Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo (Nilai-Nilai Religius-Sosial-Emosional-Ekonomi)

14 April 2024 11:25:54 Dibaca : 104

Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo

(Nilai-Nilai Agama-Sosial-Emosional-Ekonomi)

Oleh: Maryan Rahim

Tradisi tumbilatohe di kalangan masyarakat Gorontalo telah ada sejak abad ke- 15. Secara etimologis kata Tumbilotohe terdiri dari kata “tumbilo” yang berarti “menyalakan” dan “tohe” yang berarti “lampu”. Tumbilatohe berarti menyalakan lampu. Pada awalnya lampu penerangan masih terbuat dari “wamuta” atau “seludang” yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar sehingga menimbulkan cahaya. Alat penerangan ini di sebut “wango”. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan “tohe tutu” atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Setelah itu berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan buah pepaya yang dipotong dua, alat ini disebut “padamala”. Perkembangan selanjutnya lampu tumbilatohe terbuat dari botol kecil yang berisi sumbu dan minyak tanah. Dan saat ini telah diperkaya dengan menggunakan lampu listrik (https://gorontalo.kemenag.go.id/artikel/17247/-).

Jika dicermati, perayaan tumbilotohe sarat dengan nilai-nilai religius-sosial-emosional dan ekonomi. Tradisi ini pada awalnya kental dengan nilai-nilai religius, sebab pada awalnya kegiatan menyalakan lampu ini dilakukan oleh masyarakat  pada setiap tiga malam terakhir di bulan Ramadan dalam rangka mendapatkan malam “Lailatul Qadar”. Menyalakan lampu (tumbilotohe) dilakukan sebagai usaha untuk menerangi jalan-jalan sehingga masyarakat bisa ke mesjid dengan aman, mengingat waktu itu belum dikenal alat penerangan yang menggunakan tenaga listrik.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan adanya nilai-nilai sosial-emosional-ekonomi dalam tradisi tumbilotohe. Nilai sosial ditunjukkan oleh adanya kerjasama yang diliputi kesukarelaan di antara anggota masyarakat dalam mempersiapkan tumbilotohe di lingkungannya masing-masing, bahkan berkompetisi antar lingkungan (kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota). Perayaan tumbilatohe telah melahirkan perasaan gembira di kalangan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan mereka yang berusia tua. Kegembiraan ini ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan mozaik indah dari ratusan bahkan ribuan lampu yang menyala. Melakukan foto selfie dengan berbagai gaya, semuanya dilakukan dengan perasaan gembira. Di sisi lain, ada sekelompok anak-anak yang diliputi perasaan senang, hilir mudik dari rumah ke rumah penduduk dengan melagukan syair pantun “tumbilotohe, tamohile jakati bubohe lo popati” yang artinya “tumbilotohe, orang yang minta jakati dipukul dengan popati”. “Jakati”  semacam pemberian alakadarnya sebagai tanda perhatian atau kasih sayang kepada anak-anak. “Popati” adalah bahasa Gorontalo dari “pacul”. “Bubohe lo popati” artinya “pukul dengan tangkai pacul”, namun ini hanya sekedar pantun yang mengandung humor. Inilah nilai emosional dari tumbilatohe. Perayaan tumbilotohe telah memunculkan peluang mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat melalui jual beli alat-alat tumbilotohe, seperti: botol kecil lengkap dengan sumbu lampu, janur kuning, minyak tanah, dan lampu hias elektrik. Inilah yang menjadi nilai ekonomi dari tumbilotohe.

Namun yang menjadi keprihatinan saat ini adalah ketika masyarakat lebih mementingkan perayaan tumbilotohe dan cenderung melalaikan nilai ibadah di malam-malam terakhir, khususnya tiga malam terakhir bulan Ramadan. Di mana di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, Allah SWT telah menjanjikan pahala malam Lailatul Qadar bagi hamba-hambaNya yang melakukan ibadah dengan khusyu’, melakukan sholat wajib maupun sunnah, membaca Alqur’an, I’tikaf dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu perlu pengaturan waktu oleh masyarakat agar melalui perayaan tradisi tumbioatohe kita tetap mengutamakan kegiatan ibadah (nilai religius), di samping mendapatkan nilai-nilai lainnya (sosia-emosional-ekonomi).