KATEGORI : Arwildayanto Melayu

Mega (Wati)

16 September 2014 20:08:01 Dibaca : 1274

MEGA (WATI)

 

Oleh : Arwildayanto, S.Pd
Alumni Jurusan AIP FIP IKIP Padang

    

    Kata Mega punya makna bias karena objeknya yang berbeda. Mega itu ada di langit dan ada di bumi. Kita tidak akan berbicara tentang mega yang ada di langit, kaena itu tidak menarik untuk di kaji ditengah hiruk-pikuk politik yang terjadi di Indonesia. Namun, Mega yang ada di bumi khususnya di Indonesia merupakan mesin pers untuk menghasilkan berita yang sensasional dan spektakuler. Walaupun kedua objek yang bernama Mega itu selalu diam (barangkali sariawan), tetapi tetap menarik perhatian publik. Dimana satu di antara mega ini merupakan calon pimpinan bangsa Indonesia masa depan.

    Sebagai anak bangsa kita perlu mencermati sosok pribadi Mega (panggilan akrab Megawati Soekarno Putri) yang ditonjolkan oleh sekelompok orang untuk menjadi pimpinan masa depan. Kita bukan mendiskreditkan kapabilitas pribadinya menjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Jawabannya tidak, tetapi kita perlu bertanya apa sebabnya kita mencalonkan Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden Indonesia masa depan? Apa yang telah dilakukan untuk ibu pertiwi ini? Bagaimana pemikirannya tentang Indonesia baru? Bagaimana sikap tingkah laku kebiasaan Megawati serta keluarganya? Apakah tidak ada orang lain yang bisa memimpin bangsa ini? Apakah kita mau kembali pada masa lampau yang begitu menyakitkan? Serta banyak pertanyaan lain yang harus dijawab. Bila secara jujur dan punya pemikiran yang jernih terlepas dari berbagai kepentingan kita bisa menghasilkan suatu jawaban yang bermakna. Untuk mendapatkan jawaban yang bermakna itu mari kita jawab pertanyaan di atas melalui perjalanan hostoris yang dilakukan Megawati Soekarno Putri itu sendiri. Hal ini penting dilakukan agar historis Indonesia tidak menjadi katrol elit politik guna mencapai puncak kekuasaan. Tetapi sejarah ini penting untuk menentukan sosok pribadi sesorang sebagai “heroic of nation atau deceiter of nation”.

    Berangkat dari pertanyaan di atas, barangkali kita semua tahu dan punya persepsi yang sama berkenaan dengan derasnya dukungan masyarakat terutama simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menjagokan Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden disebabkan tiga factor; 1) kebesaran orang tuanya (Presiden Soekarno), 2) rasa prihatin sebagian masyarakat terhadap perjuangannya akibat perlakuan rezim Orde Baru yang tidak adil, 3) dibesarkan oleh pers yang belum bersifat netral (baca kompas, media Indonesia Demokrat).
  

   Ketiga faktor di atas menurut penulis tidak akan berarti apa-apa bila tidak diakui “ability” dirinya untuk memimpin Negara yang heterogen dengan segala penyakit yang hamper “crusial”. Bahkan Mega akan menjadi objek bagi “Mak Comblang” pengantar kekuasaan. Dimana setiap kebijaksanaan dan keputusan yang diambilnya ditentukan oleh Mak Comblang itu sendiri (seperti Kwik Kian Gie, Dimyati Hartono, dan Mochtar Buchari), Hal ini terbukti dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Mega banyak yang berasal bukan dari pribadinya. Bahkan Deliar Noer (Ketua Umum PUI) melihat megawati sendiri sebagai calon presiden belum berbicara mau diapakan Indonesia ini? Begitu juga menurut Kadir Djaelani bahwa Megawati memiliki kekurangan di dalam kebersamaan dengan rakyat , hal ini terlihat dari jam terbangnya untuk bersama rakyat di daerah masih sedikit. Bahkan Megawati sendiri lebih banyak bergaul dengan pimpinan organisasi politik lainnya (Gus Dur, Uskup Bello dan Benny Moerdani). Lebih ironisnya lagi Djaelani melihat bahwa Megawati sendiri jarang sekali bersuara dalam hal mengatasi krisis yang terjadi di Negara ini. Hal ini menurut penulis sesuai dengan namanya sendiri Mega (“ia” tidak bersuara). Tidak bersuaranya Mega dalam hal mengatasi krisis di Negara ini menurut Djaelani disebabkan Mega sendiri tidak punya konsep yang jelas terhadap masalah-masalah yang terjadi.
  

   Perjalanan waktu yang telah dijalani Megawati telah memperlihatkan sepak terjangnya sebagai politikus yang punya kelebihan dan kekurangan. Sebagai elite politik yang mempunyai kekuatan massa bisa memastikan mulusnya perjalanan menuju kursi kepresidenan. Kredibilitas Megawati sendiri dipertanyakan sebagian besar publik. Hal ini berawal dari posisinya sebagai anggota DPR/MPR-RI yang memperlihatkan seorang pemimpin yang tidak punya ide atau konsep. Dimana sewaktu menjadi anggota DPR/MPR-RI ia lebih banyak mengambil sikap diam. Diam disini bukan berarti emas namun ia sendiri barangkali belum punya pemikiran dalam pengambilan keputusan di DPR waktu itu. Berlanjut pada perjuangan mahasiswa Indonesia meruntuhkan rezim Orde Baru dalam arus reformasi. Megawati sendiri tampak diam dan tidak bersuara. Sesudah tumbangnya rezim Soeharto Orde Baru (Orba) baru ia bersuara dengan lantang.

    Sikap diam yang dimiliki Megawati merupakan senjata pamungkasnya, karena is sendiri menurut Qadir Djaelani tidak bisa ngomong. Hal ini terbukti dari jam terbangnya mengikuti seminar, symposium dan debat terbuka lainnya yang masih minim. Begitu juga dibuktikan dari permasalahan dengan A.M. Syaefuddin yang ditanggapi Mega dengan senyum. Padahal Mega sendiri berkewajiban pernyataan A.M. Syaefuddin tersebut sehingga tidak mengaktifkan demonitrasi yang berkepanjangan di Bali dan sekitarnya. Sebagai elite politik Megawati tidak memperlihatkan sifat patriotisme. Sebagai anak pejuang barangkali Megawati sudah salah menempatkan diri karena ia tidak mau tahu dengan situasi dan kondisi yang terjadi sesuai dengan teka-teki yang dibuatnya sendiri.
Terjadinya penghujatan yang berlebihan terhadap lawan politiknya A.M. Syaefuddin sebenarnya tidak perlu terjadi bila Megawati sendiri menjelaskan agamanya yang sebenarnya. Barangkali A.M. Syafuddin dengan bahasanya yang sedikit “nakal” menyangsikan agama Megawati tersebut. Keberanian Megawati beribadah di Pura sangat bertentangan dengan aqidah agama Islam. Sedangkan menurut keluarganya, Megawati agamanya Islam. Sikap dan perbuatan yang ditunjukkan oleh Megawati yang berdiam diri sangat bermakna plural di satu sisi memanfaatkan kesalahan A.M. Syaefuddin untuk kepentingan politiknya disisi lain masih terjadi tanda tanya apa yang sebenarnya agama Megawati tersebut. Menurut penulis sikap diamnya itu akan menurunkan loyalitas umat Islam pada dirinya dan juga akan memperlihatkan ketidakpatriotikan pribadi Megawati Soekarno Putri dalam meredam ketegangan di masyarakat.
  

   Penulis memprediksi Megawati sendiri yang selalu diam akan berhadapan dengan organisasi-organisasi Islam yang sudah memberikan toleransi hidup beragama dengan kelompok non muslim lainnya. Karena penghujatan yang berlebihan pada seorang umat yang sudah minta maaf atas kekhilafan menunjukkan sikap yang tidak toleran. Begitu juga penghujatan sekelompok orang terhadap A.M. Syaefuddin sudah berhadapan dengan batas-batas toleransi yang sudah diberikan umat Islam. Jadi tidak bersuaranya Megawati menjadi tanda Tanya besar bagi sebagian cendikiawan muslim. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa Megawati sendiri memanfaatkan situasi politik ini. Untuk itu penulis berharap terutama untuk Megawati untuk memberikan pernyataan yang sejujurnya terhadap agama yang dianut serta alas an keberaniannya melakukan ibadah di Pura. Begitu juga dengan Megawati sendiri sebagai public figure masyarakat Bali dapat memberikan nasehat untuk bersikap toleransi terhadap kesalahan seseorang. Hal ini merupakan langkah terbaik untuk menunjukkan kepada publik bahwa Megawati punya konsep dan punya niat bagus untuk bangsa ini. Tetapi yang terjadi insya allah Mega itu tidak bersuara. (Dipublikasikan Tabloid Mahasiswa IKIP Padang Ganto, 1998).

Urgensi Pembinaan Gemar Membaca

16 September 2014 20:02:17 Dibaca : 1075

URGENSI PEMBINAAN GEMAR MEMBACA

 

 

Oleh : Arwildayanto
(Mahasiswa S1 Administrasi Pendidikan FIP IKIP Padang)

 

    Presiden Houghton Miff thalin Company, W.E. Spaulding mengatakan bahwa buku memiliki arti dalam hubungannya dengan bangsa Amerika bahwa …”libraries, books and reading constitute the cultural bloodstream of the nation. We hear that reading is the comestone of education. That success of a democtratic society depends on the education without books is inthinkable”. Dari bangsa Persia atau Iran, dapat kita mengambil beberapa kata-kata yang sangat memotivasi kita berikut ini,,,, Persian national pride had suffered a mighty blow with the discovery that for lack of education and training the Iranian people could not operate their own oil wells. This had brought about a genuine educational awakening and books and education were now regarde as the road to personal and national solution and restored persion pride. Dan juga pihak Negara Ghana dan Nigeria menyakini bahwa political leaders and education are wiewing money expended for educational as capital investment of the highest priority. In both countries expenditures for education constitute the largest item in the national budget and the basic media of education are book and teachers. Demikian tentang pendapat beberapa bangsa lain mengenai peranan buku dan membaca dalam pendidikan, perkembangan dan kemajuan bangsa mereka-masing. Bagaimana di Negara kita sendiri?

   Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menanggapi apa yang dikemukakan tokoh pendidikan kita, seperti Soegarda Purbakawatja dan Prof. Slamet Iman Santoso dalam tulisannya pada Harian Umum Sinar yang berjudul Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Perguruan Tinggi dihubungkan antara lain dengan bertahtanya dikat. Diktat ini yang kadang-kadang tidak sempurna dan bahkan berisikan kesalahan-kesalahan, difungsikan sebagai satu-satunya media pendidikan di Perguruan Tinggi. Diktat yang biasanya makin lama makin tipis, tetapi makin beraksi sebagai kebudayaan di Perguruan Tinggi. Selanjutnya ketiadaan gairah membaca di kalangan mahasiswa kita bersumber pada sistem pendidikan yang tidak menanamkan akan pentingnya membaca sejak pendidikan dini (dasar).
   

    Jadi kebudayaan diktat ini terjadi karena mahasiswa tidak mau membaca dan tidak sanggup menterjemahkan buku yang berbahasa asing. Hal ini diungkapkan juga oleh Dr. Azmi Pembantu Rektor I Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang saat membuka kegiatan penterjemah buku ajar menurut beliau mahasiswa lebih cenderung menggunakan diktat yang dibuat dosen bersangkutan. Dan ada lagi kemungkinan yang lebih dominan mempengaruhi gairah minat baca mahasiswa, karena sewaktu mereka menduduki jenjang pendidikan dasar sebagian besar di antara mereka kurang terangsang akan pentingnya membaca.

   Kemungkinan kurang gairah membaca bisa juga disebabkan karena peserta didik sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi tidak belajar membaca dengan baik. Pada mereka tidak tertanam, tidak terpupuk kegairahan membaca dan sikap baik pada buku. Pada mereka tidak pernah di didik pengertian bahwa buku merupakan alat untuk memperkaya pengalaman, memperoleh keterangan-keterangan guna pemecahan masalah untuk melanjutkan pendidikan dan untuk mempertahankan diri dengan jalan menghindari keadaan absolescence. Mereka tidak pernah disadarkan akan pentingnya membaca agar mereka sanggup menghadapi tantangan hidup yang semakin kompetitif dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih.

     Kegagalan kita dalam hal menyadari pentingnya buku dan pentingnya membaca buku dalam hidup, budaya dan pendidikan mempunyai dampak negatif, bahwa sampai saat ini pendidikan di Indonesia untuk sebagian besar anak-anak Indonesia dilakukan tanpa buku murid. Tindakan IKIP Padang yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) menyelenggarakan penterjemahan buku ajar sangat tepat sekali. Hal ini bermanfaat bagi semua guru, dosen untuk menjadikan buku-buku dari berbagai Negara di dunia sebagai sumber belajar dan mengajar. Karena bisa melihat secara nyata beberapa sekolah memiliki buku sebagai sumber bahan belajar sangat tidak memadai dan tidak sesuai dengan jumah yang dibutuhkan murid yang ada di sekolah. Tidak jarang kita melihat mungkin pernah mengikuti pelajaran membaca di kelas I Sekolah Dasar yang notabene jumlah muridnya mendekati 40 orang siswa, yang tersedia hanya 10 buah judul buku bacaan. Keadaan ini merupakan penyebab kurangnya gairah membaca dikalangan peserta didik bahkan membudaya sampai ke perguruan tinggi sekarang ini.

   Untuk itu perlu kita mendukung secara bersama-sama usaha IKIP Padang menterjemahkan buku ajar dan mengumpulkan bacaan-bacaan yang akan disumbangkan pada beberapa SD Hal ini bermanfaat menambah buku-buku yang dapat meningkatkan gairah baca secara dini dimulai pada sekolah dasar. Hanya… “if only the can be and are being used”. (Dipublikasikan Tabloid Mahasiswa IKIP Padang Ganto, edisi nomor 74/TH.X/Maret 1998).

Deklarasi Padang Diuji Kebesarannya

16 September 2014 19:55:42 Dibaca : 696

DEKLARASI PADANG DIUJI KEBESARANNYA

 

Oleh : Arwildayanto
(Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan AIP FIP IKIP Padang)

 

    Di akhir Temu Ilmiah Nasional tentang Manajemen Pendidikan yang diselenggarakan IKIP Padang , 1 September 1995 yang lalu, para peserta sepakat mengeluarkan suatu deklarasi guna menyukseskan sistem pendidikan nasional dalam mengisi era pembangunan jangka panjang II. Deklarasi itu dikenal dengan nama Deklarasi Padang.
Dari tujuh pernyataan Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN), praktisi, pemerhati dan masyarakat manajemen pendidikan secara keseluruhan yang tertuang dalam Deklarasi Padang sangat bermakna dan bergema sekali di kalangan pengelola pendidikan apalagi bila diikuti oleh policy pendidikan yang positif terhadap kontribusi manajemen pendidikan pada semua level, jenis dan jalur pendidikan. Hal ini juga berguna untuk menjamin pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional secara baik.
   Deklarasi Padang dinilai oleh para peserta temu ilmiah nasional tersebut sangat tepat sekali, karena berkenaan dengan situasi dan kondisi yang ada. Maka kita perlu melakukan team work, terutama bagi sesama profesi. Hal ini berkenaan dengan adanya kebijaksanaan birokrat yang kurang “fair” terhadap penghapusan beberapa jurusan di perguruan tinggi. Salah satunya jurusan yang akan dihapuskan itu adalah jurusan Administrasi Pendidikan. Sebenarnya apapuny kebijaksanaan pemerintah terhadap penghapusan beberapa jurusan di perguruan tinggi kita akan setuju bia alas an yang diberikan itu tepat dan masuk akal. Dari kondisi inilah Deklarasi Padang diuji kebesarannya untuk mampu menyakinkan para birokrat pendidikan, akan penting Administrasi Pendidikan/Manajemen Pendidikan dalam mengelola pendidikan dalam melaksanakan sistem pendidikan nasional yang kompleks dan heterogen tersebut.
   Kalau kita mau jujur melihat situasi dan kondisi pendidikan di Indonesia, tentu kita tidak bisa menilai atau mencap suatu disiplin ilmu hanya pencipta pengangguran saja. Sedangkan dari kenyataan yang ada, semua disiplin ilmu ada penganggurannya, Karena istilah pengangguran tersebut sangat relatif sekali, bukan berarti orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) saja yang tidak menganggur. Coba kita melihat di lapangan, begitu semraut pengelolaan pendidikan. Hal ini perlu sekali ditangani oleh para pekerja yang professional. Jadi jelas kebutuhan akan tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
    Hal-hal yang lebih politis lagi di ungkapkan Djamaan Satori, Ketua Jurusan Administrasi Pendidikan IKIP Bandung menjelaskan bahwa alasan penutupan jurusan Administrasi Pendidikan, pertama argumentasinya tidak jelas dan tidak transparan. Besarnya kebutuhan masyarakat terhadap tenaga manajemen pendidikan yang professional sangat banyak, baik, baik dari dunia industry maupun dari lembaga pendidikan, kedua penutupannya tidak memperhatikan arus bawah (bottom-up) dan tidak objektif, tidak berdasarkan pada hasil penelitian. Sepertinya langkah-langkah yang dilakukan tokoh-tokoh manajemen pendidikan tidak berarti dan sia-sia. Tak ubahnya dengan istilah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, ketiga, Birokrat pendidikan tidak konsisten. Sebelumnya yang akan ditutup adalah jurusan Kurikulum Teknologi Pendidikan (KTP), eh nyatanya sekarang beralih ke Jurusan Administrasi Pendidikan, keempat, penutupan disiplin ilmu cenderung dan terasa aroma tidak sedap yang didasarkan pada nilai kedekatan dari sekelompok orang yang diberi kepercayaan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia.
   Kita masih memiliki kebanggaan bahwa tahun 1995 Jurusan Administrasi Pendidikan masih tetap eksis. Kita berharap policy birokrat untuk tahun seterusnya dapat lebih fair. Dan kita sama-sama mengakui bahwa manajemen pendidikan tidak bisa dikerjakan oleh orang yang bukan ahlinya. Tenaga manajemen pendidikan dari data alumni yang dihasilkan jurusan administrasi pendidikan tidak hanya meleburkan diri dalam dunia pendidikan semata, tetapi banyak juga yang bergelut dan berhasil di lembaga non kependidikan.
   Bagaimana Implikasi Deklarasi Padang pada kebijakan pemerintah nanti akan amat ditentukan atas rasionalisasi Deklarasi Padang itu sendiri terhadap manajemen pendidikan ini. Kita masih berharap bahwa jurusan administrasi pendidikan tetap eksis di semua Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Namun yang pasti bila dihapus tentu akan terasa IKIP sebagai institusi penghasil tenaga kependidikan secara perlahan-lahan akan menjadi kerdil. Untuk itu, penulis berharap pemerintah tidak membiarkan’ api keilmuan itu dipadamkan secara perlahan, sebag lama-lama akan padam seluruhnya (Dipublikasi Tabolid Ganto Edisi Nomor 47/TH VI/OKTOBER 1995).

Ujian Nasional 2012, Proyek Kejujuran Provinsi Gorontalo

16 September 2014 19:50:26 Dibaca : 825

UJIAN NASIONAL 2012, PROYEK KEJUJURAN PROVINSI GORONTALO

Oleh Dr. Arwildayanto, M.Pd
(Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo)

 

   Kemendikbud mulai senin tanggal 16 April sampai dengan 19 April 2012 melaksanakan Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA. Peserta ujian nasional tahun 2012 ini tercatat sebanyak 2.580.446 siswa, terdiri dari 1.234.921 siswa SMA/SMALB (47,77%), 303.601 siswa MA/MALB (11,77%) dan 1.041.924 siswa SMK/SMKLB (40,45%). Kebutuhan biaya dalam pelaksanaan program tahunan ini dilansir di berbagai media. Kegiatan ujian nasional tahun 2012 ini Kememdikbud mengalokasikan anggaran ± Rp. 600 milyar. Sesungguhnya jumlah tersebut sangat fantastis karena dari segi financial, proyek ini menjadi proyek tahunan Kemendikbud yang menyerap APBN cukup banyak. Bahkan dari tahun ke tahun proyeksi kebutuhan biaya ujian nasional menunjukkan trend peningkatan yang signifikan. Pertanyaan yang agak kritis, jika kita berpikir filsafati ditinjau dari konsep aksiologi ujian nasional itu sendiri, kira-kira ujian nasional ini bisakah menjadi proyek kejujuran?
   Pertanyaan ini sengaja dijadikan headline dari artikel ini, karena kita merasa terpanggil secara moral dari apa yang terjadi tahun 2011 yang lalu, dimana Provinsi Gorontalo pernah mendapatkan catatan khusus adanya kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal (Baca Republika, 25 April 2011) menduga bahwa kecurangan yang terjadi di salah satu SMA di Provinsi Gorontalo terjadi saat pengambilan soal di Rayon atau saat ujian nasional berlangsung dimana guru juga ikut mengerjakan soal tersebut.
   Bahkan kompasiana edisi 13 April 2013 juga memuat pemberitaan dari sebuah hasil penelitian tentang ujian nasional di Provinsi Gorontalo. Penelitian itu memuat kesimpulan yang membuat perasaan kita menjadi miris. Dimana angka kelulusan berbanding terbalik dengan angka kejujuran. Misalkan angka kejujuran 90%, maka angka kejujurannya adalah 100%-90% = 10% begitu pun sebaliknya.

Proyek Kejujuran Provinsi Gorontalo

    Menyimak kasus di atas, tentunya kejadiannya tidak hanya terjadi di Gorontalo, tetapi sudah merambah ke seluruh pelosok tanah air Indonesia. Hal ini tergantung juga kejujuran kita mengungkapnya, keberanian kita untuk berbenah dan memperbaikinya. Kita menyadari bahwa masyarakat Gorontalo tekenal dengan masyarakat yang memiliki marwah peradaban dan norma yang berlandaskan agama dan adat yang masih terjaga kokoh. Justifikasi masa lalu boleh jadi pelajaran berharga untuk menorehkan sejarah baru yang lebih mulia. Untuk itu momentum Ujian Nasional 2012 boleh jadi kilas balik lembaran kelam menuju prestasi terbaik berbasiskan kejujuran yang tinggi. Ujian Nasiona 2012 ini kita jadikan proyek bersama masyarakat yang ada di Provinsi Gorontalo. Untuk itu kita secara bersama-sama mendorong masyarakat kampus yang diberikan amanah oleh Kemendikbud untuk bisa menyelenggarakan Ujian Nasional 2012 lebih professional dan berkualitas.
  Perguruan tinggi juga diminta untuk serius melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya untuk terus menjaga nilai-nilai kejujuran, mengaliri dalam denyutan-denyutan kehidupan masyarakat pelaku dan penikmat pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi tidak boleh berhenti untuk memompa energi dan semangat berbuat jujur sekali menghalau kecurangan itu jauh-jauh dari lingkungan sekolah, walaupun berat, katakana tidak untuk berbuat curang.

Standar Kelulusan tida berubah, Tekad kita “Prestasi Yes Jujur Harus”.

   Proyek kejujuran di tingkat Provinsi Gorontalo dalam pelaksanaan Ujian Nasional memang tidak gampang untuk dilaksanakan. Dari 12.118 siswa yang mengadu nasib masa depannya di 110 sekolah yang ada di Provinsi Gorontalo, dengan standar kelulusan tingkat nasional tidak berubah dengan tahun lalu, yakni 5,5 untuk semua bidang studi. Namun usaha untuk merubah perilaku kolektif dari segenap stakeholders pendidikan mesti dilakukan, mulai dari sekarang, dari lingkungan yang kecil sampai menjadi tekad kolektif, Prestasi Yes, Jujur Harus”
   Kita yakin dengan tekad dan komitmen semua pihak. Kita bisa menjadikan ujian nasional 2012 ini menjadi titik balik dan menempatkan Provinsi Gorontalo berprestasi dalam kejujuran yang tidak diragukan. Karena nilai-nilai kejujuran itu sungguh langkah dan mahal untuk diperoleh. Harapan pemerintah pun melaksanakan ujian nasional bisa terwujud, diiantaranya 60% lulusan ujian nasional bisa dijadikana acuan untuk masuk perguruan tinggi. Sekaligus dampak jangka panjang kita bisa melahirkan generasi bangsa yang bangga berperilaku jujur dan menjadi budaya yang selalu terpatri dalam kehidupannya sehari-hari.

Ujian Nasional Bukan Media Tepat untuk Pencitraan Kepala Daerah
    Tahun 2012 sesuai dengan prosedur dan operasional standar (POS) Ujian Nasional dan Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan memberikan signal bahwa Kepala Daerah diharapkan untuk tidak menjadikan moment Ujian Nasional sebagai media pencitraan, dengan kehadirannya pada saat ujian nasional berlangsung. Karena pada saat ujian berlangsung kepala daerah berkunjung ke sekolah memberikan efek psikologis yang tidak baik, mulai dari siswa, guru, kepala sekolah bisa menjadi tertekan sehingga tidak fokus dalam melaksanakan ujian.
   Bahkan sebagian besar waktu peserta didik, guru dan kepala sekolah tersita untuk melayani dan menjamu kepala daerah tersebut. Yang lebih ironinya lagi kepala daerah memberikan target yang sulit untuk diwujudkan sekolah. Sehingga menimbulkan pikiran yang tidak sehat dari pelaku pendidikan dengan menempuh jalan singkat, melakukan kecurangan, ketidakjujuran secara massif dan terorganisir agar semua harapan kepala daerah bisa terwujudkan demi mempertahankan tahta maupun sejuta asa menjadi kepala daerah. Sekali lagi tulisan ini sengaja mendorong dan mengajak kepala daerah untuk membebaskan proses pendidikan termasuk di dalamnya prosesi ujian nasional 2012 ini dari infiltrasi, akrobatik politik pencitraan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan (Dipublikasikan di Harian Umum Gorontalo Post, Senin 16 April 2012 halaman 5)

 

UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

16 September 2014 19:39:54 Dibaca : 1104

UJIAN NASIONAL: “RESIDU POWER” TIDAK EFEKTIF

Dr. Arwildayanto, M.Pd

(Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Gorontalo)

 

Perubahan variasi soal bukti ketidakjujuran panitia lokal yang massif

    Setiap kali hajatan ujian nasional (UN) berlangsung, saat itu pula sikap pro dan kontra masyarakat menguak kepermukaan, termasuk ujian nasional tahun 2013 ini. Ketika Panitia Nasional UN menerapkan model soal yang terdapat 20 variasi untuk setiap kelas, memberikan signal memang selama ini pelaksanaan UN belum dilandasi sikap yang jujur, baik dilakukan oleh guru maupun pengawas, sehingga memerlukan perubahan bentuk soal yang radikal seperti ini. Mestinya perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara UN merasa malu bahwa selama ini memang terdapat kebobrokan perilaku kolektif dalam lingkaran ketidakjujuran. Ironinya, perguruan tinggi dan sekolah tidak pernah koreksi dan intropeksi diri, apakah event nasional yang diselenggarakannya sudah jujur—sehingga perubahan model soal seperti ini diberlakukan yang berarti memukul dan menyiram muka aktor pendidikan di tingkat sekolah dan perguruan tinggi yang sering terlibat dalam pengawasan.
    Justru yang sering muncul di benak penyelenggara dan pengawas UN adalah kegiatan UN merupakan agenda rutin yang menjadi rezeki tambahan bagi mereka yang terlibat dalam kepanitian dan kepengawasannya. Sehingga sikap kritis perguruan tinggi semakin mandul melihat manajemen UN tersebut. Mestinya dari tahun ke tahun penyelenggaraan UNG semakin baik, bukan seperti yang terjadi tahun 2013 ini, dimana ada 11 provinsi (termasuk provinsi Gorontalo) terpaksa ditunda pelaksanaan UN, karena distribusi soal UN belum tuntas. Hal-hal substantive seperti ini mestinya tidak perlu terjadi jika panitia UN terus belajar dari proses UN sebelumnya.

UN project minded versus pemetaan mutu pendidikan.
   Terdapatnya berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan UN secara berulang dalam motif yang berbeda tiap tahunnya memberikan indikasi bahwa UN itu porsi “project minded” lebih besar ketimbang untuk pemetaan mutu pendidikan. Sehingga perlu evaluasi menyeluruh dari berbagai aspek, diantaranya tujuan maupun penyelenggaraannya diikuti rencana tindak lanjut (RTL) dalam bentuk program di setiap sekolah. Selama ini belum kelihatan hasil ujian nasional dijadikan referensi dalam membuat program pembelajaran remedial maupun akselarasi. Sekolah yang mendapat skor ujian nasional rendah tidak mendapatkan intervensi program, sekaligus sekolah yang nilainya bagus juga tidak mendapatkan program akselarasi sehingga skor-skor ujian nasional hanya menjadi prestise sekolah termasuk pejabat di daerah.
  Indikasi “project minded”, kelihatan dari besarnya dana yang dikucurkan untuk penyelenggaraannya dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 yang lalu kemendikbud alokasi anggaran 600 milyar, boleh jadi tahun 2013 ini mendekati angka 650 milyar. Peningkatan anggaran UN terutama untuk membayar honor panitia. Mulai dari pengawasan pendistribusian naskah ujian, hingga honor untuk pengawas UN tingkat sekolah. Ini menunjukkan project Ujian Nasional bisa dinikmati banyak pihak (tidak masalah, asalkan nilai manfaatnya sebanding dengan uang Negara yang dikeluarkan).

UN bukti “residu power” tidak efektif
   Yang lebih menarik untuk dikritisi dari pelaksanaan UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kalau di lihat dari pasal 57-59 Undang-undang tersebut, hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya belum tentu dengan model UN (Mohd Haramen,12/4/13).
  Terus dimana pemerintah memiliki landasan yuridis melaksanakan UN, tidak lain dihadirkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan UN dari SD hingga SMA. PP inilah yang menjadi dasar digelarnya UN. Terus jika kita hubungkan dengan semangat otonomi daerah dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, apakah UN ini sinergi dengan implementasi desentralisasi pendidikan?.
    Semangat otonomi daerah merupakan salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
   Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
   Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, kelihatan sekali ketika urusan pendidikan di serahkan ke daerah, melalui kebijakan desentralisasi pendidikan namun disisi lain persoalan evaluasinya masih belum dilepas. Sehingga pemerintah pusat pun masih tergoda untuk mengelolanya. Ini menunjukkan proses UN menjadi persoalan yang seksi untuk dilirik. Sekaligus persoalan UN menujukkan implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah masih belum menemukan ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25). Kita berharap desentralisasi pendidikan tidak berhenti dalam penyelenggaraanya semata, sekaligus dalam urusan evaluasi mesti diserahkan ke daerah. Sehingga ketidakpercayaan pemerintah pusat bisa dieliminir dengan memberikan kewenangan dalam melaksanakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh provinsi masing-masing (provinsi bukahkah wakil pemerintah pusat di daerah). (Dipublikasikan pada harian umum Gorontalo Post, Rabu 17 April 2013).