Socrates dan Kebenaran yang Terbungkam
Tulisan ini saya mulai dengan kata bijak dalam bahasa Gorontalo yang pernah saya dengar dari sebuah karya seni berjudul Buwayi:
Batanga Japilohongia | Po'opiyohe todudelo |
Lipundo lipu lo'adati | Tunuhiyo sare'ati.
Kata-kata ini mengajak siapa pun yang menghirup udara di Gorontalo untuk memahami makna kehidupan dan menghargai nilai-nilai luhur. Lalu, apa kaitannya dengan Socrates?
Socrates adalah filsuf Yunani yang hidup pada 469 - 399 SM. Pendapatnya yang terkenal adalah tentang pentingnya membangkitkan rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan dalam diri manusia. Cinta ini, menurut Socrates, memotivasi manusia untuk berpikir jernih dan hidup dengan prinsip moral yang lurus.
Pada tahun 423 SM, sebuah komedi tragis tentang Socrates dipentaskan di Athena. Penulisnya adalah Aristophanes, seorang yang memiliki pandangan konservatif dan bertentangan dengan pemikiran Socrates. Dalam komedi itu, Socrates digambarkan sebagai seorang guru yang merusak generasi muda. Baginya, Socrates adalah ancaman yang patut dibenci*).
Peradilan di Athena pun akhirnya menjerat Socrates. Apologia—pembelaan Socrates terhadap dirinya—tak cukup kuat untuk membendung tuduhan yang ditujukan padanya. Meletos, Anytos, dan Lycon, yang berada di balik tuduhan itu, berhasil mempersatukan suara mereka untuk menjatuhkan hukuman. Dalam konteks ini, saya teringat akan ungkapan dari bahasa Gorontalo: Lo iya lo tau wa, Tau wa loloiya, Boodila polulia hi lawo. Ungkapan ini mengingatkan kita tentang bagaimana sebuah kesepakatan bisa mengorbankan keadilan.
Peradilan yang tidak adil inilah yang membuat Socrates menenggak racun di hadapan murid-muridnya. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya sedikit banyak dipengaruhi oleh pembunuhan karakter yang dilakukan Aristophanes melalui panggung hiburan. Memang, dalam masyarakat yang gagal menghargai pemikiran kritis, individu yang setia pada prinsip moral sering kali menjadi sasaran penghakiman yang tidak adil.
Telah sampaikah kabar Socrates minum racun? Gnothi Seauton Kai Meden Agan, Aristophanes!
[Di suatu tempat di Gorontalo, bukan di Athena, pada suatu waktu yang tak terikat oleh sejarah].
*)Terdapat beragam pandangan mengenai penyebab kematian Socrates. Beberapa berpendapat bahwa The Clouds karya Aristophanes tidak begitu berpengaruh terhadap hukuman mati Socrates. Sebaliknya, tulisan ini mengemukakan perspektif yang berbeda, seperti yang diungkapkan oleh Plato dalam Apologia, Gregory Vlastos, dan Will Durant dalam The Story of Philosophy, meskipun ketegangan politik, sosial, dan keagamaan pasca-Perang Peloponnesia mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar.
Tulisan ini disadur dari tulisan yang sama berjudul "Telah Sampaikah Kabar Socrates Minum Racun?"