Bali: Malam 120 Bulan 1 Mimpi

07 December 2024 12:18:26 Dibaca : 3

Perjalanan ke Bali berawal dari sebuah mimpi yang berumur 120 bulan. Perkenalan saya dengan Bali, terutama Pantai Kuta, bermula dari buku-buku yang saya baca sewaktu SD. Entah bagaimana caranya, Bali seolah menjadi magnet yang memiliki daya tarik magis yang sangat kuat sejak 120 bulan yang lalu. Hingga akhirnya, mimpi tentang Bali, sebagaimana mimpi tentang Malino, dituntaskan dengan sangat manis oleh Yang Maha Kuasa pada 27–31 Agustus 2019. Pada tanggal itu, saya bertemu dengan 1614 ilmuwan muda di Bali untuk Indonesia yang lebih baik.

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (GWK) terletak di daerah selatan Bali, dibangun di atas batugamping yang terangkat ke permukaan laut pada Pliosen Akhir. Memasuki GWK, pengunjung akan disambut oleh lorong-lorong batugamping yang dipahat menjulang tinggi di kiri dan kanan. Jika Anda berbelok ke arah timur, akan terlihat singkapan batugamping yang tersesarkan, dengan kandungan fosil yang membawa pengunjung kembali ke kala Miosen.

Berdiri di GWK berarti Anda berdiri di atas batuan berumur sekitar 20 juta tahun yang terbentuk di dasar laut dan terangkat ke permukaan sekitar 1,8 juta tahun lalu. Taman budaya yang dibangun selama 28 tahun ini tidak hanya menawarkan keindahan budaya, tetapi juga menyuguhkan fenomena geologi yang menarik. Sebuah tempat yang mengajarkan kita betapa alam ini penuh dengan cerita yang tak terungkapkan.

Kami mengunjungi GWK pada saat pembukaan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 32 yang dilaksanakan di Universitas Udayana. Kegiatan PIMNAS 32 (presentasi dan pameran poster) berlangsung di kampus Udayana, sementara penutupan dilaksanakan di Taman Werdhi Budaya Art Centre. Setelah itu, kami melanjutkan kegiatan akademik dengan melancong ke produk marin di selatan Bali.

Pantai Kuta

Kunjungan pertama kami ke Kuta terjadi setelah matahari terbenam. Gelap, hanya ada bapak pengumpul sampah plastik yang tampak sibuk. Sesekali, cahaya dari pesawat yang akan mendarat di Ngurah Rai menerangi langit malam. Sebelah selatan, ada cahaya yang tampak jauh, namun terhalang oleh pepohonan nyiur Kuta. Monsoon Australia menggerakkan daun-daun pepohonan, mendorong ombak ke pesisir, bertemu pasir, lalu pecah.

Tiga hari setelah malam itu, kami kembali ke Kuta sebelum matahari terbenam. Terang, ramai, dan penuh keceriaan. Rasanya bahagia bisa melihat Kuta dalam dua suasana yang berbeda. Sebuah keluarga bermain layangan elang. Ada yang duduk, ada yang berlari, ada yang berenang, ada yang berfoto-foto. Peselancar sibuk menaklukkan ombak, sementara penjaga pantai hilir mudik, sibuk meniup peluit menjelang maghrib.

Kuta tetap mempertahankan kesan alami pantainya. Pasir pantainya dibiarkan tersebar tanpa beton atau bongkah batu. Bali, dalam hal pariwisata, memang tahu benar bagaimana meramu pesona alami dengan kenyamanan wisatawan.

Kedonganan Fish Market and Grill

Kedonganan Fish Market and Grill terletak di Pantai Kedonganan, Kuta, diapit oleh Pantai Jimbaran dan Pantai Kelan. Jika Anda ingin menikmati suasana pantai di Bali sambil menyantap seafood, Kedonganan adalah pilihan yang tepat. Terdapat pasar ikan tradisional di sebelah timur Pantai Kedonganan, yang menjajakan berbagai jenis seafood segar hasil tangkapan nelayan Bali.

Di sekitar pasar ikan berderet warung-warung yang siap mengolah seafood hasil hunting di pasar ikan. Pilihan bumbu dan teknik masak sesuai request pengunjung. Seafood di Kedonganan Fish Market and Grill terkenal segar dan terjangkau.

WNA dari berbagai negara banyak yang mengunjungi Kedonganan. Beberapa, dari bahasa/dialek misalnya, dapat kami deteksi asalnya. Sebut saja yang duduk di sebelah kanan meja kami, berasal dari Korea, di depan kami dari Jerman dan Amerika. Sewaktu berbelanja di pasar kami bertemu turis Jepang yang sedang menawar Lobster. Selebihnya perhatian kami diserap berupa-rupa keluarga laut.

Menikmati seafood sambil mendengarkan berbagai bahasa yang saling bertabrakan di sana-sini, dengan latar belakang musik tradisional Bali dari radio warung, sungguh menyenangkan dan berbekas di hati.

Malam 120 Bulan 1 Mimpi

Benarlah kata Andrea Hirata, "Bermimpilah, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu." Dan, sebelum meninggalkan Pulau Dewata pagi itu, saya menyadari bahwa dengan kesabaran dan ketekunan, 'pelukan' Tuhan akan mengantarkan mimpi kita pada kenyataan.

Mimpi saya tentang Bali, yang telah berumur 120 bulan, akhirnya terwujud dengan cara yang indah, memberi makna lebih dalam pada setiap langkah perjalanan saya. Bali, dengan segala pesonanya, bukan hanya mengingatkan saya pada sebuah tujuan wisata, tetapi juga pada perjalanan panjang untuk mewujudkan impian dan harapan.

Bali, 31 Agustus 2019.

___

PS: "Malam... bulan, 1 mimpi" berasal dari percakapan tahun 2000-an dengan teman kos di Makassar, dan merupakan judul novel dari adik teman kami yang ditolak penerbit.

Tulisan yang serupa, disertai dengan gambar tambahan, dapat ditemukan pada tautan eksternal.

Socrates dan Kebenaran yang Terbungkam

07 December 2024 11:58:16 Dibaca : 3

Tulisan ini saya mulai dengan kata bijak dalam bahasa Gorontalo yang pernah saya dengar dari sebuah karya seni berjudul Buwayi:

Batanga Japilohongia | Po'opiyohe todudelo |

Lipundo lipu lo'adati | Tunuhiyo sare'ati.

Kata-kata ini mengajak siapa pun yang menghirup udara di Gorontalo untuk memahami makna kehidupan dan menghargai nilai-nilai luhur. Lalu, apa kaitannya dengan Socrates?

Socrates adalah filsuf Yunani yang hidup pada 469 - 399 SM. Pendapatnya yang terkenal adalah tentang pentingnya membangkitkan rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan dalam diri manusia. Cinta ini, menurut Socrates, memotivasi manusia untuk berpikir jernih dan hidup dengan prinsip moral yang lurus.

Pada tahun 423 SM, sebuah komedi tragis tentang Socrates dipentaskan di Athena. Penulisnya adalah Aristophanes, seorang yang memiliki pandangan konservatif dan bertentangan dengan pemikiran Socrates. Dalam komedi itu, Socrates digambarkan sebagai seorang guru yang merusak generasi muda. Baginya, Socrates adalah ancaman yang patut dibenci*).

Peradilan di Athena pun akhirnya menjerat Socrates. Apologia—pembelaan Socrates terhadap dirinya—tak cukup kuat untuk membendung tuduhan yang ditujukan padanya. Meletos, Anytos, dan Lycon, yang berada di balik tuduhan itu, berhasil mempersatukan suara mereka untuk menjatuhkan hukuman. Dalam konteks ini, saya teringat akan ungkapan dari bahasa Gorontalo: Lo iya lo tau wa, Tau wa loloiya, Boodila polulia hi lawo. Ungkapan ini mengingatkan kita tentang bagaimana sebuah kesepakatan bisa mengorbankan keadilan.

Peradilan yang tidak adil inilah yang memaksa Socrates menenggak racun di hadapan murid-muridnya. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya sedikit banyak dipengaruhi oleh pembunuhan karakter yang dilakukan Aristophanes melalui panggung hiburan. Memang, dalam masyarakat yang gagal menghargai pemikiran kritis, individu yang setia pada prinsip moral sering kali menjadi sasaran penghakiman yang tidak adil.

Telah sampaikah kabar Socrates minum racun? Gnothi Seauton Kai Meden Agan, Aristophanes!

[Di suatu tempat di Gorontalo, bukan di Athena, pada suatu waktu yang tak terikat oleh sejarah].

*)Terdapat beragam pandangan mengenai penyebab kematian Socrates. Beberapa berpendapat bahwa The Clouds karya Aristophanes tidak begitu berpengaruh terhadap hukuman mati Socrates. Sebaliknya, tulisan ini mengemukakan perspektif yang berbeda, seperti yang diungkapkan oleh Plato dalam Apologia, Gregory Vlastos, dan Will Durant dalam The Story of Philosophy, meskipun ketegangan politik, sosial, dan keagamaan pasca-Perang Peloponnesia mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar.

Tulisan ini disadur dari tulisan yang sama berjudul "Telah Sampaikah Kabar Socrates Minum Racun?"

Danau

19 November 2024 07:59:19 Dibaca : 22

 

 

Dulu saat kecil, saya dkk ke danau untuk menyaksikan Duwiwi yang belakangan saya tahu para begawan memanggilnya Dendrocygna arcuata atau Belibis Kembang. Setelahnya kami uji nyali, berjalan di atas kangkung danau yang kait mengait, di bawahnya tentu saja air danau yang dalam dan lintah yang haus darah. Bila menemukan perahu nelayan, kami mendorongnya ke arah danau dan berlari sejadi-jadinya ketika diteriaki gembala sapi di padang rumput subur dekat danau. Sampai di situ saya bersyukur memiliki masa kecil yang indah di sebuah kampung di utara Danau Limboto.

Hari ini, saya kembali ke danau, sebagai dosen pendamping tim mahasiswa yang penelitiannya (Alhamdulillah) lolos dan didanai Ristekdikti, sebuah kementerian di Jakarta sana. Danau telah banyak berubah, tak saya temukan Duwiwi, pun tak ada anak-anak yang berlarian penuh suka cita. Hanya ada beberapa gembala sapi, sapi-sapi yang melahap rumput - makan sepuasnya lalu berak sesukanya, nelayan yang hilir mudik dengan perahu di danau yang semakin sempit dan ikan-ikan yang mati meranggas.

Saya memantau tim yang menginjeksi arus listrik ke bawah permukaan lalu berdiskusi sebentar tentang bentuklahan. Peneliti-peneliti muda ini akan menggabungkan model geologi 4 dimensi dengan citra radar di daerah timur danau yang selalu dijambangi banjir. Mereka tahu banjir adalah bencana lalu akan merubahnya menjadi potensi wisata. Sampai di sini saya bersyukur telah ditakdirkan menjadi mitra mahasiswa.

Sesungguhnya, danau masa kecil saya tetap indah. Kenangan yang membuatnya lebih indah.

Kami lantas pulang melalui jalan sempit dan melompat-lompat menghindari 'ranjau' sapi. Sesekali berpapasan dan saling menyapa dengan pengembala. Langit mendung, di sebelah barat daya telah turun hujan. Saya selipkan doa, semoga Allah memudahkan penelitian anak-anak ini. Semoga sukses selalu menyertai mereka. Allah menyukai orang yang berbuat baik. Tujuan anak-anak ini baik, mari kita doakan mereka.

Salam sukses. Panjang umur Danau Limboto.

Limboto-Gorontalo, 1 April 2019.

___

Tulisan yang sama dapat dibaca pada link eksternal.

Tanah Lima Puluh Lima Juta Tahun Lalu

19 November 2024 07:32:42 Dibaca : 20

 

Waktu melemparnya ke tanah itu, ke 'Tanah Lima Puluh Lima Juta Tahun yang Lalu'.

Dari delapan penjuru mata angin, serupa dingin, sunyi menusuk-nusuk.

Cahaya pun menyibak kata yang terpahat pada granit, diorit dan berupa-rupa formasi.

 

Tadi malam - tak sengaja - Aku diberitahu

Hanyalah - dan hanya - benda langit kecil

dalam sebuah galaksi

(Sept 25, 2011)

 

Jika melihat tempat aku berdiri pada Landsat 7 di atas dan membawaku ke lembar bertahun 1993 oleh S. Bachri, Sukido dan N. Ratman serta lembar bertahun 1997 oleh T. Apandi dan S. Bachri maka kawan akan mendapatiku berdiri lalu bergerak pada satuan Endapan Danau (Qpl). Qpl atau Quartenary pleistocene lake mengisyaratkan bahwa satuan Endapan Danau Limboto (Deposite Limboto Lake) telah ada sejak Kala Plistosen, sekitar 2,6 juta tahun yang lalu. Trail (1974) mengatakan bahwa tempat aku berdiri dan bergerak ini mencapai tebal 94 m dan termampatkan lemah.

Jika pada kedua lembar ini kawan melakukan merge lalu zoom-out maka kawan akan mendapati bahwa aku dikelilingi oleh bermacam-macam formasi dengan formasi paling tua adalah Formasi Tinombo (Teot) yang telah ada sejak Zaman Tertiary Kala Eocene, sekitar 55 juta tahun yang lalu.

Kawan, tanah 55 juta tahun yang lalu ini adalah Gorontalo. Tanah kelahiranku yang dibelah oleh major intracontinental strike-slip faults yang bergerak sekitar 11 mm/tahun.

Gorontalo adalah bagian kecil dari Indonesia yang merupakan bagian kecil dari bumi. Bumi adalah bagian kecil dari Tata Surya yang merupakan bagian kecil dari galaksi Bimasakti. Galaksi Bimasakti bersama Andromeda dan galaksi lainnya mengelilingi pusat galaksi. Dan entah pusat galaksi mana yang dikelilingi oleh pusat galaksi ini dan ada berapa lagi pusat galaksi-galaksi.

Jika bumi kita dengan keliling 40.075,017 km dan massa 5,97219×1024 kg adalah satu titik kecil dalam keluasan jagad raya lalu bagaimana dengan aku, kawan dan kesombongan duniawi?

___

Tulisan yang sama dapat dibaca pada link eksternal.

Lokasi Malino (Google Maps, 2019).

Perjalanan ke kebun teh Malino adalah mimpi 9 tahun yang tertunda. Mimpi itu semakin kuat setahun lalu namun dibelokkan takdir ke Bantimurung dan tahun ini takdir tak hanya membawa kami ke kebun teh tapi membayar lunas dengan taman bunga, air terjun dan kebun strawberry. God’s plan is the best plan.

Air Terjun Takapala

Air Terjun Takapala berada di sebelah barat laut Gunung (Moncong) Lompobattang. Gunung Lompobattang memiliki beberapa puncak, salah satu yang terkenal karena sering menjadi target pendakian adalah Puncak Bawakaraeng.

Bawakaraeng secara bahasa berarti mulut raja yang kira-kira dapat dimaknai menjadi kehormatan seseorang terletak pada ucapannya. Sebutan lain untuk Bawakaraeng adalah Buttatoayya atau Tanah Tua atau secara istilah adalah suatu tempat tinggi yang dituakan. Sedangkan Lompobattang dalam bahasa setempat berarti perut besar karena bentuknya seperti tubuh raksasa dengan perut yang besar (buncit).

Perjalanan menuju air terjun Takapala melalui jalan desa yang sempit. Sesekali terlihat pohon turi, pohon hutan berbunga oranye. Sisi kiri atau kanan jalan adalah jurang yang dalam. Benar-benar cobaan bagi yang takut ketinggian. Sebelum turunan menuju air terjun ada bekas longsor pada jalan desa.

Air terjun Takapala menumpahkan air dari ketinggian 109 m. Tempias air dan sinar matahari membentuk bianglala di kolam air terjun. Tebing air tejun Takapala adalah barisan indah dan kokoh columnar joint yang terbentuk dari pendinginan dalam magma yang berasal dari Gunung Lompobattang.

Kebun Teh Nittoh

Menuju kebun teh Nittoh di Malino Highland, pengunjung disuguhi pemandangan hijau dan tinggi pohon-pohon pinus. Truk-truk besar pengangkut bahan galian dari Sungai Je’neberang tak ada lagi, digantikan udara yang demikian sejuk sehingga kami memilih untuk menurunkan kaca mobil.

Memasuki kawasan puncak, berjejer rapi, hijau, mungil dan menenangkan, tanaman teh dilatarbelakangi gunung-gunung biru nun jauh sepanjang mata memandang. Suara tapak kuda sesekali terdengar dari jalan setapak di sela-sela tanaman teh. Petani-petani teh tersenyum ramah, menyapa dengan logat yang kental. Mereka berkumpul sambil makan siang, bersenda gurau dan bergembira. Tampaknya teh telah selesai di panen pagi tadi.

Taman Bunga Malino

Kami melewati jalanan kebun teh menuju taman bunga dan melihat Kasuari minum di sungai kecil sebelah kanan jalan. Tawa kami pecah saat ada yang menyebut Kasuari sebagai burung Merak. Kebahagiaan itu terbawa hingga ke gerbang taman bunga. Senyum kami merekah di antara Edelweis dan Dahlia. Semakin ke dalam taman, bunga semakin indah, senyum semakin merekah. Senyum itu lalu dijumput peri, diletakkan di hati kami masing-masing.

Kebun Strawberry Lepo-Lepo

Hati-hati bila kawan berada di kebun strawberry. Kebun ini adanya di lereng pegunungan. Bila mata kawan sekalian terpaku oleh sihir strawberry, bisa-bisa kawan jatuh di lereng.

Sehari sebelum Ramadhan - Mei kemarin - kami bertemu “strawberry” hutan di pedalaman Gorontalo. Kami melahapnya meski tak mengenyangkan. Siapa sangka kami akan melahap strawberry sungguhan dua bulan kemudian. Nikmat memetik buah dan menghabiskannya langsung di dekat pohonnya, hanya dimiliki oleh orang-orang yang senang berpetualang.

Sore, kami kembali ke Makassar. Tugas mendampingi mahasiswa PKM di kota ini telah selesai. Mimpi 9 tahun dan perjalanan ke Malino adalah sebuah pelajaran. Selalu ada kebahagiaan di ujung sebuah penantian panjang. Malino adalah "sekerat kasih sayang yang dilempar Tuhan" ke barat laut Lompobattang. Sejuk dan mendamaikan.

Thank Allah. Malino, 27 June 2019.

___

Tulisan yang sama dapat dibaca pada link eksternal.