Kecerdasan Naturalis

16 May 2024 07:03:53 Dibaca : 7

1. Kecerdasan Naturalis

Kecerdasan naturalis merupakan salah satu dari 9 jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner. Gardner (Gangadevi dan Ravi, 2014) mengartikan naturalistic intelligence: It is the ability to understand nature and use the gifts of nature for one's own development. Students with high level of naturalistic intelligence do well as agriculturists, farmers, landscapers, etc. It is possible in an educational institution to develop the above eight types of intelligences. Carvin (dalam Yaumi 2012:199) mendefinisikan: kecerdasan naturalis adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikasi pola-pola alam (nature). Di samping itu Bowles (dalam Yaumi 2012:23) menyatakan komponen inti kecerdasan naturalis adalah kepekaan terhadap alam (flora, fauna, formasi awan, gunung-gunung), keahlian dalam membedakan anggota-anggota suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara formal maupun informal. Memelihara alam dan bahkan menjadi bagian dari alam itu sendiri seperti mengunjungi tempat-tempat yang banyak dihuni binatang, dan mampu mengetahui hubungan antara lingkungan dan alam merupakan suatu kecerdasan yang tinggi mengingat tidak semua orang dapat melakukan dengan mudah”. Menurut Suryadi (2006:53) “kecerdasan naturalis adalah keahlian mengenal dan mengeksplorasikan spesies (flora dan fauna) di lingkungan sekitar, mengenal eksistensi spesies, memetakan hubungan antara beberapa spesies. Suryadi juga menjelaskan bahwa kecerdasan ini juga meliputi kepekaan pada fenomena antara beberapa spesies dan kepekaan pada fenomena alam lainnya”. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kecerdasan naturalis adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan serta mampu mengenali dan mengkategorisasi spesies (flora dan fauna).

2 Karateristik Kecerdasan Naturalis

Orang yang memiliki kecerdasan naturalis dapat dilihat dari perilaku yang ditunjukkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa ciri atau karakteristik orang yang memiliki kecerdasan naturalis. Menurut Shearer (2019) ciri-ciri kecerdasan naturalis adalah memahami kehidupan hewan dan tanaman. Connel (dalam Yaumi 2012:199-200) mendeskripsikan bahwa “orang yang naturalistik dapat digambarkan sebagai orang yang: (1) memiliki minat yang dalam terhadap lingkungan, (2) melibatkan diri dalam alam, (3) memelihara alam dari polusi, (4) melakukan navigasi alam dengan mudah, (5) mampu melihat pola-pola dalam alam dengan mudah, (6) mengenal berbagai jenis berbatuan, flora dan fauna, bahkan berbagai jenis burung yang hidup di alam tersebut, (7) membawa alam ke dalam ruang kelas jika sebagai seorang guru”. Suryadi (2006:54) mengemukakan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan naturalis dapat dilihat dari cara ia menyayangi binatang, keinginan ia memiliki hewan peliharaan, kesukaan ia mengamati burung dan tumbuhan, dapat menikmati benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, kesukaan mengamati apa yang terjadi di lingkungan dan lain sebagainya. Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Yaumi (2012:201-202), bahwa ciri orang yang memiliki kecerdasan naturalis adalah; (1) berbicara banyak tentang binatang, tumbuh-tumbuhan atau keadaan alam, (2) senang berdarmawisata ke alam, kebun binatang, atau di museum, (3) memiliki kepekaan pada alam (seperti hujan, badai, petir, gunung, tanah, dan semacamnya, (4) senang menyiram bunga atau memelihara tumbuh-tumbuhan dan binatang, (5) suka melihat kandang binatang, burung, atau akuarium, (6) senang ketika belajar ekologi, alam, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, (7) berbicara banyak tentang hak-hak binatang, dan cara kerja planet bumi, (8) senang melakukan proyek pelajaran yang berbasis alam (mengamati burung-burung, kupu-kupu atau serangga lainnya, tumbuh-tumbuhan dan memelihara binatang), (9) suka membawa ke sekolah binatang-binatang kecil, bunga, daun-daunan, kemudian membagi pengalaman dengan guru dan teman-teman lain, (10) mengerjakan dengan baik topik-topik yang melibatkan system kehidupan binatang, cara kerja alam, dan bahkan manusia.

Karakteristik anak yang memiliki keceradasan naturalis: (1) Feels at their best in the outdoors, (2) Strives for balance with nature and mind and body, (3) Demonstrates an empathy with nature and it’s creatures, (4) Has a strong sense of responsibility towards the environment, (5) Possesses a sensitivity to animal abuse and environmental destruction, (6) Enjoys exploration, adventure, open-ended experiences, dan (7) Feels an affinity toward animals in general, pets in particular (Hoekstra, http://www.International-montessori.org). Salah satu ciri yang ada pada anak-anak yang kuat dalam kecerdasan naturalis adalah kesenangan mereka pada alam, binatang, misalnya berani mendekati, memegang, mengelus, bahkan memiliki naluri untuk memelihara (Thalib, dkk; 2020).

           Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan naturalis memiliki ciri-ciri di antaranya berbicara banyak tentang binatang, tumbuh-tumbuhan dan keadaan alam, memiliki kepekaan alam (seperti awan, hujan, dan badai), memiliki hewan peliharaan, menyayangi binatang, senang memelihara dan menyiram tumbuh-tumbuhan, serta senang berdarmawisata ke alam, kebun binatang dan museum, peka terhadap kerusakan alam.

Kecerdasan Naturalis dan Kelestarian Lingkungan

15 May 2024 08:06:03 Dibaca : 9

Masalah kerusakan lingkungan alam telah menjadi masalah global yang hingga saat ini menjadi perhatian dunia untuk diupayakan solusinya. Lingkungan alam telah diciptakan oleh Maha Pencipta untuk memenuhi kebutuhan manusia dan manusia telah menggunakannya secara terus menerus, oleh sebab itu kerusakan lingkungan tentu saja tidak lepas dari tanggungjawab manusia dalam penggunaan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana pendapat Nizaar (2022) jika dilihat dari perspektif antroposentris, di mana lingkungan dihadirkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup manusia maka kerusakan yang terjadi disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak sesuai dengan keberlanjutan lingkungan hidup. Perilaku manusia semestinya sejalan dengan keberlanjutan lingkungan hidup karena lingkungan saat ini bukan hanya diperuntukkan bagi generasi sekarang, namun diperuntukkan juga bagi generasi selanjutnya.

Apabila dicermati, pada dasarnya untuk mengkaji solusi terhadap kerusakan lingkungan alam tidak lepas dari persoalan tanggung jawab manusia dalam memperlakukan lingkungan itu sendiri. Oleh sebab itu upaya yang tepat harus dimulai dari diri setiap manusia yakni dengan mengembangkan kecerdasan naturalis. Solusi ini menjadi solusi jangka panjang, sebab kecerdasan naturalis telah menyatu dengan kehidupan manusia dan senantiasa ada sepanjang kehidupan manusia.    Kecerdasan naturalis adalah kemampuan dalam memperlakukan lingkungan alam secara positif, memperlakukan alam sebagai bagian dari hidup yang perlu dipelihara dan dijaga kelestariannya.

Seseorang dengan kecerdasan naturalis yang tinggi akan memiliki naluri yang kuat yang diwujudkan dalam berbagai perilaku yang dapat menjaga kelestarian lingkungan. Ia akan menjadi orang senantiasa memiliki sence of belonging of environment, yang menjadikan lingkungan sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri.Dapat diasumsikan orang yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi akan memiliki rasa cinta lingkungan yang tinggi pula. Oleh sebab itu pengembangan kecerdasan naturalis penting untuk menjaga kelestarian lingkungan sepanjang waktu. Hasil penelitian Anna (2016) menunjukkan adanya sumbangan sebesar 24,8% kontribusi kecerdasan naturalis terhadap sikap peduli lingkungan. Hasil penelitian Wirdianti, dkk (2020) menyimpulkan ada hubungan antara kecerdasan naturalis dengan tanggung jawab lingkungan. Hal yang sama ditemukan oleh Afifah, dkk (2021) bahwa terdapat pengaruh kecerdasan naturalis terhadap pro environmental behavior siswa. Demikian pula halnya hasil penelitian Rahmawati, dkk (2021) memberikan hasil adanya hubungan antara kecerdasan naturalis dengan sikap peduli terhadap lingkungan sekitar, dengan koefeisen determinasi sebesar 16,3%.

            

Penggunaan Tari dan Lagu Daerah Gorontalo dalam Layanan Bimbingan dan Konseling

Gorontalo sebagai salah satu daerah adat dari sembilan daerah adat di Indonesia, memiliki kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut antara lain tari dan lagu tradisional yang lahir dan berkembang serta digunakan oleh masyarakat Gorontalo. Menurut Rahim (2016) beberapa tarian daerah Gorontalo yang dapat dijadikan sebagai teknik layanan bimbingan dan konseling adalah:

a. Tarian Dana-Dana, tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang, paling sedikit 2 orang. Dana-Dana adalah seni budaya asli masyarakat Gorontalo. Sejenis tari pergaulan yang secara keseluruhannya menggambarkan keakraban muda-mudi. Selain gerakannya yang dinamis dalam iringan gambus dan rebana, nuansa keakraban juga terwakili oleh syair bertemakan cinta, atau petuah-petuah pergaulan remaja.

 Dalam fungsinya, tarian dana-dana bisa menjadi tari penyambutan dan tari perayaan. Sebagai tari penyambutan disajikan untuk menyambut tamu, sedangkan tari perayaan dipersembahkan saat ada perayaan tertentu, seperti pernikahan, pagelaran seni budaya, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, tari dana-dana hadir pada tahun 1525 Masehi atau seiring masuknya agama Islam ke Gorontalo. Untuk pertama kalinya, tarian kerakyatan ini ditampilkan pada acara pernikahan Raja Sultan Amay dengan Putri Owotango.

Di masa awal tarian ini hanya dibawakan oleh kaum penari laki-laki saja, 2-4 orang. Hal ini berkaitan dengan ketatnya ajaran Islam dan norma adat-istiadat masyarakat Gorontalo pada waktu itu. Seiring perkembangan, akhirnya juga bisa ditarikan berpasangan dengan wanita (http://blogkulo.com diakses tanggal 18 Februari 2022).

Tarian ini dapat digunakan untuk mengembangkan kebersamaan, menumbuhkan emosi senang/bahagia, ketelitian, konsentrasi, tanggung jawab.

b.Tarian Saronde, tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang, palin sedikit 2 orang. Tari Saronde merupakan tarian Gorontalo sebagai bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Gorontalo. Dulunya, tari ini menjadi media pengenalan calon istri yang diistilahkan dengan molile huali. Sang mempelai pria menari, sedangkan calon istrinya menampakkan diri sedikit agar dia bisa melihatnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, tarian Saronde berkembang fungsinya sebagai tari hiburan yang dipertunjukkan untuk berbagai acara. Perkembangan juga terjadi pada komposisi penarinya. Saat ini, tarian ini lebih sering disajikan secara berpasangan oleh penari pria dan penari wanita.

Para penarinya mengenakan busana khas Gorontalo lengkap dengan selendang sebagai atributnya. Sekitar 3-6 pasang penari membawakan tarian ini dengan iringan musik rebana dan lagu yang khas Saronde. Gerakan pada tari ini lebih didominasi oleh ayunan tangan dan kaki (http://blogkulo.com diakses tanggal 18 Februari 2022).

Tarian ini dapat dijadikan untuk mengembangkan perilaku kerjasama, tanggung jawab, ketelitian, konsentrasi, serta emosi positif.

c. Tari Elengge, tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang, paling sedikit 2 orang.  Tari Elengge menggambarkan nuansa kegotong-royongan muda-mudi ketika bersama-sama menumbuk padi menggunakan lesung atau dalam bahasa Gorontalo disebut didingga dan anak lesung yaitu (wala’o didingga). Ketika musim panen tiba, sambil bercanda muda-mudi menumbuk padi sampai jadi beras.

Busana penarinya adalah busana rakyat. Selain didingga dan wala’o didingga, ada juga properti tari lain, yakni wontuwo (tolu). Tarian ini dibawakan oleh tiga pasang putra dan putri atau lebih. Selain iringan musik tradisional Gorontalo, ada juga syair pengiring yang berjudul “Elengge”. Tari Elengge, yang namanya diangkat dari nama bunyi alu. Di ujung alat penumbuk padi tersebut disisipkan sepotong kayu pada lubang yang dibentuk segi empat. Ketika digerakkan akan mengeluarkan bunyi yang disebut ele-elenggengiyo atau mo’elengge (http://blogkulo.com diakses tanggal 18 Februari 2022).

Tarian ini dapat digunakan untuk mengembangkan kerjasama, konsentrasi, kematangan emosi (terutama emosi gembira), taggung jawab, dan disiplin.

d. Tari Biteya. Istilah Biteya berasal dari kata bite yang berarti dayung. Biteya bisa dimaknai dayunglah sampai ke tempat tujuan. Penamaan ini berkaitan dengan apa yang digambarkan dalam tarian ini, yakni mengisahkan tentang kehidupan nelayan, mulai dari persiapan sampai pada proses penangkapan ikan.

Dalam prakteknya, tarian Biteya melibatkan 5-7 pasang penari putra dan putri. Mereka mengenakan busana kaum nelayan yang didominasi warna hitam. Mereka juga mengenakan ikat kepala, sarung di pinggang dan memakai tolu. Perpaduan musik etnis dan modern mengiringi tarian ini (http://blogkulo.com diakses tanggal 18 Februari 2022).

Tarian ini dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai perilaku positif, seperti: kerjasama, emosi gembira, konsentrasi, tanggungjawab dan disiplin.

e. Tidi. Istilah Tidi bisa dikatakan mewakili tarian klasik dalam budaya Gorontalo. Baik busana, gerak, formasi, serta properti tariannya sarat nilai sehingga tidak boleh diubah. Jenis tarian ini ada sejak masa pemerintahan Raja Eyato atau ketika agama Islam menguat di Kerajaan Gorontalo.

Sejalan dengan falsafah adat bersendi syara’, dan syara’ bersendikan Kitabullah (Al-Quran) maka setiap bagian yang membentukan Tidi haruslah disesuaikan dengan nilai agama Islam. Harus mengandung nilai moral dan nilai pendidikan.

Sehubungan dengan nilai-nilai tersebut, dikenallah lima keterikatan. Keterikatan dalam menjalankan syariat Islam, sebagai ratu rumah tangga, kekerabatan (keluarga, tetangga, dan masyarakat), pergaulan sehari-hari. Serta keterikatan hak dan kewajiban rumah tangga (http://blogkulo.com diakses tanggal 18 Februari 2022).

Tarian ini dapat memperkenalkan kepada siswa tentang kehidupan yang berdasarkan falsafah hidup rakyat Gorontalo, yakni “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah (Al-Quran). Di samping melalui tarian ini siswa memperoleh pemahaman tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang istri yang menjadi ratu rumah tangga, etika dalam pergaulan sehari-hari baik dalam keluarga, tetangga, dan masyarakat.

 

Rahim (2016) juga berpendapat beberapa lagu daerah Gorontalo dapat digunakan sebagai teknik bimbingan dan konseling, antara lain:

a. Hulondalo Lipu’u, yang berarti “Gorontalo negeriku”. dapat digunakan untuk membangkitkan rasa cinta, penghargaan, dan rasa hormat terhadap daerah Gorontalo.

b. Bulalo Lo Limutu, yang berarti “danau Limboto” juga dapat digunakan untuk mengembangkan rasa cinta atas kekayaan alam Gorontalo, antara lain danau Limboto.

c. Binte Biluhuta, yang berati “jagung siram”, lagu yang menggambarkan tentang makanan khas daerah Gorontalo yang bernama “Binte Biluhuta”. lagu ini dapat digunakan untuk membangkitkan apresiasi terhadap kekayaan budaya daerah Gorontalo. Di samping itu dapat mengembangkan perilaku kerjasama, sebagamana isi lagu ini yang mengandung makna meskipun terdiri dari berbagai bahan dan rempah-rempah, namun karena diolah dengan baik maka melahirkan rasa yang enak.

d. Wanu Moleleyangi, yang artinya “jika ingin pergi berkelana” jangan melupakan daerah Gorontalo yang telah ditinggalkan. Lagu ini juga bisa menggugah rasa cinta pada sanak saudara/keluarga, rasa cinta pada kampung sendiri, ataupun negeri sendiri.

Lagu-lagu pop yang berbahasa daerah Gorontalo, antara lain “ati olo ti mama” (sayang mama/ibu), “ati olo ti papa” (sayang papa/ayah, yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan memelihara rasa cinta pada ayah dan ibu (orang tua).

 

     Jika dicermati penggunaan tari dan lagu sebagai teknik layanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa manfaat, yakni: (c) membantu tercapainya tujuan layanan secara efektif, yakni terbentuknya berbagai perilaku positif, (b) membangkitkan dan meningkatkan keaktifan siswa/ konseli dalam mengikuti layanan, (c) mengembangkan situasi gembira dan menyenangkan dalam layanan, dan (d) tentu saja yang tidak dapat diabaikan adalah penggunaan tari dan lagu tradisional daerah akan menjadi wahana melestarikan budaya daerah itu sendiri.

Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo

(Nilai-Nilai Agama-Sosial-Emosional-Ekonomi)

Oleh: Maryan Rahim

Tradisi tumbilatohe di kalangan masyarakat Gorontalo telah ada sejak abad ke- 15. Secara etimologis kata Tumbilotohe terdiri dari kata “tumbilo” yang berarti “menyalakan” dan “tohe” yang berarti “lampu”. Tumbilatohe berarti menyalakan lampu. Pada awalnya lampu penerangan masih terbuat dari “wamuta” atau “seludang” yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar sehingga menimbulkan cahaya. Alat penerangan ini di sebut “wango”. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan “tohe tutu” atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Setelah itu berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan buah pepaya yang dipotong dua, alat ini disebut “padamala”. Perkembangan selanjutnya lampu tumbilatohe terbuat dari botol kecil yang berisi sumbu dan minyak tanah. Dan saat ini telah diperkaya dengan menggunakan lampu listrik (https://gorontalo.kemenag.go.id/artikel/17247/-).

Jika dicermati, perayaan tumbilotohe sarat dengan nilai-nilai religius-sosial-emosional dan ekonomi. Tradisi ini pada awalnya kental dengan nilai-nilai religius, sebab pada awalnya kegiatan menyalakan lampu ini dilakukan oleh masyarakat  pada setiap tiga malam terakhir di bulan Ramadan dalam rangka mendapatkan malam “Lailatul Qadar”. Menyalakan lampu (tumbilotohe) dilakukan sebagai usaha untuk menerangi jalan-jalan sehingga masyarakat bisa ke mesjid dengan aman, mengingat waktu itu belum dikenal alat penerangan yang menggunakan tenaga listrik.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan adanya nilai-nilai sosial-emosional-ekonomi dalam tradisi tumbilotohe. Nilai sosial ditunjukkan oleh adanya kerjasama yang diliputi kesukarelaan di antara anggota masyarakat dalam mempersiapkan tumbilotohe di lingkungannya masing-masing, bahkan berkompetisi antar lingkungan (kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota). Perayaan tumbilatohe telah melahirkan perasaan gembira di kalangan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan mereka yang berusia tua. Kegembiraan ini ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan mozaik indah dari ratusan bahkan ribuan lampu yang menyala. Melakukan foto selfie dengan berbagai gaya, semuanya dilakukan dengan perasaan gembira. Di sisi lain, ada sekelompok anak-anak yang diliputi perasaan senang, hilir mudik dari rumah ke rumah penduduk dengan melagukan syair pantun “tumbilotohe, tamohile jakati bubohe lo popati” yang artinya “tumbilotohe, orang yang minta jakati dipukul dengan popati”. “Jakati”  semacam pemberian alakadarnya sebagai tanda perhatian atau kasih sayang kepada anak-anak. “Popati” adalah bahasa Gorontalo dari “pacul”. “Bubohe lo popati” artinya “pukul dengan tangkai pacul”, namun ini hanya sekedar pantun yang mengandung humor. Inilah nilai emosional dari tumbilatohe. Perayaan tumbilotohe telah memunculkan peluang mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat melalui jual beli alat-alat tumbilotohe, seperti: botol kecil lengkap dengan sumbu lampu, janur kuning, minyak tanah, dan lampu hias elektrik. Inilah yang menjadi nilai ekonomi dari tumbilotohe.

Namun yang menjadi keprihatinan saat ini adalah ketika masyarakat lebih mementingkan perayaan tumbilotohe dan cenderung melalaikan nilai ibadah di malam-malam terakhir, khususnya tiga malam terakhir bulan Ramadan. Di mana di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, Allah SWT telah menjanjikan pahala malam Lailatul Qadar bagi hamba-hambaNya yang melakukan ibadah dengan khusyu’, melakukan sholat wajib maupun sunnah, membaca Alqur’an, I’tikaf dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu perlu pengaturan waktu oleh masyarakat agar melalui perayaan tradisi tumbioatohe kita tetap mengutamakan kegiatan ibadah (nilai religius), di samping mendapatkan nilai-nilai lainnya (sosia-emosional-ekonomi).

Konseling Karir Nathan dan Hill

08 April 2024 08:00:01 Dibaca : 105

Konseling Karir Nathan dan Hill

Oleh Maryam Rahim

Nathan dan Hill (2012, 14-18) mengembangkan pendekatan konseling karir dengan menggunakan pemikiran Taylor (1985). Taylor (1985) mengidentifikasi sejumlah pertanyaan kritis yang dapat diterapkan pada konseling karir, yakni: (1) sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan?; (2) siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? (3) siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani?;, (4) siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk membuat keputusan, konseli atau konselor? (5) apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif?; (6) Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal, pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting?

Terhadap pertanyaan tersebut Nathan dan Hill berpendapat: (1) konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir, (2) Hal ini menjadi tanggung jawab bersama, (3) hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri, (4) tanggung jawab untuk memutuskan terletak di tangan konseli, konselor bertanggung jawab untuk memfasilitasi prosesnya, (5) konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya, (6) konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal perlu ditangani dalam proses konseling karir. Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor dirangkum dalam tabel 1 berikut:

        Tabel 1 Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor

Taylor Nathan dan Hill
Sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan? Konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir
Siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? Hal ini menjadi tanggung jawab bersama
Siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani? Hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri
Apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif? Konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya

Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal,

pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting?

Konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal

perlu ditangani dalam proses konseling karir

   

Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Taylor (1985), Nathan dan Hill mengembangkan pendekatan konseling karir. Pendekatan konseling karir tersebut digambarkan dalam tabel 2.2 sebagai berikut:

         Tabel 2.2: Pendekatan Konseling Nathan dan Taylor

Tahap Tugas Knseli Tugas Konselor
Sreening, Contractring, Exploring

Melakukan asesmen pendahuluan tentang kesesuaian konseling karir

 

 

 

Melakukan persiapan tertulis, menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir

Keterbukaan untuk mengeksplorasi presenting concrern dan berbagai pengaruh pada perkembangan dan pilihan karir dan pendidikan

 

 

Mengklarifikasi ekspektasi terhadap konseling karir

 

Mendiskusikan dan menyepakati kontrak

 

Mengedukasi dan memberikan informasi kepada klien tentang konseling karir melalui komunikasi tertulis, lisan, dan tatap muka.

 

 

Menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir, menunjukkan bentuk bantuan yang lebih cocok, jika diperlukan

Membangun hubungan baik, memfasilitasi eksplorasi

 

 

 

Menyepakati kontrak (yaitu kerahasiaan, struktur, dll)

 

 

Memungkinkan konseli untuk memahami

Mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan: Siapa aku? Di mana aku sekarang ini? Apa keinginanku? Aku ingin ke mana?

 

Melaksanakan latihan asesmen-diri, tes psikometrik, dan kuesioner, bilamana perlu

 

 

Siap menangani pertanyaan “Apa yang menghentikan aku?”

 

 

 

Meriset informasi tentang peluang kerja

Memfasilitasi pengeksplorasian perasaan dan keyakinan yang berkaitan dengan masalah/isu karir

 

 

 

Membantu klien mengidentifikasi tema-tema penting dan mengintegrasikan pemahaman tentang diri sendiri

 

Memanfaatkan dengan tepat guna latihan asesmen-diri dan tes psikometrik dan kuesioner

 

Membantu klien untuk mengatasi berbagai enghalang tindakan, menggunakan keterampilan menantang bilamana perlu

 

Menempelkan informasi tentang berbagai kemungkinan pekerjaan

 

 

 

Tindakan, hasil, dan ending

Menyelesaikan latihan mengambil keputusan dan merencanakan tindakan

 

Mengembangkan

berbagai opsi dan memilih di antara opsi-opsi

 

Melakukan keputusan

dalam bentuk tindakan

 

Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu

 

Mengatasi ketakutan akan perubahan

 

 

Mengevaluasi kebutuhan akan dukungan berkelanjutan

 

Mereviu kemajuan yang dibuat ke arah tujuan selama konseling karir

 

 

Memungkikan klien untuk menghasilkan ide-ide dan memilih di antaranya

 

Mendukung klien dalam

mengembangkan dan memonitor rencana tindakan

 

 

 

 

 

Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu

 

 

Membantu klien menghadapi ambivalensi tentang masa depan

 

Mengeksplorasi kebutuhan klien akan dukungan berkelanjutan

 

 

Menekankan pentingnya mempertahankan momentum

 

Membantu klien dalam mengidentifikasi sumber daya dan sumber dukungan

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong