Saat Menang Bukan Lagi Tujuan Utama dalam Pembelajaran
Dalam kehidupan kampus, kita kerap bertemu individu dengan kemampuan akademik luar biasa. Mereka cepat memahami konsep, unggul dalam kompetisi, dan menunjukkan kecakapan intelektual. Namun, dalam banyak situasi, kita menyadari bahwa kecerdasan saja tidak selalu cukup.
Sebuah kejadian sederhana di kelas kimia dasar memberikan ilustrasi menarik. Seorang mahasiswa yang dikenal sangat cerdas menantang asisten dosen (asdos) untuk menyelesaikan soal perhitungan kompleks di depan teman-temannya. Tantangan tersebut diterima, dan sang mahasiswa berhasil menyelesaikan soal itu lebih cepat. Teman-temannya bersorak, sementara sang asdos hanya tersenyum menerima hasil tersebut.
Beberapa minggu kemudian, setelah ujian tengah semester, mahasiswa itu kembali meminta bimbingan kepada asdos yang sama. Kali ini mereka membahas soal analitis yang lebih konseptual. Di luar dugaan mahasiswa itu, asdos mampu menjelaskan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan kedalaman penalaran yang jauh lebih matang.
Dengan heran mahasiswa itu bertanya, “Mengapa waktu itu saya bisa mengalahkan Kakak dengan mudah?”
Asdos tersebut menjawab dengan tenang: “Waktu itu saya melihat kamu sedang membangun kepercayaan diri. Mengalah bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena tugas saya adalah membantu kamu berkembang, bukan menunjukkan siapa yang lebih hebat.”
Kisah sederhana ini menyadarkan kita bahwa pintar (dalam arti mampu memecahkan persoalan) tidak otomatis sama dengan bijaksana, yaitu kemampuan memahami konteks, membaca situasi sosial, serta menahan diri demi kebaikan orang lain.
Dalam dunia akademik, kebijaksanaan sering kali hadir dalam bentuk-bentuk kecil namun bermakna: memberi ruang bagi mahasiswa tumbuh, tidak menjadikan setiap interaksi sebagai arena kompetisi, serta menempatkan ego di belakang kepentingan pembelajaran.
Pada akhirnya, kecerdasan adalah modal; tetapi kebijaksanaan adalah arah. Pintar belum tentu bijaksana, tetapi kebijaksanaan selalu bertumpu pada kemampuan, empati, dan kerendahan hati.
Bias Good Looking di Kampus
Mengapa Penampilan Lebih Diperhatikan daripada Kemampuan?
Ada hal menarik yang sering saya perhatikan di lingkungan kampus. Kita selalu menekankan pentingnya kemampuan, pemikiran kritis, dan kualitas akademik. Tetapi di bawah permukaan itu semua, ada mekanisme sosial lain yang berjalan pelan namun kuat: penampilan sering kali mendapat tempat khusus dalam penilaian kita terhadap orang lain.
Tidak ada yang mengakuinya secara terbuka, tetapi kita sering merasakannya.
Dalam banyak interaksi sehari-hari, seseorang yang dianggap “good looking” cenderung lebih cepat dipuji, lebih mudah diterima, bahkan lebih sering diberi ruang untuk tampil. Penampilan menjadi kesan pertama yang kadang menentukan bagaimana kita memandang mereka seterusnya, sebelum kemampuan mereka sempat ditunjukkan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Ia berulang, membentuk pola, dan pada akhirnya menjadi bias.
Ketika Visual Mendahului Kualitas.
Di ruang kelas, organisasi, atau kegiatan kampus lainnya, penampilan sering menjadi penilaian awal. Rasanya tidak adil, tapi itulah kecenderungan manusia: kita menilai dengan mata sebelum pikiran mengambil alih. Seseorang yang terlihat menarik dianggap lebih percaya diri, lebih kompeten, bahkan lebih cerdas. Padahal semua itu baru asumsi, belum tentu kenyataan. Bias semacam ini membuat sebagian mahasiswa merasa harus tampil “sempurna” agar diterima. Sementara yang lain merasa tertinggal, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak masuk kategori visual yang dihargai secara sosial.
Bias Sosial yang Membentuk Ketimpangan.
Masalahnya bukan pada individu yang menarik secara visual. Masalahnya adalah bias sosial yang kemudian terbentuk. Mereka yang good looking memiliki keuntungan tertentu: lebih mudah dipercaya, lebih cepat dikenal, lebih sering dianggap layak tampil di depan. Sebaliknya, mahasiswa lain perlu berusaha berkali-kali lipat untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya tidak kalah. Padahal kampus seharusnya memberi ruang yang adil, termasuk pada mereka yang mungkin tidak menonjol secara visual, tetapi memiliki kompetensi luar biasa.
Mengembalikan Kampus pada Ruhnya
Bias good looking memang manusiawi, tetapi bukan berarti tidak bisa disadari. Ketika kita menyadari adanya bias, kita mulai bisa mengimbanginya: memberi kesempatan lebih luas, tidak cepat mengambil asumsi, dan berfokus pada kemampuan yang sebenarnya. Kampus adalah ruang belajar. Ruang tumbuh. Ruang bagi gagasan, bukan hanya impresi visual.
Di Balik Layar Kampus Mengajar: Pengalaman Pribadi yang Mengubah Cara Saya Melihat Pembelajaran

Menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) di Program Kampus Mengajar selama empat angkatan berturut-turut angkatan 3, 4, 5, dan 6 memberikan perjalanan yang tidak hanya melelahkan, tetapi juga sangat memperkaya. Ketika saya melihat kembali proses yang saya jalani, rasanya seperti membaca ulang bab-bab pembelajaran yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
Pada angkatan 6, saya kembali dipercaya untuk hadir dalam kegiatan Kick Off dan pelepasan peserta. Tema waktu itu, “Pemulihan dan Transformasi Pembelajaran Melalui Program Kampus Mengajar,” terasa begitu dekat dengan pengalaman yang pernah saya lihat langsung di sekolah-sekolah binaan. Dalam kegiatan tersebut, hadir pula Kepala Program Kampus Mengajar dan Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Asri Ardila Putri, yang memberikan arahan penuh semangat.
Saya masih ingat bagaimana awalnya saya memandang Kampus Mengajar hanya sebagai program pendampingan di sekolah. Namun setelah beberapa angkatan, saya sadar bahwa program ini jauh lebih dari sekadar kegiatan pendampingan. Kampus Mengajar adalah ruang tumbuh, baik untuk mahasiswa, guru, maupun saya sendiri sebagai DPL.
Program ini, yang menjadi salah satu unggulan MBKM, telah banyak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD dan SMP. Saya melihat sendiri bagaimana mahasiswa belajar menyesuaikan diri, mencari solusi kreatif, mengembangkan model pembelajaran, dan akhirnya menjadi mitra sejati bagi guru di kelas. Dari mereka, saya belajar bahwa inovasi kadang muncul dari keberanian mencoba hal sederhana secara konsisten.
Kampus Mengajar juga membekali mahasiswa dengan keahlian yang tidak selalu mereka dapatkan di kelas: komunikasi antargenerasi, manajemen kelas, penyelesaian masalah yang tidak terduga, hingga kemampuan membaca dinamika sosial di sekolah. Semua itu berkontribusi pada penguatan literasi dan numerasi di sekolah-sekolah sasaran, sebuah proses kecil tapi berarti dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dasar.
Melihat perjalanan ini, saya merasa setiap angkatan memiliki ceritanya sendiri. Ada tantangan, ada tawa, ada situasi yang membuat saya bangga, dan ada pula yang memaksa saya belajar kembali tentang kesabaran dan empati. Namun pada akhirnya, pengalaman menjadi DPL selalu membawa saya pada satu kesimpulan: pendidikan berubah bukan hanya karena kebijakan besar, tetapi karena interaksi kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.

Mengukir Masa Depan: Cerita Sebagai Dosen Pembimbing Lapangan Kampus Mengajar
Perjalanan saya sebagai Dosen Pembimbing Lapangan dimulai dengan langkah pertama di tanah Gorontalo, sebuah daerah yang menyimpan sejuta potensi namun masih memerlukan banyak sentuhan pendidikan. Gorontalo, yang terletak di kawasan Teluk Tomini, dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau, namun juga dihadapkan pada tantangan pembangunan yang nyata. Dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih rendah, daerah ini memerlukan upaya kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya melalui pendidikan.
Saya masih mengingat dengan jelas hari pertama saya tiba, disambut oleh senyuman ramah penduduk setempat dan semangat para mahasiswa yang siap untuk memulai petualangan baru dalam program Kampus Mengajar. Sebagai Dosen Pembimbing, tugas saya tidak hanya mengawasi dan memberikan arahan, tetapi juga menjadi bagian dari proses transformasi yang dialami oleh para mahasiswa. Mereka, yang datang dari berbagai daerah dengan latar belakang yang beragam, berkumpul dengan satu tujuan: memberikan kontribusi nyata untuk pendidikan di Gorontalo.
Saya belajar bahwa peran sebagai pembimbing tidak sekadar memberikan bimbingan akademis. Saya harus mampu menjadi pendengar yang baik serta solusi bagi berbagai tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa. Setiap hari adalah pelajaran baru, baik bagi saya maupun mahasiswa yang saya bimbing. Salah satu momen paling berkesan adalah ketika kami mengadakan kegiatan belajar bersama di sebuah sekolah dasar di desa terpencil. Melihat antusiasme anak-anak dalam menerima pelajaran, meskipun dengan keterbatasan fasilitas, sungguh mengharukan. Di sinilah saya menyadari betapa besar dampak dari kehadiran kami. Bukan hanya materi yang kami sampaikan, tetapi juga semangat dan harapan yang kami bawa.
Gorontalo, sebagai bagian dari Teluk Tomini, menghadapi tantangan yang cukup berat dalam hal pendidikan dan pembangunan manusia. IPM yang rendah mencerminkan kesenjangan akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan ekonomi yang stabil. Namun, hal ini justru memacu semangat kami untuk memberikan yang terbaik. Kami percaya bahwa melalui pendidikan, kami bisa membantu mengukir masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak di Gorontalo.Fokus utama kami dalam program ini adalah meningkatkan literasi dan numerasi. Kami mengadakan berbagai kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan membaca dan berhitung anak-anak, yang merupakan dasar penting bagi kemampuan akademis mereka di masa depan. Para mahasiswa yang saya bimbing bekerja keras untuk mengembangkan metode pengajaran kreatif dan menarik yang dapat merangsang minat belajar anak-anak. Tak jarang, kami harus berhadapan dengan tantangan yang tidak terduga. Mulai dari keterbatasan akses transportasi hingga kondisi cuaca yang ekstrem. Namun, setiap tantangan tersebut menjadi pelajaran berharga dan menguatkan tekad kami untuk terus berjuang. Mahasiswa yang saya bimbing juga menunjukkan keberanian dan dedikasi yang luar biasa. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar dari komunitas setempat, memahami kebudayaan, dan menjadi bagian dari masyarakat.
Perjalanan ini juga memperkaya perspektif saya sebagai pendidik. Mengajarkan saya bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun karakter, nilai-nilai, dan semangat juang. Melihat para mahasiswa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih matang dan bijaksana adalah kepuasan tersendiri yang tidak bisa diukur dengan apapun.
Ketika program ini berakhir, kami tidak hanya meninggalkan jejak berupa peningkatan kualitas literasi dan numerasi di sekolah, tetapi juga meninggalkan bagian dari hati kami di sana. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil bisa memberikan perubahan besar bagi masa depan seseorang.
Mengukir masa depan bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan kebersamaan, semangat, dan tekad yang kuat, kita mampu melakukannya. Pengalaman sebagai Dosen Pembimbing Lapangan di Gorontalo adalah salah satu babak paling berharga dalam perjalanan hidup saya sebagai pendidik. Ini adalah cerita tentang pengabdian, pembelajaran, dan harapan.