KATEGORI : G. Geo Populer

Ketulusan yang Tak Bisa Dibeli, Tak Bisa Ditundukkan

13 July 2025 13:43:16 Dibaca : 12

Perjuangan Tentara Pelajar dan Kompi Gatotkaca menghadapi pasukan Belanda di Mlati, Sleman pada 22 Mei 1949. Foto diambil di Benteng Vredeburg, Yogyakarta pada 29 Juni 2024 pukul 17.54 WIB.

Saya menemukan sebuah kalimat dalam The Noisy Mansion*) yang begitu menggugah. 

"Orang yang paling menakutkan di dunia adalah seseorang yang berusaha memperbaiki kehidupan semua orang meskipun itu tak memberinya sepeser pun."

Pernyataan dalam The Noisy Mansion ini memuat makna yang paradoksal. Dapat bermakna positif sebagai penghormatan kepada orang-orang idealis, pejuang sosial, atau aktivis murni. Namun bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang mengusik, karena dalam dunia yang penuh kepentingan, ketulusan yang absolut sering kali dianggap mencurigakan atau bahkan mengancam. Makna paradoksal ini semakin terasa jika kita melihat lebih dalam, bahwa seseorang yang tak bisa dibeli dan tidak mudah dipengaruhi dapat menjadi sosok yang mengguncang tatanan.

Dalam konteks ini, kata "menakutkan" menjadi metafora untuk ketulusan yang radikal yaitu ketulusan yang terlalu asing dan tak terjangkau bagi dunia yang terlalu transaksional. Kalimat ini akhirnya menjadi semacam penghormatan tersembunyi terhadap kekuatan moral yang langka, yaitu ketulusan yang murni, yang justru membuat dunia merasa gentar karena ia tidak bisa dikendalikan.

Fenomena ini bukan sekadar teori. Ketulusan semacam ini telah hadir nyata dalam sejarah melalui tokoh-tokoh besar yang mengguncang dunia. Bukan dengan kekuasaan, tapi dengan nilai moral yang tak tergoyahkan. Sepanjang sejarah, kita melihat figur-figur seperti ini. Mereka tak selalu memegang jabatan formal, tak memiliki kekuatan militer, bahkan sering datang dari kehidupan yang sederhana. Namun kekuatan moral mereka tak tergoyahkan, dan karena itulah mereka "menakutkan" bagi sistem yang terbiasa mengendalikan orang dengan imbalan dan ancaman.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah contoh paling kuat dari sosok yang digambarkan dalam kalimat tadi. Beliau memulai dakwah dalam keterasingan, tanpa kekuasaan dan tanpa harta. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Beliau menolak tawaran kekayaan, tahta, dan kompromi demi mempertahankan nilai yang diyakininya. Ketika akhirnya beliau memimpin Madinah, kekuasaannya digunakan bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Ketulusannya membuat banyak orang tunduk bukan karena takut, tapi karena takjub. Namun, justru karena ketulusannya itulah, Beliau begitu ditakuti oleh kaum Quraisy. Bukan karena senjata, tapi karena pengaruh moral yang tidak bisa mereka hentikan.

Kita juga mengenal Mahatma Gandhi. Sosok yang memimpin perlawanan terhadap kolonialisme Inggris tanpa kekerasan, tanpa senjata. Ia hidup sederhana, menolak kekayaan dan jabatan, dan menjadikan moralitas sebagai senjatanya. Inggris tidak takut pada tentara India, tapi takut pada seorang lelaki kurus yang berpuasa dan berbicara tentang kebenaran.

Begitu pula dengan Nelson Mandela. Setelah 27 tahun dipenjara, Mandela muncul tanpa dendam. Ia memperjuangkan rekonsiliasi dan keadilan di Afrika Selatan. Ia adalah ancaman nyata bagi sistem apartheid, bukan karena kekerasan, tapi karena keteguhan moralnya karena ia tidak bisa dibeli oleh kemarahan atau kekuasaan.

Ibu Teresa pun serupa. Ia mendedikasikan hidupnya untuk melayani orang miskin dan sakit di Kalkuta, dan memilih hidup dalam kemiskinan yang sama dengan mereka yang ia tolong. Banyak yang memujinya, tapi juga banyak yang mencemaskan ketulusannya karena orang yang sungguh-sungguh tulus sering kali membuat dunia merasa tak nyaman.

Dan seperti yang terpahat dalam sejarah perjuangan kita. Di medan seperti Mlati, Sleman. Ketulusan yang muncul dalam kondisi penuh tekanan kerap menjadi kekuatan paling ditakuti. Bukan karena senjata, tapi karena tekadnya. Ketulusan itu bukan mitos. Ia pernah hidup, berani, dan menakutkan bagi siapa pun yang mencoba membelinya.

Dari semua contoh ini, kita bisa melihat satu benang merah yang menyatukan mereka yaitu ketulusan yang tak bisa dibeli dan tak bisa ditundukkan. 

Ketulusan tanpa pamrih adalah kekuatan paling langka dan paling sulit dihadapi. Orang-orang seperti ini tidak bisa disuap, tidak bisa diancam, dan tidak tertarik pada penghargaan duniawi. Karena itu, mereka justru dianggap "menakutkan" oleh dunia yang terbiasa mengatur segalanya dengan imbalan.

Kalimat yang saya kutip di awal ternyata bukan hanya paradoks, tapi juga semacam peringatan bahwa orang paling kuat bukanlah yang paling keras suara atau paling tinggi jabatannya, tapi mereka yang tetap memilih memperbaiki dunia meskipun tidak menerima apa-apa sebagai imbalan.

Dan tentu saja, merekalah yang paling layak kita teladani hari ini.

Mlati, Sleman, Yogyakarta, 13 Juli 2025

*) The Noisy Mansion (Baeksoo Apateu atau Baeksoo Apartment) merupakan film asal Korea Selatan dengan genre komedi horor misteri yang dirilis pada tahun 2025. Sebelum peluncuran resminya pada 26 Februari 2025, film ini lebih dulu tayang perdana di London Korean Film Festival pada 10 November 2024. Saya menontonnya tadi malam sambil makan Pempek.

Tulisan yang sama dapat dibaca di link eksternal.

Sejarah Kegunungapian: Integrasi Filsafat, Teknologi, dan Sains

12 December 2024 14:38:47 Dibaca : 1496

Seorang geolog perempuan di hadapan gunung api yang sedang erupsi. When you witness lava and other volcanic products, don’t take it too seriously

 

PENDAHULUAN

Vulkanologi, atau studi kegunungapian, adalah cabang ilmu geologi yang mempelajari proses dinamis bumi terkait dengan gunung api. Pemahaman tentang vulkanologi mencakup berbagai aspek, seperti asal-usul gunung api, proses pembentukannya, dinamika aktivitasnya, hingga cara mitigasi untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap manusia. Selain itu, vulkanologi juga mengeksplorasi potensi pemanfaatan gunung api untuk kesejahteraan manusia, misalnya dalam bidang energi dan pariwisata.

Dalam perjalanan sejarahnya, studi kegunungapian telah berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Pemahaman awal yang didasarkan pada observasi dan spekulasi filsafat kini didukung oleh pendekatan berbasis data dan penggunaan metode modern seperti geofisika, geokronologi, dan paleomagnetik. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji evolusi pemikiran kegunungapian dari zaman pra-sejarah hingga revolusi sains, dengan fokus pada implikasinya bagi studi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi. Kajian ini juga akan menunjukkan hubungan antara sejarah ilmu kegunungapian dengan teknologi modern dalam pengembangan sains.

FILSAFAT, SEJARAH, DAN TEKNOLOGI KEGUNUNGAPIAN

Kegunungapian pada Zaman Pra-Sejarah

Pada zaman pra-sejarah, manusia purba telah berinteraksi dengan fenomena vulkanik. Salah satu bukti paling awal adalah mural di situs arkeologi Anatolia Tengah, Turki, yang diyakini menggambarkan letusan Gunung Hasan Dag. Mural ini menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kesadaran terhadap fenomena vulkanik, meskipun interpretasi mereka didasarkan pada pengalaman langsung tanpa didukung pemahaman ilmiah.

Teknologi pada masa ini sangat sederhana, terbatas pada alat berburu dan meramu yang dibuat dari batuan vulkanik. Namun, keberadaan mural ini menandai awal dari pengamatan manusia terhadap dinamika bumi yang kelak menjadi dasar bagi studi kegunungapian modern.

Kegunungapian pada Zaman Yunani

Filsuf Yunani seperti Empedocles, Aristoteles, dan Theophrastus berkontribusi pada pemahaman awal tentang fenomena vulkanik. Empedocles mengusulkan bahwa gunung api terbentuk karena adanya kekuatan api di dalam bumi, sementara Aristoteles dalam Meteorologica menyebutkan bahwa gunung api terjadi akibat pergerakan udara di bawah tanah yang cepat, terutama di wilayah dekat laut.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa filsuf Yunani sudah memahami bumi sebagai entitas dinamis, meskipun belum ada pendekatan empiris untuk mendukung teori mereka. Ide ini menjadi landasan bagi teori-teori vulkanologi modern tentang aktivitas magma di bawah permukaan bumi.

Kegunungapian pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, pemikiran tentang gunung api didasarkan pada spekulasi dan pengamatan terbatas. Venerabilis Beda berpendapat bahwa gunung api terbentuk dari angin yang terperangkap di pori-pori bumi, sementara Agricola mengusulkan bahwa bahan seperti sulfida dan batu bara di gua bawah tanah menjadi bahan bakar yang menyebabkan letusan.

Walaupun ide-ide ini masih jauh dari akurat, pendekatan mereka menunjukkan adanya upaya untuk memahami gunung api dengan mengamati fenomena fisik di alam.

Kegunungapian pada Masa Revolusi Sains

Periode ini menandai perubahan besar dalam studi kegunungapian. Lazaro Moro mengemukakan bahwa panas internal bumi mengangkat gunung api dari bawah laut, yang didukung oleh penemuan fosil laut di puncak gunung. James Hutton lebih lanjut memperkuat konsep bumi dinamis melalui pengamatannya terhadap sill granit dan batuan basal, yang menunjukkan bahwa gunung api mengalami regenerasi melalui siklus geologis.

Christian Leopold von Buch mengusulkan teori pengangkatan gunung api, tetapi teori ini kemudian dibantah oleh Louis-Constant Prévost, yang berpendapat bahwa gunung api terbentuk melalui akumulasi material vulkanik. Perdebatan ini menjadi cikal bakal teori tektonik modern, yang diperkuat oleh pengembangan teori pengapungan benua oleh Alfred Wegener dan tektonik lempeng oleh Harry H. Hess.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM STUDI KEGUNUNGAPIAN

Kemajuan teknologi telah membuka jalan bagi penelitian kegunungapian yang lebih mendalam. Instrumen modern seperti magnetometer, spektrometer, dan peralatan geofisika lainnya memungkinkan pengukuran aktivitas vulkanik dengan tingkat presisi yang tinggi. Metode geokronologi dan petrogeokimia memberikan wawasan tentang usia dan komposisi material vulkanik, sedangkan metode paleomagnetik membantu merekonstruksi evolusi geodinamika wilayah seperti Lengan Utara Sulawesi.

Sebagai contoh, studi evolusi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi menggunakan metode ini dapat memberikan wawasan tentang pola deformasi kerak bumi, dinamika mantel, dan sejarah aktivitas vulkanik di wilayah tersebut.

KESIMPULAN

Studi kegunungapian telah berkembang dari pengamatan sederhana pada zaman pra-sejarah hingga pendekatan berbasis teknologi di era modern. Pemikiran filsuf Yunani dan abad pertengahan menunjukkan bahwa manusia selalu berusaha memahami dinamika bumi, meskipun tanpa dukungan teknologi canggih. Perkembangan di masa revolusi sains, terutama teori tentang bumi dinamis dan pembentukan gunung api, menjadi dasar bagi studi vulkanologi modern.

Penelitian evolusi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi mencerminkan integrasi antara sejarah pemikiran kegunungapian, filsafat, dan teknologi. Melalui penggunaan metode seperti paleomagnetik dan petrogeokimia, riset ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru tentang dinamika vulkanik regional, serta kontribusi terhadap pemahaman global tentang evolusi vulkano-tektonik.

___

Tulisan ini lahir di sebuah kamar di lantai tujuh yang menghadap Gunung Merapi, Merbabu, dan Telomoyo, oleh seorang peneliti pemula yang tengah mempelajari volcano-tectonics di Lengan Utara Sulawesi, sambil mengenang waktu di kelas Filsafat Keilmuan dengan buku Filsafat Teknologi karya Don Ihde di tangannya.

Yogyakarta, 7 Desember 2024