MENGHANCURKAN CEBONG DAN KADRUN,  MEREKONSTRUKSI KEIINDONESIAAN MELALUI BAHASA INDONESIA

Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Tulisan ini adalah refleksi tentang rasa keiindonesiaan kita menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2022. Setiap tahun kita memperingati hari ini dengan meriah. Kita mengadakan upacara bendera, menghormati bendera merah putih kita sebagai representai tanah air. Dalam upacara itu kita serempak mengulangi kembali ketiga butir sumpah yang diucapkan para pemuda itu. Dalam upacara itu kita merefleksi sejarah saat-saat para pemuda pendiri bangsa ini berjuang untuk keiindonesiaan kita, yang kemudian ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Poin terakhir sumpah ini adalah bahwa kita putera dan puteri Indonesia menjunjung tingga bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa seyogyanya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa pemecah bangsa.

 Rasa kebangsaan kita tercermin dalam sikap kita, ucapan verbal kita. Bila kita setuju bahwa bahasa adalah cermin dari realita, maka ungkapan-ungkapan yang lagi popular di media sosial adalah cermin kebangsaan kita yang menunjukkan tanda-tanda keretakan.Label-label cebong dan kadrun merefleksikan adanya dua pihak yang saling berhadap-hadapan, yang saling berkonfrontasi.  Dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini, penulis menguraikan lebih mendetail tentang label ini dalam kaitannya dengan gambaran keretakan keindonesiaan kita dengan kacamata Critical Discourse Analysis, yakni analisis bahasa dan kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan.

Mengapa penulis mengaitkanya bahasa dengan ideologi dan kekuasaan? Bisa dijawab dengan merujuk pada kisah dalam Alquran bahwa Allah SWT mengajarkan nama-nama benda kepada Nabi Adam yang diplot sebagai khalifah pengatur dunia. Mengapa yang diajarkan adalah nama-nama benda dan bukan ilmu manajemen sebagaimana yang diakui oleh manusia sekarang ini sebagai ilmu mengatur organisasi? Ini juga akan dibahas dalam sesi selanjutnya.

 

Bahasa dan Kekuasaan

Sebagaimana dikemukakan di atas, setelah Allah menciptakan Nabi Adam. Allah mengajarkan nama-nama benda kepadanya. Ini berarti Allah mengajarkan bahasa kepada Nabi Adam. Pertanyaan yang selanjutnya, megapa bahasa yang diajarkan, bukan ilmu lainnya? Ternyata bahasa bisa berfungsi sebagai alat kekuasaan. Dengan menguasai bahasa, manusia bisaberkuasa, dalam hal ini menguasai pikiran manusia. Bila kita ingin menguasai manusia maka kuasai dahulu pikirannya,

Bahasa sebagai alat kekuasaan dibahas dalam cabang ilmu linguistik Critical Discourse Analysis atau Analisis Wacana Kritis. Dick (1993) mendefinisikan analisis wacana ini sebagai analisis penggunaan bahasa dalam konteks kekuasaan. Kata konteks mengacu pada siapa yang berbicara, siapa pendengar, apa yang dibicarakan, apa tujuannya. Dikaitkan dengan kekuasaan, bahasa digunakan oleh pembicara dengan tujuan menguasai pikiran pendengar agar bisa diarahkan sesuai kehendak pembicara. Hal ini tercermin dalam penggunaan kata yang kemudian diberi konotasi tertentu. Di masa Orde Baru kita sering mendengar label-label seperti Bahaya Laten Komunis, Organisasi Tanpa Bentuk, Stabilitas Negara. Kata-kata ini ada hubungannya dengan penguasaan pikiran rakyat Indonesia. Komunis adalah paham yang terlarang di Indonesia, dan Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Suharto berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan melalui G.30 S PKI pada tahun 1965. Maka saat Orde Baru berkuasa setiap mereka yang mengkritisi pemerintah akan segera mendapat label komunis, lalu akan muncul peringatan tentang bahaya laten komunis. Kemudian muncul lagi label Organisasi Tanpa Bentuk. Label ini juga mengacu pada organisasi terlarang PKI yang ditenggarai sebagai bahaya laten yang akan muncul diam-diam tanpa bentuk yang bisa dilihat. Label ini akan dilekatkan pada setiap orang yang bersikap kritis. Pelabelan ini sangat berhasil membuat para tokoh kritis diam.

Para pejuang kemerdekaan kita dilabeli sebagai pahlawan. Tapi harus diingat bahwa yang melabeli itu adalah kita bangsa Indonesia dengan tujuan mengobarkan jiwa perjuangan kemerdekaan. Dari sudut pandang kita bangsa Indonesia, mereka adalah pejuang yang gagah perkasa. Tapi di mata Belanda mereka adalah perberontak yang meruntuhkan kekuasaan mereka di Bumi Indonesia. Maka mereka melabeli para pahlawan itu sebagai ekstrimis yang maknanya sama dengan teroris. Di sini kita lihat perebutan kekuasaan. Kita yang berusaha menguasai pikiran orang bahwa kita berhak merdeka dan Belanda yang berusaha meyakinkan orang bahwa Indonesia adalah wilayah syah kekuasaan mereka. Maka mereka yang melawan penjajahan adalah pemberontak yang dilabeli ekstrimis.

 

 

Cebong dan Kadrun

Cebong dan Kadrun adalah pelabelan yang marak di Indonesia akhir-akhir ini. Cebong adalah label yang diberikan kepada mereka yang pro pemerintah, yang selalu mendukung politik pemerintah. Label ini diberikan oleh mereka yang mengambil sikap anti pemerintah, diberikan konotasi negatif sebagai orang yang kurang berpikir. Sementara kadrun adalah label yang dilekatkan oleh mereka yang pro-pemerintah kepada mereka yang selalu mengkritisi pemerintah. Kadrun adalah sejenis binatang gurun pasir. Ini dilabelkan kepada pihak pengkritik pemerintah yang berasal dari golongan Islam yang dianggap sebagai Islam garis keras.

Kedua pihak ini nampaknya berusaha memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan. Ada upaya masing-masing pihak mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya. Semakin banyak pendukung semakin membuka peluang untuk menang. Masing-masing berusaha menguasai pikiran massa melalui pelabelan terhadap lawan. Mereka yang melabeli lawan sebagai cebong menyiratkan bahwa cebong itu mereka yang tidak berpikir. Itu berarti hanya pihak pelabel yang berpikir. Sementara pihak yang melabeli lawan sebagai kadrun menyiratkan bahwa lawan itu berusaha mengarabkan Indonesia, dan dengan demikian mereka bukan Indonesia. Maka menurut pihak pelabel hanya mereka yang bukan kadrun yang Indonesia.

Bila kita berasumsi bahwa bahasa adalah gejala sosial, maka kedua label ini mengisyaratkan adanya gejala keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Keretakan berbangsa adalah hal yang sangat berbahaya. Kita tak ingin bangsa ini hancur hanya karena pertarungan ini.

 

Penutup

Dikaitkan dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda, sudah saatnya kita kembali menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Potensi bahasa sebagai alai kekuasaan mari kita arahkan untuk hal-hal yang mendukung persatuan bangsa. Kita jangan menciptakan label-label yang meretakkan kehidupan berbangsa kita. istilah-istilah yang kini popular seperti cebong dan kadrun mari kita musnahkan.  

Para pendukung pemerintah bukanlah orang-orang yang tidak berpikir tapi yang berpikir bahwa pemerintah harus didukung agar mampu bekerja. Jadi mereka bukan cebong. Sebaliknya mereka yang mengkiritisi pemerintah bukanlah kadrun yang anti Indonesia. Justru mereka mengekspresikan kecintaan mereka kepada Indonesia dengan bersikap kritis. Mereka mengkritis pemerintah agar tidak salah arah.

Maka ke depan nanti tak ada lagi label peretak kebangsaan. Saatnya ungkapan Kau Cebong, atau Kau kadrun berganti Kita Indonesia.

Sekali lagi, jadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa sebagaimana yang kita sering sumpahkan setiap tanggal 28 Oktober. Hari Sumpah Pemuda inilah saat yang tepat untuk mengilanhkan keretakan berbangsa dan bertanah airmerekatkan kembali.

 

Referensi

 

Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society vol. 4(2), 249-.

Gorontalo, 25 September 2022

 

ooOOoo

 

 

 

ZIARAH KUBUR SAAT IDUL FITRI DALAM TINJAUAN FILOSOFIS

28 September 2022 06:18:25 Dibaca : 1455

ZIARAH KUBUR SAAT IDUL FITRI  DALAM TINJAUAN FILOSOFIS

Oleh Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Ada fenomena yang unik yang dapat ditemui pada masyarakat Indonesia di hari Idul Fitri. Masyarakat Indonesia, setelah melaksanakan sholat Idul Fitri menziarahi kubur kaum kerabat. Menziarahu kubur orang tuanya, atau saudaranya. Fenomena yang tak ada di negara Saudi tempat Islam diturunkan.

Para ulama berbeda  mengenai hukum ziarah itu. Yang super puritan menganggap ziarah itu mengada-ngada karena tak dicontohkan oleh Nabi. Bagi mereka mengkhususkan ziarah kubur di hari Idul Fitri adalah bidah yang harus dijauhi. Ada yang berpendapat bahwa ziarah kubur di hari Idul Fitri itu tidak dilarangan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa pada hari IdulFitri, roh kaum Muslimin akan datang ke kubur masing-masing. Mereka menantikan diziarahi oleh anak, kaum kerabat, dan handai tolan.

Saya tak memasuki wilayah perdebatan itu. Pengetahuanku  dalam bidang agama masih sebatas pengetahuan orang yang masih belajar dasar-dasar agama, belum sampai memasuki wilayah fiqih yang harus dikaji mendalam.Saya hanya akan meninjaunya dari segi filosofisnya karena aku hanya memiliki kemampuan dalam bidang filsafat dan sastra. 

Saya memandang bahwa ziarah kubur adalah symbol pertautan yang erat antara mereka yang telah meninggalkan dunia dan kaum kerabat yang ditinggalkan. Walau bagaimanapun kaum kerabat yang hidup tidak akan melupakan orang-orang tercinta yang telah pergi. Mereka akan datang ke kubur, membawa dan menaburkan kembang di atas hamparan kubur. Membaca doa-doa permohonan agar kiranya Allah SWT berkenan mengampuni almarhum/almarhumah yang telah berbaring di alam kubur.

Sebelum berdoa mereka membersihkan areal kubur. Mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di atas kubur. Menyapu dan menyingkirkan daun-daun kering yang berserakan dan menutupi areal kubur. Lalu menggosok porselin kubur sehingga mengkilat. Lalu menggelar alas, duduk bersila berdoa dipimpin seorang imam atau ustaz yang sengaja diundang untuk itu.

Ziarah kubur juga berarti perputaran roda ekonomi yang lumayan. Di beberapa wilayah Republik Indonesia banyak ditemukan para penjual kembang. Para peziarah yang tak sempat membawa kembang membeli kembang yang dijual. Itu berarti terjadinya transaksi dan perputaran uang dan dengan demikian menolong ekonomi para penjual.

 

Ziarah sebagai Refleksi Kemanusiaan dan Ketuhanan

Secara filosofis ziarah kubur  dapat ditinjau dari segi refleksi kemanusiaan dan ketuhanan. Untuk itu saya mencoba memasuki refleksi itu melalui pintu Filsafat Eksistensilisme. Eksistensialime adalah aliran filsafat yang berkembang di Eropah pada abad ke-19. Filsafat ini membahas eksistensi manusia di dunia sebagai individu yang bertindak. Ada banyak filsuf yang mengembangkan aliran pemikiran ini, dua di anataranya yang paling terkenal adalah Jean Paul Sartre dan Karl Jaspers. Sartre mengatakan bahwa ada keberadaan tidak dapat dilepaskan dari kesadaran manusia. Kesadaran manusia terbagi dua,  kesadaran non-reflektif dan kesadarab reflektif. Kesadaran non-reflektif adalah tentang keberadaan diri tanpa disertai refleksi tentang keberadaan itu sendiri. Sebagai contoh, seorang yang berada di suatu taman. Pada saat itu dia sadar bahwa dia berada di taman namun tak menyadari mengapa dan untuk apa dia di taman itu. Pada saat dia mulai menyadari apa yang membawa di ke taman itu, dan apa tujuannya, maka dia memasuki kesadaran reflektif.

Bila dibawa ke dalam keberadaan mahasiswa di kampus, maka mahasiswa yang hanya sadar bahwa di ada di kampus tanpa menyadari mengapa dan untuk apa dia di kampus, maka dia masih berada pada kesadaran non-reflektif. Saat dia menyadari penyebab dia berada di kampus, bahwa dia di kampus karena dia adalah mahasiswa yang memliki tugas dan tanggung jawab, maka dia memasuki kesadaran reflektif. Kesadaran yang kemudian diikuti dengan tindakan akademis.

Karla Jasper mengatakan bahwa keberadaan manusia memiliki tiga tingkatan. Tingkatan esensi, eksistensi, dan transedensi. Tingkatan esensi adalah permulaan, di mana manusia mulai berada di alam dunia. Manusia sejak lahir membawa esensi kemanusiaan, esensi ini berupa nilai-nilai universal manusia, kemampuan untuk bertindak. Kemudian dia memasuki tingkatan eksistensi melalui tindakan yang berhubungan dengan ada. Dalam hal ada bersama dunia, bukan ada di dalam dunia. Dalam ada bersama dunia, dia mengimplementasikan esensinya melalui tindakan yang bersifat kontekstual. Dia memulainya dengan ilmu yang diperoleh. Seiring dengan perjalanan waktu, dia mulai memasuki situasi batas. Umur yang menua, penyakit, kematian orang-orang terdekat adalah contoh situasi batas. Disebut situasi batas karena ini adalah batas yang tak dapat dilampaui oleh manusia yang sedang bereksistensi karena eksistensi dibatasi oleh hal-hal yang yang disebut di atas. Pada saat ini dia berdiri di depan transedensi, yaitu tingkatan setingkat di atas eksistensi. Orang-orang yang relijius, dia memasuki kesadaran ketuhanan yang semakin intens. Transedensi adalah keadaan yang melingkupi eksistensi, sebagai langit yang tak terbatas. Dalam Bahasa umum itu adalah kesadaran ketuhanan.

Dengan memakai kacamat kedua filsuf di atas, aku mencoba membangun kesadaran reflektif kita akan eksistensi kita. Ada di mana kita ini? Ada di dunia. Mengapa kita ada di dunia? Untuk apa kita di dunia? Apakah kita berada di dunia ini hanya sekedar ada, lahir sebagai bayi, remaja, dewasa, tua, lalu akhirnya mati? Atau kita harus berbuat sesuatu agar keberadaan kita di dunia tidak menjadi keberadaan yang sia-sia.

Saya melihat dengan kacamata eksistensi Karl Jasper, para peziarah kubur adalah para eksistensi yang menjiarahi situasi batas berupa kematian orang-orang terdekat. Dia menyadari bahwa sebagai eksistensi, bagaimanapun kuatnya ilmu yang dimiliki dia tak mampu mencegah kematian orang-orang terdekat, bahkan kematian dirinya sekalipun. Maka dia berdiri di depan transedensi dengan kesadaran reflektif berbasis ketuhanan. Saat itu dia adalah eksistensi yang memasuki tingkatan transedensi. Dalam bahasa sufi itu mungkin sejenis makrifat.

 

Penutup

Itulah essay singkat tentang makna filosofis ziarah. Ziarah bukan sekedar mengunjungi makam orang-orang terdekat yang telah mendahului kita tapi adalah refleksi keberadaan kemanusiaan kita di dunia, agar keberadaan kita di bernilai dan tidak sia-sia. Kita memang perlu menziarahi kemanusiaan kita, kata seorang novelis beraliran filsafat Eksistensialisme, Iwan Simatupang dalam novelnya berjudul “Ziarah.”

ooOOoo

Daftar Pustaka

Jaspers, K (1971). Philosophy of Existence. Diterjemahkan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Inggris Oleh Richard F. Grabau.  Philadelphia: University of Pennsylvania Press

Sartre, J.P, (2007) Existentialism is a Humanism.  Paris: Yale University.

Simatupang, I (1969). Ziarah. Jakarta Selatan: Noura Books.

Siswanto, J (2017) Bereksistensi Dalam Transendensi Menurut Pemikiran Karl Jaspers. “Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara”

 

Catatan:

Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Tinggal di Kabila, Bone Bolango, Gorontalo.

 

BINATANG JALANG ITU ADALAH KITA

20 September 2022 07:12:30 Dibaca : 780

 

BINATANG JALANG ITU ADALAH KITA

SEBUAH REFLEKSI IDUL FITRI

Oleh Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

 

Malam Idul Fitri. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan perayaan tahunan pasca Ramadhan nan sakral bagi umat Islam ini.  Ada yang  membersihkan rumah. Ibu-ibu menyiapkan makanan terbaik untuk santapan di hari yang sakral. Di jalanan orang-orang sibuk menuju dan pulang dari pusat perbelanjaan. Di pasar senggol, pasar yang digelar pemerintah daerah menjelang Idul Fitri orang-orang berjubel berbelanja. Transaksi jual beli terjadi. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan kegembiraan setelah sebulan berpuasa.

Lantunan takbir terdengar mengalun melalui pengeras suara di masjid-masjid. Takbir yang terkadang melengking tinggi saat ekspresi harapan yang dijeritkan oleh sang penakbir kepada Dia sang pemilik takbir, yang bersemayam di aras, mendesak tak tertahankan. Lalu merendah syahdu saat timbul kesadaran akan kemaharendahan dan kemahakecilan diri di hadapan Dia yang Maha Tinggi dan Maha Besar.

Aku sedang duduk di teras rumah, mendengarkan lantunan takbir sambil memandang cahaya lampu, sisa-sisa perayaan tumbilotohe atau malam pasang lampu yang digelar selama tiga malam berturut-turut menjelang Idul Fitri sesuai tradisi kaum Muslimin etnis Gorontalo. Kini tersisa satu lampu yang cahayanya mengerdip, menyiratkan sepi di kelam sunyi. Malam yang sakral, dan kerdip lampu di kelam sunyi. Situasi yang melankolis, yang sulit diilustrasikan dengan kata-kata yang tercanggih sekalipun.

Tiba-tiba aku teringat si Binatang Jalang, Chairil Anwar yang dalam sebuah sajaknya berjudul “Doa.” Doa yang diucapkan lirih oleh seorang penyair yang biasanya bersuara lantang saat berkata “AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI.” Kali ini lirih, dalam meditasi kesadaran tentang kemanusiaan yang selama ini terisolasi, termarginalkan di negeri asing. Kemanusiaan yang hampir-hampir terkikis di negeri asing yang jauh dari ketuhanan. Seolah terbayang Chairil Anwar yang sedang mengucapkan lirih baris-baris sajaknya singkatnya itu:

Doa

Kepada Pemeluk Teguh

 Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

 

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

 

Caya-Mu panas suci

Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

 

Tuhanku

 

aku hilang bentuk

remuk

 

Tuhanku

 

aku mengembara di negeri asing

 

Tuhanku

di pintu-Mu aku mengetuk

aku tak bisa berpaling

 

Puisi yang mewakili keadaan kita. Negeri asing yang melambangkan ketersesatan kita, negeri yang penuh debu dosa yang mengasingkan kita dari jati diri kemanusiaan yang suci fitri. Kita kini termangu-mangu, memandangi caya lilin yang sunyi. Begitu jauhnya kita dari Dia, sehingga menyebut nama-Nyapun kita sungguh susah. Yah, betapa susahnya kita menyebut nama-Nya yang penuh seluruh. Secara lisan mungkin kita mudah menyebu tnama-Nya, bahkan dalam gema takbir Idul Fitri kita menyebutnya. Namun apakah hati kita bisa dengan mudah menyebut-Nya. Jangan-jangan lisan kita bertakbir namun nurani kita, kalbu kita sulit sungguh bahkan sekedar mengingat nama-Nya teramat sulit. Kita menjauh dari Dia sehingga hati kita gelap karena cahaya-Nya yang panas suci kini bagai kerdip lilin di kelam sunyi.

Begitu sulitnya menyebut nama-Nya sampai cahaya-Nya yang panas suci, kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Kita mengembara di negeri asing, mengumpulkan debu-debu dan menempelkannya di tubuh kita, hati kita. begitu tebalnya debu-debu itu menyatu dengan hati kita sehingga cahaya Tuhan yang panas suci sulit menembus hati. Bahkan cahaya itu kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi, Akankah kita biarkan cahaya itu tetap tinggal kerdip lilin di kelam sunyi? Akankah kita tetap menutup cahaya itu, membiarkan hati kita gelap?

Kegelapan itu menyebabkan diri kita hilang bentuk, bahkan remuk. Remuk adalah sakit yang tak terhingga. Sakit karena kita kehilangan jati diri kita. Sakit karena diri kita hilang, remuk diamuk debu-debu duaniawiah yang menjelma dalam bentuk aneka, keserakahan, ketamakan, amarah, dendam. Ketamakan pada harta. Ketamakan pada kekuasaan. Amarah dan dendam pada mereka yang kita anggap melecehkan kebesaran kita. Kericuhan yang kita ciptakan berbasis kerakusan dan ketamakan sehingga membuat orang lain tidak nyaman. Entah kericuhan yang kita ciptakan berbungkus kebaikan atau kericuhan yang kita citrakan sebagai agama melalui kemampuan retorika kita yang handal sehingga yang haram terlihat halal.

Aku melihat Chairil Anwar sebagai perwakilan diri kita, bermeditasi, memanggil-manggil Tuhan di kelam sunyi. Tuhanku, aku puitik capek mengembara di negeri asing. Aku takut bentukku hilang dan remuk terus menerus. Aku babak belur. Sudilah kiranya Kau melihat aku dengan pandangan kasih sayang-Mu yang seluas langit dan bumi. Aku kini berdiri di pintu-Mu yang tertutup disebabkan aku terlalu lama meninggalkan-Mu, mengangungkan egoku yang sering mengaum bagaikan binatang jalang. Inilah Aku yang dengan tanganku yang gemetar dihantam debu-debu, mencoba mengetuk pintu-Mu.

Tuhanku, takbir itu kian menghantam egoku.

ALLAHU AKBAR

ALLAHU AKBAR

ALLHU AKBAR

Engkau yang Maha Besar ya Allah. Engkau yang Maha Besar ya Tuhanku. Engkau yang Maha Besar ya Ilahi. Aku maha kecil. Aku maha hina. Aku tak berarti apa-apa. Debu-debu itu telah lama menutup wajahku.

LA ILAHA ILLALLAH, ALLAHU AKBAR

Tiada Tuhan selain Kau, Ya Allah. Tiada Tuhan selain kau yang Maha Besar, yang aku sembah, kepada siapa aku meminta dan berharap. Tiada Tuhan pengabul harapan. Kini di pintu-Mu aku berdiri. Di pintu-Mu aku berlutut. Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling, ya Allah. Aku tidak bisa berpaling. Bagaimana aku bisa berpaling sementara hanya pintu-Mu yang tersedia, tempat aku kembali?

Dalam bayanganku aku melihat Chairil Anwar, yang tak akan perduli pada apapun, yang pernah berteriak lantang “AKU INI BINATANG JALANG,” berlutut di pintu itu, pintu Tuhan, Dia mengetuk dengan tangannya yang gemetar, suaranya yang memelas, tangisanya yang terisak-isak, memohon agar supaya sudilah kiranya Tuhan membukanya. Yah, Chairil Anwar itu adalah kita. Binatang jalang itu adalah kita.

Dari kejauhan sayup-sayup kudengan lantunan takbir, sendu. Lantunan takbir yang mengisyaratkan, memanggil-manggil manusia untuk kembali ke jati dirinya. Jati diri sebagai makhluk maha kecil di depan Dia yang Maha Besar. Takbir itu adalah pintu itu. Dan kita berlutut di depan pintu itu. Kita mengakui bahwa kita tidak bisa berpaling dari Dia.  

oooOOOooo

 

Penulis adalah pengajar di Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo.

MEMAKNAI TUJAI PELANTIKAN ADAT MOLOOPU SECARA MUTAKHIR

19 September 2022 18:59:11 Dibaca : 1175

Memaknai Tujai Adat Moloopu Secara Mutakhir

Oleh

Adriansyah A. Katili

Sebagai daerah adat, Gorontalo memiliki upacara adat yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah upacara adat pelantikan pejabat yang memimpin wiayah. Para pejabat yang memimpin wilayah, camat, bupati, walikota, gubernur, di daerah Gorontalo akan dilantik secara adat kebesaran Gorontalo setelah dilantik secara kenegaraan. Upacara adat itu dikenal dengan istilah moloopu. Moloopu, secara tekstual berarti memangku. Siapa yang memangku? Yang memangku adalah adat. Jadi bisa dimaknai bahwa pejabat yang memimpin dipangku oleh adat. Setelah dilantik dengan acara moloopu, maka selanjutnya pejabat yang bersangkutan disebut “Halipa” (Khalifah).  Namun tulisan ini tidak membahas makna istilah itu. Tulisan ini lebih pada usaha memaknai tujai atau puisi adat yang diucapkan oleh pemimpin adat (Bate dan Wuu) pada saat pelantikan. Penulis berpikir bahwa tujai moloopu perlu dimaknai secara mutakhir atau sesuai dengan kondisi sekarang daerah Gorontalo agar tujai itu tidak kehilangan makna dan menjadi sekedar seremonial.

Tujai  pelantikan itu adalah sebagai berikut:

Tawu maa tawu lo Ito Eya

Huta maa huta lo Ito Eya

Tulu maa tulu lo Ito Eya

Dupoto maa dupoto lo Ito Eya

Taluhu maa taluhu lo Ito Eya

Bo diila polulia to hilawo, Eyanggu

Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia kurang lebih:

Rakyat kini dalam kekuasaanmu, Tuanku

Api, kini dalam kekuasaanmu, Tuanku

Udara/angin kini dalam kekuasaanmu, Tuanku

Air kini dalam kekuasaanmu, Tuanku

Tanah kini dalam kekuasaanmu, Tuanku

Tapi jangan bertindak sesuka hati, Tuanku.

 

Tujai pelantikan di atas menunjukkan bahwa betapa besar kekuasaan khalifah. Dia mengusai rakyat, bahkan empat unsur kehidupan manusia juga dikuasainya, api, udara, air,tanah. Namun kata penutup yang diucapkan oleh Bate menjadi penuntun agar khalifah berlaku arif.

Kini kita bahas makna tujai di atas sesuai konteks kekinian.

Tawu (Rakyat)

 Yang pertama, rakyat. Dikatakan dalam tujai bahwa khalifah ini menguasai rakyat negeri. Rakyat adalah unsur yang penting, sama pentingnya dengan tanah karena keduanya adalah syarat berdirinya sebuah wilayah. Rakyat menjadi penopang utama suatu negeri dan tanah sebagai wilayah kekuasaan menjadi wilayah territorial kekuasaan khalifah. Sekalipun rakyat kini di bawah kekuasaan khalifah, namun tidak bisa diperlakukan secara semena-mena. Pesan moral pada penutup tujai pelantikan mengatakan “Bo dila polulia to hilawo, Eyanggu” yang bermakna “Tapi jangan berlaku semena-mena, Tuanku.” Ini bermakna bahwa khalifah dalam memimpin rakyatnya dituntun oleh kewajiban moral, menjaga dan mengayomi rakyatnya.

Dengan demikian maka khalifah diwajibkan membuat program-program yang mensejahterakan rakyatnya. Program-program dalam bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, pertanian, peternakan, dan infrastruktur wajib untuk diadakan dan dijalankan untuk kemaslahatan rakyat. Khalifah juga wajib mengangkat pembantu-pembantu yang memiliki kapabilitas untuk bekerja bagi kemaslahatan rakyat.

 

Huta (Tanah)

Bate mengatakan bahwa tanah kini dalam kekuasaan sang khalifah. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa tanah adalah syarat berdirinya sebuah wilayah kekuasaan. Menguasai tanah berarti menguasai sebuah wilayah.

Tanah juga merupakan syarat kesejahteraan rakyat. Kini sang khalifah diserahi kekuasaan atas tanah. Namun kata penutup tujai agar penguasa tidak sewenang-wenang. Maka sang khalifah kini diserahi amanah pengelolaan tanah. Tanah harus dipergunakan sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Ini berarti pejabat diamanahi untuk memajukan pertanian. Usaha memajukan pertanian pernah dilakukan di masa kepemimpinan Gubernur Fadel Mohammad dengan program agropolitannya dengan komoditi primadona jagung. Pada saat itu Gorontalo terkenal dengan produksi jagungnya.

Kata kunci tujai itu berarti agar khalifah yang berkuasa melindungi tanah yan diperuntukkan untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Konstitusi Republik Indonesia bahwa tanah, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

 

Tulu (Api)

Tulu atau api bisa dimaknai secara harfiah. Khalifah menguasai api yang ada dalam negeri kekuasaannya. Namun pemaknaan itu sekarang rasanya kurang pas. Api di sini bisa dimaknai sebagai sumber energi. Apa adalah sumber energi yang menggerakkan industri dan trasnportasi. Apa dalam kekuasaan khalifahberarti khalifah memiliki akses terhadap energi. Dengan kekuasaan ini maka khalifah diminta untuk tidak semena-mena terhadap energi yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kata terakhir dari Bate mengisyaratkan bahwa khalifah tidak boleh menguasai sumber energi untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan pihak tertentu, namun diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (tawu) yang ada dalam kekuasaannya.

Kita melihat bahwa energi dewasa ini menjadi barang yang sangat vital bagi kepentingan orang banyak. Naiknya BBM menyebabkan naiknya kebutuhan pokok masyarakat. Itu disebabkan bahan kebutuhan itu diproduksi dipabrik dan diangkut ke pasar menggunakan kenderaan. Baik pabrik mapun kenderaan pengangkut menggunakan bahan bakar minyak sebagai sumber energi. Maka bila penguasa menggunakan kekuasaannya dalam bidang energi untuk kepentingan kesejahteraan rakyat (tawu), maka dia sudah memenuhi pesan adat.

 

Dupoto (Udara/angin)

Dupoto dalam Bahasa Indonesia dberarti udara atau angin. Udara atau angin sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup. Manusia, hewan, dan tumbuhan tak dapat bernapas bila udara atau angin. Udara atau angin juga dapat diartikan sebagai simbol atmosfir kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa khalifah menguasai atmosfir kehidupan rakyat atau tawu dalam wilayahnya. Dia bisa membuat atmosfir yang nyaman atau menyengsarakan rakyatnya. Merujuk pada kata penutup Bate dalam tujai pelantikan, maka khalifah yang bersangkutan tidak boleh menciptakan atmosfir kehidupan yang tidak nyaman bagi rakyatnya.

 

Taluhu (Air)`

Air atau taluhu adalam kebutuhan vital bagi makhluk hidup. Segala kebutuhan makhluk hidup sangat tergantung pada air, bahkan makanan makhluk hidup juga sangat tergantung pada air. Air bukan hanya untuk minum dan mandi bagi manusia, tapi juga kebutuhan minum bagi hewan ternak peliharaan rakyat dan menjadi sumber pengairan bagi pertanian.

Dengan pembahasan di atas, maka nampak bahwa khalifah berkewajiban membuat keputusan berkenaan dengan air. Keputusan tentang air harus berpihak pada rakyat atau tawu yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Maka khalifah wajib mengusahakan system pengairan untuk pertanian, sistem pendistribusian air minum yang adil bagi rakyatnya. Khalifah juga wajib membuat aturan untuk menjaga keletarian sumber air.

 

Penutup

Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa adat moloopu dapat dimaknai secara mutakhir sesuai zaman agar tidak menjadi sekedar seremonial. Apabila dimaknai secara mutakhir maka pesan adat akan menjadi inspirasi bagi khalifah untuk membangun Gorontalo yang berkemajuan bagi kesejahteraan rakyat.

Meskipun demikian, tulisan ini bersifat usaha penafsiran. Kebenaran suatu tafsir tidaklah mutlak. Maka tafsiran ini bersifat terbuka bagi diskusi, ataupun kritik demi meletarikan budaya Gorontalo. Akhirnya kita berharap semoga aka nada usaha penggalian nilai-nilai kepemimpinan dalam khasanah budaya Gorontalo yang akan menjadi landasan kepemimpinan di Gorontalo.

 

ooOOoo

 

Gorontalo, 23 Mei 2022

Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa Inggris, UNG.

PRAGMATICS AND THE TEACHING OF ENGLISH LITERATURE

04 October 2015 20:36:30 Dibaca : 3840

PRAGMATICS AND THE TEACHING OF ENGLISH LITERATUREAdriansyah A. Katili

Abstrak

Makalah ini bertujuan memaparkan pentingnya pragmatik dalam pengajaran bahasa dan sastra Inggris. Pemaparan ini didasarkan pada fungsi pragmatik yang berkenaan dengan pemakaian bahasa dalam komunikasi, yaitu apa yang dikatakan oleh seorang pembicara dan makna yang ingin disampaikan. Berdasarkan peaparan ini, dapat disimpulkan bahwa pragmatik sangat penting dalam pengajaran bahasa dan sastra Inggris.This paper is about pragmatics and the teaching of English literature. This is based on the common knowledge that the medium of literature is language. Literature is the use of artistic language. However, it is more than the use of artistic language; it is a type of communication that uses language, hence it is concerned with the meaning of language in a certain context. Hence, the role of pragmatics cannot be ignored. Pragmatics is defined as the study of how language is used in communication in certain context. It is dealt with how the speaker produces certain utterance in a certain context and what he may mean by the utterance. In other words, it is what the speaker literally means and what he may mean by his utterance. (Kilby, and Roca in Grundy, 2000: 3). By this definition, I explore the function of pragmatics in the teaching of English Language and Literature. To support my argument, I take some utterances taken from

PRAGMATICS AND THE TEACHING OF ENGLISH LITERATURE

Adriansyah A. Katili

Abstrak

This paper is about pragmatics and the teaching of English literature. This is based on the common knowledge that the medium of literature is language. Literature is the use of artistic language. However, it is more than the use of artistic language; it is a type of communication that uses language, hence it is concerned with the meaning of language in a certain context. Hence, the role of pragmatics cannot be ignored. Pragmatics is defined as the study of how language is used in communication in a certain context. It is dealt with how the speaker produces certain utterances in a certain context and what he may mean by the utterance. In other words, it is what the speaker literally means and what he may mean by his utterance. (Kilby, and Roca in Grundy, 2000: 3). By this definition, I explore the function of pragmatics in the teaching of the English Language and Literature. To support my argument, I take some utterances taken from M

 

A. The Nature of Pragmatics

In this part, I discuss the nature of pragmatics based on the definitions given by some experts. The first definition says that pragmatics is concerned with how people use language, the distinction between what speakers' words (literally) means, and what the speaker might mean or intend by his words (Brown & Yule, 1996:26; Kilby, and Roca in Grundy, 2000: 3). This definition emphasizes on what the speaker says and what he may intend by his words. Accordingly, there are literal meanings and intended meanings.

The second definition says that pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding (Levinson, 1992: 11). This definition, as the first one, still defines pragmatics as the use of language and what the speaker may mean. However, this definition adds context as the basis to understand the intended meaning contained in an utterance.

From the definitions, it is clear that pragmatics is mainly concerned with the use of language in communication. In the process of communication, a speaker utters some utterances which contain both literal meaning or what the speaker says and what the speaker may intend by his utterances. The speaker's intended meaning may be inferred by exploring the context of the utterance; the same utterance may have a different meaning in a different context. The utterance, "It's ten o'clock" when uttered in a meeting may mean that it is time to start the meeting. On the other hand, in a context when someone asks the time, it means to answer the question.

B. SPEECH ACT

 

Speech act is one of the theories in the study of pragmatics. It was proposed by Austin in the book How to do Things with Words (1975). This theory observes that speech is an act through the use of words. Hence, using language means to act something.

The act within words can be observed in three levels: locution, illocution, and perlocution. Locution is what the speaker utters in a certain context. So, when a king, in a ceremonial naming of a ship, when uttering, "I name this ship Queen Elizabeth" he produces an utterance of naming the ship, Queen Elisabeth.

Illocution is the act the speaker performs within his utterance. In the Illocution level, the speaker performs an act of naming a ship, Queen Elisabeth.

Illocution is the effect of the illocutionary act. The effect of the above illocution is now the ship's name is Queen Elizabeth.

This theory says that the illocutionary act may succeed when being performed by an authorized person. The act of naming the ship "Queen Elizabeth" is effective because it is performed by a king, the person who has the authority of acting.

 

C. SEARLE'S TAXONOMY OF ILLOCUTIONARY ACT

 

Austin's theory of speech act was developed by his follower, Searle. Searle (in Martinich, 2001: 156-160) observes that the illocutionary act consists of:

a. assertive, i.e. an act of asserting that something is true.

b. directives, an act of directing the hearer to perform a certain act.

c. Expressive, i.e. functions to express the psychological state specified in the sincerity condition, such as thanking, congratulating, anger, happiness, sadness, condolence, etc.

d. Declarations, i.e. to declare the proposition in the utterance. Naming the ship in the previous section is a clear example. When performing successfully, this will result in perlocution. To succeed in the Perlocution, we may refer to Grice’s maxims.

D. GRICE’S MAXIMS

Grice (in Martinich, 2001: 165-173) proposes some maxims that may lead a speaker in communication:

A. Quantity. The category of quantity consists of the maxims:

Make your contribution informative as is required.

Do not make your contribution more informative than is required.

B. Quality. This category falls under a super-maxim—"Try to make your contribution one that is true." This is deliberated into two specific maxims:

1. Do not say what you believe to be false.

2. Do not say that for which you lack adequate evidence.

C. Relation

Under this category, there is only one maxim, namely 'Be relevant"

D. Manner. This is related to how to say something, not what is said in the previous categories. This consists of a super-maxim—"Be perspicuous"—and some maxims:

1. Avoid obscurity of expression.

2. Avoid ambiguity.

3. Be brief (avoid unnecessary prolixity).

4. Be orderly.

Grice says that when a speaker flouts a maxim, the hearer may find the implicature, that is the meaning which is implied by the speaker. Take the following utterance as an example:

Peter: Do you want some coffee?

Mary: Coffee would keep me awake.

Marry seems to flout the maxim of quality: make your contribution as informative as is required. Obeying this maxim, Mary must answer yes or no. However, Peter, by exploring the context, may conclude that Mary needs coffee to keep her awake. On the other hand, in a context in which Mary needs to sleep, she may intend an implicature that she refuses coffee.

 

E. CONTEXT

 

Context plays important role in communication. It is an aspect that determines the meaning of an utterance (Wahab, 1998: 56) Therefore, the same utterance will have different meanings in a different context.

The context consists of physical context (the setting), personal context: refers to the social and personal relationship of interactants to another, and cognitive context: the shared background knowledge held by participants in the interaction. (Simpson, 2004: 35) So, when the utterance, "Good morning, Sir" when uttered by a student to a lecturer is meant to greet. On the other hand, when uttered by a lecturer to a student who is late, it may be meant to ridicule.

F. PRAGMATICS IN THE TEACHING OF THE ENGLISH LANGUAGE

 

Since teaching English is aimed at providing students with the ability to use English in communication, a teacher should apply the principle of pragmatics. Teaching English based on the principle of pragmatics may be conducted with a communicative approach. In teaching speaking, the technique that suits pragmatics is role play, discussion, and delivering a speech. In speaking teacher may train students to produce utterances to intend the meaning. On the other hand, a teacher may train the students to infer the speaker's intended meaning by exploring both the utterances and the context. The students should explore whether or not the speaker obeys Grice's maxims, and infer the speaker's implied meaning.

In writing, the teacher may train the students to write effectively. In scientific writing, a writer needs to obey Grice's maxims to produce effective writing. It is because scientific writing should be effective and explicit.

G. PRAGMATICS IN THE TEACHING OF ENGLISH LITERATURE

 

Teaching English Literature is aimed at providing students with the ability to appreciate English literary works. This objective may be obtained by considering language as the medium of literature. Therefore, a teacher should prepare the students with the ability to infer the utterances in literary works.

The teacher may apply the principle of pragmatics to teach the literature. Consider the following example taken from Arthur Miller's Death of a Salesman:

Willy: Howard, are you firing me?

Howard: I think you need a good long rest, Willy.

(pp65)

Howard seems to flout Grice's maxim of qualitative: Quantity. The category of quantity consists of the maxims:

Make your contribution informative as is required.

Do not make your contribution more informative than is required.

Obeying this maxim, Howard must answer Willy's question with yes or no. To infer the utterance, we should consider the context. The physical context is in Howard's office. Willy is Howard's employee; he works for Howard as a sales. However, he cannot sell well now since he is old enough. Therefore, by that utterance, Howard seems to intend to fire Willy. Notice his words "I think you need a good long rest, Willy. Long rest is undetermined duration, thus it means that Willy is fired.

In terms of speech act, Howard's utterance in the level of illocutionary act is an act of firing Willy. He has the authority of performing such an act since he is Willy's employer. Unlike that illocutionary act intend implicitly, the following is stated explicitly:

WILLY: But I gotta earn money, Howard. I’m in no position to –

HOWARD: Where are your sons? Why don't your sons give you a hand?

WILLY: They're working on a very big deal. (Pp. 65)

In terms of Searle's taxonomy of illocutionary acts, the bolded utterance is an expression of pride. The interlocutors are Willy and Howard. Willy begs Howard to give him the job of selling; Howard, however, refuses it. Then Howard asks why Willy does not ask his sons to help him. Instead of answering it, Willy says proudly that his sons are working on a very big deal.

In prose, the intended meaning may be inferred by, for example, analyzing the use of a conjunction. Consider the following taken from Hemingway's The Old Man and the Sea (1952: 1):

"He was an old man who fished alone in a skiff in the Gulf Scream and he had gone eighty-four days now without taking a fish. In the first forty days, a boy had been with him. But after forty days without a fish, the boy's parents had told him that the old man was now definitely and finally salao, which is the worst form of unlucky, and the boy had gone at their orders in another boat which caught three good fish the first week…"

This passage is about an old man who fished but is always unlucky. He always goes to the sea to fish but comes back to the land without any fish.

The conjunction is used to intend the additional information but is used to intend the contradiction. Hence, the above passage informs some additional information and a contradiction.

Consider also the following passage taken from Hemingway's The Sun Also Rises (1954: 1):

"Robert Cohn was once middleweight boxing champion at Princeton. Do not think that I am very much impressed by that as a boxing title, but it meant a lot to Cohn. He cared nothing for boxing because he disliked it, but he learned it painfully to counteract the feeling of inferiority and shyness he had felt about being treated as a Jew at Princeton. There was a certain inner comfort in knowing he could knock down anybody who was snooty to him, although, being a very shy and thoroughly nice boy, he never fought except in the gym. He was Spider Kelly's star pupil. Spider taught all his young gentlemen to box like a featherweight, no matter whether they weight one hundred and five or two hundred and five pounds. But it seemed to fit Cohn. He was very fast. He was so good that Spider promptly overmatched him and got his nose permanently flattened. This increased Cohn's distaste for boxing, but it gave him a certain satisfaction of some strange sort, and it certainly improved his nose. In his last year at Princeton, he read too much and too to wearing spectacles. I never met anyone in his class who remember that he was a middleweight boxing champion.

The conjunction and is used to intend the additional information but is used to intend the contradiction. Hence, the above passages inform some additional information and a contradiction.

H. Conclusion

 

To conclude this paper, I emphasize that teaching English Language and Literature should involve pragmatics. Pragmatics as the use of language in communication dealt with how people use language to intend the meaning. In teaching the English language, a teacher may apply the principle of pragmatics to train students to use language to intend their meaning and to infer the interlocutor's intended meaning. In teaching English Literature, pragmatics helps students to infer utterances in literary works.

Pragmatics in the teaching of drama will be concerned with speech acts conducted by the characters as the interlocutors. The speech acts are in three sets of levels, i.e. locution, illocution, and perlocution. Locution is what the speaker utters; illocution is the speaker’s intended meaning. And perlocution is the effect of the illocution as performed by the hearer.

In the teaching of prose, pragmatics is concerned with, for example, the use of conjunctions. The conjunctions will lead the leader to infer the correlation between sentences. The use of and, for example, indicates the additional information presented in the next sentence; the conjunction but indicates the contradiction between two sentences.

In short, I emphasize that pragmatics is very important in the teaching of literature. The teacher of both language and literature must apply the principles of pragmatics in teaching.

 

REFERENCES

Austin, J.L. 1975. How to Do Things with Words (edited by J.O. Urmson and Marina Sbisa) . Cambridge: Harvard University Press.

Grice, H. P, 2001. “Logic and Conversation” in Martinich, A.P. The Philosophy of Language. (pp. 165-175) New York: Oxford University Press.

Hemingway, Ernest, 1952. The Old Man and The Sea. New York: Charles Scribner’s Sons.

Hemingway, Ernest, 1954. The Sun Also Rises. New York: Charles Scribner’s Sons.Miller, Arthur, 1961. Death of a Salesman. London: Penguin Book. Ltd.

Searle, John R, 1985. Speech Act An Essay in the Philosophy of Language. New York: Cambridge University Press.

Simpson, Paul, 2004. Stylistics, a Resource Book for Students New York: Routledge.

Wahab, Abdul, 1998. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.