Pendidikan berkelanjutan semakin sering dibicarakan sebagai respons atas berbagai krisis global, mulai dari perubahan iklim hingga ketimpangan sosial. Istilah ini hadir dalam kebijakan, forum akademik, dan wacana publik. Namun, di tengah popularitasnya, muncul pertanyaan penting: sejauh mana pendidikan benar-benar bergerak ke arah keberlanjutan, dan bukan sekadar mengulang istilah yang terdengar ideal?

Selama ini, pendidikan kerap diposisikan sebagai sarana untuk meningkatkan daya saing individu. Sekolah dan perguruan tinggi diukur dari capaian akademik, kelulusan, dan kemampuan lulusannya memasuki dunia kerja. Pendekatan ini memiliki nilai, tetapi menjadi tidak memadai ketika dunia dihadapkan pada persoalan yang kompleks dan saling terhubung. Pendidikan berkelanjutan menawarkan perspektif yang lebih luas dengan menempatkan pendidikan sebagai proses pembentukan manusia dan warga yang bertanggung jawab.

Kesalahpahaman yang sering muncul adalah mengaitkan keberlanjutan semata-mata dengan isu lingkungan. Padahal, keberlanjutan mencakup dimensi sosial dan ekonomi yang sama pentingnya. Pendidikan berkelanjutan mendorong cara berpikir yang melihat keterkaitan antarbidang, serta menumbuhkan kesadaran bahwa setiap pengetahuan dan keputusan memiliki konsekuensi jangka panjang.

Dalam praktiknya, integrasi keberlanjutan ke dalam pendidikan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sistem pendidikan masih cenderung berorientasi pada hasil yang mudah diukur, seperti nilai dan peringkat. Akibatnya, ruang untuk refleksi, dialog, dan pembahasan isu etika sering kali terbatas. Pendidikan berkelanjutan justru menuntut proses belajar yang memberi ruang bagi pemahaman mendalam dan kesadaran kritis.

Meski demikian, pendidikan berkelanjutan tidak harus dimulai melalui perubahan besar dan drastis. Upaya kecil, seperti mengaitkan materi pembelajaran dengan persoalan nyata di sekitar peserta didik, membuka diskusi tentang dampak sosial dan lingkungan, serta mendorong sikap bertanggung jawab, dapat menjadi langkah awal yang signifikan.

Pada akhirnya, pendidikan berkelanjutan adalah investasi jangka panjang bagi masyarakat. Hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi sangat menentukan arah pembangunan dan kualitas kehidupan di masa depan. Ketika pendidikan mampu membekali generasi muda dengan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian, pendidikan tidak hanya relevan dengan zaman, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

Saat Menang Bukan Lagi Tujuan Utama dalam Pembelajaran

12 December 2025 22:32:17 Dibaca : 6

Dalam kehidupan kampus, kita kerap bertemu individu dengan kemampuan akademik luar biasa. Mereka cepat memahami konsep, unggul dalam kompetisi, dan menunjukkan kecakapan intelektual. Namun, dalam banyak situasi, kita menyadari bahwa kecerdasan saja tidak selalu cukup.

Sebuah kejadian sederhana di kelas kimia dasar memberikan ilustrasi menarik. Seorang mahasiswa yang dikenal sangat cerdas menantang asisten dosen (asdos) untuk menyelesaikan soal perhitungan kompleks di depan teman-temannya. Tantangan tersebut diterima, dan sang mahasiswa berhasil menyelesaikan soal itu lebih cepat. Teman-temannya bersorak, sementara sang asdos hanya tersenyum menerima hasil tersebut.

Beberapa minggu kemudian, setelah ujian tengah semester, mahasiswa itu kembali meminta bimbingan kepada asdos yang sama. Kali ini mereka membahas soal analitis yang lebih konseptual. Di luar dugaan mahasiswa itu, asdos mampu menjelaskan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan kedalaman penalaran yang jauh lebih matang.

Dengan heran mahasiswa itu bertanya, “Mengapa waktu itu saya bisa mengalahkan Kakak dengan mudah?”

Asdos tersebut menjawab dengan tenang: “Waktu itu saya melihat kamu sedang membangun kepercayaan diri. Mengalah bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena tugas saya adalah membantu kamu berkembang, bukan menunjukkan siapa yang lebih hebat.”

Kisah sederhana ini menyadarkan kita bahwa pintar (dalam arti mampu memecahkan persoalan) tidak otomatis sama dengan bijaksana, yaitu kemampuan memahami konteks, membaca situasi sosial, serta menahan diri demi kebaikan orang lain.

Dalam dunia akademik, kebijaksanaan sering kali hadir dalam bentuk-bentuk kecil namun bermakna: memberi ruang bagi mahasiswa tumbuh, tidak menjadikan setiap interaksi sebagai arena kompetisi, serta menempatkan ego di belakang kepentingan pembelajaran.

Pada akhirnya, kecerdasan adalah modal; tetapi kebijaksanaan adalah arah. Pintar belum tentu bijaksana, tetapi kebijaksanaan selalu bertumpu pada kemampuan, empati, dan kerendahan hati.

Menjadi Lebih Peka, Bukan Sekadar Lebih Pintar

09 December 2025 12:02:12 Dibaca : 16

Beberapa waktu terakhir, saya sering menjumpai mahasiswa yang secara akademik mengesankan. Mereka cepat memahami materi, mampu bekerja mandiri, dan sering kali mengerjakan tugas yang melampaui ekspektasi. Namun ketika situasi menuntut mereka membaca perasaan orang lain, memahami dinamika kelompok, atau sekadar merespons suasana dengan bijak, tiba-tiba kepandaian itu seperti tidak banyak membantu.Bukan karena mereka kurang cerdas, tetapi karena sejak kecil sistem pendidikan kita lebih sering diarahkan untuk menjadi pintar, bukan menjadi peka.

Kita tumbuh dalam budaya yang menempatkan prestasi sebagai tolok ukur utama keberhasilan: nilai tinggi, sekolah unggulan, prodi favorit dan tekanan untuk selalu berada di depan. Di tengah semua itu, kemampuan untuk merasakan, mengenali diri sendiri, menghargai orang lain, dan memahami konteks sosial sering kali tidak mendapatkan ruang yang sama.Padahal, kepekaan adalah hal yang kita butuhkan ketika hidup tidak berjalan seperti rumus di buku. Ketika bekerja dengan orang lain. Ketika berbeda pendapat. Ketika menghadapi situasi yang lebih memerlukan hati daripada logika.

Di dunia pendidikan, saya semakin yakin bahwa tugas kita bukan hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membimbing manusia untuk mengenali dirinya untuk membuat keputusan menjadi lebih bijak, hubungan menjadi lebih hangat, dan hidup menjadi lebih penuh makna.

Karena pada akhirnya, menjadi pandai bisa membuka banyak pintu, tetapi menjadi peka membuat kita tahu bagaimana melangkah dengan benar.

Dan mungkin, itu yang sedang dibutuhkan hari ini: menjadi lebih peka, bukan sekadar lebih pintar.

Bias Good Looking di Kampus

07 December 2025 09:19:53 Dibaca : 20

Mengapa Penampilan Lebih Diperhatikan daripada Kemampuan?

Ada hal menarik yang sering saya perhatikan di lingkungan kampus. Kita selalu menekankan pentingnya kemampuan, pemikiran kritis, dan kualitas akademik. Tetapi di bawah permukaan itu semua, ada mekanisme sosial lain yang berjalan pelan namun kuat: penampilan sering kali mendapat tempat khusus dalam penilaian kita terhadap orang lain.

Tidak ada yang mengakuinya secara terbuka, tetapi kita sering merasakannya.

Dalam banyak interaksi sehari-hari, seseorang yang dianggap “good looking” cenderung lebih cepat dipuji, lebih mudah diterima, bahkan lebih sering diberi ruang untuk tampil. Penampilan menjadi kesan pertama yang kadang menentukan bagaimana kita memandang mereka seterusnya, sebelum kemampuan mereka sempat ditunjukkan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Ia berulang, membentuk pola, dan pada akhirnya menjadi bias.

 

Ketika Visual Mendahului Kualitas.

Di ruang kelas, organisasi, atau kegiatan kampus lainnya, penampilan sering menjadi penilaian awal. Rasanya tidak adil, tapi itulah kecenderungan manusia: kita menilai dengan mata sebelum pikiran mengambil alih. Seseorang yang terlihat menarik dianggap lebih percaya diri, lebih kompeten, bahkan lebih cerdas. Padahal semua itu baru asumsi, belum tentu kenyataan. Bias semacam ini membuat sebagian mahasiswa merasa harus tampil “sempurna” agar diterima. Sementara yang lain merasa tertinggal, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak masuk kategori visual yang dihargai secara sosial.

Bias Sosial yang Membentuk Ketimpangan.

Masalahnya bukan pada individu yang menarik secara visual. Masalahnya adalah bias sosial yang kemudian terbentuk. Mereka yang good looking memiliki keuntungan tertentu: lebih mudah dipercaya, lebih cepat dikenal, lebih sering dianggap layak tampil di depan. Sebaliknya, mahasiswa lain perlu berusaha berkali-kali lipat untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya tidak kalah. Padahal kampus seharusnya memberi ruang yang adil, termasuk pada mereka yang mungkin tidak menonjol secara visual, tetapi memiliki kompetensi luar biasa.

Mengembalikan Kampus pada Ruhnya

Bias good looking memang manusiawi, tetapi bukan berarti tidak bisa disadari. Ketika kita menyadari adanya bias, kita mulai bisa mengimbanginya: memberi kesempatan lebih luas, tidak cepat mengambil asumsi, dan berfokus pada kemampuan yang sebenarnya. Kampus adalah ruang belajar. Ruang tumbuh. Ruang bagi gagasan, bukan hanya impresi visual.

Menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) di Program Kampus Mengajar selama empat angkatan berturut-turut angkatan 3, 4, 5, dan 6 memberikan perjalanan yang tidak hanya melelahkan, tetapi juga sangat memperkaya. Ketika saya melihat kembali proses yang saya jalani, rasanya seperti membaca ulang bab-bab pembelajaran yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.

Pada angkatan 6, saya kembali dipercaya untuk hadir dalam kegiatan Kick Off dan pelepasan peserta. Tema waktu itu, “Pemulihan dan Transformasi Pembelajaran Melalui Program Kampus Mengajar,” terasa begitu dekat dengan pengalaman yang pernah saya lihat langsung di sekolah-sekolah binaan. Dalam kegiatan tersebut, hadir pula Kepala Program Kampus Mengajar dan Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Asri Ardila Putri, yang memberikan arahan penuh semangat.

 Saya masih ingat bagaimana awalnya saya memandang Kampus Mengajar hanya sebagai program pendampingan di sekolah. Namun setelah beberapa angkatan, saya sadar bahwa program ini jauh lebih dari sekadar kegiatan pendampingan. Kampus Mengajar adalah ruang tumbuh, baik untuk mahasiswa, guru, maupun saya sendiri sebagai DPL.

Program ini, yang menjadi salah satu unggulan MBKM, telah banyak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD dan SMP. Saya melihat sendiri bagaimana mahasiswa belajar menyesuaikan diri, mencari solusi kreatif, mengembangkan model pembelajaran, dan akhirnya menjadi mitra sejati bagi guru di kelas. Dari mereka, saya belajar bahwa inovasi kadang muncul dari keberanian mencoba hal sederhana secara konsisten.

Kampus Mengajar juga membekali mahasiswa dengan keahlian yang tidak selalu mereka dapatkan di kelas: komunikasi antargenerasi, manajemen kelas, penyelesaian masalah yang tidak terduga, hingga kemampuan membaca dinamika sosial di sekolah. Semua itu berkontribusi pada penguatan literasi dan numerasi di sekolah-sekolah sasaran, sebuah proses kecil tapi berarti dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dasar.

Melihat perjalanan ini, saya merasa setiap angkatan memiliki ceritanya sendiri. Ada tantangan, ada tawa, ada situasi yang membuat saya bangga, dan ada pula yang memaksa saya belajar kembali tentang kesabaran dan empati. Namun pada akhirnya, pengalaman menjadi DPL selalu membawa saya pada satu kesimpulan: pendidikan berubah bukan hanya karena kebijakan besar, tetapi karena interaksi kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.