ARSIP BULANAN : March 2024

Konseling Karir Trait and Factor

31 March 2024 08:47:29 Dibaca : 673

Konseling Karir Trait and Factor

Oleh: Maryam Rahim

Meskipun dalam perkembangannya teori konseling trait and factor telah digunakan dalam lingkup yang lebih luas, namun lebih awal teori ini difokuskan pada segi vokasional atau pekerjaan (Arnold, 1997; Gothard, 2001; Sciarra, 2003; Brown & Let, 2005; Kidd, 2006; Perry & Zark, 2006, Zunker, 2006, Gybson & Mitchell, 2008; Gysbers, et.al, 2014, Surya, 2003; Sinring, 2011), sehingga disebut konseling karir trait and factors. Career guidance in education is still primarily based on the trait and-factor approach (Irving & Malik, 2005; Watts & Sultana, 2004). In this approach, focus is placed on achieving the best possible match between the skills of an individual and the ‘‘right’’ education, training or job opportunities (Meijers; Kuijpers; & Gundy; 2012). Teori trait and factor sering disebut konseling direktif atau konseling yang berpusat pada konselor.

Menurut teori ini kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sifat atau faktor dimaksud seperti kecakapan, minat, sikap dan temperamen. Perkembangan kemajuan individu mulai dari masa bayi hingga dewasa diperkuat oleh interaksi sifat dan faktor. Hal yang mendasar bagi konseling trait and factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar untuk pengembangan potensinya. Pencapaian penemuan diri menghasilkan kepuasan intrinsik dan memperkuat usaha untuk mewujudkan diri (Surya, 2003;3).

Williamson sebagai tokoh utama dalam teori ini (Surya, 2003; Sinring, 2011) berpendapat bahwa landasan konsep konseling modern adalah terletak pada asumsi individualitas yang unik dari setiap anak dan identifikasi keunikan tersebut dengan menggunakan pengukuran obyektif. Berdasarkan hasil identifikasi tentang sifat dan faktor individu, konselor dapat membantunya dalam memilih program studi, mata kuliah, perguruan tinggi secara rasional serta membuat perkiraan keberhasilan di masa yang akan datang. Selanjutnya dikatakan bahwa tugas konseling trait and factor adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir.

Proses konseling trait and factor terdiri dari 5 (lima) tahap utama (Arnold, 1997; Gothard, 2001; Sciarra, 2003; Brown & Let, 2005; Kidd, 2006; Perry & Zark, 2006, Gybson & Mitchell, 2008; Gysbers, et.al, 2014, Surya,2003; Sinring,2011), yaitu: tahap pertama, yakni tahap analisis, merupakan tahapan kegiatan yang terdiri dari pengumpulan informasi dan data mengenai konseli. Sebelum konseling dilaksanakan, baik konseli maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat dipercaya, tepat dan relevan untuk mendiagnosa pembawaan, minat, motif, kesehatan jasmani, keseimbangan emosional dan sifat lain, yang memudahkan atau mempersulit penyesuaian yang memuaskan baik di sekolah maupun dalam pekerjaan. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti: catatan kumulatif, wawancara, format distribusi waktu, otobigrafi, catatan anekdot, tes psikologi, studi kasus; tahap kedua, yakni tahap sintesis, merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis yang sedemikan rupa sehingga menunjukkan bakat konseli, kelemahan serta kekuatannya, dan kemampuan penyesuaian diri; tahap ketiga, yakni tahap diagnosis, untuk menemukan ketetapan dan pola yang dapat mengarahkan kepada permasalahan, sebab-sebabnya, serta sifat-sifat konseli yang relevan dan berpengaruh kepada proses penyesuaian diri. Diagnosis meliputi tiga langkah penting ialah: (1) identifikasi masalah yang sifatnya deskriptif, (2) menentukan sebab-sebab, yang mencakup perhatian hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat menerangkan sebab-sebab gejala. Konselor menggunakan intuisinya yang dicek oleh logika, oleh reaksi klien dan oleh uji coba dari program kerja berdasarkan diagnosa sementara, dan (3) prognosis, yakni menentukan kemungkinan keberhasilan pada masa yang akan datang berdasarkan hasil diagnosis; tahap keempat, yakni tahap konseling, merupakan hubungan membantu konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber di luar dirinya, baik di lembaga atau sekolah dan masyarakat dalam upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Dalam kaitan ini ada lima jenis sifat konseling ialah: (a) belajar terpimpin menuju pengertian diri, (b) mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiaanya dan penyesuaian hidupnya, (c) bantuan pribadi dan konselor supaya konseli mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, (d) mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif, (e) mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran; dan tahap kelima, yakni tahap tindak lanjut, mencakup bantuan kepada konseli dalam menghadapi masalah baru dengan mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konseling. Teknik yang digunakan konselor harus disesuaikan dengan individualitas konseli, mengingat bahwa tiap individu unik sifatnya, sehingga tak ada teknik yang baku yang berlaku untuk semua.

Pseudo-Education

23 March 2024 17:07:32 Dibaca : 255

Pseudo-Education

Oleh

Maryam Rahim

Universitas Negeri Gorontalo

                Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk membantu perkembangan manusia ke arah perkembangan yang optimal, yakni perkembangan yang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat, serta berbagai potensi lainnya yang dimiliki oleh manusia. Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Pendidikan merupakan suatu proses membantu manusia mencapai kepribadian yang lebih baik.

Berbagai defenisi tentang pendidikan memuat subyek pendidikan yakni manusia. Oleh sebab itu, memahami makna pendidikan memerlukan pemahaman yang jelas tentang manusia. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang unik. Para ahli banyak melakukan pengkajian tentang manusia dari berbagai dimensi yang berbeda.

A. Dimensi Manusia

                Dimensi manusia atau dimensi kehidupan kemanusiaan merupakan bingkai penampilan tiap-tiap diri manusia dalam aktualisasi kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2015:5). Prayitno mengemukakan 5 (lima) unsur dimensi kemanusiaan, yakni:

1. Dimensi kefitrahan, dengan kata kunci kebenaran dan keluruhan.

2. Dimensi keindividualan, dengan kata kunci potensi dan perbedaan.

3. Dimensi kesosialann, dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan.

4. Dimensi kesusilaan, dengan kata kunci nilai dan moral.

5. Dimensi keberagamaan, dengan kata kunci iman dan takwa.

                Kesatuan kelima dimensi tersebut akan mewujudkan kualitas kemuliaan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari dengan orientasi hakikat kemanusiaan.

                Sinolungan (1992) memandang manusia dari dimensi:

1. Manusia sebagai makhluk individu, artinya sebagai pribadi, sebagai orang perorang, yang berbeda satu dengan lainnya.

2. Manusia sebagai makhluk sosial, artinya sebagai bagian dari manusia lain, tidak dapat hidup tanpa orang lain, membutuhkan interaksi dengan sesame manusia lainnya.

3. Manusia sebagai makhluk religious, artinya sebagai makhluk Tuhan, yang mempercayai adanya kekuasaan di atas segala kekuasaan di dunia ini.

                Pendidikan hendaknya didasarkan pada dimensi manusia ini, serta berupaya mengembangkan dimensi-dimensi tersebut agar manusia dapat mencapai kedudukannya sebagai manusia dengan hakikat kemanusiaannya.

 

B. Potensi Manusia

                Sebagai makhluk yang sempurna di antara makhluk-makhluk Tuhan lainnya, manusia telah dibekali dengan berbagai potensi. Manusia terlahir dengan berbagai potensi, di mana potensi itu akan berkembang secara optimal dalam interaksinya dengan lingkungan, dalam arti jika dikembangkan melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, berbagai potensi itu tidak akan berkembang (teori kovergensi oleh William Stern).Prayitno (2015, 4) mengemukakan perangkat dasar potensi kemanusiaan yang disebutnya sebagai “panca daya”, yang terdiri dari: (1) daya takwa, (2) daya cipta, (3) daya rasa, (4) daya karsa, dan (5) daya karya.

                Para pakar psikologi perkembangan memandang potensi manusia, dalam bentuk potensi fisik an potensi psikis. Potensi fisik, berupa tubuh, badan, raga, yang menentukan keberadaan manusia. Potensi psikis, berupa berbagai potensi kejiwaan, seperti bakat, minat, emosi, kemampuan kognitif, nilai, moral, kemampuan berbahasa, keterampilan sosial. Potensi itu ada yang dibawa sejak lahir, dan ada pula yang diperoleh melalui proses belajar. Para ahli teori humanistic melihat potensi manusia, sebagai berikut: (1) manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri, (2) manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dan (3) manusia adalah makhluk rasional dan sadar (Yusuf dan Nurihsan, 2011).

                Berbagai potensi tersebut perlu dikembangkan secara optimal agar manusia memperoleh kehidupan yang berkualitas dalam berbagai dimensi kemanusiaannya. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan berbagai potensi manusia.

                C. Pandangan tentang Pendidikan

                Seiring dengan perkembangan pendidikan, lahirlah berbagai pandangan tentang pendidikan, seperti:

1. Pendidikan sebagai transformasi pengetahuan

                Pendidikan sebagai trasformasi pengetahuan merupakan konsep awal yang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai upaya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat menggunakan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat survive dalam kehidupannya.

2. Pendidikan sebagai transformasi nilai

                Pendidikan pada hakekatnya merupakan aktivitas mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih. Aktivitas tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan, yang mencakup nilai-nilai religi, nilai-nilai kebudayaan, nilai-nilai sains dan teknologi, nilai-nilai seni, nilai-nilai susila, nilai-nilai hukum. Transformasi nilai tersebut dilakukan dalam rangka melestarikan, mengembangkan bahkan mengubah kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.

                Berbagai gejala perilaku negative yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia disebabkan oleh dangkalnya kepemilikan nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu pendidikan sudah seharusnya memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik.

3. Pendidikan pencerahan dan kemandirian

                Esensi dari pemikiran ini bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan peradaban manusia. Oleh sebab itu pendidikan harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebab hanya dengan pendidikan seperti itu maka kehidupan yang akan diwujudkan sesuai denga hakekat kemanusiaan.

                Pendidikan yang berpihak pada rakyat pada dasarnya merupakan upaya untuk melepaskan manusia dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, ketergantungan (Nyerere, 1978), penindasan dan memberdayakan manusia (Freire, 19970; Shore, 1992).

4. Pendidikan multicultural

James Bank dikenal sebagainperintis pendidikan multicultural. Menurutnya pendidiikan harus membuat siswa mampu mengajarkan memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa juga harus disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang diterima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing, siswa harus dibiasakan menerima perbedaan.

Menurut Bank (1993) pendidikan multicultural adalah ide, gerakan, pembahruan pendidikan dan proses pendidikan ang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang menjadi anggota kelompok ras, etnis, kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multicultural memberikan kompetensi multicultural.

5. Pendidikan sepanjang hayat

                Konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education) merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah tradisonal mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat yang berlangsung dengan sangat cepat. Pendidikan berlangsung sejak anak lahir (bahkan sejal dalam kandungan ibu) dan akan berlangsung terus sampai manusia meninggal dunia, sepanjang manusia mampu menerima pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (Sadulloh, 2007).

 

5. Pendidikan untuk semua

                Pendidikan untuk semua (education for all) merupakan konsep yang dikembangkan oleh UNESCO. Menurut konsep ini secara makro pendidikan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat lapisan atas hingga masyarakat lapisan bawah. Jadi pendidikan buka monopoli kalangan tertentu saja. Secara mikro, pendidikan untuk semua bermakna pendidikan harus mampu mengakomodasi segenap peserta didik dengan berbagai karakteristiknya.

 

D. Pendidikan dan Pengembangan Jati Diri Manusia

                Berbicara tentang pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan jati diri manusia tidak lepas dari pemahaman tentang hakikat manusia. Terdapat berbagai pendapat ahli tentang manusia, seperti:

1.       Menurut Sigmund Freud:

a.       Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik.

b.      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.

c.       Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian energi psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.

d.      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif ; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).

e.      Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle).

2.    Menurut Passons (Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchel, 1986 : 121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) sebagai berikut :

a.       Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.

b.      Individu merupakan bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu individu baru dapat dipahami apabila memperhatikan konteks lingkungannya.

c.       Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reactor.

d.      Individu memiliki kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran, emosi, dan persepsinya.

e.      Individu memiliki kemampuan untuk melakukan  pilihan, sebab dia menyadarinya.

f.        Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.

g.       Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.

h.      Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.

3.       Menurut Beck (Blocher, 1974) mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut :

a.       Manusai bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia mempunyai pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.

b.      Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfkeksikan dalan pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.

c.       Manusia eksis di dunia nyata, dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.

d.      Hidup yang bermakna harus menghilangkan ancaman yang dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.

e.      Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.

f.        Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.

g.       Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).

h.      Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).

 

4. Prayitno, dkk (2015) menjelaskan hakikat manusia:

     a. Beriman dan kertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

     b. Diciptakan paling sempurna

     c. Berderajat paling tinggi

    d. Berstatus sebagai khalifah di bumi

    e. Menyandang hak azasi manusia

 

5. Pandangan lain tentang manusia:

    a. Manusia sebagai zoon politican (Aristoteles, 384-322 SM): manusia adalah makhluk    yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia, sebagai makhluk yang bermasyarakat.

   b. Manusia sebagai hewan yang berpikir

   c. Manusia sebagai homo educandum ata homo educable: manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau makhluk terdidik.

   d. Manusia sebagai animal educandum: manusia adalah hewan yang dapat dididik.

                Tugas pendidikan adalah membantu atau memfasilitasi manusia untuk mengembangkan jati dirinya.

 

E. Outcome Pendidikan

                Outcome pendidikan adalah insan paripurna, sebagai insan kamil, yakni manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari dimensi-dimensi kemanusiaan. Istilah lain yang digunakan dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah manusia Indonesia seutuhnya.

                Pendidikan yang ideal merupakan proses pengembangan keseluruhan potensi manusiawi untuk mewujudkan manusia seutunya. Pendidikan bukan sekedar menciptakan manusia yang siap kerja (jangka menengah) dan hanya untuk kepentingan diri semata. Lebih dari itu, pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan utama (jangka panjang) untuk membentuk dan mengembangkan manusia paripurna, manusia berbudaya (berbudi dan berbudaya) yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya sehingga dapat menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan untuk menuju manusia seutuhnya itu secara implisit namun tegas dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 yang mengamanatkan Pemenrintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Daftar Pustaka

Banks, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn 7 Bacon.

Wibowo, Udik Budi. 2013. Pendidikan Menuju Manusia Seutuhnya: Inkonsistensi dan Paradoks Inter/Antar-Kebijakan sampai Praksis Pendidikan. Fakultas Ilmu             Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaaf.

Hanum, Farida. 2013. Ilmu Pendidikan dan Pendidikan Multikultural. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaff.

Prayitno, dkk. 2015. Pembelajaran Melalui Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Satuan Pendidikan. Pengembangan Manusia Seutuhnya. Panduan Teknis-  Praktis- Operasional untuk Para Pelaksana Pelayanan BK di Satuan Pendidikan (Terutama Guru BK/Konselor). Paramitra Publishing.

Saduloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)

Oleh: Maryam Rahim

Dosen Jurusan BK FIP UNG

        Pendidikan bertugas mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar dapat memiliki kepribadian yang mantap, kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara. Peserta didik yang menjadi subyek pendidikan merupakan individu yang unik, masing-masing memiliki kekhasan yang membedakannya dengan individu lain. Tidak ada peserta didik yang betul-betul sama, sebagaimana anak kembar yang tetap memiliki perbedaan. Menghadapi peserta didik yang berbeda itulah maka upaya pendidikan bukanlah aktivitas yang mudah. Pendidikan harus didasari oleh ilmu tentang perkembangan peserta didik, teori-teori pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, strategi/metode pembelajaran, serta ilmu pendidikan (pedagogy). Dengan kata lain pendidikan harus dilaksanakan dengan ilmu pendidikan, pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang komprehensif tentang ilmu pendidikan.

                Seorang pendidik harus memahami keberagaman peserta didik dengan berbagai dimensi perkembangannya. Dimensi tersebut terdiri dari dimensi fisik dan dimensi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Dapat dibayangkan, jika dalam sebuah kelas ada 20 orang peserta didik, maka akan terdapat 20 karakteristik kondisi fisik dan psikis peserta didik. Dari segi fisik, ada peserta didik yang sehat fisiknya secara menyeluruh, sementara lainnya memiliki kelemahan fisik, mengidap penyakit tertentu atau kondisi kesehatan yang sering terganggu. Dari segi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian) masing-masing akan ada 20 karakteristik aspek-aspek tersebut (bayangkan jika seorang guru menghadapi kelas terdiri dari 30 atau lebih peserta didik). Dari aspek bakat misalnya, bukan hanya ada 20 bakat, sebab ada peserta didik yang memiliki lebih dari satu bakat yang menonjol, demikian halnya dengan minat. Dari segi emosi, setiap hari peserta didik dengan kondisi emosi yang tidak sama, bisa saja di hari tertentu ia dilanda emosi positif seperti gembira, bahagia, namun di hari yang lain mengalami emosi negatif, seperti marah, sedih, ataupun takut. Dari aspek sosial, terdapat peserta didik yang luwes dalam bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi (well-adjustive), dan yang lainnya memiliki kemampuan interkasi sosial yang rendah bahkan sulit menyesuiakan diri (mal-adjustive). Ada yang memiliki kepribadian introvert dan ada pula yang ekstrovert. Demikian pula halnya aspek sikap, gaya belajar, kemampuan berbahasa, perkembangan moral, dan jenis perhatian. Seluruh karakteristik ini harus disesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran, dan strategi/metode pembelajaran. Tidak hanya itu, di sisi lain pendidikan juga dituntut harus mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Pendidikan harus mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik; menjadikannya sebagai individu yang memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan sosial (social intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang tinggi di samping kecerdasan intelektual; memiliki sikap-sikap yang positif (positive attitude) terhadap hal-hal yang positif; memiliki sifat-sifat yang baik; memiliki moral dan karakter terpuji, memiliki keterampilan berbahasa yang baik; dapat belajar sesuai dengan gaya belajarnya; memiliki kemampuan berkonsentrasi yang tinggi. Dengan kata lain pendidikan harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, serta mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik tersebut. Pekerjaan lain lagi, guru harus melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dengan berbagai kondisi, ada yang lambat belajar (slow learner), ada yang sulit memahami materi, dan kesulitan belajar lainnya. Guru dituntut untuk melaksanakan pengajaran remedial (remedial teaching, remedial yang sesungguhnya, bukan ulangan atau ujian ulang yang biasa dilakukan pada saat akan pengisian raport), melaksanakan program pengayaan (enrichment program) bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi (bukan pengayaan saat menghadapi ujian sekolah). Pekerjaan ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang pendidik/guru. Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya pendidikan yang berdasarkan pada ilmu pendidikan, atau pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP). Ketidakmudahan dalam melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP) ini dikhawatirkan akan menjebak guru dalam praktek pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).

                Kelas-kelas (terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) seharusnya dibina oleh minimal 2 (dua) orang guru, masing-masing bisa berbagi tugas, ada yang fokus pada upaya membantu siswa menguasai materi mata pelajaran, dan guru yang satunya memberikan perhatian pada perkembangan psikis peserta didik (bukan guru Bimbingan dan Konseling/Konselor). Pasti akan muncul pemikiran tentang biaya yang dibutuhkan jika setiap kelas dibina oleh 2 orang guru. Namun itulah resiko yang harus terjadi jika menginginkan pendidikan yang dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh.

                Tidak cukup seorang pendidik/guru memiliki keterampilan dalam menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang diperoleh melalui berbagai pelatihan yang melelahkan dan menguras energy bahkan menghabiskan anggaran biaya yang tidak sedikit, jika ia tidak mampu mengaplikasikannya sesuai dengan karakteristik peserta didik. Akibatnya keterampilan itu tidak dapat membantu perkembangan peserta didik secara optimal sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan. Undang-Undang Guru dan Dosen telah menetapkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah kompetensi pedagogik, yakni kompetensi yang sangat terkait dengan penguasaan guru tentang karakteristik peserta didik dan ilmu pendidikan secara utuh serta penerapannya dalam aktivitas pembelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah setiap guru memiliki kompetensi pedagogik yang mumpuni? Pertanyaan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan tentang penyiapan guru yang berlatar belakang non kependidikan. Cukupkah waktu setahun untuk memberikan bekal kompetensi pedagogik bagi para guru tersebut? jawabannya sudah jelas “tidak cukup”. Bandingkan dengan para calon guru yang dibekali dengan keilmuan di bidang pendidikan selama 4 (empat) tahun, yang bisa saja kompetensi pedagogiknya tidak terbentuk secara mantap. Kondisi ini tentu saja akan semakin memperlebar ruang terjadinya pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).

Kajian Model-Model Bimbingan dan Konseling Karir Menurut Zunker (2006)

OLEH: MARYAM RAHIM

          Zunker (2006, 85-131) menjelaskan 5 (lima) model konseling karir, yakni: (1) Trait and Factor and Person Environment Fit Model, (2) Developmental Model, (3) A Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, (4) Cognitive Information Processing (CIP) Model, dan (5) Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women. Di samping itu Zunker (2006,443-453) menjelaskan pula 3 (tiga) model konseling dan layanan karir di perguruan tinggi, yang terdiri dari: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students. Model-model tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1.   Trait and Factor and Person Environment Fit (PEF) Model;

          Model ini terdiri dari 7 (tujuh) tahap, yang digambarkan secara ringkas sebagai berikut:

 Tahap 1, meliputi kegiatan: memulai wawancara antara konselor dan klien dalam rangka membangun relasi kerja yang harmonis, mempelajari informasi tentang latar belakang klien, yang meliputi riwayat hidup yang diperoleh melalui angket atau diskusi. Selama wawancara, konselor menilai status emosi klien dan memperjelas kognisi klien. Tipe kepribadian dan karakteristik kepribadian juga diobservasi;

Tahap 2, mengidentifikasi aspek-aspek perkembangan, merupakan elemen penting dalam konseling PEF, seperti persepsi klien tentang identitas diri, konsep diri, atau gambaran diri, persepsi tentang lingkungan, dalam hal ini rekrutmen, penguatan/penghasilan, dan permintaan.

 Tahap 3, asesmen, termasuk penilaian yang komprehensif tentang kemampuan kognitif klien, nilai-nilai, dan minat, di samping informasi tentang lingkungan pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Tujuan informasi ini adalah agar klien dapat memprediksi kepuasan yang diperoleh dalam pekerjaan itu. Keterampilan memproses informasi sangat penting dalam model PEF ini. Di sini klien membutuhkan bantuan dalam mengembangkan keterampilan memproses informasi melalui konseling yang dilakukan secara berkesinambungan.

Tahap 4, identifikasi dan pemecahan masalah, melalui informasi yang diperoleh pada tahap tiga. Klien mengidentifikasi masalah emosional yang serius, atau tidak berfungsinya pikiran berdasarkan penilaian psikologis yang lengkap.

Tahap 5, analisis PEF secara umum, konselor dan klien mengembangkan skema kogtinif atau bentuk konseptual, kriteria sebagai dasar membuat pilihan dan prediksi yang optimal.

Tahap 6, melakukan konfirmasi, eksplorasi dan keputusan. Konselor dan klien melakukan konfirmasi tentang analisis PEF, klien melakukan eksplorasi tentang lingkungan kerja yang potensial, dan klien membuat sebuah keputusan.

Tahap 7, tindak lanjut, melakukan evaluasi kemajuan dan kembali ke tahap sebelumnya jika dibutuhkan.

2.   Developmental Model

 The developmental model has been built from the premise that career development is a lifelong process and the career counseling needs of individuals must be met all stage life (Healy,1982); Gelso and Fretz, 2001; Sharf, 2002). Model ini terdiri dari 4 (empat) tahap berikut:

Tahap 1, menetapkan tujuan, kendala yang dihadapi, asesmen untuk menemukan tujuan yang jelas, keyakinan tentang pemecahan masalah, kesiapan melakukan kegiatan, perasaan, gaya belajar, dan kendala dalam mencapai tujuan.

 Tahap 2, mengidentifikasi dan memilih strategi.

 Tahap 3, mengajar dan membantu implementasi. Tugas utama konselor di tahap ini adalah memberikan dorongan kepada klien dalam mengimplementasikan strategi yang telah dikembangkan, seperti strategi belajar melalui latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan, latihan mememukan pekerjaan dan jaringan pasar kerja.

Tahap 4, verifikasi hasil yang dicapai. Tahap ini tertuju pada review terhadap efektivitas strategi belajar, revisi strategi selama tahap ini. Konselor memberikan dorongan kepada klien dalam usahanya mencapai hasil yang dituju. Salah satu tujuan penting adalah meningkatkan kepercayaan klien untuk mengembangkan strategi belajar yang dapat membantunya di masa depan.

3.   Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model

          Model ini terdiri dari 7 (tujuh) tahap berikut:

Tahap 1, wawancara untuk membangun relasi antara konselor dengan klien. Klien diupayakan merasa membutuhkan waktu untuk konseling, memberikan penguatan penuh dan respon klien yang positif, fokus pada semua masalah karir, kehdupan keluarga, pengaruh lingkungan, ketidak seimbangan emosi, hambatan dan kepercayaan karir, minat, nilai dan kepribadian. Pada tahap ini juga konselor membantu klien merumuskan tujuan sementara.

Tahap 2, melaksanakan asesmen: tujuan asesmen adalah menyediakan jaringan untuk intervensi belajar, asesmen diusahakan menemukan sistem informasi yang akurat dan koheren dengan sistem informasi klien, identifikasi tujuan klien, tidak realistiknya strategi untuk mencapai tujuan.

Tahap 3, membangkitkan aktivitas: klien diarahkan pada kegiatan individual seperti melakukan asesmen lain, mereview materi audio visual, program komputer, atau studi literatur tentang pekerjaan, beberapa klien diarahkan ke program konseling individual untuk menemukan masalah personal.

Tahap 4, mengumpulkan informasi, pada tahap ini dilakukan review terhadap stategi intervensi, tujuan individual, termasuk perkembangan terbaru, yang dilakukan melalui diskusi, klien memiliki komitmen terhadap informasi yang dikumpulkan melalui kunjungan kerja atau penggunaan pengalaman kerja.

 Tahap 5, berbagi informasi dan memperkirakan konsekuensi, di sini klien dan konselor mendiskusikan informasi yang terkumpul tentang pekerjaan dan perkiraan bersama tentang konsekuensi dalam setiap pilihan pekerjaan. Konselor mengevaluasi kesulitan klien dalam memproses informasi dan kesalahan strategi dalam proses pengambilan keputusan, konselor mengembangkan intervesi remedial, klien diarahkan untuk mengumpulkan banyak informasi atau kembali ke konseling sebelumnya, sebelum lanjut ke tahap berikut.

Tahap 6, melakukan re-evaluasi, membuat keputusan tentatif atau kembali ke tahap berikut: Klien dan konselor mendiskusikan kemungkinan sukses dalam pilihan pekerjaan yang spesifik, konselor menyediakan rangsangan untuk pengambilan keputusan yang sesungguhnya untuk eksplorasi karir, atau merobah arah dan kembali ke tahap sebelumnya dalam membuat keputusan.

Tahap 7, strategi mencari pekerjaan: Strategi intervensi klien dapat meliputi penggunaan materi pelajaran, belajar menulis resume, menjadi anggota sebuah club pekerjaan, bermain peran, atau latihan membuat keputusan hidup, klien dan konselor mengenal kembali konsep perencanaan karir, terutama bagaimana prosedur belajar untuk membuat sebuah keputusan karir.

4.   Cognitive Information Processing (CIP) Model;

Model CIP terdiri dari 7 (tujuh) tahap berikut:

Tahap 1, wawancara awal, tujuan utama tahap ini adalah konselor memperoleh informasi tentang masalah karir yang dihadapi klien serta membangun relasi yang benar. Lebih khusus lagi konselor menemukan faktor emosi dan kognisi dari masalah klien.

Tahap 2, asesmen kesiapan, menetapkan kesiapan klien dalam menyelesaikan dan membuat keputusan tentang masalahnya, antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan the Career Thoughts Inventory (Sampson et al, 1996a).

Tahap 3, mendefenisikan masalah dan membuat analisis kasus. Di tahap ini, konselor dan klien menyepakati pemahaman tentang masalah klien.

Tahap 4, merumuskan tujuan, yang dilakukan sebagai usaha kerjasama antara konselor dan klien. Tujuan tersebut dimasukkan secara tertulis dalam ILP.

Tahap 5, mengembangkan Individual Learning Plan (ILP) atau rencana belajar individual, atas kerjasama antara konselor dan klien, dengan menggunakan berbagai sumber dan aktivitas sehingga klien menemukan rumusan tujuan yang jelas. Individual Learning Plan juga dalam bentuk kontrak antara konselor dan klien.

Tahap 6, mewujudkan Individual Learning Plan. Pada tahap ini klien melakukan inisiatif dalam mewujudkan rancana yang telah disepakati. Konselor dalam posisi mengarahkan lebih lanjut dan memberikan informasi, klarifikasi atau penguatan atas kemajuan klien.

Tahap 7, review akhir dan perumusan kesimpulan. Apakah kemajuan dalam menyelesaikan masalah dapat menimbulkan motivasi pada klien untuk melihat hasil dari pelaksanaan konseling, juga menilai efektivitas kemajuan dalam Individual Learning Plan, lebih khusus lagi menilai status keputusan karir yang dilakukan oleh klien. Terakhir melihat apakah keenam tahap yang dilakukan dapat memberikan keterampilan kepada siswa untuk memecahkan masalah pribadi dan karir di masa yang akan datang.

5.   Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women

Model ini terdiri dari 6 (enam) tahap berikut:

Tahap 1, membangun rapport dan relasi budaya yang tepat. Relasi antara klien dan konselor sangat penting dalam semua konseling karir, terutama pada model ini. Ketika klien merasa bebas dalam mengekspresikan dirinya dalam relasi konseling, dia akan menjadi guru yang baik sebagai informan budaya, dan sangat membantu konselor dalam menciptakan diskusi yang lancar tentang informasi etnis/ras. Kepercayaan dan kerjasama menjadi faktor kunci dalam relasi konseling, khususnya ketika klien dan konselor berasal dari latar belakang kelompok etnis yang berbeda.

Tahap 2, mengidentifikasi isu karir, pada tahap ini, konselor harus memiliki pemahaman tentang isu-isu pandangan hidup klien, dalam rangka memfasilitasi klien membuat keputusan karir. Tujuan utama tahap ini adalah membantu klien mengidentifikasi pengalamannya tentang keterbatasan dalam memilih karir, seperti pemilihan karir dipengaruhi oleh gender.

Tahap 3, asesmen tentang akibat faktor budaya. Pada tahap ini konselor mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang sangat mempengaruhi keterbatasan dalam memilih karir. Proses ini membutuhkan waktu yang panjang ketika klien mengingat kembali tentang pemahaman penting bagaimana lingkungan keluarganya, agama, dan asal-usul budaya.

Tahap 4, menetapkan tujuan konseling. Penetapan tujuan dilakukan atas kerjasama antara klien dan konselor. Kerjasama dan relasi konseling sangat penting untuk konseli minoritas etnis.

Tahap 5, membuat intervensi budaya yang tepat. Dibutuhkan intervensi yang tepat untuk kelompok dengan anggota yang berasal dari budaya yang bervariasi. Intervensi kelompok juga sangat produktif untuk kelompok dengan beberapa budaya.

Tahap 6, membuat keputusan. Membuat keputusan sangat disarankan pada tahap ini termasuk monitoring yang kontinu terhadap proses pengambilan keputusan, terutama klien bebas dari segala gangguan dalam mencapai tujuan.

Tahap 7, implementasi dan tindak lanjut. Dalam hal ini, klien dapat mengambil referensi dari sumber-sumber informasi, kontak dengan individu lain atau pihak lain untuk membantunya.

 6.   Module Model of Curricular Career Information Service

Merupakan model konseling karir yang menggunakan pendekatan pembelajaran dan berbasis multimedia serta beorientasi self-help. Model ini dikembangkan oleh Curricular Career Information Service (CCIS), Florida State University. Modul berisi rumusan tujuan behavioral tertentu yang dicapai melalui kegiatan-kegiatan terstruktur. Model ini terdiri dari 12 modul, dengan isi sebagai berikut:

(1) modul 1, berisi penjelasan tentang tujuan CCIS, yang diawali dengan presentasi slide selama 10 menit tentang garis-garis besar tujuan CCIS;

(2) modul 2, dilengkapi dengan slide dan materi pilihan, berisi tinjauan umum tentang variabel-variabel yang dipandang penting dalam perencanaan karir;

(3) modul 3, berisi self-assessment, yang dilakukan sendiri dan hasilnya juga ditafsirkan sendiri, tentang inventarisasi minat dengan menggunakan instrument Self-Directed Search dari Holland;

(4) modul 4, terdiri dari presetasi slide tentang sumber-sumber informasi karir;

(5) modul 5, dimaksudkan untuk membantu mahasiswa mengenal karir-karir yang terkait dengan kajian akademik utama yang ditempuhnya;

(6) modul 6 sampai modul 12, mencakup harapan kerja, perencanaan waktu senggang, pernecanaan karir untuk orang kulit hitam, pembuatan keputusan karir untuk perempuan dewasa dan penyandang cacat, dan eksplorasi minat karir melalui keterampilan kerja dan okupasional.

7. Metroplex Model for Career Counseling

           Model metroplex diterapkan di universitas yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan alumni dalam jumlah yang besar, di samping harus melayani sejumlah besar mahasiswanya yang berasal dari berbagai macam program studi. Kegiatan difokuskan pada unit yang biasa disebut pusat konseling karir. Program-program yang dikembangkan di pusat konseling karir seperti ini diperuntukkan untuk membantu berbagai kalangan seperti: (1) orang dewasa muda dan separuh baya yang mengantisipasi perubahan arah karir, (2) individu yang menghendaki relokasi dalam bidang karirnya, (3) individu yang menginginkan mobilitas dalam bidang karirnya melalui pendidikan lanjut, (4) individu yang mencari informasi mengenai tren pasar kerja dalam bidang tertentu, (5) individu yang ingin membuat perencanaan untuk melanjutkan kembali studinya, dan (6) individu yang mencari karir kedua setelah pensiun dini dari karir pertama.

Secara operasional, pusat ini terbagi ke dalam beberapa unit yaitu: (1) unit pengembangan karir, (2) unit informasi kerja bagi mahasiswa, (3) program wawancara kampus, dan (4) tiga unit khusus yang mengurus kebutuhan mahasiswa dalam bidang pendidikan, manajemen, dan teknik. Ketiga unit khusus ini menawarkan program tambahan untuk mengakomodasi prosedur penempatan dalam masing-masing bidang tersebut.

8. Work and Experience-Based Programs for College and University Students

          Model ini dirancang untuk memberikan pengalaman kerja nyata kepada para mahasiswa. Dalam program ini, mahasiswa ditempatkan di perusahaan atau lembaga selama waktu tertentu, misalnya selama satu minggu. Tujuan program ini adalah memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengamati kegiatan di tempat kerja yang terkait dengan bidang keilmuannya dan berinteraksi dengan para pegawai di tempat kerja tersebut. Penyelengaraan program ini disponsori bersama oleh ikatan alumni universitas, pusat kegiatan mahasiswa, kantor penempatan, dan pusat layanan konseling mahasiswa.

          Setiap model yang telah diuraikan sebelumnya memiliki karakteristik masing-masing. Berikut karakteristik 5 (lima) model, yakni: (1) Trait and Factor and Person Environment Fit Model, (2) Developmental Model, (3) A Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, (4) Cognitive Information Processing (CIP) Model, dan (5) Multicultural carerr counseling model for ethnic women.

Trait and factor and Person Environment Fit (PEF) memiliki karakteristik berikut: (a) langkah-langkah konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) sasaran konseling adalah klien yang bermasalah, dalam arti konseli yang dilayani adalah individu yang sedang mengalami masalah atau kesulitan dalam merencanakan karir, kesulitan dalam membuat keputusan karir, atau kesulitan dalam menjalani karir/pekerjaan, dalam arti terbatas pada fungsi pengentasan, sehingga fungsi bimbingan dan konseling lainnya yakni fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengembangan tidak terwujud dalam model ini, (c) terdapat usaha memahami karakteristik klien dan dunia kerja, namun pemahaman terhadap dunia kerja terfokus pada persepsi siswa/klien terhadap rekrutmen dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan-pekerjaan itu, (d) konseling dilaksanakan untuk membantu klien membuat keputusan karir.

Developmental Model memiliki karakteristik berikut: (a) tidak tergambar sebagai model konseling, sebab tidak mengikuti tahap-tahap konseling, yakni tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir, (b) fokus pada membantu klien memiliki kemampuan memilih karir, (c) proses bantuan dilakukan melalui strategi belajar, seperti latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan atau seseorang yang telah berhasil dalam pekerjaan, mengikuti jaringan pasar kerja, (d) tahapan konseling ini tidak relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.

Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model memiliki karakteristik berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir, (c) konseling dilakukan tidak sebatas mengambil keputusan karir, namun sampai pada tahap mencari pekerjaan.

Cognitive Information Processing (CIP) Model memiliki karakteristik berikuT (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling berbasis belajar, (c) konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir dan keterampilan klien dalam memecahkab masalah pribadi dan karir di masa yang akan datang.

Multicultural career counseling, memiliki karaktersitik berikut: (a) model ini merupakan konseling berbasis multicultural dan dikhususkan pada etnis perempuan, (b) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.

Khusus untuk 3 (tiga) model lainnya, yakni: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students, jika dicermati ketiga model tersebut memiliki karakteristik berikut: (1) dirancang untuk diterapkan di perguruan tinggi, (2) dirancang untuk mahasiswa yang telah memiliki kemandirian dalam membuat perencanaan karir, sehingga tampaknya peranan konselor sangat terbatas, (3) berorientasi pada perencanaan dan pemilihan lapangan kerja mengingat mahasiswa telah berada pada fase memilih lapangan kerja, (4) tidak menggunakan tahapan konseling, namun lebih berbentuk program kegiatan. Memperhatikan karakteristik tersebut maka dapat disimpulkan model-model ini kurang tepat digunakan untuk siswa pendidikan menengah atas.

Mencermati karakteristik dari setiap model, maka dapat ditemukan keunggulan dan juga kritikan terhadap model-model tersebut, sebagai berikut:      

Trait and factor and Person Environment Fit (PEF): model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) memenuhi tahapan konseling, yakni: tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir. Di samping keunggulan, kritikan terhadap model ini adalah: (a) sasaran konseling adalah klien yang bermasalah, (b) terdapat tahap pemahaman karakteristik siswa dan dunia kerja, namun pemahaman terhadap dunia kerja terfokus pada persepsi klien terhadap rekrutmen dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan-pekerjaan itu. Dalam bimbingan dan konseling karir, pemahaman dunia kerja yang dimaksud meliputi pemahaman terhadap berbagai jenis pekerjaan dengan berbagai karakteristiknya, (c) konseling dilaksanakan untuk membantu klien sampai pada membuat keputusan karir.

Developmental Model, model ini memiliki keunggulan yakni proses bantuan dilakukan melalui strategi belajar, seperti latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan atau seseorang yang telah berhasil dalam pekerjaan, mengikuti jaringan pasar kerja. Namun demikian terdapat kritikan terhadap model ini, yakni: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) tidak tergambar sebagai model konseling, sebab tidak mengikuti tahap-tahap konseling, yakni tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir, (c) fokus pada membantu klien memiliki kemampuan memilih karir, dan (d) tahapan konseling ini tidak relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.

Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir, (c) konseling dilakukan tidak sebatas membantu klien mengambil keputusan karir, namun sampai pada tahap mencari pekerjaan. Di samping keunggulannya, sasaran model konseling ini adalah klien yang mengalami masalah karir, hal ini tidak sejalan dengan prinsip bimbingan dan konseling yakni layanan bimbingan dan konseling diberikan kepada semua siswa, baik yang mengalami masalah maupun yang tidak mengalami masalah.

Cognitive Information Processing (CIP) Model, model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling berbasis belajar. Di samping keunggulan tersebut, satu hal yang dipandang menjadi kritikan terhadap model ini adalah konseling lebih ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir.

Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women, memiliki keunggulan berikut: (a) model ini merupakan konseling berbasis multicultural dan dikhususkan pada kaum wanita, (b) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir. Kritikan terhadap model ini adalah tidak tepat digunakan untuk klien berjenis kelamin laki-laki, mengingat karir laki-laki memiliki ciri khas yang berbeda dengan karir wanita.

          Untuk 3 (tiga) model lainnya, yakni: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students, khusus dirancang digunakan bagi mahasiswa di perguruan tinggi, yang memiliki perbedaan karakteristik perkembangan dengan siswa pendidikan menengah atas. Di samping itu, model ini tidak menggunakan tahapan konseling, namun lebih berbentuk program kegiatan.

Sumber Rujukan: Zunker, Vernon G. 2006. Career Counseling. A Holistic Approach. Thomson Brooks/Cole.

Problematika Pelaksanaan Supervisi Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Oleh: Maryam Rahim

 

            Supervisi terhadap penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah merupakan kegiatan yang urgen. Urgensi supervisi dimaksud tidak lepas dari suprevisi sebagai upaya mendorong dan membimbing para guru bimbingan dan konseling (guru BK/konselor) agar senantiasa melaksanakan tugasnya secara profesional dan senantiasa meningkatkan profesionalismenya secara berkelanjutan.  

            Aktivitas guru BK/konselor berbeda dengan aktivitas guru mata pelajaran. Aktivitas guru BK adalah dalam bentuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dalam upaya memandirikan siswa dan mengoptimalkan perkembangan siswa di bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir. Aktivitas tersebut bersifat: (1) pencegahan, artinya mencegah agar siswa terhindar dari berbagai masalah yang akan berpengaruh pada perkembangan mereka, (2) pengembangan, artinya membantu siswa mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya, baik potensi sebagai pribadi, potensi sebagai makhluk sosial, potensi belajar maupun potensi karir, (3) penyesuaian, artinya membantu siswa agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat, (4) penyaluran, artinya membantu siswa menyalurkan bakat/minatnya, memilih program belajar dan sekolah lanjutan, (5) penyembuhan atau pengentasan, artinya membantu siswa menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya. Aktivitas-aktivitas ini menunjukkan bahwa tugas guru BK bukan hanya menangani siswa yang bermasalah sebagaimana anggapan sebagian orang, namun juga melakukan upaya-upaya pencegahan, pengembangan, penyesuaian, dan penyaluran.

            Strategi layanan dapat berbentuk lintas kelas, klasikal, kelompok, dan individual; dengan metode/teknik yang bervariasi, seperti: ceramah dari nara sumber, cinema therapy, bibliocounseling, fantasy, career day, diskusi kelompok, brainstorming, home-room, written, dilemma moral, sosiodrama/psikodrama, karyawisata, modul, modeling, dan simbolik.

            Mencermati aktivitas guru BK/konselor yang berbeda dengan aktivitas guru bidang studi, maka seharusnya supervisi terhadap pelaksanaan BK di sekolah dilakukan secara profesional oleh supervisor yang berlatar belakang keilmuan BK. Namun kenyataannya, supervisi terhadap penyelenggaraan BK di sekolah hingga saat ini masih menjadi problem. Penyelenggaraan supervisi BK dilaksanakan oleh tenaga supervisor yang tidak berlatar belakang keilmuan BK. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahim; Hulukati; dan Siregar (2022) tentang penyelenggaraan supervisi BK di provinsi Gorontalo menunjukkan: (1) 95% guru-guru BK menyatakan disupervisi oleh supervisor yang tidak memiliki latar belakang keilmuan BK, (2) supervisi lebih menekankan pada aspek administrasi layanan, (3) supervisi lebih banyak menggunakan metode tanya jawab, (3) supervisor cenderung tidak mengamati langsung penampilan guru BK pada saat melaksanakan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok, (4) supervisor cenderung kurang memberikan informasi tentang kemutakhiran perkembangan pelayanan, (5) sebagian besar supervisor tidak memberikan contoh-contoh teknik layanan BK yang dapat mengaktifkan siswa (konseli) pada saat layanan, dan (6) supervisor cenderung tidak melaksanakan supervisi klinis.

            Kondisi ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan supervisi itu sendiri, dan yang paling dikhawatirkan akan berimbas pada manfaat dari supervisi tersebut terhadap peningkatan profesionalisme guru BK. Bagaimanapun juga guru-guru BK yang sedang bertugas di sekolah saat ini dan di masa-masa yang akan datang membutuhkan supervisi yang benar-benar akan memacu mereka untuk meningkatkan profesionalismenya dan kualitas kerjanya secara berkelanjutan.

Kompetensi supervisor/pengawas pendidikan di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Permen tersebut menegaskan tentang kualifikasi dan 6 kompetensi pengawas, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Pada sub kompetensi supervisi akademik disebutkan bahwa supervisor/pengawas “memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran yang relevan”, dan “memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/ pembimbingan tiap mata pelajaran yang relevan”. Mengacu pada standar ini, maka sewajarnya jika supervisor/pengawas penyelenggaraan BK harus: “memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan dalam penyelenggaraan layanan BK”, dan “memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan dalam penyelenggaraan layanan BK”. Pada sub kompetensi supervisi akademik, jika dikaitkan dengan pelayanan BK dapat diinterpretasikan bahwa “supervisor membimbing guru menyusun program BK, memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pelayanan BK, menyusun RPLBK, mengelola/ merawat/mengembangkan dan menggunakan media layanan BK, memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pelayanan BK”. Aspek-aspek tersebut tentu saja hanya dapat dilaksanakan secara profesional oleh supervisor/pengawas yang memiliki latar belakang pendidikan bidang BK. Sebagai akibat dari supervisor/pengawas tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni tentang aspek-aspek yang disupervisi tersebut, maka yang terjadi adalah supervisi hanya tertuju pada ketersediaan adiministrasi pelayanan BK, dan mengabaikan supervisi terhadap kompetensi guru dalam melaksanakan layanan.

“Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah; serta membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling”, merupakan sub kompetensi supervisor/pengawas yang tercantum dalam Permendiknas tersebut. Jika dicermati, penguasaan metode, dan teknik supervisi akan sangat terkait dengan aspek-aspek yang diobservasi. Akan sulit bagi supervisor yang tidak berlatarbelakang keilmuan bimbingan dan konseling ketika harus melakukan observasi langsung tentang kompetensi guru BK pada saat melaksanakan layanan, di mana pada saat itu supervisor akan menilai materi layanan, strategi/metode/teknik layanan, media layanan maupun pelaksanaan evaluasi layanan. Bagaimana supervisor akan mengamati apabila supervisor itu sendiri tidak memiliki keterampilan bahkan pemahaman tentang perumusan materi layanan, penggunaan strategi/metode/teknik layanan, media layanan maupun pelaksanaan evaluasi layanan BK. Oleh sebab itu, realita yang terjadi adalah perhatian supervisor cenderung tertuju pada aspek administrasi, yang kadang-kadang juga tidak terlalu dipahami oleh supervisor itu sendiri.

            Hasil-hasil supervisi memerlukan tindak lanjut, sebagai umpan balik terhadap guru BK/konselor setelah disupervisi. Pentingnya tindak lanjut atau umpan balik hasil supervisi ini dapat disimpulkan dari defenisi supervisi, yakni sebagai aliansi kerja antara supervisor dan konselor di mana konselor dapat memperlihatkan rekaman dokumen pekerjaan mereka, mereflesikannya, menerima umpan bailk, dan bimbingan (European Association for Counseling, 2014, dalam Wutsqo, dkk, 2021. Tindak lanjut dari hasil supervisi dimaksudkan sebagai penggunaan hasil-hasil supervisi untuk kepentingan keberlanjutan penyelenggaraan pelayanan BK di sekolah, terutama terkait dengan peningkatan kompetensi guru BK /konselor. Hal ini akan sulit diwujudkan jika supervisi yang dilaksanakan tidak menyentuh aspek-aspek esensial dalam pelayanan BK. Dengan kata lain pelaksanaan supervisi tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pelayanan BK di sekolah.

                Oleh sebab itu, sangat diharapkan perhatian dari para pengambil kebijakan kiranya dapat menugaskan pengawas pelaksanaan BK di sekolah adalah tenaga yang berlatarbelakang keilmuan BK, di samping tentu saja yang memiliki kompetensi sebagai pengawas BK. Apalah artinya berbagai teori dan praktik yang telah dipelajari oleh guru-guru BK kurang lebih 4 tahun di bangku kuliah, pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh melalui seminar/ workshop/pelatihan selama mereka bertugas, ketika mereka tidak diberi ruang untuk dievaluasi secara profesional oleh supervisor yang profesional dalam konteks yang sesungguhnya, yakni di sekolah tempat mereka mengabdikan ilmunya. Guru-guru BK juga ingin disupervisi ketika sedang melaksanakan layanan, sehingga mereka akan diberitahu kekurangan mereka dalam menggunakan metode/teknik tertentu, diberitahu tentang ketercapaian tujuan layanan, dan informasi lain sebagaimana diperoleh oleh guru mata pelajaran yang disupervisi oleh supervisor mata pelajaran.