A. Ringkasan

            Ahimsa-Putra melalui tulisannya dalam buku berjudul Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis menguraikan pandangannya tentang antropologi koentjaraningrat merupakan antropologi dengan ciri-ciri epistomologi yang positivistis. Menurut Ahimsa Putra (1997: 28) bahwa Profesor Koentjaraningrat belum pernah menguraikan secara eksplisit berbagai asumsi dari pendekatan yang dipakainya sehingga Ahimsa Putra memanfaatkan tulisan-tulisan para ahli antropologi yang pandangannya diikuti oleh Profesor Koentjaraningrat dan yang secara eksplisit telah menguraikan asumsi-asumsi serta landasan filosofis pendekatan mereka. Oleh karena itu, Ahimsa Putra menggunakan sub-judul “sebuah tafsir” untuk tulisan ini.    

Positivisme dalam Ilmu Sosial

            Dalam menelaah epistemologi Antrop-Koen dan mengatakannya sebagai “positivistis”, Ahimsa Putra (1997: 28-29) menguraikan apa yang dimaksud dengan “positivisme” dalam antropologi atau ilmu sosial, atau bagaimana sebenarnya padangan yang “positivistis” mengenai ilmu pengetahuan itu. Di sini Ahimsa Putra pertama-tama menguraikan terkait pendapat Kolakowski, seorang ahli filsafat yang memandang bahwa positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia. Menurut Kolakowski ada empat aturan dalam positivisme yang menentukan apa yang dimaksud dengan “pengetahuan”, yakni: (1) “rule of phenomenalism”, (2) “rule of nominalism”, (3) “rule that refuses to call value judgments and normative statements knowledge”, dan (4) “belief in essential unity of scientific method” (Bryant 1985; Rossi 1974).

Aturan pertama mengatakan bahwa kita hanya berhak merekam apa yang sebenarnya ada dalam pengalaman kita atau apa yang sebenarnya kita alami, hal mana berarti bahwa positivisme mengakui eksistensi, tetapi menolak esensi, sehingga positivisme menolak setiap penjelasan yang mengacu pada hal-hal yang menurut definisinya tidak dapat digapai oleh pengetahuan manusia. Dengan kata lain, aturan ini menyatakan bahwa bagi positivisme pengalaman adalah dasar terpenting (ultimate foundation) dari pengetahuan manusia. Jadi, positivisme tidak memberikan tempat pada metafisika. Aturan kedua, “rule of nominalism”, merupakan implikasi lebih lanjut dari aturan pertama. Aturan ini menyebutkan bahwa kita tidak boleh beranggapan setiap pemahaman (insight) yang dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada fakta-fakta individual. Menurut aturan nominalisme ini, setiap ilmu pengetahuan yang abstrak tidak lain adalah sebuah metode untuk meringkas (abridging) perekaman pengalaman. Selanjutnya aturan yang ketiga mengatakan bahwa kita wajib menolak pandangan yang mengatakan bahwa nilai-nilai (values) merupakan ciri-ciri dari dunia yang di sekitar kita. Hal tersebut dijelaskan oleh Ahimsa Putra bahwa nilai-nilai ini tidak dapat diperoleh dengan cara yang sama sebagaimana halnya “pengetahuan” yang kita miliki. Aturan keempat, merupakan pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar antara metode ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dengan metode ilmu sosial-budaya. Implikasi dari pandangan semacam ini adalah bahwa berbagai prosedur dan metode penalaran serta penelitian yang telah berkembang terlebih dulu dalam ilmu-ilmu alam dianggap dapat digunakan juga untuk memahami berbagai macam gejala atau peristiwa sosial-budaya (Ahimsa Putra, 1997: 29-30)

            Bagi Ahimsa-Putra (1997:30) serangkaian aturan yang disodorkan oleh Kolakowski ini memang dapat membantu kita memahami apa kira-kira yang dimaksud dengan positivisme. Namun, jika kerangka ini ingin kita terapkan untuk menelaah suatu pemikiran tertentu, seperti Antro-Koen misalnya, maka kita masih akan kesulitan yang cukup serius, karena Kolakowski tidak menunjukkan dengan jelas pada kita bagaimana aturan-aturan tersebut terwujud dalam suatu cabang ilmu sosial-budaya. Kerangka aturan yang dikemukakannya memang masih berada dalam tataran pemikiran filsafat. Oleh karena itu, Ahimsa Putra (1997:30) menguraikan kerangka pemikiran yang bersifat positivistis dalam cabang ilmu sosial-budaya seperti yang dikemukakan Giddens mengenai positivisme dalam sosiologi. Anthony Giddens mengatakan bahwa “positivistic attitude” dalam sosiologi mencakup paling tidak tiga pandangan yang saling berkaitan, yakni: pandangan bahwa (1) “the procedures of natural science may be directly adapted to sociology”; (2) “the end results of sociological investigations can be formulated as “laws” or “law-like” generalizations of the same kind as those established by natural scientist”, dan (3) “sociology has a technical character (Bryant, 1985). Ciri-ciri “positivistic attitude” dari Giddens ini tampak lebih konkrit daripada apa yang dikemukakan oleh Kolakowski, dan kata “sociology” atau sociological” dalam rumusan Giddens tersebut dapat saja kita ganti dengan “anthropology” atau anthropological”, jika kita ingin menerapkannya dalam disiplin antropologi. Oleh karena itu, Ahimsa Putra merasa bahwa kerangka yang disodorkan oleh Giddens ini dapat digunakan untuk menentukan apakah Antro-Koen positivistis atau tidak.

            Untuk lebih memudahkan lagi langkah kita menafsirkan epistemologi Antro-Koen, kita juga dapat menggunakan jalan yang lain, yakni melihat pandangan kaum positivis mengenai ilmu pengetahuan. Salah satu ciri penting pandangan mereka tentang hal ini adalah bahwa bagi mereka ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang “predictive” dan “explanatory” mengenai dunia di luar sana. Untuk itu, orang harus membangun teori-teori, yang isinya tidak lain adalah pernyataan-pernyataan yang sangat umum, yang menggambarkan “regular relationship” gejala-gejala di luar diri manusia. Berbagai pernyataan umum atau hukum-hukum ini juga memungkinkan kita menebak, memperkirakan ataupun menjelaskan gejala-gejala yang kita jumpai dalam aktivitas percobaan dan pengamatan yang sistematis (Keat & Urry dalam Ahimsa Putra, 1997: 31).

Beberapa ciri dan pandangan kaum postivis tersebut akan kita jadikan kerangka komseptual untuk menafsirkan apakah Antrop-Koen memang merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis, atau bukan. Jika memang positivistis, tentunya beberapa ciri dan pandangan di atas akan ada dalam Antrop-Koen (Ahimsa Putra, 1997: 31).

Antropologi Koentjaraningrat

Metode Pengumpulan Fakta

Antropologi sebagai ilmu, menurut Profesor Koentjaraningrat, dapat dicapai melalui tiga tingkat, yaitu: (1) pengumpulan fakta; (2) penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem; serta (3) verifikasi. Pada tahap pertama seorang ahli antropologi harus mengumpulkan berbagai fakta kebudayaan dan masyarakat terlebih dahulu dan baru kemudian menganalisisnya secara ilmiah, Pengumpulan fakta ini dilakukan dengan menggunakan metode-metode mengobservasi, mencatat, mengolah, dan melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat yang hidup. Penelitian lapangan yang memakan waktu beberapa bulan atau beberapa tahun merupakan salah satu cara yang penting untuk mengumpulkan data dalam antropologi, namun demikian penelitian perpustakaan juga penting karena Profesor Koentjaraningrat menyusun disertasinya tampak jelas hasil penelitiannya di perpustakaan menempati posisi sentral. Penelitian lapangan dalam antropologi, Profesor Koentjaraningrat berpendapat bahwa para ahli antropologi sebaiknya menggabungkan dua macam metode penelitian yang seringkali dipertentangkan, yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif, agar generalisasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Menurut Profesor  Koentjaraningrat bahwa metode kuantitatif rupanya masih lebih tinggi daripada metode kualitatif, sebab di mata beliau hasil penelitian dan analisis metode kualitatif merupakan penambahan atau persiapan bagi penelitian dengan metode kuantitatif. Metode penelitian kualitatif tidak dapat dikatakan sebagai metode yang menentukan keputusan akhir dari suatu hasil penelitian, sedangkan metode kuantitatif yang lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat diterima sebagai generalisasi yang dapat dipercaya dan obyektif atau tidak (Ahmisa Putra, 1997: 32-33).

Taksonomi Kebudayaan

Bila fakta-fakta mengenai kebudayaan dan masyarakat telah terkumpul, maka pada tahap berikutnya si ahli antropologi kemudian harus menentukan “sifat-sifat umum dan sistem” dalam fakta. Ini adalah sebuah proses yang biasa disebut sebagai generalisasi. Dua metode penting yang dipakai dalam proses generalisasi ini adalah metode perbandingan dan metode klasifikasi atau tipologi. Melalui studi perbandingan dapat diketahui sifat-sifat umum dalam fakta yang kemudian dirumuskan dalam kategori-kategori atau tipe-tipe tertentu, yang sekaligus juga merupakan sarana untuk mengklasifikasi obyek-obyek yang diteliti atau fakta yang diperoleh, dan professor Koentjaraningrat setuju dengan upaya klasifikasi ini, yang juga dikenal sebagai taksonomi (Ahmisa Putra, 1997: 33-34).

Taksonomi atau tipologi kebudayaan merupakan upaya untuk menentukan jenis atau karakter dari suatu kebudayaan dan kemudian memberinya nama tertentu, Salah satu contoh taksonomi kebudayaan yang dibuat oleh Profesor Koentjaraningrat terdapat dalam buku beliau yang berjudul Introduction to the Peoples and Cultures of Indonesia and Malaysia (1975b). Dalam buku ini, beliau menampilkan gambaran tentang persamaan dan perbedaan dari berbagai kebudayaan di dalamnya melalui typology of culture (1975b;52). Ratusan kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia dan Malaysia beliau kelompokkan menjadi empat macam tipe kebudayaan yakni (1) kebudayaan-kebudayaan yang berdasarkan atas “shifting cultivation, yams, taro, and other root crops, (2) kebudayaan-kebudayaan pendalaman yang berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crops, (3) kebudayaan Pantai yang berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crop, dan (4) kebudayaan pedalaman berdasarkan atas “wet-rice agriculture (Ahmisa Putra, 1997: 34-35).

Ahimsa Putra (1997: 36) menyatakan bahwa para ahli antropologi yang menempuh prosedur klasifikasi tersebut juga menganut suatu pandangan bahwa tidak ada perbedaan yang esensial antara fenomena alam dan fenomena sosial-budaya, karena pengertian nature (alam) bukan hanya fisik saja tetapi mencakup juga gejala-gejala sosial-budaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis Ahimsa Putra yakni apakah anggapan-anggapan semacam itu cukup kuat dasarnya atau sah? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua dalil yakni (1) “man is part of the natural world juga dalam human world” yang selanjutnya berarti pula bahwa “individual and society phenomena can be understood by objective methods of study. Implikasinya gejala-gejala sosial budaya tetap dapat dipelajari dengan menggunakan metode-metode yang umum dipakai dalam ilmu-ilmu alam; (2) “all behavior is naturally determined”, Implikasinya bahwa “explanation of events shall be sought in natural causes or antecedents (Lastrucci, dalam Ahimsa Putra, 1997: 36).

Induktif dan Deduktif

Ahimsa Putra menyatakan proses berfikir ilmiah Professor Koentjaraningrat adalah proses yang induktif. Dalam proses ini, seorang ahli antropologi haruslah berangkat dari berbagai macam fakta sosial-budaya yang merupakan hasil observasi dan wawancara, dan kemudian mengklasifikasi fakta-fakta tersebut berdasarkan atas kesamaan sifat atau ciri-ciri di dalamnya dan baru kemudian melakukan suatu generalisasi. Proses berfikir secara induktif dan deduktif sebagai proses yang bersifat saling mengisi sebenarnya sangat disadari oleh Profesor Koentjaraningrat sehingga antropologi yang ingin dikembangkannya diusahakan untuk mencakup kedua-daunya. Namun demikian, karya-karya beliau lebih dominan proses berfikir secara induktif dalam antropologinya (Ahimsa Putra, 1997: 37-38).

Perbandingan, Generalisasi, dan Verifikasi

            Ahimsa Putra (1997: 39) menguraikan bahwa dalam Antrop-Koen, studi perbandingan sebenarnya ada dua macam, yakni: (a) yang ditujukan untuk dapat menghasilkan suatu sistem klasifikasi tertentu, dan (b) yang ditujukan untuk menguji kebenaran dari pengertian-pengertian yang telah diperoleh mengenai masyarakat dan kebudayaan. Studi perbandingan yang pertama bertujuan mencari kesamaan dan perbedaan, sedangkan studi kedua merupakan tahap dimana pemahaman yang telah diperoleh berusaha diuji dengan studi perbandingan yang melibatkan lebih banyak masyarakat dan kebudayaan. Profesor Koentjaringrat menurut Ahimsa Putra memang menekankan pentingnya melakukan verifikasi melalui studi perbandingan ini bilamana kita ingin mencapai generalisasi yang kokoh fondasi empirisnya.  Proses verifikasi itu sendiri menurut Ahimsa Putra sebenarnya ada dua macam, yakni yang berdasarkan atas (1) prediksi atau prakiraan yang tidak bersifat kebetulan, dan (2) yang berdasarkan atas consensus atau persetujuan antara para ilmuwan. Verifikasi yang cenderung digunakan oleh Profesor Koent menurut Ahimsa Putra adalah verifikasi yang pertama. Implikasinya menurut Ahimsa Putra bahwa Profesor Koentjaraningrat menganut epistemology stochastic yakni epistemology yang berhubungan soal probabilitas.

Menurut Ahimsa Putra (1997: 40) bahwa Profesor Koentjaraningrat menginginkan antropologi tidak hanya berhenti menjadi ilmu deskriptif, yang hanya menggambarkan hasil pengamatan para ahli antropologi saja, namun juga bisa meningkat menjadi ilmu yang dapat merumuskan hukum-hukum mengenai berbagai macam gejala sosial-budaya.  Untuk itu, antropologi perlu melakukan studi perbandingan yang meluas, yang world-wide, yang mencakup berbagai macam kebudayaan yang ada di muka bumi ini. Sebagaimana ilmu-ilmu yang telah berhasil merumuskan hukum-hukum tentang gejala alam sebagai modelnya. Profesor Koentjaraningrat mengakui bahwa prosedur yang ada dalam ilmu eksak yakni penyelidikan, observasi, dan pengujian suatu temuan yang dilakukan berulang kali, tidak hanya dapat tetapi juga perlu diterapkan dalam antropologi. Dengan demikian, pengadopsian metode-metode analisis kuantitatif yang ada dalam ilmu eksak, seperti misalnya analisis statistik dan matematik, merupakan langkah yang harus diambil (Ahimsa Putra, 1997: 41)

Antropologi Koentjaraningrat pada dasarnya adalah antropologi yang komparatif, dan ini memang merupakan salah satu ciri pokok antropologi di dunia pada umumnya, namun demikian, selain bermakna teoretis dan akademis, studi perbandingan atas berbagai kebudayaan di Indonesia dalam konteks Antrop-Koen juga mempunyai makna strategis dan praktis, yakni untuk memperlancar berbagai upaya membangun masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini terlihat dalam pandangan Profesir Koentjaraningrat mengenai manfaat antropologi bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam sebuah negara kesatuan (Ahimsa Putra, 1997: 43)

Fungsi dan Kebudayaan

Menurut Ahimsa Putra (1997: 44) dalam sudut pandang antropologi yang menekankan pada studi perbandingan melalui model-model tertentu mengenai masyarakat dan kebudayaan, Antrop-Koen adalah antropologi fungsionalitas. Ada tiga definisi fungsi yang dilontarkan oleh Spiro, dan menurut Profesor Koentjaraningrat dua diantaranya  diikuti oleh para ahli antropologi, yakni (1) fungsi “sebagai konsep yang menerangkan hubungan kovariabel antara satu hal dengan yang lain (kalua nilai dari satu hal X berubah, maka nilai dari suatu hal yang lain Y yang ditentukan oleh X tadi juga berubah,(2) fungsi “sebagai konsep yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang bulat (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah, menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme (Ahimsa Putra, 1997: 44)

Pandangan Profesor Koentjaraningrat yang menekankan pada pentingnya studi perbandingan antarkebudayaan juga mengandung model tentang kebudayaan sebagai suatu sistem yang fungsional; yang memiliki berbagai unsur yang saling berkaitan satu sama lain, terintegrasi, dan merupakan sutau satuan yang berfungsi, yang hidup. Pemahaman mengenai fungsi unsur kebudayaan ini dalam kehidupan suatu masyarakat sangat penting artinya bagi seorang peneliti, sebab hal itu akan sangat membantunya dalam melakukan studi perbandingan yang terkendali (Ahimsa Putra, 1997: 46)

B. Teori/Pandangan yang Muncul

Antropologi Koentjaraningrat: Positivistis?

            Pada akhir tulisan, Ahimsa Putra (1997:  46-47) menguraikan kembali terkait analisis atas berbagai karya tulis Koentjaraningrat yang membawa pada anggapan-anggapan dasar yang ada dalam Antrop-Koen, antara lain:

a.     Kebudayaan merupakan sesuatu yang terdiri dari berbagai unsur yang terkait secara fungsional satu sama lain, sehingga suatu kebudayaan juga merupakan sebuah sistem yang unsur-unsurnya relatif terintegrasi satu dengan yang lain. Perubahan salah satu unsur di sini akan membawa perubahan pada unsur-unsur yang lain, dan akhirnya pada seluruh sistem

b.     Gejala sosial-budaya merupakan bagian dari tatanan alami (natural order) sehingga jika fenomena alam tunduk pada hukum-hukum tertentu, maka tentunya ada juga fenomena sosial-budaya yang tunduk pada hukum-hukum semacam itu. Tugas para ilmuwan sosial adalah menemukan dan merumuskan hukum-hukum tersebut.

c.     Ilmu sosial-budaya seyogyanya tidak berhenti menjadi ilmu yang deskriptif, tetapi juga menjadi sebuah disiplin yang mampu merumuskan generalisasi-generalisasi yang meyakinkan mengenai gejala sosial-budaya, yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

d.     Untuk mencapai tujuan tersebut prosedur penelitian yang telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam, yang terbukti telah mampu merumuskan hukum-hukum yang ada di balik gejala alam, dapat atau perlu digunakan dalam mempelajari gejala sosial-budaya. Melalui strategi ini diharapkan akan dapat ditemukan juga hukum-hukum yang bekerja di balik gejala sosial-budaya tersebut.

e.     Antropologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kebudayaan, harus dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang mendekati “hukum” atau merumuskan dalil-dalil mengenai relasi-relasi yang mantap antar berbagai unsur kebudayaan atau relasi-relasi antara gejala sosial-budaya satu dengan yang lain. Ini dapat dicapai bilamana prosedur-prosedur ilmiah seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu eksak diikuti dengan seksama, mulai dari proses pengamatan, pendeskripsian, klasifikasi, generalisasi, hingga verifikasi.

Anggapan-anggapan ini menurut pandangan Ahimsa Putra (1997:47) semakin memperjelas bahwa Antrop-Koen memang merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis. Ciri-ciri penting dari epistemologi semacam ini adalah adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial-budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial-budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil, mengenai gejala sosial-budaya, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam illmu-ilmu sosial budaya.

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

            Ulasan Ahimsa Putra dalam tulisan yang berjudul “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologi” semakin menunjukkan ketajaman analisis Ahimsa Putra terhadap landasan filosofis Antrop-Koen. Hal tersebut karena kelebihan dari Ahimsa Putra terkait dengan repertoa yang dimiliki Ahimsa Putra mengenai pemanfaatan tulisan-tulisan para ahli antropologi yang pandangannya diikuti oleh Profesor Koentjaraningrat. Tulisan-tulisan sebelumnya ini diistilahkan oleh Ahimsa Putra melalui “pintu belakang”, yang mengindikasikan pada kelebihan repertoa atau Gudang pengetahuan yang dimiliki Ahimsa Putra. Ahimsa Putra sebagai professor Antropologi UGM tentu memiliki keahlian dan pengetahuan yang sangat mendalam terkait dengan antropologi Koentjaraningrat. Apalagi Ahimsa Putra pernah menjadi mahasiswa dari Profesor Koentjaraningrat, sehingga sangatlah wajar ketika pengetahuan Ahimsa Putra begitu mendalam dalam menafsirkan antropologi Koentjaraningrat.

            Tulisan Ahimsa Putra ini, sangat sistematis, ilmiah, lugas, dan jelas, sehingga sebagai pembaca dapat memahami alur dan maksud dari penafsiran Ahimsa Putra terhadap epistemologi antropologi Koentjaraningrat. Ahimsa Putra tidak serta merta langsung menyimpulkan bahwa Anrop-Koen merupakan antropologi dengan epistemologi yang postivistis, namun beliau melakukan berbagai pengetahuan dengan menelusuri tulisan-tulisan sebelumnya, menggunakan asumsi-asumsi dasar. Ahimsa Putra begitu lihai dalam menguraikan Riwayat hidup Koentjaraningrat bahkan dinilai oleh himsa Putra bahwa Koentjaraningrat sangat layak sebagai Bapak Antropologi Indonesia karena kontribusi yang sangat besar oleh Koen terhadap pengembangan antropologi di Indonesia.

Selain itu, Ahimsa Putra dalam menafsirkan antropologi Koentjaraningrat menggunakan kerangka konseptual dengan pandangan kaum postivis. Cara berpikir Ahimsa Putra sangat sistematis melalui tahapan metode pngumpulan fakta dengan mengacu pada Profesor Koentjaraningrat yang dapat dicapai melalui tiga tingkat yakni (1) pengumpulan fakta, (2) penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi, dan sistem serta (3) verifikasi. Oleh karena itu, tulisan Ahimsa Putra bagi saya dapat membuka cakrawala harapan saya dalam memahami epistemologi antropologi Koentjaraningrat, sehingga berdampak pada analisis saya nanti pada keilmuan saya terhadap epistemologi sastra yang semakin berkembang.

2. Kritik-Kekurangan                                            

            Kekurangan yang dapat dilihat dari tulisan ini sebenarnya sangat sulit diuraikan karena memang sudah sangat tepat dalam memberikan penjelasan terkait dengan penafsiran Ahimsa Putra terhadap epistemologi Koentjaraningrat. Namun, perlu kiranya dalam memberikan penilaian dari sudut pandang yang berbeda baik kelebihan maupun kekurangan.

Dalam tulisan Ahimsa Putra berjudul “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologi”  masih terdapat beberapa pandangan yang kurang jelas terutama pada pandangan terhadap dua metode yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Penjelasan Ahimsa Putra terkait kedua metode ini seakan mengarahkan pada posisi kedua metode tersebut, antara mana yang lebih tinggi sehingga seakan mempertentangkan kedua metode tersebut. Sementara penjelasan Ahimsa Putra dengan mengutip pendapat Profesor Koentjaraningrat bahwa kedua metode tersebut tidak berlawanan tetapi saling mengisi. Di dalam tulisan ini, seakan metode kuantitatif yang lebih tinggi dibanding kualitatif, serta metode kuantitatif yang lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat diterima sebagai generalisasi yang dapat dipercaya atau obyektif atau tidak. Di sini kedudukan metode kualitatif hanya sebagai penambahan atau persiapan yang justru semakin mengaburkan makna dari metode kualitatif dalam penelitian sosial budaya. Kemungkinan metode kuantitatif ini mengikuti pandangan positivisme sehingga lebih ke arah eksak, namun hal tersebut dalam tulisan ini, masih perlu dijelaskan secara detail bagaimana metode penelitian kuantitatif bekerja dalam menganalisis gejala sosial-budaya.

Selain itu,  tulisan ini juga menguraikan terkait dengan pandangan Kolakowski terkait dengan positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia yang juga memiliki empat aturan postivisme yang menentukan apa yang dimaksud dengan pengetahuan. Namun, dalam uraian selanjutnya tiba-tiba pemikiran Kolakowski dianggap sangat sulit dalam menerapkan pemikirian Antrop-Koen, sehingga mengalihkan pada pemikiran yang dianggap lebih kongkret  yakni pandangan Giddens mengenai positivisme. Uraian ini menjadi rancu bagi saya, karena paparan Kolakowski tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengapa hal tersebut terasa sulit diterapkan dalam Antrop-Koen, dari segi konsepnya, metodenya, atau hasilnya, sehingga dengan penjelasan tersebut justru akan membantu pembaca untuk memasuki pandangan Giddens yang terasa lebih tepat. Apakah tidak memungkinkan kedua pandangan ini digunakan sekaligus dalam memahami Antro-Koen agar lebih menguatkan dalam memahami epsitemologi Koen sebagai antropologi dengan epistemologi yang postivistis?

Kekurangan lainnya bagi saya terdapat pada penjelasan Ahimsa Putra mengenai tugas para ilmuwan sosial adalah menemukan dan merumuskan hukum-hukum tersebut. Ilmu sosial budaya seyogyanya tidak berhenti menjadi ilmu yang deskriptif, tetapi juga menjadi sebuah disiplin yang mampu merumuskan generalisasi-generalisasi yang meyakinkan mengenai gejala sosial-budaya, yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penjelasan ini kiranya perlu dijabarkan secara detail yang akan membawa pemahaman pembaca dalam mengetahui hakikat dari postivistis itu sendiri. Hukum-hukum serta generalisasi seperti apa yang tercermin dalam Antro-Koen sehingga semakin memperkuat bahwa Antro-Koen itu disebut sebagai epistemology postivistis. Meskipun ada penjabaran, namun akan lebih dimengerti apabila ada contoh kongkret terkait hukum-hukum tersebut sebagai gejala sosial budaya.

Justru dalam uraian selanjutnya dalam pandangan Ahimsa Putra telah masuk pada perbandingan ilmu sosial dengan ilmu alam, yang mana ilmu alam terbukti telah mampu merumuskan hukum-hukum yang ada di balik gejala alam. Sebagai saran agar lebih memudahkan kiranya disertai dengan contoh kongkret gejala alam sebagai sampel saja agar dapat dibandingkan dengan mempelajari gejala sosial budaya sehingga membantu memudahkan pembaca dalam merumuskan hukum-hukum yang ada dalam gejala ilmu sosial.

Dan diakhiri dengan antropologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kebudayaan, harus dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang mendekati hukum atau merumuskan dali-dalil. Pertanyaan yang mendasari untuk lebih dkongkretkan dalam tulisan selanjutnya seperti apa nanti rumusan hukum dan dalil-dalil dapat dicapai dengan mengikuti prosedur ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu eksak?

Akhirnya sebagai mahasiswa, perlu menyadari kekurangan pada kelilmuan filsafat sehingga bisa jadi berbagai kelemahan yang saya uraikan ini karena horison harapan yang saya miliki masih terbatas, sehingga perlu banyak membaca dan berdiskusi. Oleh karena itu, saya bersyukur dapat bertemu dengan Profesor Ahimsa Putra melalui perkuliahan dan membaca serta mereview beberapa artikel beliau sehingga membantu saya dapat memahami berbagai paradigma yang sebelumnya masih terasa kabur dalam pemikiran saya.

 

 

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. 1997. "Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis" dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, E.K.M. Masinambow (ed). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.  

 

 

 

A. Ringkasan

            Ahimsa-Putra melalui tulisannya dalam buku berjudul Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra memperkenalkan secara singkat dasar-dasar paradigma struktural dari Lévi-Strauss dan menunjukkan cara analisis yang dilakukannya atas mitos-mitos, serta bagaimana cara tersebut dapat diterapkan dan memungkinkan kita memberikan tafsir baru atas mitos dan karya sastra tertentu.  Sebagai pendahuluan dalam buku ini, Ahimsa Putra mengawali dengan pengenalan Riwayat hidup dan karir Lévi-Strauss. Ahimsa Putra menjelaskan bahwa dalam dunia akademik sosok Claude  Lévi-Strauss memang lebih dikenal sebagai ahli antropologi daripada ahli filsafat atau ahli yang lain. Meskipun demikian, pemikiran-pemikirannya sebenarnya telah mampu menembus batas-batas dinding disiplin antropologi. Ahimsa Putra menegaskan hingga kini beberapa karya tulis Lévi-Strauss yang terbit setelah tetraloginya, yang tetap memperlihatkan jejak struktural yang jelas, antara lain adalah The Way of the Mask, Myth and Meaning, The View from Afar, Anthropology and Myth, The Jealous Potter, dan The Story of Lynx. Melihat karya-karya tulis ini, sulit untuk menyangsikan bahwa Lévi-Strauss adalah seorang tokoh strukturalisme sejati, yang begitu yakin akan kelebihan perspektif tersebut atas perspektif-perspektif yang lain, ketika digunakan untuk memahami berbagai kebudayaan sukubangsa di dunia yang begitu bervariasi (Ahimsa-Putra, 2006: 19).

Lévi-Strauss, Bahasa dan Kebudayaan

            Bagian ini Ahimsa Putra (2006:24-25) menguraikan beberapa pandangan terkait dengan  pertanyaan yang muncul bahwa Lévi-Straus banyak menggunakan model dari linguistik. Secara garis besar kita dapat membedakan tiga macam pandangan di kalangan para ahli antropologi, termasuk Lévi-Strauss, mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Pertama adalah bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Pandangan kedua mengatakan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Pandangan ketiga berpendapat bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, dan ini dapat berarti dua hal. Pertama bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti diakronis, artinya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, melalui bahasalah manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Melalui bahasa pulalah manusia memperoleh kebudayaannya.

            Dari ketiga pandangan tersebut Lévi-Strauss memilih pandangan yang terakhir. Menurut Lévi-Strauss Sebagian para ahli bahasa dan ahli antropologi selama ini memandang fenomena bahasa dan kebudayaan dari perspektif yang kurang tepat, karena mereka menganggap ada hubungan kausalitas antar dua fenomena tersebut. Perspektif yang lebih tepat menurutnya adalah memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya mirip atau sama. Aktivitas ini berasal dari apa yang disebutnya sebagai “tamu tak diundang” (uninvited guest) yakni nalar manusia (human mind). Jadi, adanya semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan bukanlah karena adanya semacam kausal (sebab-akibat) antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia (Ahimsa Putra, 2006:25-26).

            Lévi-Strauss memandang fenomena sosial-budaya, seperti misalnya pakaian, menu makanan, mitos, ritual, dan sebagainya seperti gejala kebahasaan, yaitu ‘kalimat’ atau ‘teks’. Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganggap teks naratif, seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip denghan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna  (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekpresikan keadaan pemikiran seorang pengarang, seperti halnya sebuah kalimat memperlihatkan atau mengejawantahkan pemikiran seorang pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa dia diartikulasikan dari bagian-bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut.           

Ahimsa-Putra (2006:32) mengutip pendapat Pettit menjelaskan bahwa strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganut pandangan bahwa sebuah ceritera (naratif), seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan hasil dari suatu proses artikulasi yang seperti itu. Lebih lanjut pandangan seperti di atas didasarkan atas dua dalil, yakni pertama bahwa makna sebuah teks tergantung pada makna dari bagian-bagiannya. Kedua, makna dari setiap bagian atau peristiwa dalam sebuah teks ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak masuk akal. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, sebuah teks kemudian dapat diperlakukan sebagaimana halnya seorang ahli bahasa memperlakukan kalimat, dan dalam hal ini akan muncul dua pilihan bagi seorang peneliti kebudayaan, yakni (a) “to take an informal differential semantics”, mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya  dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu, atau (b) sistematis dalam pendekatannya dan “to look for something like Chomsky grammar or Jakobson’s phonology”, mecoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson. Dari dua pilihan ini, Lévi-Strauss memiliki yang kedua.

Lévi-Strauss dan Linguistik Struktural

            Ahimsa-Putra (2006:33) menguraikan bahwa Lévi-Strauss sangat tertarik dan menyetujui strategi analisis para ahli linguistik struktural, dan ketertarikan ini lahir dari perkenalannya dengan ide-ide mereka tentang hakekat bahasa. Ahli-ahli linguistik struktural yang pemikiran-pemikirannya kemudian sangat berpengaruh pada Lévi-Strauss antara lain Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Troubetzkoy.

Ferdinand de Saussure dan Bahasa

Menurut de Saussure, linguistik adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa (yang dalam bahasa Prancis disebut langue), bukan mempelajari ujaran atau tuturan (parole). Bahasa dianggap tepat menjadi objek kajian linguistik karena sifatnya relatif stabil, sedang tuturan selalu berubah dan berbeda, tergantung pada orangnya. Walaupun demikian, dalam waktu yang relatif lama suatu bahasa juga akan mengalami perubahan. Oleh karena itu, de Saussure kemudian membatasi lagi obyek kajian linguistik, yakni bahasa yang diperlakukan secara sinkronis dan diakronis (Ahimsa-Putra, 2006: 45-46).

Ahimsa-Putra (2006: 51) menjelaskan pandangan de Saussure bahwa bahasa yang dilihat secara sinkronis pada dasarnya adalah sebuah sistem untuk membedakan kata-kata. Bahasa membedakan kata-kata tersebut dengan menempatkan mereka dalam relasi-relasi paradigmatik dan sintagmatis. Di situ setiap kata dipisahkan dari kata-kata yang lain dan mendapatkan identitas masing-masing. Kemudian, sebagai rangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditanggapi dengan cara seperti di atas. Analisis antropologi secara struktural paling tidak perlu mengikuti alur analisis sintagmatis-paradigmatis. Dengan metode analisis semacam ini, makna-makna yang dapat ditampilkan dari fenomena budaya akan lebih utuh. Analisis antropologis atas berbagai peristiwa budaya kemudian tidak hanya akan diarahkan pada upaya mengungkapkan makna-makna simbolisnya saja, tetapi lebih dari itu adalah juga untuk mengungkapkan “tatabahasa” yang ada di balik proses munculnya fenomena itu sendiri, atau “hukum-hukum” yang mengatur proses perwujudan berbagai macam fenomena semiotik dan simbolis yang bersifat tidak disadari.

Menurut Ahimsa-Putra (2006:51-52) pandangan de Saussure tentang perbedaan-perbedaan antara bahasa (langue) dan ujaran (parole), sinkronis dan diakronis, tinanda (signified) dan penanda (signifier), wadah (form) dan isi (matter), sintagmatik dan paradigmatik, serta sifat bahasa sebagai sistem pembeda yang bersifat nirsadar (unconscious) di atas, ketiika menyatu dengan pendekatan struktural dari Roman Jakobson kemudian sangat banyak mengilhami cara analisis Lévi-Strauss atas berbagai fenomena budaya. Pandangan-pandangan tersebut kemudian juga menjadi landasan yang kokoh bagi antropologi struktural yang dikembangkannya.

Roman Jakobson dan Fonem

            Ahimsa-Putra (2006: 52-53) menjelaskan bahwa kalau de Saussure lebih banyak mempengaruhi pandangan Lévi-Strauss tentang hakekat atau ciri-ciri fenomena budaya, maka Jakobson dengan linguistik strukturalnya telah memberikan pelajaran pada Lévi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan (order) yang ada ‘di balik’ fenomena budaya yang begitu variatif serta mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya. Adanya dua aliran pemikiran yakni pemikiran evolusi yang dikemukakan oleh J.J. Bachofen dan L.H. Morgan dan pemikiran fungsionalisme yang dipelopori oleh Malinowski ini membuat kajian-kajian antropologi mengenai sistem kekerabatan lebih banyak memperhatikan soal asal-usul dan fungsi atau tujuan dari adanya variasi dalam sistem kekerabatan. Dengan kerangka teori yang seperti itu, kata Lévi-Strauss, para ahli antropologi menghadapi kesulitan yang cukup besar untuk memahami begitu banyak variasi. Di mata Lévi-Strauss mereka gagal memberikan penjelasan yang memuaskan atas fenomena tersebut. Di sinilah pandangan Jakobson tentang fonem telah membantu Lévi-Strauss membuka cakrawala baru untuk menganalisis dan memahami sistem kekerabatan dan perkawinan.

            Lebih lanjut Ahimsa Putra (2006: 54) menjelaskan bahwa unsur bahasa yang paling dasar kemudian adalah bunyi,sehingga tempat ‘kata’ kini digantikan oleh fonem (phoneme), yang dapat didefinisikan sebagai “satuan bunyi yang terkecil dan berbeda, yang tidak dapat bervariasi tanpa mengubah kata di mana fonem itu sendiri tidak bermakna. Di sini variasi fonemis dianggap sebagai suatu hal yang penting.  

Pandangan penting Jakobson perihal fonem adalah langkah-langkah analisis struktural atas fonem itu sendiri. Hal ini diuraikan oleh Ahimsa-Putra (2006: 55) dengan mengutip pandangan Pettit bahwa langkah-langkah analisis struktural atas fonem yang dilakukan oleh Jakobson antara lain adalah: (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain; (b) memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain; (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana –dengan distinctive features yang mana –yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya; (d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatik, yakni perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan.

Menurut Ahimsa-Putra (2006: 55), Jakobson yakin bahwa fungsi utama suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Misal /c/ dan /j/ dalam pancang dan panjang. Suatu fonem kata Jakobson dapat ditentukan dengan menempatkan ciri-ciri pembeda tersebut dalam suatu daftar dan menaruh tanda plus (+) dan (-) pada setiap ciri untuk fonem-fonem tersebut. Kalau ciri tersebut tidak relevan diberi tanda nol (0). Dengan begitu, beraneka ragam fonem dalam berbagai bahasa di dunia dapat ditentukan berdasarkan atas rangkaian dari tanda-tanda plus, minus dan nol ini.

Ahimsa-Putra (2006:57) menarik kesimpulan bahwa suatu fonem dapat didefinisikan sebagai hasil kombinasi dari sejumlah oposisi-oposisi berpasangan. Dengan analisis fonologis seperti itu terlihat bahwa fonem sebenarnya tidak memiliki isi. Fonem terbentuk karena adanya relasi-relasi, dan relasi-relasi ini muncul karena adanya oposisi. Jadi isi di sini tidaklah ada, yang ada hanyalah relasi. Inilah salah satu prinsip penting dalam linguistik struktural yang kemudian mengilhami cara analisis Lévi-Strauss atas berbagai macam fenomena budaya.

Ahimsa Putra (2006:58) menjelaskan bahwa sebuah fonem memperoleh maknanya dari posisinya dalam sebuah sistem fonem. Pendapat semacam ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Saussure  sebelumnya mengenai tanda. Bedanya adalah pengertian ‘tanda’ dalam teori de Saussure adalah ‘kata’, sedang ‘tanda’ dalam teori Jakobson adalah fonem.  Perbedaan ini berimplikasi sangat jauh terhadap pandangan mengenai hakekat dari tanda (sign). Dalam konsepsi  de Saussure, karena ‘tanda’ tersebut adalah kata, maka dia dapat dipandang sebagai mempunyai dua sisi, sisi penanda (signifier) dan sisi tinanda (signified). Pada konsepsi Jakobson hal semacam ini tidak dimungkinkan karena ‘tanda’ di situ adalah fonem. Oleh karena itu, tanda dalam konsepsi Jakobson adalah tanda yang tanpa isi; tanda adalah sesuatu yang terbangun dari relasi-relasi, yang terbangun dari kombinasi relasi-relasi

Nikolay Troubetzkoy dan Analisis Struktural

            Troubetzjoy berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah belajar linguistik. Oleh karena itu, keberadaan fonem dalam bahasa bersifat tidak disadari sehingga harus berada pada tataran nirsadar. Menurut Troubetzkoy seyogyanya ahli-ahli fonologi  mengarahkan perhatian pada fenomena fonem sebagai konsep linguistik. Strategi analisis dalam fonologi haruslah struktural, karena relasi-relasi antar ciri-ciri pembeda dalam fonemlah yang menjadi pusat perhatian (Ahimsa-Putra, 2006:58-59)

Pandangan-pandangan ini mempunyai implikasi yang luas terhadap strategi kajian fenomena kebahasaan, yang kemudian dirumuskan dengan lebih eksplisit oleh Troubetzkoy di tahun 1933 dan kemudian sangat banyak mempengaruhi Lévi-Strauss. Di antaranya sebagaimana yang telah dikutip Lévi-Strauss, Troubetzkoy mengatakan bahwa analisis struktural dalam fonologi perlu;  (1) beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar; (2) memperhatikan relasi-relasi antaristilah atau antarfonem tersebut, dan menjadikannya sebagai dasar analisisnya. Selanjutnya, dia perlu (3) memperlihatkan sistem-sistem fonemis, dan menampilkan struktur dari sistem tersebut. Kemudian, ahli-ahli linguistik juga (4) harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan yang mereka teliti (Ahimsa-Putra, 2006: 59).

Makna, Struktur dan Transformasi

Lévi-Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Dalam analisis struktural, struktur ini dapat dibedakan menjadi dua macam: struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Kemudian, transformasi adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi (Ahimsa-Putra, 2006: 61).

Dalam perspektif struktural, kebudayaan pada dasarnya adalah rangkaian transformasi dari struktur-struktur tertentu yang ada di baliknya, seperti halnya struktur pada not balok, yang dapat dialihkan ke gerak-gerik jari tangan di atas piano, dan dapat beralih ke nada-nada yang indah, dan kemudian dapat beralih lagi ke pita dank e nada suara lagi. Di sini seolah telah terjadi ‘penerjemahan’ dari sistem kode tulis musik ke sistem kode gerak tangan, ke sistem kode nada, dan akhirnya ke sistem kode suara. Analisis struktural pada dasarnya dapat diterapkan pada setiap gejala budaya ataupun pada unsur-unsurnya yang lebih kecil. Tujuan penelitian di situ kemudian tidak lain adalah menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu pula analisis struktural tidak berbicara tentang proses perubahan, tetapi pada soal keberadaan struktur (Ahimsa-Putra, 2006: 64-65)

Beberapa Asumsi Dasar

Sebagai suatu aliran pemikiran baru dalam antropologi, strukturalisme memiliki sejumlah asumsi dasar yang berbeda dengan aliran pemikiran lain dalam antropologi. Oleh karena itu memahami strukturalisme Lévi-Strauss berarti harus memahami asumsi-asumsi dasar yag ada dalam aliran ini.  Adapun asumsi dasar tersebut diuraikan Ahimsa Putra (2006: 66) dengan mengutip pandangan Lane yaitu; pertama, berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya, dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa. Kedua, masih mengutip Lane, Ahimsa-Putra (2006: 67) menjelaskan para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia yang terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-sehingga kemampuan ini pada semua manusia yang ‘normal’, yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Ketiga, mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut (Ahimsa-Putra, 2006: 68). Keempat, relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) (Ahimsa-Putra, 2006: 69).

Lévi-Strauss dan Mitos

Mitos dan Nalar Manusia

Ahimsa-Putra (2006: 77) menegaskan bahwa pengertian mitos dalam strukturalisme Lévi-Strauss tidaklah sama dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam kajian mitologi. Mitos dalam pandangan Lévi-Strauss tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep ini terasa semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Oleh karena itu, mitos dalam konteks strukturalisme Lévi-Strauss tidak lain adalah dongeng.

Dongeng merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil imajinsasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Setiap dongeng adalah produk imajinasi manusia, produk nalar manusia, maka kemiripan-kemiripan yang terdapat pada berbagai macam dongeng itu tentunya merupakan hasil dari mekanisme yang ada dalam nalar manusia itu sendiri. Kalau begitu, maka dongeng merupakan fenomena budaya yang paling tepat untuk diteliti bilamana kita ingin mengetahui kekangan-kekangan yang ada dalam gerak atau dinamika nalar manusia (Ahimsa-Putra, 2006: 77-78).

 

Mitos dan Bahasa

Ahimsa-Putra (2006: 80) menjelaskan bahwa Lévi-Strauss menganalisis ratusan mitos yang tersebar di berbagai tempat terutama di Benua Amerika, dengan menggunakan mode-model dari linguistik. Pemilihan model ini didasarkan pada persamaan-persamaan yang tampak menurut pandangan Lévi-Strauss tentu saja antara mitos dan bahasa. Persamaan yang dilihat oleh Lévi-Strauss adalah pertama, bahasa adalah sebuah media, alat atau sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari satu individu ke individu yang lain, dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Mitos pun demikian, disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Kedua, mengikuti pandangan de Saussure tentang bahasa yang memiliki aspek langue dan parole, Lévi-Strauss juga melihat mitos sebagai fenomena yang memiliki dua aspek tersebut.

Selain itu, Lévi-Strauss juga melihat adanya persamaan antara mitos dan bahasa pada sisi yang lain lagi. Dalam mitos kita menemukan sebuah kontradiksi yang menarik. Banyak peristiwa dalam mitos yang tidak mungkin dan tidak akan kita percayai  terjadinya dalam kenyataan sehari-hari. Namun, segala sesuatu memang mungkin terjadi dalam mitos; mulai dari yang masuk akal, setengah masuk akal, sampai hal yang tidak masuk akal sama sekali, semua bisa kita dapati dalam mitos. Dalam mitos tidak ada yang tidak mungkin. Jika mitos adalah gejala seperti bahasa juga, maka untuk dapat menjelaskan berbagai persamaan yang ada di antara mitos-mitos dari berbagai tempat di dunia kita perlu melakukan kajian pada tingkatan lain lagi, sebagaimana halnya para ahli bahasa memindahkan tingkat atau tataran analisis mereka ketika berusaha menjelaskan kesamaan-kesamaan antar fonem-fonem dari berbagai bahasa di dunia (Ahimsa-Putra, 2006: 82-84)

Selain persamaan-persamaan, di antara mitos dan bahasa terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut terdapat pada mitos mempunyai ciri khas dalam hal isi dan susunanya, sehingga walaupun mitos ini diterjemahkan dengan jelek ke dalam bahasa lain, dia tidak akan kehilangan sifat-sifat atau ciri-ciri mitisnya (mythical characteristics). Dengan mengemukakakan persamaan dan perbedaan antara mitos dengan bahasa tersebut, Lévi-Strauss merasa bahwa dia telah membangun landasan yang cukup kuat untuk menganalisis mitos lewat kacamata struktural.  Dalam kacamata struktural, kita harus memahami bahwa unit-unit terkecil mitos, yaitu miteme, adalah kalimat-kalimat atau kata-kata yang menunjukkan relasi tertentu atau mempunyai makna tertentu. Menurutnya, sebuah miteme dapat ditanggapi sebagai simbol dan tanda sekaligus. Simbol dan tanda tersebut perlu diperhatikan betul-betul dalam menganalisis secara struktural karena dengan cara itu, memungkinkan kita melakukan analisis yang ‘obyektif’ atas mitos, sebagaimana para linguis yang berhasil ‘obyektif’ juga mencapai unit yang terkecil dari bahasa, yaitu tanda dan fonem (Ahimsa-Putra, 2006: 85-87).

Mitos dan Musik

Selain dengan bahasa, Lévi-Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik. Persamaan ini terletak pada cara kerjanya. Oleh karena itu, untuk memahaminya, mitos perlu dipelajari dari dua perspektif ini, yakni perspektif bahasa tutur dan bahasa musik. Baik mitos maupun musik bekerja (operate) melalui penyesuaian dua jenis kisi (grid): kisi internal dan kisi eksternal. Perbedaannya adalah bahwa pada musik kisi-kisi tidak sederhana ini menjadi bertambah rumit dan hampir mencapai reduplikasi. Selanjutnya Lévi-Strauss berpendapat bahwa mitos dan musik pada dasarnya adalah bahasa. Seperti halnya musik, mitos bekerja di atas sebuah kontinum (continuum) dengan dua aspek. Satu aspek bersifat eksternal dan yang lain bersifat internal. Aspek eksternal kontinum tersebut berupa berbagai peristiwa bersejarah atau dianggap bersejarah, yang membentuk suatu kontinum yang tak terbatas. Aspek kedua atau aspek internal dari kontinum di atas lebih kompleks lagi unsur-unsurnya. Dia meliputi antara lain periodisitas dari gelombang-gelombang yang ada di otak manusia, irama-irama organisme tubuh manusia, kekuatan ingatan, serta kekuatan perhatian orang yang mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2006: 88-90).

Analisis Struktural Mitos: Metode dan Prosedur

Ahimsa-Putra (2006: 93) menjelaskan bahwa Lévi-Strauss menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut. Pertama, bahwa jika memang mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi pada cara unsur-unsur tersebut dikombinasikan dengan yang lain. Kedua, walaupun mitos termasuk dalam kategori ‘bahasa’, namun mitos ini bukanlah sekadar bahasa, Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa. Ketiga, ciri-ciri ini dapat kita temukan bukan pada tingkat bahasa itu sendiri, tetapi di atasnya yang lebih kompleks, lebih rumit, daripada ciri-ciri bahasa ataupu ciri-ciri yang ada pada wujud kebahasaan.

Jadi, mitos di mata Lévi-Strauss adalah suatu gejala kebahasaan yang berbeda dengan gejala kebahasaan yang dipelajari oleh ahli linguistik. Mitos sebagai ‘bahasa’ dengan demikian memiliki ‘tatabahasanya’ sendiri, dan Lévi-Strauss tampaknya berupaya untuk mengungkapkan tatabahasa ini dengan menganalisis unsur terkecil dari bahasa mitos, yakni mytheme (Ahimsa-Putra, 2006: 94).

a. Mencari Miteme (Mytheme)

Miteme menurut Lévi-Strauss adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis (mythical discourse), yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat kosokbali (oppositional), relatif, dan negatif. Oleh karena itu dalam menganalisis suatu mitos atau ceritera, makna dari kata yang ada dalam ceritera harus dipisahkan dengan makna miteme, yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam ceritera tersebut. Menurut Lévi-Strauss, suatu ceritera tidak pernah memberikan makna tertentu yang sudah pasti dan mapan pada pendengarnya. Sebuah dongeng sebenarnya hanya memberikan pada pendengarnya sebuah grid (isi). Kisi ini hanya dapat ditentukan dengan melihat pada aturan-aturan yang mendasari konstruksinya. Bagi warga masyarakat pendukung mitos tersebut kisi ini, kata Lévi-Strauss tidak memberikan atau menunjukkan makna mitos itu sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain lagi, yaitu pandangan-pandangan mengenai dunia, masyarakat dan sejarahnya, yang sedikit banyak diketahui oleh warga pemilik mitos tersebut (Ahimsa-Putra, 2006: 94-95).

 

 

b. Menyusun Miteme (Mytheme) secara Sintagmatis dan Paradigmatis

Setelah menemukan berbagai miteme, langkah selanjutnya adalah menuliskan pada sebuah kartu index yang masing-masing telah diberi nomor sesuai dengan urutannya dalam cerita. Setiap kartu ini akhirnya akan memperlihatkan pada kita suatu subyek yang melakukan fungsi tertentu, dan inilah yang disebut ‘relasi’. Berikut adalah susunan miteme secara paradigmatis dan sintagmatis:

 

            1          2                      4          5                                  8

                        2          3          4                      6          7

            1                      3          4          5                      7          8

            1          2                                  5          6          7

                                    3          4          5          6                      8

                                                                                                            (Ahimsa-Putra, 2006: 95)

 

Tabel ini menyiratkan bahwa untuk dapat memahami mitos yang kita analisis kita harus membaca teks baru yang muncul di hadapan kita dari kiri ke kanan, dan dari atas ke bawah kolom demi kolom, seperti halnya kalau kita membaca partitur musik orkestra. Sebagaimana pendapat Lévi-Strauss bahwa seperangkat mitos pada dasarnya membentuk semacam partitur orkestra (Ahimsa-Putra, 2006: 96).

Lévi-Strauss dan Kisah di Asdiwal

Ahimsa-Putra (2006: 115-116) menjelaskan analisis struktural Lévi-Strauss pada kisah si Asdiwal dengan beberapa langkah. Langkah pertama, Lévi-Strauss melihat bahwa dalam dongeng Si Asdiwal tersebut terdapat beberapa tataran (order) fakta, yaitu: (1) peta fisik dan politik negeri Tsimshian (geografis), (2) kehidupan ekonomi atau matapencaharian orang-orang Tsimshian (techno-economic), (3) organisasi-organisasi sosial dan keluarga (sosiologis), (4) kosmologi orang Tsimshian (kosmologis).

            Langkah kedua: menyusun oposisi-oposisi. Dalam dongeng tersebut terdapat oposisi-oposisi berpasangan sebagai berikut.

            ibu                   -           anak perempuan

            tua                   -           muda

            hilir                  -           hulu

            barat                -           timur

            selatan            -           utara

Oposisi-oposisi selanjutnya yaitu:

            rendah             -           tinggi

bumi                -           langit

pria                  -           wanita

endogami        -           eksogami

Oposisi-oposisi yang lain yaitu:

            berburu di gunung                               -           berburu di laut

            darat                                                    -           air  

 

                                                                                                   (Ahimsa-Putra, 2006: 121-122)

 

Langkah ketiga: menyusun skema-skema. Lévi-Strauss membedakan terlebih dahulu beberapa tataran skema, yaitu skema geografis (geographic schema), skema kosmologis (cosmological schema), skema integrasi (integration schema), skema sosiologis (sociological schema), skema tekno-ekonomik (techno-economic schema), dan skema intregasi global (global integration) (Ahimsa-Putra, 2006: 124).

Skema pertama, skema geografis, terlihat dalam perjalanan Asdiwal dari Timur ke Barat, kemudian kembali lagi ke Timur, setelah bergerak terlebih dahulu ke Utara dan ke Selatan , sesuai dengan pergerakan musiman orang-orang Indian Tsimshian. Lévi-Strauss menggambarkan skema geografis demikian.

 

Skema geografis:

Utara

Timur                                       Barat                                       Timur

                                                                                                Selatan (Ahimsa-Putra, 2006, 124)

 

            Skema kedua, skema kosmologis, tampak pada kunjungan-kunjungan makhluk dunia ghaib maupun perjalanan-perjalanan Asdiwal ke dunia gaib, dunia makhluk bukan manusia, yang memperlihatkan dengan jelas kategori-kategori oposisional atas dan bawah. Di situ ada kunjungan tokoh Hatsenas, yang merupakan burng pertanda baik, kepada seorang janda muda. Hatsenas merupakan makhluk dari dunia atas, dari langit (atmospheric heavens). Kemudian ada kunjungan Asdiwal ke dunia atas, langit terringgi untuk mengejar si Bintang malam, dan perjalanan Asdiwal ke dunia bawah (subterranean world) di bawah bimbingan Nyonya Wanita-Tikus. Lévi-Strauss menggambarkan skema kosmologis yang ada seperti berikut.

Skema kosmologis:

                                                Langit Tertinggi

 

 

Langit                                                                                                Puncak

 

           

 

                      (kelahiran Aswidal)      Timur        Barat

 

 

 

Bumi                                                                                                  Lembah

 

 

 

                                                                       Dunia Bawah

                                                               (Subterranean World)         

 (Ahimsa-Putra, 2006: 125)

 

            Berbagai skemata di atas dapat disatukan dalam sebuah skema ketiga, skema integrasi yang terdiri dari beberapa oposisi berpasangan yang semuanya tidak dapat diselesaikan oleh tokoh kita, Asdiwal, meskipun jarak oposisi-oposisi berpasangan ini makin lama makin mengecil.

 

Skema Integrasi:

 

Tinggi

                                    Darat

 

                                                                        Berburu di Gunung

                                                                                                            Puncak

                                                                                               

                                                                                                           

                                                                                                            Lembah

 

                                                                       Berburu di Laut

 

 

 

                                    Air

 

Rendah                                                                                 (Ahimsa-Putra, 2006: 126)

 

 

 

Skema Sosiologis:

(Ibu, anak perempuan tanpa suami)

 

Tempat tinggal patriokal         Tempat tinggal matriokal        Tempat tinggal patriokal

 

                                                (Suami, istri,

saudara-saudara ipar)

 

                                                                                         (Ayah, anak laki-laki tanpa istri)

 

                                                                                                (Ahimsa-Putra, 2006: 127)

 

Skema tekno-ekonomik:

 

Kelaparan               Mencari                  Mencari                     Perburuan

                               ikan lilin                  ikan salmon               yang sukses

 

                                                            (Ahimsa-Putra, 2006: 127)

 

Langkah keempat: mengungkap makna dari pesan. Dari banyak skema tersebut, menurut Lévi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra, 2006: 127), memperlihatkan struktur dari pesan yang ingin disampaikan, dan tugas peneliti adalah mengungkapkan ‘makna’ pesan tersebut. Hasil analisis tersebut nantinya akan dapat menunjukkan bahwa nalar primitif, nalar mistis, dalam mitos, yang ada pada manusia, adalah sebuah nalar yang terstruktur.

B. Teori/Pandangan yang Muncul

   Munculnya pendekatan struktural menurut Ahimsa-Putra (2006: 29) sebenarnnya merupakan kelahiran sebuah cara pandang yang radikal, yang sekaligus akan dapat memperkokoh fondasi ilmu-ilmu sosial sebagai salah satu cabang dari yang namanya pengetahuan. Ia kemudian mengutip pandangan Pettit tentang model untuk memahami gejala kebudayaan yang terbagi menjadi dua tipe. Pertama, model homeomorph yang menjadikan subyek dari model juga menjadi sumbernya. Misalnya boneka adalah model untuk seorang bayi yang berarti bahwa boneka tersebut dapat menggantikan bayi yang sebenarnya. Kedua, model paramorph yaitu subyek dan sumbernya tidak sama. Misalnya double helix yaitu sebuah model untuk molekul DNA yang ada dalam tubuh manusia, tetapi double helix dibuat atas dasar suatu struktur mekanis yang sederhana tidak atas dasar realitas DNA yang sebenarnya. Dari kedua model tersebut, paramorph-lah yang dimanfaatkan oleh Lévi-Strauss sebagai model lingiustik. Kenapa? Sebab subyek dan sumbernya berbeda. Misalnya, gejala sosial budaya dapat dipandang seperti halnya gejala kebahasaan, tetapi gejala kebahasaan ini tidak seperti gejala sosial-budaya (Ahimsa-Putra, 2006: 30).

Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit seperti yang dikutip Ahimsa-Putra (2006: 33) dari anggapan Pettit yang menganggap teks naratif, seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran seseorang pengarang, seperti halnya sebuah kalimat memperlihatkan atau mengejawantahkan pemikiran seorang pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa dia diartikulasikan dari bagian-bagian, sebagaimana halnya kalimat tersebut.

Masih mengutip Pettit, Ahimsa-Putra (2009: 32) menyebutkan bahwa; pertama, makna sebuah teks tergantung pada makna dari bagian-bagiannya. Kedua, makna dari setiap bagian atau peristiwa dalam sebuah teks ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak masuk akal. Lalu, berdasar pandangan di atas, akan muncul dua pilihan bagi seorang peneliti kebudayaan, yakni (a) “to take an informal differential semantics”, mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu, atau (b) sistematis dalam pendekatannya dan “to look for something like Chomsky’s grammar or Jakobson’s phonology”, Mencoba menemukan semacam tatabahasa ala Chomsky atau fonologi ala Jakobson. Dari dua pilihan tersebut, Lévi-Strauss menjatuhkan pilihan pada yang kedua.

C. Tanggapan Kritis

1. Pujian-Kelebihan

            Membaca tulisan Ahimsa Putra dengan judul “Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra menjadi langkah awal bagi saya dalam memahami secara mendalam paradigma struktural dari Lévi-Strauss serta menerapkan pendekatan tersebut dalam karya sastra. Penjelasan dalam buku ini sangat rinci disertasi contoh analisis baik oleh Lévi-Strauss maupun Ahimsa-Putra. Selain itu, Ahimsa-Putra menulis bagian-bagian penting secara deduktif yang memudahkan pembaca dalam memahami berbagai konsep secara umum ke khusus hingga pada penerapan berbagai mitos yang membuka wawasan pembaca dalam memahami cara analisis struktural Lévi-Strauss pada mitos. Penjelasan struktural dalam buku ini memberikan penjelasan secara detail bagaimana struktur itu bekerja dalam mengungkap pesan yang terkandung dalam setiap mitos. Penjabaran secara deskriptif, naratif, argumentatif, serta eksposisi yang membuat setiap konsep strukturalisme semakin jelas apalagi disertasi dengan beberapa contoh analisis pada mitos dan karya sastra.

Gaya bahasa yang digunakan Ahimsa Putra dalam tulisan-tulisannya memang layak diangkat jempol karena mampu membawa pembaca pada pemahaman terhadap apa konsep yang ingin disampaikan Ahimsa Putra pada pembaca. Tidak hanya melalui tulisan, melalui paparan lisan beliau pada perkuliahan begitu mudah dicerna sehingga membantu kita mahasiswa memperoleh banyak ilmu dari beliau yang sebelumnya kita belum memahami secara utuh. Selain itu, kelebihan dalam buku ini semakin membuka pandangan kita bahwa strukturalisme Lévi-Strauss dapat diterapkan dalam karya sastra dan gejala sosial-budaya yang lain serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Hal tersebut akan menjadi acuan bagi peneliti sosial budaya untuk menggunakan strukturalisme Lévi-Strauss dalam memahami gejala sosial budaya yang akan memperkuat pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss dalam ilmu sosial budaya.

2. Kritik-Kekurangan                                            

            Selain memeiliki kelebihan, tulisan Ahimsa Putra dengan judul “Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut.

Pertama, terkait dengan judul buku “Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra” seolah membedakan antara mitos dan karya sastra, bukankan mitos/dongeng termasuk karya sastra lama, yang seolah-olah tercermin dari judul ini terpisah dengan penanda konjungsi dan. Begitu juga dengan penjelasan Ahimsa Putra terkait dengan pandangan Ahimsa Putra (2006: 296) bahwa karya-karya sastra pun sebenarnya dapat ditelaah secara struktural ala Lévi-Strauss seperti halnya dongeng-dongeng, walaupun perintis analisis ini sendiri (Lévi-Strauss) kurang begitu yakin akan keampuhan cara analisis tersebut diterapkan pada karya sastra. Pernyataan Ahimsa Putra semakin membuat saya agak bingung dalam memahami hakikat mitos (dongeng) dan karya sastra yang seolah-olah terpisah. Menurut yang saya pahami bahwa dongeng termasuk karya sastra lama yang merupakan produk budaya dengan beragam pesan moral di dalamnya, sehingga sebaiknya tidak perlu membedakan antara mitos dan karya sastra, yang seharusnya buku Strukturalisme Lévi-Strauss ini menjadi rujukan utama dalam menganalisis karya sastra baik itu cerita rakyat (dongeng, mitos), cerita pendek, dan novel. Karena pada hakikatnya setiap karya sastra memiliki struktur (ceriteme, mytheme) yang perlu dianalisis sehingga pesan yang terkandung di dalamnya dapat terungkap dengan jelas. Penulis tidak menjelaskan secara detail berbedaan karya sastra dan mitos dalam buku ini sehingga saya sebagai pembaca belum memahami apa sebenarnya yang membedakan kedua istilah tersebut. Namun, karena buku ini ditulis oleh pakar strukturalisme, pasti ada persepsi lain terkait dengan konsep karya sastra dan mitos yang terkesan berbeda.

 Kedua, terkait dengan konsep ceriteme dan mytheme yang dijelaskan oleh penulis pada bagian awal buku bahwa ada perbaikan pada konsep ceriteme yang dalam edisi lama hanya berupa terjemahan dari mytheme, sedangkan pada buku ini konsep ceriteme sudah berbeda. Namun belum ada penjelasan terkait perbedaan yang signifikan antara ceriteme dan mitheme karena masih terkesan memiliki keterkaitan antara keduanya. Sebagaimana yang diuraikan oleh Ahimsa Putra (2006: 94) bahwa miteme menurut Lévi-Strauss adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis (mythical discourse), yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat kosokbali (oppositional), relatif, dan negatif. Oleh karena itu, menurut Ahimsa Putra (2006: 94) bahwa dalam menganalisis suatu mitos atau ceritera, makna dari kata yang ada dalam ceritera harus dipisahkan dengan makna miteme, yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut.  Sedangkan ceriteme adalah sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu yang seperti halnya miteme (Ahimsa Putra, 2006: 206). Selain itu, ada penjelasan yang kadang mengaburkan kedua konsep tersebut sebagaimana yang diuraikan Ahimsa Putra (2006: 263) bahwa ceriteme di sini mirip dengan mytheme dalam analisis Lévi-Strauss, tetapi lebih mirip dengan pengertian leksia dari Barthes. Ketika leksia, ceriteme, dan mytheme disandingkan, berarti ketiga istilah ini memiliki kemiripan, namun dalam uraian ini tidak dijelaskan kriteria ceriteme yang dimaksud. Jika Leksia Barthes merupakan pemenggalan teks berupa sepatah kata, kata, kalimat, paragraf yang penentuanya arbitrer/manasuka, untuk ceriteme apa kriteria tergantung kebutuhan analisis atau ada kriteria tertentu? Uraian terkait leksia, ceriteme, dan myteme perlu dijelaskan dengan jelas, sehingga pembaca dapat dengan jelas memahami letak perbedaan antara ceriteme dan mytheme. Karena kedua konsep ini sering muncul kadang bersamaan kadang terpisah, misalnya uraian Ahimsa Putra (2006: 381) bahwa miteme-miteme dan ceriteme-ceriteme pada sebuah mitos dan kemudian menghubungkannya dengan mitos lain, dengan tema yang berbeda dan dari masyarakat yang berbeda, maka akan dapat kita peroleh pemahaman yang berbeda atas mitos-mitos tersebut dengan menganalisis masing-masing mitos tersebut dengan kalau kita menganalisis masing-masing mitos secara terpisah. Sampai di sini, antara ceriteme dan mytheme memiliki persamaan namun pada hakikatnya berbeda, sehingga perlunya uraian yang detail terkait kedua konsep tersebut dalam buku ini.

            Ketiga, adanya penentuan skema-skema yang beragam terhadap perjalanan hidup tokoh dongeng baik dari Lévi-Strauss dan Ahimsa Putra, sehingga terkesan skema tersebut menunjukkan tidak baku dalam analisis setiap skema dalam mitos, yang kemungkinan setiap skema disusun berdasarkan dongeng yang dianalisis. Namun, belum jelas juga dasar atau maksud dari penentuan arah panah, garis, dan simbol-simbol lain.

            Keempat, terkait dengan metode analisis strukturalisme Lévi-Strauss yang diuraikan oleh Ahimsa Putra (2006: 94-95) bahwa analisis struktural Lévi-Strauss memiliki dua tahapan yakni mencari miteme (mytheme) dan menyusun miteme. Kedua tahapan ini jelas dianalisis pada beberapa mitos terutama pada analisis struktural Dongeng Bajo. Namun ketika dianalisis dalam Sawerigading dan Dewi Sri, seolah-olah kedua tahapan ini kurang tampak jelas penerapannya. Bagaimana menemukan dan menyusun miteme-miteme sehingga hasil analisis mengarah kepada larangan incest dan kekuasaan, jadi metode analisis tersebut terkesan tidak tampak sebagai prosedur yang baku dengan menggunakan struktural Lévi-Strauss.

 

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. 2006. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:Kepel Press.Edisi Baru.

Pena adalah alatku

08 May 2024 16:40:00 Dibaca : 27

Di depan lembar kosong, kata-kata menari di ujung pena, meminta untuk dituangkan. Seperti air yang mencari sungai, ide-ide mengalir memenuhi ruang kekosongan. Setiap goresan pena adalah langkah menuju keabadian, sebuah jejak yang takkan terhapus oleh waktu.

Di dalam ruang keheningan, aku bertemu dengan diriku sendiri. Pikiran-pikiran yang tersembunyi, emosi yang terpendam, semua menemukan pelarian dalam tiap huruf yang terbentuk. Pena adalah alatku, kanvas adalah dunia, dan kata-kata adalah jembatan yang menghubungkan.

Dalam keheningan malam, kata-kata menjadi nyawa yang menghidupkan dunia di dalam pikiranku. Mereka melahirkan cerita, merajut mimpi, dan menceritakan kisah-kisah yang tak terucapkan. Dengan setiap helaan nafas, puisi menjadi jiwa yang tersembunyi, mengalir begitu saja seperti sungai yang tak pernah berhenti.

Buku adalah cahaya

08 May 2024 16:37:00 Dibaca : 21

Di bawah cahaya halaman yang sunyi, Aku temukan dunia yang tersembunyi. Dalam baris-baris yang terpampang jelas, Ada petualangan tak terkira, tak terduga.

Dari buku-buku tua hingga karya baru, Aku menyusuri lautan kata yang mengalir dalam arusnya. Setiap huruf adalah jendela menuju pengetahuan, Setiap kata adalah kunci menuju pemahaman.

Membaca adalah perjalanan tanpa batas, Menuju ke mana pun imajinasi berkelana. Setiap lembar adalah pintu menuju kedalaman jiwa.

Di dalam buku, aku temukan cermin diri, Melalui kata-kata, aku perbaiki hati. Membaca adalah sungai yang membersihkan jiwa, Menyirami benih-benih kebijaksanaan, memunculkan cahaya.

 

Gudang Pengetahuan

08 May 2024 16:33:50 Dibaca : 22

Di antara halaman yang rapuh Dalam gudang pengetahuan yang tersembunyi, Kita menjelajahi ladang kata, Mengutip biji-biji kebenaran.

Dalam setiap kalimat yang terpahat, Terhamparlah dunia yang tak terduga, Kisah-kisah para pelaut kata, Menyulam mimpi-mimpi yang terlupa.

Lembar demi lembar, kita jelajahi, Seperti petualang dalam rimba kata, Menelusuri lorong-lorong pikiran, Mengungkap rahasia alam semesta.

Dalam buku-buku tua yang lembut, Terpatri makna yang tak terpadam, Hati-hati dibuka, sebuah adegan, Dari panggung zaman yang terlupakan.

Di gudang pengetahuan, kita temukan, Permata-permata tak ternilai harganya, Melalui baris-baris yang terpahat, Kita merenung, kita berjelajah.

Gudang pengetahuan, sebuah dunia, Yang tak terhingga dalam kedalaman, Dengan pena dan kertas, kita berlayar, Menuju kebijaksanaan yang abadi.