Saat Menang Bukan Lagi Tujuan Utama dalam Pembelajaran
Dalam kehidupan kampus, kita kerap bertemu individu dengan kemampuan akademik luar biasa. Mereka cepat memahami konsep, unggul dalam kompetisi, dan menunjukkan kecakapan intelektual. Namun, dalam banyak situasi, kita menyadari bahwa kecerdasan saja tidak selalu cukup.
Sebuah kejadian sederhana di kelas kimia dasar memberikan ilustrasi menarik. Seorang mahasiswa yang dikenal sangat cerdas menantang asisten dosen (asdos) untuk menyelesaikan soal perhitungan kompleks di depan teman-temannya. Tantangan tersebut diterima, dan sang mahasiswa berhasil menyelesaikan soal itu lebih cepat. Teman-temannya bersorak, sementara sang asdos hanya tersenyum menerima hasil tersebut.
Beberapa minggu kemudian, setelah ujian tengah semester, mahasiswa itu kembali meminta bimbingan kepada asdos yang sama. Kali ini mereka membahas soal analitis yang lebih konseptual. Di luar dugaan mahasiswa itu, asdos mampu menjelaskan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan kedalaman penalaran yang jauh lebih matang.
Dengan heran mahasiswa itu bertanya, “Mengapa waktu itu saya bisa mengalahkan Kakak dengan mudah?”
Asdos tersebut menjawab dengan tenang: “Waktu itu saya melihat kamu sedang membangun kepercayaan diri. Mengalah bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena tugas saya adalah membantu kamu berkembang, bukan menunjukkan siapa yang lebih hebat.”
Kisah sederhana ini menyadarkan kita bahwa pintar (dalam arti mampu memecahkan persoalan) tidak otomatis sama dengan bijaksana, yaitu kemampuan memahami konteks, membaca situasi sosial, serta menahan diri demi kebaikan orang lain.
Dalam dunia akademik, kebijaksanaan sering kali hadir dalam bentuk-bentuk kecil namun bermakna: memberi ruang bagi mahasiswa tumbuh, tidak menjadikan setiap interaksi sebagai arena kompetisi, serta menempatkan ego di belakang kepentingan pembelajaran.
Pada akhirnya, kecerdasan adalah modal; tetapi kebijaksanaan adalah arah. Pintar belum tentu bijaksana, tetapi kebijaksanaan selalu bertumpu pada kemampuan, empati, dan kerendahan hati.
Di Balik Layar Kampus Mengajar: Pengalaman Pribadi yang Mengubah Cara Saya Melihat Pembelajaran

Menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) di Program Kampus Mengajar selama empat angkatan berturut-turut angkatan 3, 4, 5, dan 6 memberikan perjalanan yang tidak hanya melelahkan, tetapi juga sangat memperkaya. Ketika saya melihat kembali proses yang saya jalani, rasanya seperti membaca ulang bab-bab pembelajaran yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
Pada angkatan 6, saya kembali dipercaya untuk hadir dalam kegiatan Kick Off dan pelepasan peserta. Tema waktu itu, “Pemulihan dan Transformasi Pembelajaran Melalui Program Kampus Mengajar,” terasa begitu dekat dengan pengalaman yang pernah saya lihat langsung di sekolah-sekolah binaan. Dalam kegiatan tersebut, hadir pula Kepala Program Kampus Mengajar dan Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Asri Ardila Putri, yang memberikan arahan penuh semangat.
Saya masih ingat bagaimana awalnya saya memandang Kampus Mengajar hanya sebagai program pendampingan di sekolah. Namun setelah beberapa angkatan, saya sadar bahwa program ini jauh lebih dari sekadar kegiatan pendampingan. Kampus Mengajar adalah ruang tumbuh, baik untuk mahasiswa, guru, maupun saya sendiri sebagai DPL.
Program ini, yang menjadi salah satu unggulan MBKM, telah banyak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD dan SMP. Saya melihat sendiri bagaimana mahasiswa belajar menyesuaikan diri, mencari solusi kreatif, mengembangkan model pembelajaran, dan akhirnya menjadi mitra sejati bagi guru di kelas. Dari mereka, saya belajar bahwa inovasi kadang muncul dari keberanian mencoba hal sederhana secara konsisten.
Kampus Mengajar juga membekali mahasiswa dengan keahlian yang tidak selalu mereka dapatkan di kelas: komunikasi antargenerasi, manajemen kelas, penyelesaian masalah yang tidak terduga, hingga kemampuan membaca dinamika sosial di sekolah. Semua itu berkontribusi pada penguatan literasi dan numerasi di sekolah-sekolah sasaran, sebuah proses kecil tapi berarti dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dasar.
Melihat perjalanan ini, saya merasa setiap angkatan memiliki ceritanya sendiri. Ada tantangan, ada tawa, ada situasi yang membuat saya bangga, dan ada pula yang memaksa saya belajar kembali tentang kesabaran dan empati. Namun pada akhirnya, pengalaman menjadi DPL selalu membawa saya pada satu kesimpulan: pendidikan berubah bukan hanya karena kebijakan besar, tetapi karena interaksi kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.
