Pendidikan Moral Berbasis Kearifan Lokal Gorontalo
Pendidikan Moral Berbasis Kearifan Lokal Gorontalo
Oleh: Maryam Rahim
Di tengah arus globalisasi yang semakin kencang, bangsa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga jati diri dan moralitas generasi mudanya. Tantangan ini tentu saja harus dihadapi dengan semakin memberikan perhatian serius terhadap penguatan moral bangsa khususnya generasi muda. Sekolah, keluarga dan masyarakat memiliki peranan penting dalam upaya ini. Salah satu pendekatan yang dipandang sangat relevan dalam penguatan moral generasi muda Indonesia, adalah melalui pendidikan moral berbasis kearifan lokal. Pendekatan ini tidak hanya menanamkan nilai-nilai moral universal, tetapi juga memperkuat identitas budaya generasi muda Indonesia melalui pengenalan dan penghayatan terhadap warisan budaya daerah masing-masing.
Saat ini, generasi muda Indonesia dihadapkan pada perubahan sosial yang cepat dan pengaruh budaya luar yang begitu besar, terutama melalui media digital. Tanpa fondasi moral yang kuat dan relevan dengan lingkungan mereka, generasi muda bisa mengalami kebingungan identitas dan degradasi kesadaran etika. Pendidikan moral berbasis kearifan lokal hadir sebagai solusi dengan menjadikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat sebagai pijakan untuk membentuk karakter yang baik, relevan, dan kontekstual.
Pendidikan moral berbasis kearifan lokal adalah proses pembelajaran nilai-nilai etika dan moral yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat. Kearifan lokal tersebut meliputi adat istiadat, tradisi, cerita rakyat, peribahasa, lagu daerah, serta sistem nilai dan filosofi hidup yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Dengan kata lain, pendekatan ini menjadikan budaya lokal sebagai sumber nilai moral yang diajarkan di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal.
Penerapan pendidikan moral berbasis kearifan lokal daerah Gorontalo menjadi pilihan, mengingat budaya Gorontalo memberikan perhatian terhadap moral, antara lain melalui falsafah hidup, kegiatan-kegiatan sosial, ungkapan-ungkapan dan cerita-cerita rakyat.
1. Melalui falsafah hidup.
Sebagai daerah yang dikenal dengan Serambi Madinah, Gorontalo memiliki falsafah hidup: adati hula-hula’a to syara’, syara’ hula-hula’a to kitabullah. Falsafah ini mengandung nilai-nilai religius yang menjadi pedoman dalam berperilaku, yang akan melahirkan perilaku bermoral.
2. Melalui berbagai kegiatan, antara lain:
a. Di daerah Gorontalo, nilai huyula (gotong royong) diajarkan melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan maupun kegiatan di lembaga pendidikan. Kegiatan ini mengembangkan nilai sosial yang didasari oleh nilai-nilai moral.
b. Melalui kegiatan upacara adat “to’opu” atau “penjemputan” seorang pejabat pemerintah (gubernur, bupati, walikota) dan upacara “pohutu momulanga” atau upacara “penganugrahan gelar adat”, yang diberikan kepada putra-putri Gorontalo yang menduduki jabatan, baik di tingkat daerah, tingkat provinsi maupun tingkat nasional (Djou, dan Ntelu, 2022).
1) Pada upacara penjemputan, oleh pemangku adat sebagai pelaksana upacara tersebut menyampaikan kata-kata arif yang dirangkum dalam bentuk puisi adat yang berbunyi sebagai berikut:
Wuu…Eyaanggu! (‘Wahai tuanku’!)
Huta-huta lo ito Eeya (‘Tanah-tanah milik Tuan’)
Taluhu-taluhu lo ito Eeya (‘Air-air milik Tuan’)
Tulu-tulu lo ito Eeya (‘Api-api milik Tuan’)
Dupoto-dupoto lo ito Eeya (‘Angin-angin milik Tuan’)
Tau-tau lo ito Eeya (‘Rakyat-rakyat milik Tuan’)
Bo dila poluliya to hilawo Eeyanggu (‘Tetapi jangan dijadikan sebagai pemuas hati ‘Tuanku’).
Ungkapan-ungkapan di atas, berisi pesan moral kepada seorang pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya (Djou, dan Ntelu, 2022).
2) Upacara “pohutu momulanga” atau upacara “penganugrahan gelar adat”.
Upacara penganugrahan gelar adat diberikan kepada putra-putri Gorontalo yang menduduki jabatan, baik di tingkat daerah, tingkat provinsi maupun tingkat pusat (nasional). Pada upacara itu disampaikanlah “tahuli” atau ‘pesan para leluhur’ kepada pejabat yang dianugrahi gelar adat.
Ungkapan-ungkapan figuratif yang terdapat dalam bait-bait “tahuli” sebagai berikut:
Tahuli ode diiti mooli (“pesan kepada generasi berikut”)
Assalam alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Po’opiyohe pi’ili wau popoli (“perbaiki tingkah laku dan perbuatan”
Taali butu asali (“jagalah asal-usul dan latar belakangmu”)
Motombulu to amali (“dihormati dalam perbuatan”)
Wolipopo to didi lobaya (“cahaya harapan terbayang di wajah”)
Diila potitiwanggango (“jangan berlagak sombong”)
Dia tumuhu tumango (“tidak akan berkembang”)
Duungio motontango (“daunnya akan berguguran”)
Batangio motontango (“pohonnya pun akan tumbang”)
Dia tambia lo lango (“lalat pun tak akan hinggap”)
Diila pohutu bulonggalo (“jangan berbuat keributan”)
Openu de moputi tulalo (“biar nanti berputi tulang”)
Lipu poduuluwalo (“negeri dibela”)
Dahai bolo maawalo (“jangan sampai renggang”)
Uwito u moali dalalo (“itu yang jadi jalan”)
Bu’a lo’ungopanggalo (“perpecahan negeri yang bersatu”)
Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki makna inti. Intinya adalah ketika seseorang menjadi pemimpin hendaknya tidak berlagak sombong, menerapkan pola hidup sederhana, menghormati orang lain, menghargai masyarakat agar apa yang dicita-citakan oleh seorang pemimpin berupa kesejahteraan rakyat, kedamaian hati dalam memimpin dapat terwujud karena dukungan rakyat (Djou dan Ntelu, 2022).
Selain itu di daerah Gorontalo ada pepatah seperti berikut:
1) "Bo to hale-hale lo odutuwa lo tanggulo" yang berarti "keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya. Seseorang akan dihargai dan dipercaya jika perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku".
2) Openu demo puti tulalo, bo dila moputi baya”, artinya biarlah tulang yang putih, asal jangan wajah yang pucat karena menanggung malu, akibat melakukan sesuatu yang tidak benar/berbohong, memfitnah dan lain-lain. Falsafah ini menegaskan bahwa tradisi dan sikap masyarakat gorontalo sangat menjujung kejujuran (Pangky Yulianto, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15832/Falsafah-Gorontalo-dalam-Bersosial-Media.html
c. Adat “pembe’atan”, antara lain diisi dengan pemberian nasehat kepada anak perempuan yang telah memasuki masa aqil balik atau masa remaja tentang kewajiban sebagai muslimah menjalakan ajaran agama, nasehat tentang interaksi sosial, serta perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
d. Adat “meluna” atau “sunatan” bagi anak laki-laki yang telah memasuki usia aqil balik. Pada kegiatan ini juga dinerikan nasehat kepada anak laki-laki tersebut, berupa nasehat melaksanakan ajaran agama Islam, nasehat tentang perilaku sosial dan perilaku bermoral.
e. “Palebohu” artinya pemberian nasihat, yang biasanya diberikan kepada pasangan pengantin yang melangsungkan pernikahan. Nasihat yang diberikan berisi pesan-pesan keagamaan dan juga pesan-pesan moral dalam kehidupan berumah tangga.
f. Cerita rakyat Gorontalo yang mengandung pesan-pesan moral https://tirto.id/cerita-rakyat-dari-gorontalo-singkat-dan-pesan-moralnya-g6li#google_vignette
1) Cerita Bulalo Lo Limutu
Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa keberanian dan kerja keras dapat membawa seseorang mencapai hal-hal yang luar biasa. Namun, kesombongan dan pengingkaran janji seperti yang dilakukan Tilonggibila hanya akan mendatangkan kehancuran. Kisah ini juga mengajarkan bahwa kesabaran memiliki batas, dan perbuatan buruk akan menuai akibat buruk pula.
2) Cerita Lahilote
Cerita ini mengajarkan bahwa kejujuran adalah fondasi penting dalam hubungan. Tindakan Lahilote yang menyembunyikan selendang bidadari berujung pada kehilangan kepercayaan dan perpisahan. Dalam hidup, kebenaran yang disembunyikan pada akhirnya akan terungkap, dan kebohongan hanya membawa kesedihan.
3) Cerita Benteng Otanaha
Pesan moral dari cerita ini adalah pentingnya waspada terhadap niat tersembunyi orang lain, terutama yang berpotensi mengancam. Kisah ini juga menekankan pentingnya keberanian untuk mempertahankan tanah air meskipun harus mengorbankan nyawa, seperti yang dilakukan oleh Naha.
4) Cerita Janjia Lo U Duluwo
Cerita ini mengajarkan pentingnya pengorbanan dan dedikasi untuk menciptakan perdamaian. Namun, perdamaian sejati hanya bisa terwujud jika semua pihak bersedia untuk bekerja sama dan mengesampingkan ego serta konflik masa lalu.
5) Cerita Apulu si Anak Ajaib
Pesan moral dari kisah ini adalah bahwa kekuatan atau kemampuan istimewa sebaiknya digunakan untuk membantu orang lain, seperti yang dilakukan Apulu. Kebaikan hati dan rasa peduli terhadap sesama adalah kekuatan sejati yang membawa kebahagiaan.
Masih banyak lagi kegiatan, ungkapan, dan cerita dalam budaya Gorontalo yang berisi pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berperilaku.
Pendekatan pendidikan moral berbasis budaya memiliki sejumlah keunggulan, antara lain:
1. Kontekstual dan aplikatif, karena nilai-nilai yang diajarkan dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
2. Memperkuat identitas budaya, sehingga siswa tumbuh dengan rasa bangga dan cinta terhadap budaya sendiri.3. Mengurangi jurang nilai antara rumah, sekolah, dan masyarakat, karena ketiganya berakar pada nilai yang sama. Namun demikian, pendekatan ini juga menghadapi tantangan, seperti:
1. Kurangnya dokumentasi kearifan lokal, terutama di daerah yang minim literasi.
2. Kurikulum nasional yang masih belum sepenuhnya fleksibel, sehingga guru kesulitan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam pembelajaran.3. Masuknya budaya luar yang sering kali lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari anak-anak. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, tokoh adat, dan masyarakat untuk mengembangkan model pendidikan yang responsif terhadap konteks budaya lokal. Pendidikan moral tidak bisa dipisahkan dari akar budaya masyarakat. Dengan menggali, memahami, dan mengajarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya lokal, pendidikan Indonesia bisa mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat, berakhlak mulia, dan bangga terhadap jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pendidikan moral berbasis kearifan lokal bukan sekadar alternatif, tetapi sebuah keniscayaan dalam membangun peradaban bangsa yang beradab dan bermartabat.
Layanan Bimbingan dan Konseling untuk Pembelajaran Deep Learning
Layanan Bimbingan dan Konseling untuk Pembelajaran Deep Learning
Oleh: Maryam Rahim
Layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu optimalisasi perkembangan dan pencapaian siswa dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir. Oleh sebab itu layanan bimbingan dan konseling mempunyai peran penting dalam membantu siswa dalam menerapkan pembelajaran deep learning. Dalam konteks deep learning, tiga elemen yang sering dibahas adalah mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Ketiganya saling berhubungan dan memberikan kontribusi besar terhadap pengalaman belajar yang mendalam. Aktivitas layanan bimbingan dan konseling dalam membantu siswa pada ketiga elemen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mindful Learning
Mindful learning, berkaitan dengan perhatian dan kesadaran penuh dalam proses belajar. Siswa diajak untuk benar-benar terlibat dalam setiap sesi pembelajaran, mengamati informasi dengan saksama, dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap materi yang dipelajari. Aktivitas ini membantu siswa untuk lebih konsentrasi dan terlibat dalam pembelajaran mereka, bukan sekedar berusaha mengingat konsep-konsep dan informasi yang digunakan pada saat ujian.
Ciri khas dari mindful learning adalah:
a. Siswa memiliki kesadaran penuh terhadap proses belajar, menghindari gangguan yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasi.
b. Siswa melakukan refleksi diri dalam memahami bagaimana mereka belajar dan bagaimana cara terbaik untuk memperoleh dan memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan.
c. Siswa memiliki kemampuan mengelola emosi dan stres, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang dan tanpa merasakan tugas sebagai beban.
Mindful learning, membuat siswa dapat lebih mudah memahami dan menyerap materi secara mendalam, karena mereka benar-benar terlibat dalam setiap langkah proses pembelajaran.
Aktivitas layanan BK terkait elemen mindful learning antara lain:
a. Membangun kesadaran belajar pada diri siswa melalui penanaman nilai tentang manfaat yang diperoleh dari belajar. Pemahaman tentang manfaat belajar akan memotivasi siswa belajar dengan penuh kesadaran. Hal ini dapat dikembangkan melalui bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok dengan metode diskusi, metode bibliokonseling.
b. Mengembangkan kemampuan berkonsentrasi. Kemampuan berkonsentrasi dapat dikembangkan melalui teknik latihan, dan juga game-game.
c. Mengembangkan kemampuan mereleksi. Kemampuan ini dapat dilakukan melalui latihan melakukan refleksi tentang aktivitas dan hasil belajarnya.
d. Melatih keterampilan berpikir kritis. Keterampilan ini dapat dilakukan melalui latihan socratic questioning, yakni latihan mengajukan pertanyaan mendalam untuk menggali informasi lebih lanjut; Fact vs opinion: membedakan antara fakta dan opini untuk membuat keputusan yang lebih objektif; brainstorming: menghasilkan berbagai ide tanpa batasan untuk menemukan solusi terbaik; latihan mind mapping: membuat peta konsep untuk menghubungkan berbagai gagasan; latihan cause and effect: menentukan penyebab utama suatu masalah.
e. Mengembangkan kemampuan mengelola konflik dan stress. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui latihan mengelola konflik dan mengelola stres, melalui metode bermain peran (role play), dan juga metode modeling.
2. Meaningful Learning
Meaningful learning berfokus pada penciptaan hubungan antara pengetahuan yang baru dan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Pembelajaran ini berusaha untuk memastikan bahwa materi yang dipelajari memiliki konteks dan relevansi bagi siswa, sehingga mereka dapat melihat hubungan antara teori dan praktik, serta mengaitkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Ciri-ciri meaningful learning adalah:
a. Memiliki keterkaitan dengan pengalaman pribadi siswa, yang membuat materi yang dipelajari lebih relevan dan bermanfaat.
b. Pemahaman yang mendalam, bukan sekedar hafalan konsep-konsep, namun membuat siswa memperoleh pemahaman yang mendalam sehingga dapat diaplikasikan dalam situasi nyata.
c. Aktivitas pembelajaran yang kontekstual, seperti studi kasus, proyek, atau eksperimen, yang membuat materi yang dipelajari lebih sesuai dengan situasi nya dan bermanfaat.
Aktivitas layanan BK terkait elemen meaningful learning antara lain:
a. Mengembangkan keterampilan belajar, baik belajar secara mandiri maupun kelompok. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan dan game-game.
b. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah (problem solving), melalui latihan-latihan di bawah bimbingan guru maupun latihan mandiri.
c. Mengembangkan kemampuan menemukan akar permasalahan berserta solusinya. Hal ini juga dapat dilakukan melalui latihan-latihan menemukan masalah dan solusi terhadap permasalahan tersebut.
d. Meningkatkan kemampuan beragumen disertai data-data empiris. Latihan berpikir induktif dan berpikir deduktif dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini.
3. Joyful Learning
Joyful learning menekankan pentingnya membuat proses belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan dan penuh kegembiraan. Ketika siswa merasa senang dan antusias dalam proses belajar, mereka cenderung lebih terlibat, lebih kreatif, dan lebih termotivasi untuk belajar secara berkelanjutan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak hanya meningkatkan daya tarik terhadap materi yang dipelajari, tetapi juga mengurangi kecemasan dan stres yang mungkin dirasakan siswa yang senantiasa diperhadapkan dengan penyelesaian tugas-tugas mata pelajaran, dan kegiatan non akademik lainnya.
Ciri-ciri joyful learning adalah:
a. Aktivitas yang menyenangkan dan kreatif, seperti permainan, proyek kolaboratif, atau eksperimen yang mendorong rasa ingin tahu.
b. Lingkungan yang mendukung, di mana siswa merasa aman untuk bereksperimen, bertanya, dan belajar tanpa takut tidak dihargai, tanpa rasa takut gagal.
c. Keterlibatan emosional dalam proses belajar, yang membuat siswa merasa puas dan termotivasi. Joyful learning membuat siswa tidak melihat pembelajaran hanya menjadi tugas yang harus diselesaikan, tetapi juga sebuah perjalanan yang penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan dan penemuan Ketika siswa merasa gembira, bahagia saat belajar, memungkinkan siswa untuk mengingat dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Aktivitas layanan BK terkait elemen joyful learning antara lain:
a. Membangun sikap postif siswa terhadap belajar, bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, serta penuh dengan tantangan. Diskusi-diskusi, game-game dapat digunakan untuk membangun sikap positif terhadap belajar.
b. Meningkatkan minat dan motivasi belajar, melalui modeling, membaca biografi orang-orang yang terkenal disebabkan oleh semangat yang tinggi untuk belajar/
c. Menumbuhkan pandangan siswa bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, sehingga siswa akan merasakan adanya sesuatu yang kuran ketika tidak belajar, serta memotivasi siswa untuk senantiasa melakukan aktivitas belajar.
d. Mengstimulasi rasa ingin tahu yang tinggi terhadap perkembangan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan melalui penugasan membaca artikel-artikel hasil penelitian.
e. Menumbuhkan kesadaran siswa bahwa belajar dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas di sekolah, di rumah dan di lingkungan sekitar. Diskusi-diskusi dan brainstorming dapat digunakan untuk menumbuhkkan kesadaran belajar secara terus menerus.
Layanan bimbingan dan konseling yang dapat membantu siswa mengikuti pembelajaran deep learning memerlukan kreativitas dan kesungguhan guru dari BK/konselor. Guru BK/konselor perlu memiliki kemampuan menerapkan berbagai metode/teknik layanan, bahkan dapat menciptakan metode/teknik dalam upaya meningkatkan keterlibatan siswa dalam mengikuti layanan BK. Layanan BK juga diberikan kepada siswa-siswa yang mengalami permasalahan pribadi dan sosial yang mengganggu aktivitas belajarnya.
Menghidupkan Ibadah Qurban-Membumikan Empati
Menghidupkan Ibadah Qurban-Membumikan Empati
Oleh: Maryam Rahim
Setiap tanggal 10 Zulhijjah, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Pada hakikatnya, ibadah ini bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi juga momentum untuk menumbuhkan dan mengasah empati terhadap sesama. Dalam konteks sosial kontemporer yang sarat dengan individualisme, ibadah qurban menjadi jembatan spiritual yang mempererat solidaritas kemanusiaan.
Secara historis, qurban merujuk pada peristiwa monumental Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, atas perintah Allah. Namun, Allah menggantikannya dengan seekor kibas atau domba, sebagai bukti bahwa yang diinginkan-Nya adalah keikhlasan dan ketundukan hati. Menurut Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, qurban bukan hanya sekadar ritual menyembelih hewan. Qurban adalah simbol pengorbanan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Hakikatnya bukan pada darah dan daging, tetapi pada ketakwaan (lihat QS Al-Hajj: 37)”. Makna qurban lebih luas, mengajarkan ummat Islam untuk berkorban demi kebaikan yang lebih besar, termasuk untuk orang lain. Ibadah qurban mendidik setiap muslim menjadi pribadi yang penuh empati yang tinggi.
Empati, dalam konteks Islam, adalah kemampuan merasakan penderitaan orang lain dan terdorong untuk membantu. Daging qurban yang dibagikan khususnya kepada fakir miskin, akan mengurangi beban mereka, meski hanya sesaat atau beberapa hari. Oleh sebab itu, qurban dipandang sebagai ibadah sosial dan bukan hanya sebatas ibadah spiritual. Nilai empati dari qurban tampak pula dalam semangat untuk melepaskan sesuatu yang kita cintai. Allah berfirman dalam QS Ali-Imran ayat 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui”
Di era modern yang semakin menekankan pencapaian individu, ibadah qurban menjadi penyeimbang antara kehidupan individual dengan kehidupan sosial. Ibadah qurban mengingatkan bahwa keberhasilan hidup tidak bisa hanya diukur dari akumulasi materi, tetapi juga dari seberapa banyak seorang muslim mampu memberi manfaat pada orang lain. Qurban adalah salah satu bentuk pembebasan, di mana ibadah qurban akan menundukkan keinginan pribadi demi untuk kesejahteraan bersama.
Ibadah qurban adalah jembatan antara langit dan bumi. Ibadah qurban menghubungkan antara ketaatan kepada Allah dengan kepedulian terhadap manusia. Melalui qurban, empati bukan lagi sekadar wacana, tetapi menjadi aksi nyata dalam bentuk berbagi daging hewan qurban, menyambung silaturahmi, menghapus sekat sosial, dan menghidupkan rasa kasih antar sesama. Melaksanakan ibadah qurban setiap tahun di bulan Zulhijjah bukan hanya seremoni tahunan, tetapi sebagai tonggak untuk mewujudkan masyarakat yang lebih empatik, adil, dan penuh cinta kasih, sebagaimana pesan utama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Menghidupkan ibadah qurban termasuk upaya untuk membumikan empati.
Membumikan empati mengandung makna menjadikan empati terpatri kuat dalam diri setiap muslim, yang terwujud dalam perilaku sehari-hari. Ketika setiap muslim memiliki empati yang tinggi maka terwujudlah masyarakat yang penuh empatik. Ketika masyarakat diliputi oleh empati, maka terwujudlah masyarakat yang terbebas dari korupsi, terbebas dari penyalahgunaan wewenang, terbebas dari orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga/golongan, terbebas dari pemimpin yang tidak amanah, terbebas dari berbagai perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pergeseran Istilah Visual, Auditori, dan Kinestetik dari Media Komunikasi ke Teori Pendidikan
Pergeseran Istilah Visual, Auditori, dan Kinestetik dari Media Komunikasi ke Teori Pendidikan
Oleh: Maryam Rahim
Istilah visual, auditori, dan kinestetik mengalami pergeseran dari teori komunikasi sebagai konsep kanal sensorik menjadi klasifikasi preferensi belajar dalam pendidikan. Tokoh-tokoh seperti Edgar Dale, Howard Gardner, Neil Fleming, dan Barbara De Porter–Mike Hernacki masing-masing memberikan kontribusi dalam evolusi konsep ini.
Istilah visual, auditori, dan kinestetik awalnya berkembang dalam konteks media komunikasi sebagai bentuk saluran sensorik dalam penyampaian pesan. Namun, dalam perkembangannya, istilah ini mengalami pergeseran makna dan fungsi ketika diadopsi ke dalam teori pendidikan, khususnya dalam konteks gaya belajar. Teori gaya belajar sering menjadi acuan dalam dunia pendidikan untuk memahami perbedaan cara siswa menerima dan mengolah informasi. Salah satu model paling populer adalah model Visual, Auditory, Kinesthetic (VAK) yang kemudian dikembangkan menjadi VARK oleh Neil Fleming. Namun, sebelum digunakan sebagai klasifikasi gaya belajar, istilah visual, auditori, dan kinestetik terlebih dahulu dikenal dalam dunia komunikasi dan media. Selain itu, tokoh seperti Barbara De Porter dan Mike Hernacki memiliki kontribusi besar dalam menyebarluaskan konsep ini ke dunia pendidikan populer melalui pendekatan Quantum Learning.
Asal-usul dalam Media Komunikasi
Pada awalnya, istilah visual, auditori, dan kinestetik digunakan untuk menjelaskan saluran sensorik dalam teori komunikasi dan desain pembelajaran. Edgar Dale (1946) melalui Cone of Experience-nya menggambarkan berbagai jenis media pembelajaran berdasarkan tingkat keterlibatan indera, dari simbolik (verbal) ke konkret (pengalaman langsung). Dalam teori komunikasi klasik, Shannon dan Weaver (1949) juga membahas media sebagai kanal penyampai pesan yang bekerja melalui berbagai saluran sensorik.
Transisi ke Psikologi dan Pendidikan
Pada era 1970–1980-an, pendekatan kognitif dalam psikologi mulai memberi ruang pada variasi dalam cara individu belajar. David Kolb (1984) mengembangkan model pembelajaran pengalaman (experiential learning) yang menekankan pentingnya keterlibatan langsung (kinestetik) dalam proses belajar. Howard Gardner (1983) memperkenalkan teori Multiple Intelligences yang mencakup kecerdasan visual-spasial dan bodily-kinesthetic, memperkuat dasar untuk pendekatan individual dalam pendidikan.
Populerisasi oleh Neil Fleming
Neil Fleming (1992) mengembangkan model VARK, sebuah alat untuk mengidentifikasi preferensi belajar individu berdasarkan empat kategori: Visual, Auditory, Reading/Writing, dan Kinesthetic. Model ini dengan cepat menjadi populer di kalangan pendidik karena sifatnya yang praktis dan mudah diterapkan. Ia mengadaptasi istilah dari dunia media ke dalam kerangka teori pembelajaran untuk menjawab kebutuhan akan pendekatan diferensial dalam pengajaran.
Peran De Porter dan Hernacki dalam Pendidikan Populer
Barbara De Porter dan Mike Hernacki turut berperan besar dalam menyebarluaskan model gaya belajar VAK melalui pendekatan Quantum Learning yang mereka kembangkan. Dalam bukunya Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (1999), mereka menguraikan tipe gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik secara praktis dan aplikatif, serta memberikan strategi pembelajaran untuk masing-masing tipe tersebut. Buku ini menjadi sangat berpengaruh, terutama di Indonesia, karena memadukan teori gaya belajar dengan pendekatan pembelajaran aktif dan menyenangkan. Meskipun mereka tidak menciptakan model VAK, De Porter dan Hernacki berjasa dalam mempopulerkan istilah tersebut dalam dunia pendidikan global dan Indonesia, menjadikan konsep gaya belajar bagian dari pelatihan guru, modul siswa, dan pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan peserta didik.
Kritik terhadap Validitas Gaya Belajar
Meskipun model VAK dan VARK banyak digunakan, sejumlah penelitian meragukan validitasnya. Pashler et al. (2008) dalam kajiannya menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti empiris yang mendukung gagasan bahwa mengajar sesuai gaya belajar meningkatkan hasil akademik. Hal ini menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan konsep gaya belajar secara absolut dalam pendidikan.
Daftar Pustaka
Dale, E. (1946). Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden Press.
De Porter, B., & Hernacki, M. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Fleming, N. D., & Mills, C. (1992). Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection. To Improve the Academy, 11(1), 137–155.
Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.
Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Pashler, H., McDaniel, M., Rohrer, D., & Bjork, R. (2008). Learning Styles: Concepts and Evidence. Psychological Science in the Public Interest, 9(3), 105–119. https://doi.org/10.1111/j.1539-6053.2009.01038.x
Shannon, C. E., & Weaver, W. (1949). The Mathematical Theory of Communication. Urbana: University of Illinois Press.
Gaya Visual, Auditori, dan Kinestetik (VAK) dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Gaya Visual, Auditori, dan Kinestetik (VAK) dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Oleh: Maryam Rahim
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menerima dan memproses informasi. Perbedaan ini dikenal sebagai gaya belajar atau gaya menerima pesan, yang umumnya dikategorikan menjadi tiga: visual, auditori, dan kinestetik. Selama ini gaya Visual, Auditori, dan Kinestetik (VAK) ini lebih banyak digunakan dalam konteks pendidikan, yang dikenal degan gaya belajar. Pemahaman terhadap gaya belajar ini menjadi sesuatu yang penting dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Namun pada hakekatnya, gaya VAK ini penting juga dalam konteks pelayanan bimbingan dan koneling. Dalam konteks bimbingan dan konseling, pemahaman terhadap gaya menerima dan merespon pesan ini sangat penting untuk menciptakan hubungan komunikasi yang efektif, menyampaikan informasi secara tepat, meningkatkan motivasi konseli dalam mengikuti layanan, dan meningkatkan keberhasilan intervensi bimbingan dan konseling itu sendiri. Secara umum dapat dideskripsikan implikasi dari masing-masing gaya VAK ini dalam pelayanan bimbingan dan konseling sebagai berikut:
1. Gaya visual.
Konseli dengan gaya visual cenderung lebih mudah memahami informasi yang disampaikan melalui gambar, warna, grafik, atau tulisan. Mereka biasanya mengingat lebih baik apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Dalam praktik konseling, konselor dapat memanfaatkan media layanan visual seperti diagram alur, peta konsep, kartu emosi, atau jurnal visual untuk membantu konseli memahami situasi atau merancang solusi. Selain itu, penggunaan ekspresi wajah, gerakan tangan, dan bahasa tubuh juga sangat berpengaruh dalam menjalin komunikasi dengan konseli visual. Ruang konseling yang tertata dengan baik secara visual juga dapat menambah rasa nyaman dan keterbukaan pada diri konseli. Di samping penggunaan media layanan, gaya visual ini dapat dioptimalkan lewat penggunaan metode layanan yang melibatkan indera penglihatan, seperti metode cinema therapy.
2. Gaya auditori.
Konseli dengan gaya auditori lebih responsif terhadap informasi yang disampaikan secara lisan. Mereka cenderung belajar dan memahami melalui percakapan, diskusi, dan penjelasan verbal. Dalam konseling, konselor perlu menggunakan suara yang tenang, jelas, dan berintonasi untuk menciptakan suasana yang mendukung. Teknik seperti refleksi, parafrase, dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk menggali perasaan dan pikiran konseli. Konselor juga dapat mendorong konseli untuk mengungkapkan diri melalui berbicara, baik dalam bentuk cerita, curahan hati, atau latihan afirmasi verbal. Penggunaan media audio dalam layanan juga dapat membantu mengoptimalkan pemahaman konseli terhadap pesan/materi layanan. Media audio dimaksud seperti rekaman suara yang menjelaskan sebuah peristiwa atau suatu prosedur kegiatan, atau rekaman lagu-lagu yang berisi konten layanan juga akan menarik perhatian dan memotivasi konseli dalam proses layanan.
3. Gaya kinestetik.
Konseli kinestetik lebih mudah memahami informasi melalui aktivitas fisik, pengalaman langsung, atau gerakan tubuh. Mereka mungkin merasa tidak nyaman jika hanya duduk diam dan berbicara dalam waktu yang lama. Dalam layanan konseling, pendekatan aktif seperti role playing, simulasi, atau teknik menulis ekspresif dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Di samping metode/teknik layanan lainnya, seperti latihan, karyawisata, career day, serta berbagai game untuk pengembangan aspek sosial-emosional, dan aspek-aspek karakter, akan meningkatkan minat konseli dalam mengikuti layanan, dan tentu saja akan memudahkan mereka memahami materi layanan. Konselor juga perlu memperhatikan bahasa tubuh konseli kinestetik karena mereka cenderung mengekspresikan perasaan melalui gerakan, posisi duduk, atau ekspresi fisik lainnya.
Pemahaman terhadap gaya visual, auditori, dan kinestetik memberikan manfaat besar dalam menyesuaikan pendekatan layanan bimbingan dan konseling. Dengan memperhatikan cara konseli menerima dan memproses pesan, konselor dapat membangun hubungan yang lebih empatik dan responsif, serta menyampaikan intervensi yang lebih tepat sasaran. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas layanan konseling dan mendukung perkembangan pribadi konseli secara optimal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa pemahaman gaya penerimaan konseli bukan berarti konselor harus menyesuaikan metode/teknik dan media layanan yang digunakan dengan gaya penerimaan pesan oleh konseli secara kaku, akan tetapi yang perlu dilakukan oleh konselor adalah penggunaan metode/teknik dan media layanan yang bervariasi sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua konseli untuk dapat menerima dan memproses pesan atau topik layanan.secara maksimal.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong