Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo (Nilai-Nilai Religius-Sosial-Emosional-Ekonomi)
Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo
(Nilai-Nilai Agama-Sosial-Emosional-Ekonomi)
Oleh: Maryan Rahim
Tradisi tumbilatohe di kalangan masyarakat Gorontalo telah ada sejak abad ke- 15. Secara etimologis kata Tumbilotohe terdiri dari kata “tumbilo” yang berarti “menyalakan” dan “tohe” yang berarti “lampu”. Tumbilatohe berarti menyalakan lampu. Pada awalnya lampu penerangan masih terbuat dari “wamuta” atau “seludang” yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar sehingga menimbulkan cahaya. Alat penerangan ini di sebut “wango”. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan “tohe tutu” atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Setelah itu berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan buah pepaya yang dipotong dua, alat ini disebut “padamala”. Perkembangan selanjutnya lampu tumbilatohe terbuat dari botol kecil yang berisi sumbu dan minyak tanah. Dan saat ini telah diperkaya dengan menggunakan lampu listrik (https://gorontalo.kemenag.go.id/artikel/17247/-).
Jika dicermati, perayaan tumbilotohe sarat dengan nilai-nilai religius-sosial-emosional dan ekonomi. Tradisi ini pada awalnya kental dengan nilai-nilai religius, sebab pada awalnya kegiatan menyalakan lampu ini dilakukan oleh masyarakat pada setiap tiga malam terakhir di bulan Ramadan dalam rangka mendapatkan malam “Lailatul Qadar”. Menyalakan lampu (tumbilotohe) dilakukan sebagai usaha untuk menerangi jalan-jalan sehingga masyarakat bisa ke mesjid dengan aman, mengingat waktu itu belum dikenal alat penerangan yang menggunakan tenaga listrik.
Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan adanya nilai-nilai sosial-emosional-ekonomi dalam tradisi tumbilotohe. Nilai sosial ditunjukkan oleh adanya kerjasama yang diliputi kesukarelaan di antara anggota masyarakat dalam mempersiapkan tumbilotohe di lingkungannya masing-masing, bahkan berkompetisi antar lingkungan (kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota). Perayaan tumbilatohe telah melahirkan perasaan gembira di kalangan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan mereka yang berusia tua. Kegembiraan ini ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan mozaik indah dari ratusan bahkan ribuan lampu yang menyala. Melakukan foto selfie dengan berbagai gaya, semuanya dilakukan dengan perasaan gembira. Di sisi lain, ada sekelompok anak-anak yang diliputi perasaan senang, hilir mudik dari rumah ke rumah penduduk dengan melagukan syair pantun “tumbilotohe, tamohile jakati bubohe lo popati” yang artinya “tumbilotohe, orang yang minta jakati dipukul dengan popati”. “Jakati” semacam pemberian alakadarnya sebagai tanda perhatian atau kasih sayang kepada anak-anak. “Popati” adalah bahasa Gorontalo dari “pacul”. “Bubohe lo popati” artinya “pukul dengan tangkai pacul”, namun ini hanya sekedar pantun yang mengandung humor. Inilah nilai emosional dari tumbilatohe. Perayaan tumbilotohe telah memunculkan peluang mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat melalui jual beli alat-alat tumbilotohe, seperti: botol kecil lengkap dengan sumbu lampu, janur kuning, minyak tanah, dan lampu hias elektrik. Inilah yang menjadi nilai ekonomi dari tumbilotohe.
Namun yang menjadi keprihatinan saat ini adalah ketika masyarakat lebih mementingkan perayaan tumbilotohe dan cenderung melalaikan nilai ibadah di malam-malam terakhir, khususnya tiga malam terakhir bulan Ramadan. Di mana di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, Allah SWT telah menjanjikan pahala malam Lailatul Qadar bagi hamba-hambaNya yang melakukan ibadah dengan khusyu’, melakukan sholat wajib maupun sunnah, membaca Alqur’an, I’tikaf dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu perlu pengaturan waktu oleh masyarakat agar melalui perayaan tradisi tumbioatohe kita tetap mengutamakan kegiatan ibadah (nilai religius), di samping mendapatkan nilai-nilai lainnya (sosia-emosional-ekonomi).
Konseling Karir Nathan dan Hill
Konseling Karir Nathan dan Hill
Oleh Maryam Rahim
Nathan dan Hill (2012, 14-18) mengembangkan pendekatan konseling karir dengan menggunakan pemikiran Taylor (1985). Taylor (1985) mengidentifikasi sejumlah pertanyaan kritis yang dapat diterapkan pada konseling karir, yakni: (1) sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan?; (2) siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? (3) siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani?;, (4) siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk membuat keputusan, konseli atau konselor? (5) apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif?; (6) Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal, pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting?
Terhadap pertanyaan tersebut Nathan dan Hill berpendapat: (1) konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir, (2) Hal ini menjadi tanggung jawab bersama, (3) hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri, (4) tanggung jawab untuk memutuskan terletak di tangan konseli, konselor bertanggung jawab untuk memfasilitasi prosesnya, (5) konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya, (6) konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal perlu ditangani dalam proses konseling karir. Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor dirangkum dalam tabel 1 berikut:
Tabel 1 Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor
Taylor | Nathan dan Hill |
Sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan? | Konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir |
Siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? | Hal ini menjadi tanggung jawab bersama |
Siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani? | Hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri |
Apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif? | Konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya |
Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal, pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting? |
Konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal perlu ditangani dalam proses konseling karir |
Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Taylor (1985), Nathan dan Hill mengembangkan pendekatan konseling karir. Pendekatan konseling karir tersebut digambarkan dalam tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2: Pendekatan Konseling Nathan dan Taylor
Tahap | Tugas Knseli | Tugas Konselor |
Sreening, Contractring, Exploring |
Melakukan asesmen pendahuluan tentang kesesuaian konseling karir
Melakukan persiapan tertulis, menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir Keterbukaan untuk mengeksplorasi presenting concrern dan berbagai pengaruh pada perkembangan dan pilihan karir dan pendidikan
Mengklarifikasi ekspektasi terhadap konseling karir
Mendiskusikan dan menyepakati kontrak
|
Mengedukasi dan memberikan informasi kepada klien tentang konseling karir melalui komunikasi tertulis, lisan, dan tatap muka.
Menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir, menunjukkan bentuk bantuan yang lebih cocok, jika diperlukan Membangun hubungan baik, memfasilitasi eksplorasi
Menyepakati kontrak (yaitu kerahasiaan, struktur, dll)
|
Memungkinkan konseli untuk memahami |
Mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan: Siapa aku? Di mana aku sekarang ini? Apa keinginanku? Aku ingin ke mana?
Melaksanakan latihan asesmen-diri, tes psikometrik, dan kuesioner, bilamana perlu
Siap menangani pertanyaan “Apa yang menghentikan aku?”
Meriset informasi tentang peluang kerja |
Memfasilitasi pengeksplorasian perasaan dan keyakinan yang berkaitan dengan masalah/isu karir
Membantu klien mengidentifikasi tema-tema penting dan mengintegrasikan pemahaman tentang diri sendiri
Memanfaatkan dengan tepat guna latihan asesmen-diri dan tes psikometrik dan kuesioner
Membantu klien untuk mengatasi berbagai enghalang tindakan, menggunakan keterampilan menantang bilamana perlu
Menempelkan informasi tentang berbagai kemungkinan pekerjaan
|
Tindakan, hasil, dan ending |
Menyelesaikan latihan mengambil keputusan dan merencanakan tindakan
Mengembangkan berbagai opsi dan memilih di antara opsi-opsi
Melakukan keputusan dalam bentuk tindakan
Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu
Mengatasi ketakutan akan perubahan
Mengevaluasi kebutuhan akan dukungan berkelanjutan
Mereviu kemajuan yang dibuat ke arah tujuan selama konseling karir
|
Memungkikan klien untuk menghasilkan ide-ide dan memilih di antaranya
Mendukung klien dalam mengembangkan dan memonitor rencana tindakan
Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu
Membantu klien menghadapi ambivalensi tentang masa depan
Mengeksplorasi kebutuhan klien akan dukungan berkelanjutan
Menekankan pentingnya mempertahankan momentum
Membantu klien dalam mengidentifikasi sumber daya dan sumber dukungan |
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong