ARSIP BULANAN : December 2024

Apakah gambar ini hanya sebagai pemanis?

 

Kemewahan dan Kekuatan

Intan telah lama menjadi simbol kemewahan dan kekuatan, menarik perhatian manusia sejak zaman kuno. Filosof Yunani kuno bahkan percaya intan memiliki kekuatan mistis, seperti menyembuhkan penyakit dan meningkatkan kekuatan pemiliknya. Intan, yang berasal dari kata Yunani "adamao" yang berarti "tidak tertundukkan," dikenal sebagai material paling keras di dunia.

Jenis dan Penggunaan Intan

Intan terbagi menjadi tiga jenis utama berdasarkan kualitas:

  1. Permata/Berlian: Intan yang dipotong dan dipoles menjadi perhiasan.
  2. Batuan Industri: Digunakan untuk alat-alat berat seperti pemotong dan pengasah.
  3. Boart: Digunakan sebagai bahan abrasif.

Kekerasan intan yang ekstrem, mencapai tingkat 10 pada skala Mohs, membuatnya tak tertandingi. Kekuatannya bahkan hanya dapat dilawan oleh intan lainnya.

Keindahan dalam Variasi Warna

Intan murni biasanya transparan, namun impuritas eksternal dan perubahan fisik pada kristal intan yang memengaruhi cara cahaya melewatinya dapat menciptakan warna unik, seperti:

  1. Kuning atau Cokelat: Disebabkan oleh nitrogen.
  2. Biru: Akibat kehadiran boron.
  3. Hijau, Merah, atau Pink: Disebabkan oleh radiasi atau deformasi kristal.

Asal Usul dan Genesa Intan

Sebagian besar intan ditemukan di dalam batuan kimberlit dan lamproit, yang berasal dari kedalaman mantel bumi. Proses vulkanisme membawa intan ke permukaan dalam waktu singkat, sehingga intan tetap utuh. Intan juga dapat ditemukan dalam endapan aluvial di sepanjang sungai.

Intan di Kalimantan

Kalimantan memiliki sejarah panjang sebagai penghasil intan, dengan penemuan pertama di Sungai Landak pada abad ke-2. Intan di Kalimantan sebagian besar ditemukan dalam endapan aluvial seperti sungai purba dan lembah. Hingga kini, penambangan tradisional masih berlangsung, terutama di Martapura, Kalimantan Selatan. Daerah ini dikenal sebagai pusat perdagangan intan, meskipun penelitian ilmiah mengenai sumber daya ini masih terbatas.

Potensi dan Tantangan

Penambangan intan di Indonesia, khususnya di Kalimantan, menyimpan potensi besar. Namun, diperlukan penelitian lebih mendalam untuk memahami penyebaran, lingkungan geologi, dan potensi pengembangan endapan intan ini secara berkelanjutan.

Kekayaan Geologi

Intan tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga merupakan kekayaan geologi. Dengan eksplorasi yang bijak, sumber daya ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi lokal dan global.

Lalu, apakah gambar di atas hanya sebagai pemanis?

Jadi begini, intan terbentuk karena telah melalui proses pemanasan dan tekanan yang tinggi. Dalam kehidupan, manusia pun demikian. Terkadang kita dibully, terkadang kita diroasting, terkadang harus melalui ujian yang berat. Seperti intan yang melalui proses alami untuk mencapai kilauannya, mari kita ambil pelajaran untuk terus berkembang, menghadapi tantangan, dan memanfaatkan potensi terbaik dalam diri kita. Dengan tekad dan kerja keras, kita pun dapat bersinar seperti intan yang tak tertandingi. Semoga tulisan ini menginspirasi kita untuk melihat keindahan dalam setiap aspek kehidupan, sama seperti kita melihat keindahan dalam kekuatan dan kemewahan intan.

Salam

Intan, di Gorontalo.

Seorang geolog perempuan di hadapan gunung api yang sedang erupsi. When you witness lava and other volcanic products, don’t take it too seriously

 

PENDAHULUAN

Vulkanologi, atau studi kegunungapian, adalah cabang ilmu geologi yang mempelajari proses dinamis bumi terkait dengan gunung api. Pemahaman tentang vulkanologi mencakup berbagai aspek, seperti asal-usul gunung api, proses pembentukannya, dinamika aktivitasnya, hingga cara mitigasi untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap manusia. Selain itu, vulkanologi juga mengeksplorasi potensi pemanfaatan gunung api untuk kesejahteraan manusia, misalnya dalam bidang energi dan pariwisata.

Dalam perjalanan sejarahnya, studi kegunungapian telah berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Pemahaman awal yang didasarkan pada observasi dan spekulasi filsafat kini didukung oleh pendekatan berbasis data dan penggunaan metode modern seperti geofisika, geokronologi, dan paleomagnetik. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji evolusi pemikiran kegunungapian dari zaman pra-sejarah hingga revolusi sains, dengan fokus pada implikasinya bagi studi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi. Kajian ini juga akan menunjukkan hubungan antara sejarah ilmu kegunungapian dengan teknologi modern dalam pengembangan sains.

FILSAFAT, SEJARAH, DAN TEKNOLOGI KEGUNUNGAPIAN

Kegunungapian pada Zaman Pra-Sejarah

Pada zaman pra-sejarah, manusia purba telah berinteraksi dengan fenomena vulkanik. Salah satu bukti paling awal adalah mural di situs arkeologi Anatolia Tengah, Turki, yang diyakini menggambarkan letusan Gunung Hasan Dag. Mural ini menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kesadaran terhadap fenomena vulkanik, meskipun interpretasi mereka didasarkan pada pengalaman langsung tanpa didukung pemahaman ilmiah.

Teknologi pada masa ini sangat sederhana, terbatas pada alat berburu dan meramu yang dibuat dari batuan vulkanik. Namun, keberadaan mural ini menandai awal dari pengamatan manusia terhadap dinamika bumi yang kelak menjadi dasar bagi studi kegunungapian modern.

Kegunungapian pada Zaman Yunani

Filsuf Yunani seperti Empedocles, Aristoteles, dan Theophrastus berkontribusi pada pemahaman awal tentang fenomena vulkanik. Empedocles mengusulkan bahwa gunung api terbentuk karena adanya kekuatan api di dalam bumi, sementara Aristoteles dalam Meteorologica menyebutkan bahwa gunung api terjadi akibat pergerakan udara di bawah tanah yang cepat, terutama di wilayah dekat laut.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa filsuf Yunani sudah memahami bumi sebagai entitas dinamis, meskipun belum ada pendekatan empiris untuk mendukung teori mereka. Ide ini menjadi landasan bagi teori-teori vulkanologi modern tentang aktivitas magma di bawah permukaan bumi.

Kegunungapian pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, pemikiran tentang gunung api didasarkan pada spekulasi dan pengamatan terbatas. Venerabilis Beda berpendapat bahwa gunung api terbentuk dari angin yang terperangkap di pori-pori bumi, sementara Agricola mengusulkan bahwa bahan seperti sulfida dan batu bara di gua bawah tanah menjadi bahan bakar yang menyebabkan letusan.

Walaupun ide-ide ini masih jauh dari akurat, pendekatan mereka menunjukkan adanya upaya untuk memahami gunung api dengan mengamati fenomena fisik di alam.

Kegunungapian pada Masa Revolusi Sains

Periode ini menandai perubahan besar dalam studi kegunungapian. Lazaro Moro mengemukakan bahwa panas internal bumi mengangkat gunung api dari bawah laut, yang didukung oleh penemuan fosil laut di puncak gunung. James Hutton lebih lanjut memperkuat konsep bumi dinamis melalui pengamatannya terhadap sill granit dan batuan basal, yang menunjukkan bahwa gunung api mengalami regenerasi melalui siklus geologis.

Christian Leopold von Buch mengusulkan teori pengangkatan gunung api, tetapi teori ini kemudian dibantah oleh Louis-Constant Prévost, yang berpendapat bahwa gunung api terbentuk melalui akumulasi material vulkanik. Perdebatan ini menjadi cikal bakal teori tektonik modern, yang diperkuat oleh pengembangan teori pengapungan benua oleh Alfred Wegener dan tektonik lempeng oleh Harry H. Hess.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM STUDI KEGUNUNGAPIAN

Kemajuan teknologi telah membuka jalan bagi penelitian kegunungapian yang lebih mendalam. Instrumen modern seperti magnetometer, spektrometer, dan peralatan geofisika lainnya memungkinkan pengukuran aktivitas vulkanik dengan tingkat presisi yang tinggi. Metode geokronologi dan petrogeokimia memberikan wawasan tentang usia dan komposisi material vulkanik, sedangkan metode paleomagnetik membantu merekonstruksi evolusi geodinamika wilayah seperti Lengan Utara Sulawesi.

Sebagai contoh, studi evolusi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi menggunakan metode ini dapat memberikan wawasan tentang pola deformasi kerak bumi, dinamika mantel, dan sejarah aktivitas vulkanik di wilayah tersebut.

KESIMPULAN

Studi kegunungapian telah berkembang dari pengamatan sederhana pada zaman pra-sejarah hingga pendekatan berbasis teknologi di era modern. Pemikiran filsuf Yunani dan abad pertengahan menunjukkan bahwa manusia selalu berusaha memahami dinamika bumi, meskipun tanpa dukungan teknologi canggih. Perkembangan di masa revolusi sains, terutama teori tentang bumi dinamis dan pembentukan gunung api, menjadi dasar bagi studi vulkanologi modern.

Penelitian evolusi vulkano-tektonik di Lengan Utara Sulawesi mencerminkan integrasi antara sejarah pemikiran kegunungapian, filsafat, dan teknologi. Melalui penggunaan metode seperti paleomagnetik dan petrogeokimia, riset ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru tentang dinamika vulkanik regional, serta kontribusi terhadap pemahaman global tentang evolusi vulkano-tektonik.

___

Tulisan ini lahir di sebuah kamar di lantai tujuh yang menghadap Gunung Merapi, Merbabu, dan Telomoyo, oleh seorang peneliti pemula yang tengah mempelajari volcano-tectonics di Lengan Utara Sulawesi, sambil mengenang waktu di kelas Filsafat Keilmuan dengan buku Filsafat Teknologi karya Don Ihde di tangannya.

Yogyakarta, 7 Desember 2024

Bali: Malam 120 Bulan 1 Mimpi

07 December 2024 12:18:26 Dibaca : 39

Perjalanan ke Bali berawal dari sebuah mimpi yang berumur 120 bulan. Perkenalan saya dengan Bali, terutama Pantai Kuta, bermula dari buku-buku yang saya baca sewaktu SD. Entah bagaimana caranya, Bali seolah menjadi magnet yang memiliki daya tarik magis yang sangat kuat sejak 120 bulan yang lalu. Hingga akhirnya, mimpi tentang Bali, sebagaimana mimpi tentang Malino, dituntaskan dengan sangat manis oleh Yang Maha Kuasa pada 27–31 Agustus 2019. Pada tanggal itu, saya bertemu dengan 1614 ilmuwan muda di Bali untuk Indonesia yang lebih baik.

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (GWK) terletak di daerah selatan Bali, dibangun di atas batugamping yang terangkat ke permukaan laut pada Pliosen Akhir. Memasuki GWK, pengunjung akan disambut oleh lorong-lorong batugamping yang dipahat menjulang tinggi di kiri dan kanan. Jika Anda berbelok ke arah timur, akan terlihat singkapan batugamping yang tersesarkan, dengan kandungan fosil yang membawa pengunjung kembali ke kala Miosen.

Berdiri di GWK berarti Anda berdiri di atas batuan berumur sekitar 20 juta tahun yang terbentuk di dasar laut dan terangkat ke permukaan sekitar 1,8 juta tahun lalu. Taman budaya yang dibangun selama 28 tahun ini tidak hanya menawarkan keindahan budaya, tetapi juga menyuguhkan fenomena geologi yang menarik. Sebuah tempat yang mengajarkan kita betapa alam ini penuh dengan cerita yang tak terungkapkan.

Kami mengunjungi GWK pada saat pembukaan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 32 yang dilaksanakan di Universitas Udayana. Kegiatan PIMNAS 32 (presentasi dan pameran poster) berlangsung di kampus Udayana, sementara penutupan dilaksanakan di Taman Werdhi Budaya Art Centre. Setelah itu, kami melanjutkan kegiatan akademik dengan melancong ke produk marin di selatan Bali.

Pantai Kuta

Kunjungan pertama kami ke Kuta terjadi setelah matahari terbenam. Gelap, hanya ada bapak pengumpul sampah plastik yang tampak sibuk. Sesekali, cahaya dari pesawat yang akan mendarat di Ngurah Rai menerangi langit malam. Sebelah selatan, ada cahaya yang tampak jauh, namun terhalang oleh pepohonan nyiur Kuta. Monsoon Australia menggerakkan daun-daun pepohonan, mendorong ombak ke pesisir, bertemu pasir, lalu pecah.

Tiga hari setelah malam itu, kami kembali ke Kuta sebelum matahari terbenam. Terang, ramai, dan penuh keceriaan. Rasanya bahagia bisa melihat Kuta dalam dua suasana yang berbeda. Sebuah keluarga bermain layangan elang. Ada yang duduk, ada yang berlari, ada yang berenang, ada yang berfoto-foto. Peselancar sibuk menaklukkan ombak, sementara penjaga pantai hilir mudik, sibuk meniup peluit menjelang maghrib.

Kuta tetap mempertahankan kesan alami pantainya. Pasir pantainya dibiarkan tersebar tanpa beton atau bongkah batu. Bali, dalam hal pariwisata, memang tahu benar bagaimana meramu pesona alami dengan kenyamanan wisatawan.

Kedonganan Fish Market and Grill

Kedonganan Fish Market and Grill terletak di Pantai Kedonganan, Kuta, diapit oleh Pantai Jimbaran dan Pantai Kelan. Jika Anda ingin menikmati suasana pantai di Bali sambil menyantap seafood, Kedonganan adalah pilihan yang tepat. Terdapat pasar ikan tradisional di sebelah timur Pantai Kedonganan, yang menjajakan berbagai jenis seafood segar hasil tangkapan nelayan Bali.

Di sekitar pasar ikan berderet warung-warung yang siap mengolah seafood hasil hunting di pasar ikan. Pilihan bumbu dan teknik masak sesuai request pengunjung. Seafood di Kedonganan Fish Market and Grill terkenal segar dan terjangkau.

WNA dari berbagai negara banyak yang mengunjungi Kedonganan. Beberapa, dari bahasa/dialek misalnya, dapat kami deteksi asalnya. Sebut saja yang duduk di sebelah kanan meja kami, berasal dari Korea, di depan kami dari Jerman dan Amerika. Sewaktu berbelanja di pasar kami bertemu turis Jepang yang sedang menawar Lobster. Selebihnya perhatian kami diserap berupa-rupa keluarga laut.

Menikmati seafood sambil mendengarkan berbagai bahasa yang saling bertabrakan di sana-sini, dengan latar belakang musik tradisional Bali dari radio warung, sungguh menyenangkan dan berbekas di hati.

Malam 120 Bulan 1 Mimpi

Benarlah kata Andrea Hirata, "Bermimpilah, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu." Dan, sebelum meninggalkan Pulau Dewata pagi itu, saya menyadari bahwa dengan kesabaran dan ketekunan, 'pelukan' Tuhan akan mengantarkan mimpi kita pada kenyataan.

Mimpi saya tentang Bali, yang telah berumur 120 bulan, akhirnya terwujud dengan cara yang indah, memberi makna lebih dalam pada setiap langkah perjalanan saya. Bali, dengan segala pesonanya, bukan hanya mengingatkan saya pada sebuah tujuan wisata, tetapi juga pada perjalanan panjang untuk mewujudkan impian dan harapan.

Bali, 31 Agustus 2019.

___

PS: "Malam... bulan, 1 mimpi" berasal dari percakapan tahun 2000-an dengan teman kos di Makassar, dan merupakan judul novel dari adik teman kami yang ditolak penerbit.

Tulisan yang serupa, disertai dengan gambar tambahan, dapat ditemukan pada tautan eksternal.

Socrates dan Kebenaran yang Terbungkam

07 December 2024 11:58:16 Dibaca : 49

Tulisan ini saya mulai dengan kata bijak dalam bahasa Gorontalo yang pernah saya dengar dari sebuah karya seni berjudul Buwayi:

Batanga Japilohongia | Po'opiyohe todudelo |

Lipundo lipu lo'adati | Tunuhiyo sare'ati.

Kata-kata ini mengajak siapa pun yang menghirup udara di Gorontalo untuk memahami makna kehidupan dan menghargai nilai-nilai luhur. Lalu, apa kaitannya dengan Socrates?

Socrates adalah filsuf Yunani yang hidup pada 469 - 399 SM. Pendapatnya yang terkenal adalah tentang pentingnya membangkitkan rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan dalam diri manusia. Cinta ini, menurut Socrates, memotivasi manusia untuk berpikir jernih dan hidup dengan prinsip moral yang lurus.

Pada tahun 423 SM, sebuah komedi tragis tentang Socrates dipentaskan di Athena. Penulisnya adalah Aristophanes, seorang yang memiliki pandangan konservatif dan bertentangan dengan pemikiran Socrates. Dalam komedi itu, Socrates digambarkan sebagai seorang guru yang merusak generasi muda. Baginya, Socrates adalah ancaman yang patut dibenci*).

Peradilan di Athena pun akhirnya menjerat Socrates. Apologia—pembelaan Socrates terhadap dirinya—tak cukup kuat untuk membendung tuduhan yang ditujukan padanya. Meletos, Anytos, dan Lycon, yang berada di balik tuduhan itu, berhasil mempersatukan suara mereka untuk menjatuhkan hukuman. Dalam konteks ini, saya teringat akan ungkapan dari bahasa Gorontalo: Lo iya lo tau wa, Tau wa loloiya, Boodila polulia hi lawo. Ungkapan ini mengingatkan kita tentang bagaimana sebuah kesepakatan bisa mengorbankan keadilan.

Peradilan yang tidak adil inilah yang membuat Socrates menenggak racun di hadapan murid-muridnya. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya sedikit banyak dipengaruhi oleh pembunuhan karakter yang dilakukan Aristophanes melalui panggung hiburan. Memang, dalam masyarakat yang gagal menghargai pemikiran kritis, individu yang setia pada prinsip moral sering kali menjadi sasaran penghakiman yang tidak adil.

Telah sampaikah kabar Socrates minum racun? Gnothi Seauton Kai Meden Agan, Aristophanes!

[Di suatu tempat di Gorontalo, bukan di Athena, pada suatu waktu yang tak terikat oleh sejarah].

*)Terdapat beragam pandangan mengenai penyebab kematian Socrates. Beberapa berpendapat bahwa The Clouds karya Aristophanes tidak begitu berpengaruh terhadap hukuman mati Socrates. Sebaliknya, tulisan ini mengemukakan perspektif yang berbeda, seperti yang diungkapkan oleh Plato dalam Apologia, Gregory Vlastos, dan Will Durant dalam The Story of Philosophy, meskipun ketegangan politik, sosial, dan keagamaan pasca-Perang Peloponnesia mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar.

Tulisan ini disadur dari tulisan yang sama berjudul "Telah Sampaikah Kabar Socrates Minum Racun?"