari Pemprov, Pemkot dan Pemkab tentang strategi pembinaan kerja PNS dilingkungan kerjanya tentang pengembangan budaya kerja bagi PNS!
Relevansi Budaya Kerja dan Lima Hari Kerja.
Harapan tersosialisasinya budaya kerja dilingkungan Pemprov Sumbar, Pemkot dan Pemkab ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat esensial, ketika diterapkannya kebijakan lima hari kerja. Harapan ini selaras dengan jam kerja PNS yang semakin singkat dan padat--supaya segenap PNS dapat bekerja maksimal dengan mengedepankan produktivitas kerja yang tinggi sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan lima hari kerja.
Budaya kerja jelas memiliki kaitan yang erat dengan akulturasi budaya yang dimiliki oleh segenap PNS. Pemprov, Pemkot dan Pembkab se-Sumbar perlu merangkul berbagai budaya yang dimiliki oleh masing-masing pribadi PNS dan berharap ia bekerja semaksimal mungkin sesuai dengan fungsi, kewenangan dan tanggungjawabnya. Keberhasilan menerapkan budaya kerja oleh Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumbar memang memerlukan waktu yang tidak sedikit, namun kebijakan mensosialisasikan budaya kerja jangan sampai sirna oleh lamanya sosialisasinya. Pemprov, Pemkot dan Pemkab harus berpikir keberlanjutan pemerintahan ke depan, jangan berpikir masa pendek serta instans. Pertanyaan yang perlu dijawab dengan bijak adalah kenapa orang Jepang begitu tekun bekerjanya? Kenapa orang Jawa begitu rajin dalam bekerja? Ternyata jawabannya adalah pembinaan kerja dilakukan dengan pendekatan budaya (kultural approach). Pendekatan budaya menjadi senjata yang sangat ampuh dalam meningkatkan nilai-nilai disiplin, rajin, ulet, rapi, dan bertanggungjawab.
Pembinaan PNS melalui pendekatan budaya memberikan pemahaman tentang budaya sebagai kajian antroplolog dimana budaya itu sebagai bentuk (body) dari pengetahuan dan piranti (tools) dimana orang beradaptasi terhadap lingkungan fisik. Budaya disini berarti sarana berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan cara-cara yang benar dan etis. Sedangkan dari sudut pandang sosiolog budaya dikatakan sebagai ekspektasi yang bersifat instruktif. Budaya tidak hanya mengatakan bagaimana orang seharusnya bertindak, tetapi juga menyatakan apa yang dapat harapkan dari orang lain.
Steers dan Porter (1991) menjelaskan pendekatan budaya terhadap PNS menjadikan budaya sebagai sistem pengendalian sosial yang mampu membentuk pola keyakinan dan harapan yang dianut bersama oleh PNS. Keyakinan dan harapan ini menghasilkan norma-norma yang mampu membentuk perilaku seseorang dan perilaku kelompok PNS dalam bekerja. Berkaitan dengan perbaikan kinerja PNS, budaya mengandung norma dan nilai yang dapat membantu institusi (organisasi) pemerintah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah yang disebut “budaya adaptif”.
Pendekatan budaya kerja berorientasi pada pembentukan sikap, ketaatan, kepatuhan, terhadap norma-norma, etika, yang menjadi aturan dan berlaku dalam melaksanakan aktivitas tugas baik fisik maupun mental untuk menghasilkan barang atau jasa dalam suatu institusi (organisasi). Dalam konteks bekerja atau bertugas sebagai PNS, budaya kerja menjadi faktor utama dalam menentukan maju atau mundurnya sebuah organisasi pemerintah.
Relevansi budaya kerja dengan kebijakan lima hari kerja merupakan suatu sinkronisasi pola kebiasaan yang didasarkan cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap kerja yang mewarnai suasana hati dan keyakinan yang kuat atas nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya dalam bentuk prestasi kerja. Relevansi budaya kerja dan kebijakan lima hari kerja memberikan pemahaman bahwa budaya kerja sebagai prinsip-prinsip yang diyakini baik dan benar dalam mencapai tujuan institusi. Budaya kerja menjadi landasan setiap kebijakan dan aturan, serta mengarahkan perilaku PNS di dalam bekerja terutama mengatur jam kerja secara efektif dan efisien. Sasaran penerapan budaya kerja dalam kerangka mensukseskan kebijakan lima hari kerja mempertahankan nilai-nilai dan tingkah laku positif dan menerima serta menyesuaikan nilai-nilai positif dari berbagai organisasi yang baik performance-nya (world class operator/activity).
Dengan demikian aplikasi budaya kerja oleh PNS dalam mensukseskan kebijakan lima hari kerja diyakini akan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kekuatan pendorong kerja dan perilaku yang menghasilkan wujud kerja PNS untuk selalu bekerja secara baik sesuai dengan tuntutan zaman. Sosialiasasi budaya kerja bagi PNS itu tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, papan (perumahan), keamanan (keselamatan), melainkan juga suatu pemenuhan kebutuhan untuk diakui, dihargai dan mencapai aktualisasi diri yang sempurna dan prestasi maksimal sebagai abdi negara.
Untuk menentukan keberhasilan program budaya kerja dikalangan PNS yang ada di lingkungan Pemprov, Pemkot dan Pemkab se-Sumatera Barat, dapat dilihat dari karekteristik nilai-nilai pribadi PNS yang memiliki budaya kerja sebagai berikut : 1). Menyukai kebebasan, diskusi, inovatif dan faktual dalam usaha mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada pada dirinya dengan kerendahan hati, keinsyafan serta daya imajinasi seteliti dan seobjektif mungkin, 2) Memecahkan masalah secara mandiri dengan skill dan scientific knowlegde, dibangkitkan oleh ide, pemikiran yang kreatif, proaktif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan. 3). Adjusted of environment baik dari segi spirrituil value maupun ethic standard yang fundamental untuk menyerasikan personality dan morale charachter, 4) Meningkatkan diri dengan pengetahuan umum dan keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam bidangnya, 5). Menghargai lingkungan alam, ekonomi, status sosial, politik, budaya, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai kondisi yang harus ada, 6). Berpartisipasi dengan loyality pada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat, dan bangsanya penuh tanggungjawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya, serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang beraksi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin.
Intervensi nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada setiap pribadi PNS dalam mencapai PNS yang memiliki budaya kerja adalah nilai etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, dibangun atas nilai-nilai institusi, sistem kerja, sikap dan perilaku kerja serta menghargai lingkungan budaya lokal yang ada disekitar tempat bekerja. (Arwildayanto adalah Kandidat Doktor Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta).
Pernah dipublikaskan di Harian Umum Singgalang.
http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=54
Etika Bisnis Transportasi Publik
ETIKA BISNIS TRANSPORTASI PUBLIK
Oleh Arwildayanto
(Wakil Sekjen DPP IKPS)
Padang, Singgalang.
Hampir disemua kota besar di Indonesia termasuk Kota Padang masalah transportasi menjadi sebuah dilema yang perlu dicermati secara bijak oleh pemerintah kota. Masalah transportasi di Kota Padang memang menjadi suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Namun perbedaan masalah tetap saja menjadi sebuah masalah dalam urusan transportasi publik (public transportation).
Orang bijak selalu berpikir bahwa pembeli (buyer) pelanggan (customer/user) itu adalah raja (king). Posisi pembeli, pengguna, maupun pelanggan sangat menentukan survice atau tidak, laku atau tidak barang atau jasa yang ditawarkannya. Sehingga dunia usaha dari berbagai bidang produksi barang atau jasa selalu mengembangkan diri dan berusaha memanjakan pelanggannya sebaik mungkin untuk mencapai kepuasaan ( customer satisfaction). Kita bisa menyaksikan dan merasakan berbagai kompetisi dari berbagai Bank milik swasta atau milik pemerintah yang berusaha memanjakan nasabahnya dengan berbagai fasilitas, kemudahan dan pelayan prima. Begitu juga perusahaan di bidang telekomunikasi, seperti PT Telkom, Indosat, XL berpacu memberikan berbagai fasilitas yang menggiurkan pelanggannya. Kompetisi (competition) antar perusahaan itu justru menguntungkan pelanggannya dengan memberikan pelayanan terbaik (exellent service). Pertanyaan kita sangat sederhana, apakah competition seperti perusahaan perbankan, telekomunikasi di atas dapat kita nikmati dalam urusan transportation public khususnya di Kota Padang ini? Jawaban sederhana adalah pelayanan transportasi publik di kota Padang masih jauh dari harapan publik. Kita masih sulit mendapatkan pelayanan terbaik dari pelaku bisnis yang bergerak di bidang transportasi publik.
Untuk membuktikan kebenaran asumsi dan jawaban sederhana di atas, maka dilakukan berbagai penelusuran dan survey (pengamatan) terhadap urusan transportasi publik dari berbagai sisi. Dari penulusuran dan survey yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama, kita menemukan beberapa fenomena antara lain : 1) Pemakaian sound system untuk musik dengan suara yang sangat keras diluar ambang batas pendengaran (full music), hal ini terjadi hampir di seluruh trayek di Kota Padang seperti Pasar Raya-Pegambiran, Lubuk Buaya dan Indarung. 2). Keamanan penumpang yang sangat rawan dari pencopetan ini terjadi hampir pada semua Bis kota baik melalui jalur Khatib Sulaiman, Kampus Unand Limau Manis, maupun Indarung, 3) Tidak diberlakukannya Argo Taksi, 4) Banyaknya calo penumpang pesawat udara di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). 5) Kenaikan ongkos transportasi yang tidak mengikuti petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dari keputusan Menteri Perhubungan, Gubernur Sumatera Barat maupun Walikota Padang.
Full music
Penggunaan sound system untuk musik sebuah armada transportasi publik di kota Padang sepertinya sudah menjadi kebutuhan. Values (nilai-nilai) yang sudah sudah melekat dalam pikiran setiap sopir baik mikrolet maupun biskota bahwa tidak ada musik, tidak ada sound system yang memadai—diyakini penumpang yang mau naik di kendaraannya akan berkurang. Hasil survey menunjukkan suatu kontradiktif pemikiran seorang sopir dengan berbagai keluhan penumpang. Tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah penumpang dengan musik yang digunakan apalagi dengan suara yang amat keras di luar ambang batas pendengaran manusia biasa. Keluhan dari penumpang akibat penggunaan musik yang terlalu keras tersebut, sebenarnya sudah sering disampaikan oleh penumpang kepada para sopir, namun mereka tidak menghiraukan keluhan penumpang. Bahkan ada sopir yang berani memaki-maki penumpang karena tidak mau memperkecil suara sound system yang digunakannya. Dengan entengnya sopir tersebut mengatakan “kalau tidak mau mendengar musiknya, silahkan saja turun, masih banyak penumpang lain yang mau ikut dengan mikrolet atau biskota ini”. Bagi penumpang keluhan seperti ini tidak bisa dielakkan. Karena hampir semua kendaraan umum di Kota Padang ini yang memiliki sound system dengan suara musiknya sangat keras sekali. Bahkan getaran speakernya bisa membuat jantung tidak normal. Penumpang hanya bisa bertahan dengan kekesalan yang harus ditahan sendiri karena tidak ada pilihan armada transportasi yang menyuguhkan pelayanan transportasi dengan musik yang menyejukkan.
Fenomena sosial transportasi publik dengan konsep full music memang satu-satunya terjadi di Kota Padang. Uniknya musik-musik dengan dentungan speaker yang maha dahsyat lebih banyak menyuguhkan aliran musik kebarat-baratan (westernisasi). Fenomena ini dalam kajian psikologis sosial sebagai penyimpangan mentalitas. Artinya musik sebagai sarana hiburan tidak lagi memberikan kenyamanan justru merusak alat dengar manusia. Musik yang mencerdaskan bukan terletak pada suara yang keras. Melainkan terletak pada makna, pesan yang disampaikan dengan perpaduan irama dan vokal yang seimbang.
Musik yang dibunyikan terlalu keras di dalam ruang publik seperti di dalam Mikrolet dan Biskota tentu tidaklah menjadi pilihan populer. Penggunaan musik yang terlalu keras jelas-jelas telah melanggar hak-hak publik mendapatkan ketenangan dan kenyamanan. Sopir sebagai penyedia layanan transportasi publik harus memperhatikan dengan bijak hak-hak penumpang mendapatkan kenyaman, ketenangannya dan kesehatan para penumpang. Sopir tidak bisa seenaknya menggunakan musik dengan suara yang keras padahal penumpangnya tidak sanggup mendengarkan musik seperti. Kalau sopir tidak memperhatikan hak-hak penumpang, maka sopir bisa jadi sudah melanggar hak-hak asasi manusia memenuhi rasa keadilan. Untuk mengatur ketentuan hak-hak publik di atas armada transportasi publik perlu dibuatkan suatu aturan hukum yang mengikat, kalau tidak fenomena sosial ini akan tetap berkelanjutan. Kita tentunya tidak berkeinginan generasi kita hidup dengan budaya kebarat-baratan, musiknya keras, pendengarannya terganggu (rusak). Solusi keluar dari fenomena ini tentunya mensosialisasikan penggunaan musik secara proporsional sesuai dengan besarnya mikrolet dan biskota. Untuk menjamin pelaksanaanya tentunya harus ada perangkat hukum yang mengikat agar paradigma memberikan pelayanan terbaik tercapai. Kita berharap para anggota legislatif baik yang ada di Propinsi Sumatera Barat maupun Kota Padang mengambil hak inisiatif memprakarsai lahirnya peraturan penggunaan musik dalam armada transportasi publik secara proporsional.
Keamanan transportasi publik.
Keamanan dalam kendaraan umum sampai saat ini masih sulit didapatkan secara utuh. Fenomena ini tentu memberikan peringatan bagi pengguna kendaraan umum untuk lebih hati-hati. Biasanya kerawanan dalam kendaraan umum itu terjadi pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari. Karena pada jam itu para pegawai pemerintah dan swasta serta para siswa membutuhkan kendaraan umum untuk berangkat ke tempat kerja dan sekolahnya. Dalam kondisi kendaraan penuh para anak bola (pelaku kejahatan di dalam kendaraan umum) mencari kesempatan melakukan aksinya. Untuk melakukan kejahatan mereka bisa saja melakukan sendiri sampai dalam kelompok besar.
Untuk mengantisipasi kejahatan di atas kendaraan umum tentu ada beberap tip yang perlu disiasati antara lain: 1) tidak menggunakan perhiasan yang berlebihan, 2) membawa tas letakkan di depan (sejajar dengan dada), 3) perhatikan disekitar tempat duduk dengan hati-hati, 4) jika dianggap mencurigakan lebih baik turun dihalte atau tempat yang ramai, 5) jangan menggunakan handphone di dalam kendaraan umum (aktifkan program silent), 6) pihak keamanan (polisi) sebaiknya menyediakan program laporan online terhadap kejahatan di dalam kendaraan umum, 7) sopir dan kernek diharapkan menjaga keamanan di dalam kendaraannya.
Argo Taksi
Pelayanan taksi sebagai kendaraan umum di Kota Padang masih jauh dari standar pelayanan minimal (SPM). Taksi di kota Padang sangat jarang menggunkan argo. Penumpang yang tidak melakukan tawar-menawar sebelum berangkat, bisa jadi sesampai di tujuan akan mengalami keributan dengan sopir taksi karena merasa ditipu atau merasa dimahalkan. Karena sopir taksi tidak memakai argonya. Perselisihan antara penumpang dan sopir taksi sering kali kita saksikan. Kejadian-kejadian seperti ini jelas-jelas merusak citra perusahaan taksi sebagai penyedia jasa transportasi.
Untuk menghindari terpuruknya citra perusahaan taksi di Kota Padang, sudah saatnya pemberlakuan argo diperketat. Minimnya penumpang taksi saat ini sebuah indikasi, masyarakat alergi naik taksi. Kalau tidak terdesak, masih ada pilihan transportasi lain, maka masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan umum lainnya. Antisipasinya tentu dimulai dari pelayanan taksi yang sesuai dengan standar operasional prosedural (SOP) gunakan argo, pakai baju yang menunjukkan atribut unit usaha, perbaiki pelayanan dalam berbahasa yang menyejukkan, dan bangun komunikasi dengan penumpang secara intensif.
Calo Tiket Pesawat.
Percaloaan tiket pesawat yang marak terjadi di Bandara Tabing dulunya, ternyata belum berakhir sejak diaktifkan Bandara International Minangkabau (BIM). Percaloaan tiket pesawat itu bisa dirasakan saat membeli tiket di travel yang begitu sulit, padahal ketika pesawat itu berangkat masih banyak bangku yang kosong. Percaloan tiket pesawat nampaknya masih sulit diakhiri, karena manajemen maskapai penerbangan masih memberikan keleluasaan bagi orang-orang tertentu untuk memegang tiket secara berlebihan. Percaloan tiket pesawat jelas merusak sistem penerbangan dan kenyamanan pelanggan. Untuk mengakhiri percaloan tiket pesawat itu petugas maskapai dan petugas bandara harus pro aktif memberikan penekanan pada penumpang untuk selalu membeli tiket di travel atau di maskapai penerbangan yang bersangkutan. Travel-travel (biro perjalan) tidak diperkenankan menjual tiket di sekitar bandara, karena sistem ini memungkinkan menjamurnya percaloan tiket. Pemeriksaan tiket oleh petugas harus dilakukan secara ketat dengan mencek kesesuaian nama. Bahkan kalau seorang penumpang tidak jadi berangkat, maka harus dikenakan sanksi pembayaran 50% dari harga tiket. Cara ini jelas akan memperkecil kebiasaan calo memegang tiket yang berlebihan atau penumpang membooking tiket lebih dari keperluannya.
Ongkos Transportasi Publik di atas Juklak>br /> Ongkos kendaraan umum setiap trayek baik antar kota, antar propinsi di Sumatera Barat sering tidak konsisten. Ongkos kendaraan itu tidak memperhatikan petunjuk pelaksanaan oleh pejabat yang berwenang. Seharusnya sebagai penyedia jasa pelaku bisnis yang bergerak di bidang transportasi senantiasa menyesuaikan tarif berdasarkan petunjuk pelaksana yang sudah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan tarif. Contoh kenaikan harga premium 95% akan berakibat naiknya biaya operasional angkutan umum sebesar 25% dari total keseluruhan. Sedangkan kenaikan tarif bisa mencapai 75%. Ketentuan sepihak menaikkan tarif oleh pengusaha di bidang transportasi publik jelas melanggarkan keputusan pemerintah.
Untuk menjamin pelaksanaan keputusan pemerintah tentang kenaikan tarif baru kendaraan umum--seharusnya pihak kepolisian dan dinas perhubungan selalu melakukan pemantauan dilapangan. Bahkan di hari-hari tertentu bisa jadi tarif itu naik melebihi 100%. Sanksi-sanksi yang digembar-gemborkan pemerintah belum banyak memberikan jerah bagi pelanggarnya. Pemerintah harus memiliki komitmen dan keseriusan melakukan tindakan atas pelanggaran kenaikan tarif tersebut. Karena kita sangat miris melihat kehidupan masyarakat yang semakin sulit menghadapi kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakan minyak (BBM). Harapan kita pemerintah dapat memberikan perhatian naiknya tarif transportasi publik juga memberikan peningkatan dalam hal pelayanannya.
http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=52
DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA
DWIFUNGSI POLITISI PENGUSAHA
Oleh Arwildayanto
Laporan akhir tahun Transparancy Indonesia (TI) yang disampaikan Tudung Mulya Lubis di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kemaren (23 desember 2005) menyimpulkan bahwa institusi paling korup di dunia termasuk di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pengurus partai politki. Laporan TI Tersebut sejalan dengan kesimpulan survey yang dilakukan Akbar Tanjung Institute(ATI) yang menemukan jawaban bahwa suburnya budaya korupsi di DPR dan partai politik disebabkan oleh dominanya para pengusaha yang berkiprah di arena politik praktis di Indonesia (18 Desember 2005). .
Dominasi kalangan pengusaha dalam dunia politik memunculkan wacana baru yakni dwifungsi politisi-pengusaha. Derasnya wacana ini didengungkan oleh berbagai pihak karena menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara kebijakan pemerintah memberantas KKN, dengan hambatan yang sangat kuat dikalangan pelaku politik praktis. Refleksi akhir tahun yang disampaikan LSM Transparancy Indonesia, Abkar Tanjung Institut menunjukkan suatu gambaran pelaku politik yang dihasilkan melalui pemilihan umum tahun 2004 yang lalu yang benar-benar didominasi oleh politisi-pengusaha. Sejalan dengan hasil survey kedua lembaga swadaya masyarakat di atas, jauh sebelum itu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan para wartawan di Lapangan Udara Polonia Medan tanggal 2 Desember 2005 yang lalu juga menyampaikan keprihatinan yang sama terhadap lambannya gerak reformasi yang terjadi di Pemerintahannya.Salah satu fenomena politik yang menjadi penyebab utama menurut SBY adalah adanya “dwifungsi politisi-pengusaha”.
Presiden SBY menilai bahwa dwi fungsi politisi-pengusaha ternyata menjadi penyebab lambatnya penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di pemerintahannya saat ini. Padahal keinginan politik (political will) pemerintah saat ini sudah secara tegas mendukung upaya penghapusan KKN yang tidak pandang siapa pelakunya.
Dalam perspektif keadilan, kearifan wajar kiranya keprihatinan Presiden SBY itu muncul disaat pelaku politik yang ada di parlemen tidak menunjukkan keinginan yang sama dengan kebijakan pemerintah saat ini. Karena semenjak era reformasi bergulir di Indonesia, justru pelaku politik yang lebih dominant melakukan desakan penghapusan KKN, seperti tertuang dari beberapa kebijakan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) yang merespon dengan baik kebijakan penghapusan dwi fungsi ABRI. Karena selama ini ABRI dianggap sebagai penyebab utama suburnya KKN di lingkungan pemerintah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah seorang Panglima Tinggi (PATI) di jajaran TNI saat itu juga ikut mendorong kebijakan tersebut. Sehingga secara politis dapat dilahirkan suatu ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Dimana pengangkatan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan pengurangan secara bertahap. Untuk memperkuat Ketetapan itu diberlakukan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik melarang PNS dan TNI/Polri menjadi anggota maupun pengurus partai politik, sehingga pada hasil Pemilahan Umum 2004 sudah kelihatan hasilnya dimana tidak ada lagi utusan dari ABRI yang terdiri dari TNI/Polri di DPR dan DPRD.
Kebijakan ini dilakukan dalam rangka menempatkan ABRI secara proporsional sebagai alat kelengkapan Negara yang berperan mengamankan stabilitas nasional termasuk menjaga martabat Bangsa baik secara nasional maupun Internasional. Prinsip ini memberikan konsekuensi dihilangkannya peran dwifungsi ABRI dalam aktivitas politik praktis. Serta menempatkan PNS sebagai abdi negara yang memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal serta menjaga netralitas politiknya.
Di saat PNS dan ABRI tidak memainkan peran dalam politik praktis secara institusional. Maka teater politik nasional didominasi oleh politisi sipil khususnya yang berlatar belakang pengusaha yang dikenal dengan politisi-pengusaha. Pertanyaan sederhana yang patut kita munculkan „apakah upayah penghapusan KKN sudah berhasil?. Ternyata upaya penghapusan KKN di pemerintah masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi benih-benih KKN semakin subur akibat pelaku politisi-pengusaha. Hasil pemilu 2004 kemaren memang sudah memberikan jawaban terhadap dominasi politisi-pengusaha.
Melihat fenomena di atas Presiden SBY tidak mau gagal menjalankan roda penerintahan yang diamanatkan oleh rakyat melalui pemilihan Presiden secara langsung. Presiden SBY merasa perlu melakukan kebijakan menata dwifungsi pengusaha-politisi. Hal ini didukung hasil refleksi akhir tahun Transparancy Indonesia dan Akbar Tanjung Institute. Sebagai publik yang mencintai kelangsungan pemerintahan RI ini perlu mendukung kebijakan pemerintah menata dwifungsi politisi-pengusaha ini dengan bijak serta dilakukan secara proporsional penuh etika.
Rasionalisasi pentingnya publik mendukung kebijakan Presiden SBY di atas supaya pelaku politik yanga ada di parlemen saat ini berpihak pada kepentingan rakyat dan memperjuangkan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Rasionalisasi pentingnya dwifungsi politisi-pengusaha ini didukung karena belajar dari kejadian masa lalu maupun kejadian yang ditunjukkan anggota DPR 1 tahun belakangan ini. Banyak hal yang tidak etis akibat adanya dwifungsi politisi-pengusaha, diantaranya: Pertama berorientasi keuntungan (profit oriented) sesuai invesntasi politik sehingga menghalalkan money politic. Kedua nbsp;tidak konsisten dengan keputusan politik maupun kebijakan nasional, sehingga seringkali mengabaikan kepentingan konstituen. Ketiga seringkali bersikap aji mumpung (opportunis) bahkan tidak malu-malu menjadi bajing lonjat politik atau pindah partai lain serta membuat konflik di internal partai. Kelima seringkali menjadi calo proyek dan memperbesarkan nilai guna mendapatkan komisi .
Memang sangat kontras perbedaan pelaku politik yang berasal dari politisi sipil yang berurat dari pengalaman politik dari bawah, membangun jaringan dengan berbagai organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan, profesi, dan organisasi politik, biasanya politisi itu tumbuh dengan jiwa sosial, solidaritas, serta bangunan etika berpolitiknya lebih eleghant, demokratis, siap menang dan kalah. Sedangkan seorang politisi yang jadi pengusaha sulit mencari figur yang seperti itu. Kalaupun ada tentu keberadaan mereka dalam jumlah yang sangat sedikit.
Harapan kita sebagai publik dengan adanya pengaturan dwifungsi politisi –pengusaha diharapkan mereka bisa bekerja maksimal sebagai wakil rakyat yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan yang lainnya. Sekaligus pengaturan politisi-pengusaha ini dalam rangka berbagi pekerjaan dengan masyarakatyang sangat banyak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan demikian politisi-pengusaha bisa mengurangi disparitas komunitasnya yang berada di masyarakat atas dengan masyarakat miskin lainnya.
Pernah dipublikasikan di http://www.arwildayanto.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=49